Share

Chapter 9

Sepulangnya berlibur minggu lalu, ketiga sahabat itu telah kembali berkutat pada rutinitas dan tanggung jawabnya terhadap pekerjaan masing-masing. Sejak itu pula Vikha jarang bisa bertemu Tristan di kantor, walau sekadar ingin makan siang bersama, karena mereka memang berbeda divisi. Lain halnya dengan Shanon, sahabatnya itu dan Tristan bekerja di divisi yang sama. Pikiran Vikha sering terganggu saat mengingat celetukan yang dilontarkan Shanon di mobil waktu itu. Bukan hanya itu, penolakan Tristan secara tidak langsung atas celetukan tersebut juga kerap membuatnya sedih.

Vikha mengurungkan niat ketika hendak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada kursi kerjanya saat mendengar ponselnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya, ia segera membalas ajakan makan siang dari Shanon. Ia bergegas merapikan meja kerjanya sambil menunggu Shanon menyambanginya untuk berangkat bersama menuju tempat makan siang.

“Makan siang di mana, Kha?” tanya Rena, rekan kerja yang satu divisi dengan Vikha.

“Sepertinya di tempat biasa, Ren,” jawab Vikha yang masih merapikan meja.

“Bareng Shanon?” Rena kembali bertanya.

Vikha mengangguk. Ia memeriksa tasnya, memastikan dompet dan ponselnya sudah ada di dalamnya. “Ayo, Ren, gabung makan siang bareng kita,” ajaknya. “Lagi pula sudah lama juga kita tidak makan siang bersama,” tambahnya.

“Yah. Sayangnya aku sudah terlanjur delivery, mungkin sebentar lagi makananku datang. Lain waktu saja aku makan bareng kalian ya, Kha,” Rena menolak ajakan Vikha dengan nada sedih.

Vikha terkekeh atas penolakan rekan kerjanya tersebut. “Iya sudah kalau begitu, lain waktu saja kita makan siang bareng. Shanon sudah datang, aku berangkat sekarang ya,” pamitnya pada akhirnya. Ia melambaikan tangan kepada Shanon yang sudah menunggunya di depan pintu ruangannya.

***

Shanon dan Vikha menikmati santap siangnya dengan lahap di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Untung saja saat keduanya tiba di rumah makan tersebut, pengunjung yang ingin makan siang belum terlalu ramai, jadi mereka tidak perlu menunggu lama pesanannya diantarkan. Karena saking lahapnya menikmati makanan masing-masing, mereka pun sampai tidak mengobrol selama makan siang berlangsung.

“Andai setelah ini tidak harus kembali bekerja, aku pasti sudah memesan semangkuk soto lagi,” ujar Shanon saat lebih dulu menghabiskan semangkuk bakso ayam kesukaannya.

“Setuju.” Tidak berselang lama, Vikha pun menandaskan mie ayam jamur di mangkuknya.

“Tristan pasti menyesal karena tidak ikut makan siang bersama kita. Ia mengira tempat ini tidak buka,” beri tahu Shanon setelah menyeruput lemon tea hangat di hadapannya.

“Kalau begitu kita belikan saja makanan kesukaan Tristan yang biasa dipesannya di sini,” Vikha menyarankan.

“Tidak usah, tadi aku melihat Tristan menyuruh Pak Salim membeli nasi tempong di rumah makan Bu Sri,” beri tahu Shanon. “Tadi ia bilang hanya ingin ditraktir jus semangka,” sambungnya.

Meskipun mengangguk, tapi batin Vikha tersenyum getir mendengar penuturan Shanon mengenai Tristan. Vikha menyayangkan kenapa bukan dirinya saja yang berada di satu divisi bersama Tristan. Jika mereka satu divisi, ia pasti bisa setiap detik bertemu sekaligus berinteraksi dengan laki-laki yang telah membuat getaran-getaran dalam hatinya. Vikha menatap serius Shanon yang masih menunduk dan tengah asyik mengaduk lemon tea hangat di gelasnya.

“Sha, apakah nanti kamu akan menghadiri resepsi pernikahan Richo?” tanya Vikha dengan nada waspada.

Shanon menghentikan gerakan tangannya saat telinganya mendengar pertanyaan Vikha yang tidak disangkanya. Bahkan, pertanyaan tersebut seketika mampu membuat ekspresinya berubah datar. “Memangnya kenapa?” Nada yang keluar dari mulutnya terdengar tidak bersahabat.

Menyadari dampak kelancangannya, seketika membuat Vikha tersenyum kaku dan merasa bersalah. “Sudah, lupakan saja pertanyaannku tadi. Anggap saja karena aku kekenyangan, sehingga membuat ucapanku ngawur,” Vikha mengalihkan pembicaraan. Ia merasa bersalah karena tanpa sengaja telah kembali membuka luka hati sahabatnya.

Mengangkat topik pembicaraan yang berhubungan atau membawa-bawa nama Richard memang membuat telinga Shanon sangat sensitif, terlebih belakangan ini. Penyebabnya tidak lain karena undangan pernikahan Richard telah tersebar di lingkungan kantor. Bahkan, orang-orang di divisinya, kecuali Tristan terlihat sangat antusias ingin menghadiri acara resepsi megah yang akan berlangsung tiga hari lagi. Awalnya Shanon merasa sangat geram dan telinganya pun terasa panas setiap kali mendengar kabar tersebut, apalagi selama beberapa hari ini sudah menjadi trending topic di area kerjanya, tapi Tristan selalu mengingatkannya untuk tetap mengendalikan diri.

“Aku belum bisa memastikan akan datang atau tidak, Kha,” akhirnya Shanon menjawab pertanyaan Vikha, walau dengan nada datar.

Vikha menyunggingkan senyum kaku karena semakin merasa bersalah, apalagi setelah melihat ekspresi Shanon saat menjawab pertanyaannya. “Maafkan aku, Sha. Aku ….”

“Sepertinya jam makan siang sebentar lagi usai. Sebaiknya kita segera kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaan masing-masing.” Setelah meneguk habis sisa lemon tea di gelasnya, Shanon berdiri terlebih dulu dan secara langsung memotong ucapan Vikha. “Oh ya, Kha, makan siang hari ini aku yang traktir,” sambungnya dan bergegas menghampiri kasir.

Bahu Vikha melemas melihat sikap Shanon. Ia mengetahui jika emosi Shanon saat ini sedang berkecamuk, tapi sahabatnya tersebut mencoba menutupinya. Ia menatap nanar punggung Shanon yang berdiri di depan meja kasir. Ia mengangguk saat Shanon memanggilnya yang telah selesai berurusan dengan kasir. Mereka keluar rumah makan tanpa terlibat obrolan. Bahkan, Shanon hanya membuka mulutnya saat membelikan jus semangka untuk Tristan. Menyadari mood Shanon masih kurang bersahabat, Vikha pun hanya diam. Nanti ia akan kembali meminta maaf, tentunya setelah suasana hati Shanon kondusif.

***

Tristan tersenyum saat melihat Shanon datang membawa jus sesuai dengan permintaannya. Namun, senyumnya perlahan memudar dan berganti dengan kerutan tipis di keningnya saat Shanon berjalan menghampiri meja kerjanya. Ia semakin mengernyit ketika Shanon menyerahkan jus semangka di tangannya dengan ekspresi datar. Bahkan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Kenapa ekspresimu seperti itu, Sha? Kelihatannya kamu sangat merasa terbebani karena aku minta ditraktir segelas jus,” ucap Tristan dengan nada bercanda.

Bukannya memberikan jawaban, Shanon malah mengabaikan candaan Tristan. Melihat tanggapan Shanon seperti itu, mau tidak mau membuat Tristan salah paham. Ia mengambil kesimpulan sendiri dan membenarkan tebakannya, terlebih saat melihat Shanon langsung melengos menuju meja kerjanya.

Terpancing oleh sikap Shanon, Tristan pun langsung mengambil selembar uang lima puluh ribuan di dompetnya, kemudian langsung menghampiri sahabatnya yang telah duduk. “Tadi aku hanya bercanda minta ditraktir jus. Ini aku ganti uangmu dan maaf telah membuatmu repot.” Tristan menaruh uang kertas tersebut di samping mouse, di atas meja Shanon.

Shanon menatap nanar selembar uang kertas yang tergeletak di atas mejanya. Tanpa ia sengaja sikapnya tadi telah membuat Tristan salah paham. Baru saja Shanon ingin mengatakan penyebab dirinya seperti ini, Tristan sudah lebih dulu dipanggil oleh atasan di divisinya dan mereka terlibat pembicaraan serius. Terpaksa ia harus menunggu hingga laki-laki tersebut kembali ke meja kerjanya.

Melalui sudut matanya, Tristan menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh Shanon saat ia menghampiri sang atasan yang memanggilnya. Sepulang kerja nanti Tristan berencana bertanya kepada Vikha mengenai perubahan sikap Shanon, mengingat kedua sahabatnya tersebut tadi makan siang bersama.

***

Tidak terasa jam pulang kantor telah tiba, karyawan di divisi Shanon semua merenggangkan otot-ototnya yang kaku setelah seharian beraktivitas, termasuk Tristan. Laki-laki itu sudah melepas kacamata beningnya dan mendongak sambil memejamkan matanya sebentar agar rileks. Tristan sudah mengetahui penyebab perubahan sikap Shanon setelah tadi tanpa sengaja bertemu Vikha di pantry ketika ia hendak membuat kopi. Tidak perlu menunggu jam kantor bubar untuk menanyakan perubahan sikap Shanon kepada Vikha, Tristan pun langsung mengeksekusi rencananya. Awalnya Tristan menyayangkan tindakan Vikha karena membahas atau menyebut nama yang masih sangat sensitif di telinga Shanon, tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan sahabatnya tersebut, terlebih setelah mendengar penyesalan sang sahabat.

Setelah mematikan komputernya dan merapikan meja kerjanya, Shanon menolehkan kepalanya ke samping. Ia mendapati Tristan tengah bersandar pada kursi kerjanya sambil memejamkan mata. “Tris,” panggilnya pelan, seolah takut suaranya mengganggu acara istirahat sang sahabat.

Merasa namanya dipanggil, Tristan pun langsung membuka mata dan menegakkan kembali tubuhnya. “Iya,” tanggapnya tanpa menoleh ke arah Shanon.

“Hm, apakah kamu mau langsung pulang?” Shanon bertanya sambil berdiri.

“Tidak. Kenapa?” Tristan menatap Shanon sebelum memakai kacamatanya kembali.

“Mau menemaniku jalan-jalan sebentar?” tanya Shanon dengan hati-hati. Kini ia memberanikan diri menghampiri meja kerja Tristan.

Tristan kembali menatap lekat mata Shanon sebelum memberikan jawabannya. “Boleh. Kebetulan ada hal yang ingin aku bicarakan juga denganmu. Tunggu aku di taman sebelum kontrakanmu.” Tristan meninggalkan kursi yang seharian ini didudukinya, dan berjalan mendahului Shanon keluar ruangan. Ia sengaja melakukannya agar tidak menimbulkan gosip di antara rekan kerjanya yang lain mengenai kedekatan mereka.

“Sepertinya Tristan masih kesal padaku,” lirih Shanon tanpa mengalihkan perhatiannya dari punggung Tristan. “Semoga setelah aku memberinya penjelasan, Tristan bisa memaklumi dan memaafkan sikapku tadi,” tambahnya bergumam.

Shanon mengulas senyum saat Anita memanggilnya untuk bersama-sama berjalan keluar ruangan. Sambil berjalan menuju parkiran, Shanon dan Anita terlibat obrolan ringan. Sesekali keduanya tertawa di sela-sela obrolan mereka. Setibanya di parkiran, Shanon bertemu dengan rekan kerjanya yang lain dan mereka pun berbasa-basi sebentar. Usai saling berpamitan, Shanon mulai menjalankan sepeda motornya menuju taman yang dimaksud Tristan tadi.

***

“Tristan.” Shanon melambaikan tangan ketika baru saja memarkir motor dan langsung melihat keberadaan Tristan. Shanon tiba di taman setelah berkendara kurang lebih setengah jam dari tempatnya bekerja. “Sudah lama menungguku?” tanyanya setelah berdiri di samping Tristan yang duduk di bangku beton panjang.

“Hampir sepuluh menit,” jawab Tristan setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

“Maaf ya, Tris,” ucap Shanon sambil mengikat rambutnya yang tadi tergerai. “Oh ya, kenapa sepatunya dilepas?” Shanon menatap heran Tristan saat laki-laki tersebut sudah membuka sepatunya.

“Aku mau mengelilingi taman sambil bertelanjang kaki, sebaiknya kamu juga ikut mencoba, Sha. Rasanya tidak kalah seperti pijat refleksi yang biasanya ada di mall atau spa. Bahkan, di sini menurutku lebih memuaskan karena pijatannya langsung diberikan oleh batu alam, bukan dari tangan terapis.” Tristan menarik tangan Shanon agar mengikutinya melepas alas kaki.

Taman yang dikunjungi Shanon dan Tristan, pada bagian pinggirnya memang sengaja dibuatkan track khusus untuk mereka yang ingin melakukan pijat refleksi secara langsung sekaligus alami. Makanya setiap hari taman ini cukup ramai dikunjungi, terutama oleh orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Selain cocok dijadikan tempat bersantai bersama keluarga, di sini para pengunjung juga bisa menikmati sensasi pijat refleksi yang langsung menggunakan batu-batu alam, tentunya tanpa mengeluarkan biaya dan tidak ada batasan waktu.

Pada akhirnya Shanon pun ikut bertelanjang kaki seperti Tristan. Sebenarnya Shanon belum pernah pijat refleksi, sebab rasa takut sudah lebih dulu menghantuinya saat membayangkan nyeri yang akan dirasakannya. Namun, kali ini ia akan mencobanya dan ingin merasakan sensasinya. Saat ini keduanya sudah menenteng alas kaki masing-masing dan mereka telah siap menikmati pijatan yang diberikan oleh batu-batu alam yang akan dipijaknya.

“Aw!” Shanon meringis pada pijakan pertama saat telapak kakinya bersentuhan langsung dengan permukaan batu alam yang sedikit kasar. Secara spontan ia mengaitkan tangannya yang bebas pada lengan Tristan. “Ternyata benar dugaanku. Pijat refleksi sangat menyakitkan dan membuat telapak kakiku nyeri,” gumamnya di sela ringisannya.

“Kamu belum pernah pijat refleksi, Sha?” tanya Tristan tidak percaya. Ia membiarkan tangan Shanon membelit lengannya, sekaligus memberi waktu kepada sahabatnya itu untuk merasakan sensasi pada telapak kakinya sendiri.

“Belum,” jawab Shanon sambil kembali meringis.

Tristan tersenyum melihat Shanon memejamkan mata karena menahan nyeri di telapak kakinya. Dengan lembut ia memapah Shanon dan mulai mengajaknya berjalan pelan mengitari area taman melalui track tersebut. “Nikmati saja sensasinya, Sha. Perlahan-lahan rasa nyerinya juga akan hilang. Kamu bisa berpegangan pada lenganku sambil berjalan,” ucapnya menenangkan.

Shanon mengangguk sambil sesekali meringis karena rasa nyeri masih sangat jelas dirasakan telapak kakinya.

“Ternyata benar katamu, Tris. Kini nyerinya mulai berangsur hilang,” Shanon berkata setelah berjalan beberapa langkah. Ia pun kini mulai melepaskan kaitan tangannya pada lengan Tristan. “Tris, maafkan sikapku di kantor tadi ya. Aku kembalikan uang yang tadi kamu berikan padaku. Oh ya, aku ikhlas membelikanmu segelas jus,” imbuhnya seraya merogoh saku blazer hitamnya.

“Sudah, kamu ambil saja uangnya.” Tristan menahan tangan Shanon yang masih berada di dalam saku blazer hitamnya. “Aku saja yang kurang peka dan tidak bisa membaca situasi saat meminta traktiran, padahal sekarang sudah masuk tanggal tua,” sambungnya sembari terkekeh.

Melihat Shanon bergeming mendengar tanggapannya, Tristan pun kembali berkata, “Gunakan saja nanti uang itu untuk membeli batagor dua porsi. Kalau kurang, baru kamu tutupi pakai uangmu.” Ia menarik lembut tangan Shanon agar mereka kembali melanjutkan kegiatannya mengitari area taman.

Tanpa penolakan, Shanon membiarkan Tristan menarik tangannya untuk kembali berjalan. Ia menoleh saat mendengar Tristan memanggilnya dengan pelan. “Kenapa, Tris?”

“Sedalam apa luka yang Richard berikan padamu, sehingga membuatmu kini menjadi sosok pemarah? Sampai-sampai saat ada orang yang hanya menyebut namanya saja atau membahas tentangnya, sikapmu langsung berubah drastis.” Seketika Shanon menghentikan langkah kakinya saat mendengar Tristan melontarkan pertanyaan seperti itu.

Tristan membalikkan badan saat menyadari Shanon tidak mengikuti langkahnya. “Apakah pertanyaanku tidak layak mendapat jawaban?” Tristan kembali bertanya setelah mendekati Shanon.

Meski kedua bola mata Tristan terhalang kacamata, tapi Shanon jelas melihat tatapan menuntut dari sahabatnya tersebut. “Semua pertanyaan sangat layak untuk mendapatkan jawaban,” ujarnya dengan nada datar. “Bukan pengkhianatan darinya yang membuatku sangat terluka, melainkan ….”

“Sebaiknya kita ke kontrakanmu saja untuk melanjutkan pembicaraan ini karena aku rasa di sini bukan tempat yang tepat. Keberadaan kita bisa menyita perhatian pengunjung lain,” Tristan menyela saat melihat mata Shanon mulai berkaca-kaca dan nadanya melirih. Setelah Shanon mengiyakan, Tristan langsung menggiringnya mencari tempat duduk agar mereka bisa memakai kembali sepatunya masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status