Share

The First Day

"Menikah denganku ...," sebut Diana itu akan permohonan memilih satu opsi dari Chanyeon. Kilatan matanya terfokus ke arah lelaki jangkung rupawan, namun menjengkelkan itu dengan jemawa.

Sepertinya benar jika keangkuhan bisa lumpuh dengan keangkuhan pula. Bibir Chanyeon yang semula menukik senyum arogan karena merasa yakin sekali akan bisa mengindahkan permohonan Diana, kini mengurai pasrah. Sesaat ke depan Chanyeon pula bermonoton geming dengan tatapan kosong ke arah Diana. "Sepertinya aku memang hendak memenangkan adu keangkuhan saat ini." Batinnya penuh kepuasan.

"Mianhae, Oppa. Aku seorang perempuan muslim, sangat tidak diperbolehkan jika aku harus tinggal serumah hanya berdua dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan darah sedikitpun. Pula--"

"Apa yang harus aku lakukan jika aku menikah denganmu?" tukas Chanyeon Menatap tajam Diana.

"Mwo?" Diana menjadi salah tingkah dengan sikap Chanyeon yang mendadak menaruh minat. Kilatan mata Chanyeon pula terlihat tengah berbalik menantangnya.

"Hal apa yang harus aku lakukan sebelum menikah, hmm?"

Sekalipun nada bicara Chanyeon tidak membentak, mendapati sedikit penekanan dengan satu oktaf saja, Diana mendadak tersentak. Ia meneguk ludahnya dan parahnya jantungnya mulai berdebar was-was. "Aish! Apa maksudnya dia menanyakan hal apa yang harus dilakukan sebelum menikah?!" benaknya.

"Ya! Apa yang harus aku lakukan, Agassi?" ulang Chanyeon.

"Hmm ...." Menjadi sangat salah tingkah. Berdalih menggaruk rambutnya sesaat.

"Kau pula harus berpindah keyakinan agama selaras denganku karena seorang perempuan muslim tidak akan sah menikah dengan lelaki yang berbeda keyakinan dengannya," jawab Diana itu dengan keberanian penuh yang dipaksakan.

"Jika aku tetap tidak mau mengubah keyakinanku dan bersikukuh menikah denganmu, itu tetap tidak boleh?" Mencari celah keringanan.

"Tidak. Hubungan pernikahan itu tidak akan pernah sah jikapun kita menikah sesuai aturan negara, dan tercatat status menikah di dalamnya. Itu tetap tidak sah sesuai agamaku. Dan hubungan percampuran suami istri yang akan terjadi akan dianggap zina. Dan itu sungguh dosa besar dalam ajaran agamaku," jelas Diana, namun sesaat ke depan ia merutuki mulutnya karena telah berbicara terlaku jauh hingga menyangkut perzinaan pula, seolah-olah ia akan melakukan hal itu dengan Chanyeon jika pernikah itu terjadi. Aish! Tidak!

"Kau sedang cari perhatian ke arahku, ya? Kau sedang merampas hakku?" Kilatan mata Chanyeon terlihat tersinggung.

Diana bertambah salah tingkah lagi. "Bukan itu maksudku. Aku hanya menjelaskan yang seharusnya kau tahu sekalipun kita tak akan melakukan hubungan suami istri seperti seharusnya, 'kan?" Mencoba tertawa kecil dengan penuh kecanggungan.

"Lalu, untuk apa kita menikah jika seperti itu?" Chanyeon melipat keningnya.

"Mwo? Aku hanya ingin menikah denganmu sebagai bentuk penjaagan saja. Aku--

"Kau menganggapku seperti preman-preman yang mengganggumu tempo lalu, hah?! Kau pikir aku senakal itu?!"

"Tidak. Bukan maksudku seperti itu, hanya saja--"

"Baiklah, aku akan menikahimu, Agassi."

Diana yang tengah menyesap cokelat panasnya yang mulai mendingin itu tersedak, hampir memuntahkannya, namun berhasil ia tahan.

"Mwo? Kau serius?" tanyanya, penuh tak kepalang akan percaya, setelah menelan seduhan cokelatnya, meletakkan cangkirnya di meja.

"Aku serius. Bukankah ini yang kau mau. Kau sudah puas, hmm?"

Diana tetap bergeming. Meneguk ludahnya. "Sungguhkah keadaan berbalik arah 360 derajat sekarang?" rutuknya dalam benak. 

"Lagi pula, kita hanya menikah diam-diam, 'kan? Tiga bulan juga waktu yang sebentar. Tidak ada masalah sedikitpun. Managerku akan segera menghubungimu untuk mengurus semua ini," timpal Chanyeon lagi, ia membenarkan coat yang dikenakannya, menilik jam di arloji yang tersemat di sebelah tangan.

Di tempat duduknya, Diana masih bergeming tak percaya akan keputusan Chanyeon yang barusan didengarnya. Bagaimana mungkin, idol itu menganggap semua ini enteng, padahal ini menyangkut menggadaikan agamanya. Bagaimana mungkin? Diana sungguh tetap tak percaya.

"Restoran akan buka tiga puluh menit lagi. Aku akan pergi sekarang. Dan sebaiknya, kau tenangkan saja dulu dirimu di sini. Kau bisa keluar dari restoran ini lima belas menit kemudian, Agassi." Chanyeon mengatakannya dengan iringan senyum yang terkilat menjengkelkan. Senyum itu bukan senyum tulus, namun senyum meremehkan yang harus dileburkan.

Benar. Diana ingin sekali meleburkan senyum yang meremehkan itu. Ia sungguh tidak peduli seberapa memesona lengkungan bibir itu di sana. Ia sungguh tidak peduli. Tapi, nyatanya sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Permohonannya sudah diindahkan oleh Chanyeon dengan mudahnya. Alih-alih meleburkan keangkuhan pada diri idol itu, ia sendiri yang semakin melebur hingga habis tak menuai apa pun selain kekecewan dan penyesalan.

Menarik permohonan? Itu tidak mungkin. Ini sama saja merendahkan harga dirinya setelah ia jemawa dengan tak tahu apa itu arti malu. Ia sungguh kecewa, pula menyesal, tapi ia sungguh tidak berbuat apa-apa sekarang selain mengikuti alur yang dibuatnya sendiri ini.

"Sampai jumpa lagi. Annyeong ...."

Chanyeon memgangkat pantatnya, meninggalkan Diana yang masih bergeming dengan hati bergemuruh akan penyesalan dan kekecewaan.

Keangkuhan yang bisa lebur dengan keangkuhan pula, nyatanya tidak demikian bisa terkonsepkan.

***

Seperti yang dimohonkan Diana, tapi tidak diharapkannya. Pernikahan secara sir itu cepat terlaksana, walau sebelumnya sempat terhalang akan laku Om-nya yang tetap tidak mengizinkannya bertindak gegabah begitu, lalu bungkam kepada orang tuanya di Indonesia.

Tak ada lagi yang perlu diharapkan kecuali menerimanya dengan lapang. Di siang hari yang tetap dingin ini, ia mulai beralih tempat tinggal dari apartemennya ke rumah besar Chanyeon.

"Kau sudah paham apa saja tugasmu, 'kan?"

Diana masih saja diam, ia malah sibuk berjalan ke sekitar rumah besar Chanyeon setelah lelaki jangkung pemilik rumah itu menjelaskan tugas-tugas untuknya, menyimak interior rumah itu. Dengan terpaksa Chanyeon pun membuntutinya.

Rumah pribadi Chanyeon ini memiliki tiga lantai dengan luas 194 meter persegi. Pula sangat menonjol dari lainnya karena desain rumahnya berbeda dari rumah tetangga.

Sangat berbeda. Pasalnya rumah ini menggunakan batu bata untuk bagian luar rumah, sehingga terkesan menyatu dengan lingkungan dan mencerminkan pola yang terlihat di Istana Kyongbok. Pula menggunakan lantai kayu ek alami, veneer abu, kayu lapis, dan cat di interior.

Di lantai dasar berisi ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Ruang tamu memiliki beberapa partisi yang berfungsi ganda sebagai area penyimpanan dan tampilan. Serta sapur kecil bergaya modern dan minimalis.

Di lantai dua, Diana menemukan ruang keluarga dengan desain minimal, kamar tidur utama milik Chanyeon, serta ruang tidur tamu.

"Kau bisa langsung beranjak ke kamarmu, Agassi," sela Chanyeon yang mulai jengah menguntiti Diana yang kepo akan isi rumahnya.

Diana yang tengah mengamati, sekaligus terkagum dengan lukisan hiperealis setengah dada Chanyeon dalam ukuran 60x45 cm yang terpasang di dinding tengah ruang keluarga, berpaling, melirik ke arah Chanyeon di sampingnya.

"Ikuti aku!" perintah Chanyeon, beringsut berlalu.

"Ya! Aku belum sempat bertanya lukisan karya siapa ini, Oppa?" sungut Diana. Tetap abai, melengok menatap lukisan hiperealis lagi di dinding tengah ruang keluarga.

"Wah, daebak! Lukisan ini seperti memiliki nyawa. Ya! Apa aku tertipu, ini sebuah fotografi, 'kan? Eh, ini yang dinamakan lukisan hiperealis, ya?" kagumnya seraya sebelah tangannya mencoba menyentuhnya, merutuk tidak percaya akan kedetailan lukisan wajah Chanyeon itu yang sungguh seperti tidak absen satu gurat pun dari tampakan wajah aslinya.

Dengan terpaksa Chanyeon menghentikan langkahnya. Berbalik.

"Kau tahu Joongwong Jeong yang melukis kembali sosok dalam karya seni klasik seperti patung dada Venus de Milo, Seneca, dan Adam versi pelukis renaissance legendaris Michaelangelo?"

"Ah, tidak. Memang kenapa? Dia yang melukis ini?" Melirik sesaat.

Chanyeon menghempaskan napas. "Hmm."

"Ini sungguh lukisan? Bukan fotografi?"

"Bukan. Itu adalah jenis lukisan hiperrealisme, lukisan yang menyerupai foto dengan resolusi tinggi."

Diana mengangguk-angguk. Bergantian menatap lukisan dengan wajah Chanyeon yang asli.

"Pasti lukisan ini begitu mahal. Kau membelinya berapa won?" komentarnya.

"Apa itu penting?" Chanyeon menjawab malas.

"Ah, tidak," jawab Diana dengan semangat menurun mendapati tatapan masygul Chanyeon yang langsung beringsut berlaku lagi, abai dengannya.

Diana melenguh lesu. Ia sedikit berlari seraya menarik koper besarnya, merutuk kenapa lelaki jangkung itu berjalan dengan sangat cepat, namun terlihat santai. Ini sungguh merepotkan.

"Kemasi barang-barangmu. Setelah itu kau bisa langsung bekerja, Dina," tukas Chanyeon setelah sampai ke depan pintu kamar yang akan Diana tempati. Lalu memberikan tablet yang biasa digunakan untuk mengontrol rumahnya.

"Ya! Namaku bukan Dina!" sungut Diana setelah menerima tablet dari Chanyeon.

"Mwo?"

"Kau salah lagi, Oppa." Menatap sebal.

"Mwo? Salah lagi?"

Diana mengangguk masygul. "DI-A-NA!" tekannya.

Chanyeon tetap bergeming. Ia malas membahas nama itu lagi, seklalipun ia jelaslah membutuhkan nama itu di saat tertentu.

"Atau kau bisa memanggilku Di. Itu mudah, 'kan?"

Masih tetap bergeming. Diana cemberut karena diabaikan.

"Ayo, coba panggil aku dengan Di ...." Berceloteh lagi.

Chanyeon tetap saja membisu. Diana menghembuskan napas kesal.

"Anna .... Aku akan memanggilmu Anna," tukas Chanyeon.

"Mwo?"

"Aku akan memanggilmu Anna. Bukankah itu lebih baik?"

Diana tetap bergeming. Mempertimbangkan sebutan baru untuknya.

"Baiklah, Anna. Selamat datang di rumahku dan selamat bekerja," lanjut Chanyeon itu, tak menginginkan banyak waktu terbuang percuma.

Mendapati punggung Chanyeon yang berbalik, menjauh dari arahnya, Diana mengehmbuskan napas panjang. "Hmm, terserah kau sajalah ...." Mengalah. Tapi, sesaat kemudian ia mengingat sesuatu yang terlewatkan.

"Oppa," serunya.

Tanpa membalik badan atau pun sekedar melirik, Chanyeon menyahut malas, "Mwo?"

"Kau belum mengantarkanku ke lantai tiga," sahut Diana semangat.

Chanyeon meneguk ludah. Masih tanpa menoleh sedikitpun, ia menyahut lagi, "Mengantarkanmu? Bukankah aku justru menguntitmu dari tadi?"

Diana baru menyadari itu. "Oh, uhmm ...." Menjadi salah tingkah.

"Kau bisa memeriksanya sendiri. Di sana hanya berisi studio musikku dengan akses dua teras rooftop," jawab Chanyeon, berlalu begitu saja lagi.

"Oh, uhmm. Baiklah ...," sahut Diana. Lelaki itu sudah tidak terlihat, tenggelem ke bawah anak tangga.

"Apakah ia benar-benar sedingin ini di kehidupan nyata, hah?!" rutuknya.

Sesaat kemudian terdengar derap langkah Chanyeon kembali tergesa, wajahnya masygul seraya berucap, "Anna!"

Membuat Diana yang baru saja membalikkan badan menoleh ke muara suara. "Oh," timpalnya terkejut.

"Aku lupa memberitahu pin kamarmu."

"Oh." Menjawab singkat lagi.

Dengan cepat Chanyeon memberitahukan pin dengan enam digit angka, lalu tergesa kembali berlalu.

"Gomawo, Oppa," seru Diana, lagi-lagi ia sudah tinggal, diabaikan begitu saja.

Sesaat terdengar derap langkah tergesa lagi, Chanyeon kembali.

"Aish! Aku lupa lagi akan hal lain."

"Mwo?"

"Kau harus segera berbelanja. Aku hanya tinggal mempunyai kimchi saja di dalam kulkas."

"Arasseo."

"Dan ... kalung itu ..."

Diana menautkan alisnya.

 

Dian Haura

Arasseo: aku mengerti Daebak: hebat

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status