Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan.
"Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakanSandra mulai ingin tahu soal masa lalu Adriel.
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Mereka sudah keterlaluan!" gerutu Sandra sambil menelusuri jalanan yang masih ramai oleh kendaraan lalu lalang."Suatu saat aku akan menikah dan membuat mereka menyesal telah memperlakukanku dan keluargaku seperti itu." Sandra mengepal kedua tangannya sambil terus melangkahkan kaki.Dia terpaksa meninggalkan orang tua dan adiknya, sebelum kemarahannya tak terkendalikan. Sandra keluar dari rumah neneknya dan memilih pulang sendiri ke kosnya.Tiba-tiba sebuah mobil menyerempetnya yang hendak menyeberangi jalan. Pengemudi mobil itu keluar, menghampiri Sandra yang terjatuh, seorang pria dengan setelan formal. Sandra tak dapat menampik bahwa makhluk di hadapannya itu sangat tampan."Maaf, berapa uang yang harus kubayarkan?" Kekaguman Sandra seketika sirna mendengar ucapannya."Apa? Kamu gak lihat kakiku berdarah?" Sandra yang sejak tadi sudah dirudung emosi, kembali mengangkat suaranya."Justru itu," jawab laki-laki itu dengan santai."Aku mau k
"Selamat malam, Pak, Bu." Adriel menyapa Maria dan Damar, kedua orang tua Sandra."Malam," jawab mereka serentak. Mata mereka tertuju pada Sandra yang sudah berdiri di hadapan mereka."Perkenalkan, saya Adriel, pacarnya ...." Adriel baru sadar, dia belum mengetahui nama gadis yang akan dinikahinya itu. "Cinta," lanjutnya kemudian."Cinta?" tanya Maria heran."Maaf, itu panggilan sayang saya padanya." Adriel tersenyum dibuat-buat sambil melirik Sandra."Sandra, kamu kok gak pernah cerita pada kami?" Maria menatap putri sulungnya yang sudah salah tingkah."Sandra masih belum berani, Ma." Sandra juga memaksa senyumnya."Mungkin Sandra masih ragu pada keseriusan saya. Tapi, kali ini saya akan membuktikan kalau saya serius dan ingin menikahinya." Sandra langsung menahan napasnya, mendengar pernyataan Adriel pada orang tuanya."Oh, maaf atas kelancangan saya. Tidak sepantasnya saya melamar Sandra seperti ini. Sekali lagi maafkan saya, Pak, B
Sementara itu, Adriel langsung menuju ke rumahnya selepas mengantarkan Sandra. Wajahnya tampak lesu, jauh berbeda saat pertama dia keluar dari rumahnya. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi agar dapat segera sampai dan beristirahat. Entah mengapa, malam itu dia merasa lelah sekali.Baru saja sampai di depan rumahnya, Adriel melihat sebuah sedan merah parkir di depan pagar. Tatapannya tajam ke arah mobil itu. Dia melepas napas dengan keras.Seorang asisten rumah tangganya membuka pagar, Adriel langsung masuk ke dalam rumah. Pemilik mobil merah itu segera keluar dari mobil dan menyusulnua ke dalam."Sayang, aku minta maaf atas kejadian tadi." ujar wanita yang keluar dari mobil itu.Dia berlari mendapati Adriel yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Wanita itu masih mengenakan gaun merahnya, yang sengaja dibelikan Adriel untuk acara malam ini. Dengan riang, Adriel datang menjemput dan hendak membawanya ke hadapan kekuarga besarnya."Ak
Adriel sudah menetapkan keputusan sementaranya untuk menikahi Sandra. Tidak ada pilihan, kakek dan neneknya sudah kepalang senang saat Sandra diperkenalkan pada mereka. Sebenarnya, Adriel heran, entah apa yang membuat kedua orang tua itu menyukainya.Adriel teringat pada ponsel gadis itu yang telah habis diperiksanya beberapa malam yang lalu. Entah mengapa juga, rasa penasarannya mencuat hingga dia tak sadar pagi sudah menjelang. Dia masih sibuk mengotak-atik ponsel si gadis.Hari itu, dia, Dewanda dan Melati pergi ke tempat kediaman orang tua Sandra untuk menyampaikan lamaran. Awalnya, Adriel tidak ingin melakukan prosesi itu. Namun, karena dikira pernikahan mereka adalah sungguhan, Dewanda memaksa untuk melaksanakannya sebagai penghormatan kepada calon besan.Sebelumnya, Adriel telah menghubungi Sandra untuk juga pulang ke kampungnya."Kami akan berangkat besok," beritahu Adriel lewat telepon."Aku gak bisa. Aku gak bisa libur mendadak, harus izin tig
"Bapak kenal dengan ibu Ani?" tanya Damar tak menyangka."Iya, saya pernah bertemu dengannya dulu." Dewanda melirik istrinya dan Adriel bergantian."Di mana beliau sekarang?" tanya Dewanda pada Sandra."Dia dibawa ke rumah sakit di pinggir kota. Puskesmas di sini tidak mempunyai peralatan yang lengkap untuk menanganinya. Dia terkena serangan jantung," terang Sandra."Kita ke sana, Pak?" Maria tampak cemas sekali mendengar berita tentang ibu Ani, pendiri dan pemilik panti asuhan Belaian Kasih itu."Tapi ...." Damar melirik tamunya sejenak."Tidak apa, Pak. Kami juga ingin melihat keadaannya." Dewanda mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh calon besannya itu. Melati dan Adriel menoleh padanya secara bersamaan.Tanpa diskusi panjang, mereka langsung berangkat ke rumah sakit, tempat wanita yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu. Sandra ikut bersama Adriel di mobil, sementara Damar dan Melati memilih untuk naik sepeda motor saja deng