Share

Chapter 7

Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya.

Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama.

“Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing. Takutnya ada yang tertinggal,” Vikha mengingatkan kedua sahabatnya sekaligus memecah kebisuan di antara mereka saat sedang menikmati sarapan.

“Iya,” Shanon menjawab tanpa mengangkat kepalanya, sedangkan Tristan hanya mengangguk sambil menyeruput kopi hitam kesukaannya.

“Ada yang mau pisang bakar lagi?” tanya Vikha sebelum beranjak dari kursinya. Ia ingin memesan lagi makanan yang menurutnya enak tersebut. Mereka kini tengah menikmati sarapan di kedai dekat pantai, yang letaknya tidak jauh dari vila.

“Tidak, Kha. Roti bakarku saja belum habis,” ujar Shanon sambil memperlihatkan piring yang masih berisi setengah dari menu sarapannya.

“Aku juga tidak, Kha. Sudah cukup,” Tristan menimpali. Meski pisang bakar di piringnya hampir habis, tapi ia tidak ingin memesan lagi.

“Baiklah, kalau begitu aku mau memesan pisang bakar lagi. Perutku masih lapar,” ucap Vikha sambil terkekeh sebelum berlalu menuju pemilik kedai untuk menyampaikan pesanannya.

“Tris, terima kasih atas dekapanmu kemarin malam,” ucap Shanon pelan kepada Tristan sepeninggal Vikha.

Tristan memperbaiki letak kacamatanya dan tersenyum ke arah Shanon. “Kamu sudah berterima kasih kemarin malam, Sha. Memangnya kamu mau berapa kali mengatakannya? Lagi pula, sudah sepantasnya aku sebagai sahabatmu memberikan tempat bersandar yang nyaman untukmu,” balasnya dengan tenang tanpa menghapus senyuman di bibirnya. “Jika bisa, aku ingin menjadi tempatmu bersandar lebih dari sebagai sahabat, Sha,” batinnya menambahkan.

Mendengar ucapan Tristan, Shanon mengangguk dan membalas senyuman hangat sahabatnya tersebut. Perlahan, suasana di antara keduanya pun berangsur normal. Bahkan, kini mereka sudah mulai mengobrol seperti biasa sambil menunggu kedatangan Vikha.

***

Shanon, Tristan, dan Vikha sudah tiba di Taman Ujung, destinasi terakhir yang mereka kunjungi dalam rangka menikmati liburan singkatnya. Vikha sangat antusias menelusuri tempat-tempat yang membuatnya kagum, sedangkan Shanon dan Tristan hanya mengikutinya sambil tersenyum melihat tingkah sang sahabat di depannya. Saking antusiasnya, Vikha berjalan cepat dan meninggalkan kedua sahabatnya jauh di belakang.

Saat memasuki jembatan sebelum menuju istana apung, Vikha melambatkan langkah kakinya ketika melihat beberapa orang tengah sibuk mengambil gambar sepasang model. Dari pakaian yang digunakan oleh sepasang model itu, ia mengasumsikan bahwa kerumunan orang tersebut tengah sibuk mengambil gambar untuk keperluan pre-wedding. Awalnya Vikha sangat senang bisa melihat pasangan pengantin yang tengah melakukan foto pre-wedding di tempat ini. Namun, saat ia terus melangkah dan semakin mendekat, tiba-tiba gerakan kakinya mulai terasa sangat berat. Setelah menajamkan penglihatannya, ia langsung menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya sendiri. Ia mengenal sepasang model yang kini tengah berpelukan mesra tersebut dengan sangat jelas.

Alarm di otak Vikha langsung berbunyi, agar secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Ia berharap bisa mencegah Shanon melihat pemandangan yang sangat menyakiti hati tersebut. Namun, semua harapan Vikha sirna, ternyata kedua sahabatnya telah mematung tidak jauh di belakangnya, terlebih Shanon yang wajahnya kini terlihat memucat. Vikha beradu pandang dengan Tristan yang juga sangat terkejut melihat pemandangan di depannya, dan melalui tatapan matanya ia meminta maaf. Vikha menyalahkan dirinya sendiri karena membuat Shanon kembali bersedih. Awalnya ia merasa senang karena usahanya dan Tristan menghibur Shanon hampir berjalan sempurna, tapi kini hal tersebut malah menjadi sia-sia. Seharusnya ia tidak memasukkan Taman Ujung ke dalam daftar kunjungannya selama liburan.

“Sha,” panggil Vikha dengan nada sedih setelah berdiri di samping Shanon.

Mendengar panggilan sedih Vikha yang diasumsikan sebagai bentuk rasa bersalah, Shanon mengerjapkan mata sebelum menoleh ke sumber suara. Ia menghela napasnya dalam-dalam, kemudian mendongak agar cairan yang membuat matanya berkaca-kaca tidak menetes. “Aku baik-baik saja,” ucapnya tercekat karena berusaha keras menekan kepedihan hatinya.

Melihat keadaan Shanon membuat Vikha semakin merasa bersalah. Bahkan, kini mata Vikha juga ikut berkaca-kaca. Berbeda halnya dengan Tristan yang memasang ekspresi datar. Tanpa berkata dan meminta izin, Tristan langsung membawa Shanon ke pelukannya. Akibat tindakan Tristan, pegangan tangan Vikha pada lengan Shanon pun langsung terlepas. Dengan erat Tristan mendekap tubuh rapuh Shanon, ia segera membawa sang sahabat meninggalkan tempat tersebut.

Langkah Tristan yang sudah menjauh terpaksa terhenti ketika menyadari sesuatu. Ia berbalik dan mendapati Vikha tidak mengikutinya. “Apakah kamu lebih memilih menonton kemesraan pasangan itu?” tanyanya datar kepada Vikha. Ia berusaha menyembunyikan emosinya saat menegur Vikha yang bergeming di tempat.

Vikha terkesiap saat nada datar menusuk indra pendengarannya, sehingga dengan spontan ia menggeleng. Vikha mengangguk dengan cepat ketika Tristan mengisyaratkan agar mengikutinya. Vikha berusaha mempercepat langkahnya agar tidak ditinggal oleh laki-laki yang sudah lama diharapkan menjadi kekasihnya. Walau rasa cemburu sering terlintas di benaknya ketika melihat kebersamaan Tristan dan Shanon, tapi ia selalu berusaha mengabaikannya, karena dirinya tidak mau dikatakan egois. Vikha juga selalu menasihati hatinya sendiri bahwa perhatian dan perlakuan Tristan kepada Shanon saat ini, tidak lebih dari kepedulian seorang sahabat. Waktu dirinya bersedih, Tristan juga akan memperlakukannya berbeda, sama seperti Shanon saat ini. Oleh karena itu, sekarang ia harus memaklumi keadaan dan pemandangan di hadapannya.

“Kita langsung pulang saja,” Tristan langsung membuat keputusan ketika melirik Vikha telah berjalan di sampingnya. Tangan laki-laki tersebut tetap setia merangkul pundak Shanon.

“Iya,” jawab Vikha pelan karena rasa bersalahnya. Namun, di bagian terdalam hatinya, ia merasa Tristan mengabaikan kehadirannya. Laki-laki itu terus berkata penuh kelembutan untuk menenangkan Shanon. Untung saja pengunjung Taman Ujung belum terlalu ramai, jadi ia tidak terlihat seperti obat nyamuk di antara Tristan dan Shanon.

Setelah berjalan kurang lebih dua puluh menit, ketiganya pun sampai di parkiran. Shanon dan Vikha diminta memasuki mobil lebih dulu oleh Tristan, sedangkan ia menuju bagasi mengambil snack serta minuman yang tadi dibelinya sebelum tiba di Taman Ujung.

“Sha, aku minta maaf karena secara tidak sengaja kembali membuatmu bersedih, sehingga liburan ini menjadi kacau,” pinta Vikha kepada Shanon yang duduk di kursi penumpang di belakangnya. “Andai saja aku tidak merekomendasikan Taman Ujung ke dalam daftar kunjungan liburan ini, pasti kita pulang dengan rasa bahagia, terutama untukmu,” imbuhnya benar-benar merasa bersalah.

Shanon menyusut air matanya dengan tissue di pangkuannya sebelum menanggapi ucapan Vikha. “Ini bukan salah siapa pun, jadi hilangkan rasa bersalahmu, Kha. Seharusnya aku yang meminta maaf kepada kalian, karena telah membuat sisa liburan kita menjadi berantakan,” Shanon balik meminta maaf. “Sial! Kenapa aku harus bercucuran air mata hanya karena melihat seorang mantan melakukan foto pre-wedding,” umpatnya pada diri sendiri sambil kembali menyeka air matanya.

“Wajar kamu menangis ketika melihat mantanmu melakukan foto pre-wedding, sebab hatimu bukan terbuat dari baja,” Tristan menimpali setelah memasuki mobil. “Jangankan melihat langsung sesi pemotretan pre-wedding sang mantan, aku yakin kalian menonton drama romantis saja pasti bercucuran air mata,” sambungnya dengan nada mengejek. Ia berharap mampu mengalihkan suasana melankolis di dalam mobil.

Wajah Vikha langsung tersipu mendengar ejekan Tristan, meski laki-laki itu belum pernah melihatnya langsung saat menonton drama romantis. Reaksi Shanon berbeda dengan Vikha, ia hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Tristan yang sengaja menyindirnya. Shanon pernah diejek habis-habisan oleh Tristan karena tertangkap basah tengah menangis saat menonton drama romantis. Saat itu tanpa pemberitahuan terlebih dulu, Tristan mendatangi kontrakannya untuk meminjam uang ketika ingin mencari menu makan malam, sebab dompet sahabatnya tersebut ketinggalan.

“Jangan asal menuduh, Tris,” tegur Vikha. “Memangnya kamu pernah menemani perempuan menonton drama romantis?” selidiknya setelah Tristan menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya perlahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status