Share

Chapter 8

“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya.

“Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu.

“Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya.

“Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan.

“Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang untuk dimakan. Bukan disimpan selamanya di bagasi mobilku,” balas Tristan yang kemudian terkekeh.

“Kamu mau, Sha?” Vikha menawarkan snack yang telah dibukanya kepada Shanon.

Shanon menggeleng. “Aku mau minum saja,” ujarnya dan mengambil teh beraroma apel yang berkemasan botol.

“Kalau kamu tidak mau, aku akan menghabiskannya,” ancam Vikha sambil terus mengambil kepingan-kepingan snack yang dipangkunya. “Buka mulutmu, Tris. Aku tidak mau dikatakan tega karena membiarkanmu kelaparan.” Vikha mulai menyuapi Tristan setelah laki-laki itu menuruti perintahnya.

“Terima kasih, Kha,” ucap Tristan. “Kamu yakin tidak mau, Sha? Nanti kamu tidak boleh marah ya, jika snack ini benar-benar kami habiskan berdua saja,” Tristan mencoba membujuk Shanon agar ikut menghabiskan snack yang dinikmatinya bersama Vikha.

Shanon mengangguk yakin. “Ngomong-ngomong, kalau seperti ini kalian terlihat layaknya pasangan kekasih dan sangat cocok,” celetuknya. “Kenapa kalian tidak mencoba menjalin hubungan sebagai kekasih saja? Lagi pula dalam persahabatan kita, bukankah tidak ada larangan untuk hal itu?” sambungnya menggoda.

Tangan Vikha yang ingin kembali menyuapi Tristan menggantung setelah mendengar celetukan Shanon, begitu juga dengan Tristan. Laki-laki tersebut membatalkan keinginannya menelan snack yang sudah selesai dikunyahnya. Dalam satu waktu Tristan dan Vikha saling bertatapan. Tidak lama kemudian, keduanya kembali membuang muka karena salah tingkah atas celetukan Shanon yang diluar dugaan mereka.

“Hei, mengapa kalian malah menjadi salah tingkah begitu dan langsung terdiam?” Shanon menegur reaksi kedua sahabatnya. Ia menyipitkan matanya sambil menatap Vikha dan Tristan secara bergantian, walau yang dilihatnya hanya kedua punggung sang sahabat. “Jangan-jangan, selama ini kalian telah menjalin hubungan khusus ya? Tanpa sepengetahuanku,” terkanya. Bahkan, kini ia telah memajukan tubuhnya, sehingga berada di tengah-tengah antara Tristan dan Vikha.

Tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan, dengan cepat Tristan memukul pelan kening Shanon menggunakan sebelah tangannya yang bebas. “Jangan bicara sembarangan,” tegurnya pada Shanon. “Kha, jangan diambil hati ucapan Shanon ya, anggap saja sahabat kita ini pikirannya tengah terganggu gara-gara melihat pemandangan tadi. Maklum saja sama orang yang sedang putus cinta, pikiran dan ucapannya sering ngelantur,” sambungnya lembut kepada Vikha agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Vikha merasa kecewa mendengar tanggapan Tristan atas celetukan Shanon, karena secara tidak langsung laki-laki itu telah menolaknya. Ia hanya mengangguk samar sebagai responsnya atas ucapan Tristan tersebut.

“Tris, apakah aku tidak termasuk dalam kriteria calon kekasihmu?” tanya Vikha dalam hati. Ia tersenyum kaku melihat keakraban Tristan dan Shanon di sampingnya, meski itu hanyalah interaksi kecil. Bahkan, ia juga sudah sering melihatnya.

“Sha, kembali ke tempat dudukmu. Aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padamu kalau kakiku menginjak rem secara mendadak.” Meski kata-kata yang keluar dari mulut Tristan bernada tegas untuk Shanon, tapi terdengar lembut dan penuh perhatian di telinga Vikha.

“Iya, Pak Sopirku,” jawab Shanon setengah hati dan kembali ke tempat duduknya semula.

“Sha, sepertinya yang lebih tepat dan cocok menjadi kekasih Tristan itu kamu, bukan aku,” batin Vikha berkata. Ia kembali melanjutkan kegiatannya menikmati snack yang sempat terjeda oleh celetukan asal Shanon, walau kini selera makannya telah menguap.

***

Sebelum tiba di Denpasar dan mengistirahatkan tubuh di kontrakan masing-masing, Tristan mengajak kedua sahabatnya bersantap siang di restoran Keramas Aero Park. Restoran tersebut terletak di kabupaten Gianyar, tepatnya di Desa Keramas. Keramas Aero Park merupakan salah satu restoran yang mempunyai konsep unik di Bali. Sesuai nama dan tema yang diusung, di restoran ini pengunjung bisa merasakan nuansa makan di dalam pesawat. Selain di dalam pesawat, pengunjung juga bisa menyantap makan siangnya di taman yang ada di belakang pesawat.

Tristan dan kedua sahabatnya memilih tempat untuk menyantap menu makan siangnya di taman yang teduh. Berhubung hari Minggu, pengunjung yang datang untuk makan siang pun lumayan banyak. Selain bisa menikmati makan siang bersama teman, kekasih, atau keluarga, para pengunjung juga dapat berswafoto dengan latar pesawat.

“Aku ke toilet sebentar ya,” pamit Vikha kepada Shanon dan Tristan saat mereka menunggu makanan yang dipesannya datang.

“Perlu diantar dan ditemani, Kha?” tanya Shanon dengan nada bercanda.

Vikha merotasikan bola matanya. “Tentu saja tidak, Sha,” jawabnya.

“Lagi pula, mana ada hantu di siang bolong seperti sekarang,” Tristan menimpali jawaban Vikha sambil terkekeh. Di antara kedua sahabatnya tersebut, Vikha memang lebih penakut dibandingkan Shanon.

“Siapa juga yang takut hantu?” balas Vikha pura-pura memperlihatkan keberaniannya. Ia segera menuju toilet setelah kedua sahabatnya hanya tertawa mendengar balasannya.

“Sudah tahu penakut, tontonannya malah film horor terus,” gerutu Tristan seraya menatap punggung Vikha yang sudah menjauh. “Kamu juga, Sha. Kalau sudah tahu dirimu penakut, jangan sering-sering menonton film horor. Bukannya mencari hiburan, tapi malah menakuti diri sendiri itu namanya,” sambungnya kepada Shanon.

Shanon hanya menyengir mendengar Tristan menggerutu. “Nonton film horor itu seru, Tris, terlebih untuk orang penakut seperti kami. Sensasi horor yang kami dapat itu jadi berlipat-lipat,” belanya.

“Percuma saja kalau ujung-ujungnya malah membuat diri sendiri semakin takut tidak jelas,” Tristan kembali mengingatkan sekaligus tidak mau kalah menanggapi pembelaan Shanon. “Sudah, jangan diperpanjang lagi. Yang ada kalian malah mengeroyokku,” putusnya untuk menghindari perdebatan yang tidak berujung.

Bertepatan dengan Tristan mengakhiri ucapannya, dua orang waitress menghampiri meja mereka sambil membawa nampan yang berisi pesanan masing-masing. Belum selesai waitress menata hidangannya di atas meja, Vikha telah kembali dari toilet dan bergabung bersama mereka.

“Selamat makan,” ucap Vikha dengan penuh antusias kepada Tristan dan Shanon setelah kedua waitress tadi undur diri.

“Sudah kelaparan selama berapa hari, Kha?” ejek Tristan karena melihat reaksi Vikha.

“Berhari-hari,” jawab Vikha berdusta. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan ejekan yang dilayangkan Tristan kepadanya. Sebab, ia juga sering mengejek laki-laki tersebut.

“Pantas saja reaksimu seperti itu,” Tristan kembali melanjutkan ejekannya dan Vikha pun hanya menanggapinya dengan derai tawa.

“Ditahan dulu aksi saling mengejek kalian, sebaiknya kita segera makan saja hidangan-hidangan ini. Kasihan mereka kalau terlalu lama kita anggurkan,” Shanon menengahi.

“Setuju.” Vikha memberikan kedua jempolnya kepada Shanon.

Ketiganya pun mulai menikmati hidangan yang telah dipesannya masing-masing sambil mengobrol santai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status