Lea melangkah mundur, namun sayangnya tidak ada ruang lagi untuknya menghindar karena persis di belakang tubuh wanita itu terdapat sebuah lemari kaca berisi beberapa piagam. Wajah pucat wanita itu membuat Zen mengerutkan dahi tidak mengerti.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya Zen seraya meletakkan gelasnya di atas meja terdekat.
Lea tak mampu menjawab. Wanita itu terus menatap ketakutan ke arah Bram dengan deru napas yang memburu.
"Hei, Sweet Cake. Lihat aku!" Zen berusaha meraih tubuh Lea, namun wanita itu refleks membuat gerakan menghindar.
Sadar menjadi sorotan para tamu di sana, Lea menoleh pada Zen dengan mata berkaca-kaca.
"A-aku ...." Tenggorokan Lea rasanya tercekat. Untaian kata yang sudah sampai di ujung lidah pun rasanya sangat sulit untuk dia keluarkan. Wanita itu hanya mampu menatap pias pada pria yang mengajaknya ke pesta tersebut.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Lea berbalik. Dia berlari meninggalkan Zen tanpa tahu ke mana arah yang
Dalam waktu singkat, gaun sutera mewah yang melekat di tubuh indah Lea sudah terkoyak akibat sabetan ikat pinggang Bram. Lea menjerit. Wanita itu ketakutan setengah mati, namun dia begitu lemah ketika berhadapan dengan ayah tirinya itu. Rambutnya yang digelung sudah terurai di beberapa bagian. Riasan cantiknya kini tertutup dengan noda hitam campuran antara maskara dengan air mata. Penampilan wanita itu tampak sangat mengerikan. Kesan anggun dan elegan yang sempat menyambutnya tadi seolah sirna begitu saja.Jeritan dan rintihan memenuhi ruangan. Di saat seperti ini, hanya satu nama yang muncul di kepala Lea. Zen Aberdein. Untuk pertama kalinya, Lea sangat berharap Zen datang dan segera menolongnya."Memohonlah, Sayang. Aku akan memberimu kenikmatan yang pasti sudah sangat kau rindukan." Pria yang hanya mengenakan celana panjang tanpa ikat pinggang itu meraih tubuh Lea. Dalam sekali hentak, pria itu mampu membalik tubuh Lea hingga menghadap dirinya. Dua tangan wanita it
Dengan cara dipanggul di pundak, Lea dibawa masuk ke mansion. Arthur membawa wanita itu meninggalkan pesta terlebih dahulu sementara Zen masih harus menyelesaikan beberapa urusannya di pesta tersebut.Lea sama sekali tidak memberontak saat Arthur memanggulnya masuk ke mansion. Menilik apa yang pernah dia dengar dari para penjaga tentang Zen, Lea tidak berani berharap banyak. Jika memang dia harus mati di tangan pria itu, maka itu adalah takdir. Lea sudah lelah melawan takdir, lelah berlari dan bersembunyi. Wanita itu hanya bisa menatap hampa pada lantai dan pergerakan kaki Arthur yang terus membawanya masuk ke dalam mansion."Tuan Zen akan segera kembali. Saya akan membawa Anda ke kamar," ujar Arthur untuk pertama kalinya sejak pria itu membawanya keluar dari hotel.Sama sekali tidak tertarik untuk menjawab karena kepala Lea telah dipenuhi pikiran bahwa dirinya akan segera menemui siksaan memyakitkan dari Zen. Yang tidak Lea sadari adalah ke mana Arthur membawan
Lea menatap Zen dengan tatapan hampa seolah dunianya memang sudah di ambang kehancuran. Wanita itu merasa hidupnya sudah berada di tepi jurang kematian. Entah dengan cara mudah atau sulit, ini memang sudah menjadi takdirnya."Do it," ucap Lea lirih.Dia meminta Zen untuk segera melakukan apa pun yang ingin dia lakukan terhadapnya. Karena dia sudah menyiapkan dirinya untuk semua rasa sakit itu."Selesaikan urusanmu denganku seperti yang kau katakan tadi." Wanita itu terdengar sangat putus asa.Zen masih berdiri di tempatnya dengan ekspresi datar. Bahkan saat melihat sebulir air mata mengalir dari manik itu, dia tetap bergeming tak menghiraukan permintaan Lea. Pria itu baru bergerak saat Lea menurunkan kakinya ke lantai, namun tak begitu terlihat perbedaannya.Kaki telanjang Lea menapaki lantai marmer di bawahnya dengan pelan. Setapak demi setapak wanita itu mengikis jarak dengan Zen hingga dia berhenti sekitar satu meter di hadapan pria itu. Dia men
Rencana sudah dijalankan. Jika ingin bermain licik maka Zen adalah ahlinya. Arthur adalah eksekutor yang handal. Bukan hanya eksekutor, pria berbadan tegap itu juga ahli dalam mengatur strategi bisnis gelap yang mereka jalani. Kerap kali Zen bertukar pikiran dengan pria itu dalam mengambil tindakan. Alhasil, nama besar Aberdein dan tangan kanannya sangat disegani di kalangan pebisnis ilegal."Serahkan semuanya pada saya, Tuan. Dalam 48 jam, Anda akan menerima kabar baik." Arthur mengambil amplop berisi uang tunai senilai 50 ribu dollar dari atas meja untuk melancarkan aksinya. Nilai yang tidak seberapa bagi seorang Zen Aberdein."Aku percaya padamu. Pastikan bajingan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bisnisnya hancur." Zen mengepalkan tangan dengan tatapan menyorot tajam ke depan. Lalu dia mengalihkan pandangan pada Arthur. "Begitu rencana ini berhasil, segera kirim bukti kehancurannya padaku.""Baik, Tuan. Saya pastikan Anda akan mendapatkan bukti-bukti itu tak lebih
Sejak terakhir kali Lea bertemu Zen, ini sudah masuk hari keempat dirinya tidak melihat pria itu di mansion. Wanita itu duduk sendirian di taman anggrek yang ada di sayap timur mansion. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat mengingat apa yang dilakukan Zen untuknya."Dia ...." Lea menggigit bibir tak kuasa menahan senyum saat mengingat sikap manis pria itu.Lea sama sekali tidak menyangka jika Zen akan melakukan apa yang selama ini sangat ingin dia lakukan. Zen akan mewujudkan mimpinya untuk melihat Bram hancur. Memang terkesan kejam, tapi itu adalah hal yang paling diinginkan Lea dalam hidupnya."Benarkah kau melakukan ini untukku?" gumam Lea. Mendadak hatinya menghangat. Zen tidak hanya sempurna secara fisik, tapi juga memiliki kehangatan di balik kekejamannya."Apa yang kakakku lakukan untukmu?" Tiba-tiba terdengar suara Ryn dari arah belakang Lea.Gadis itu menekan tuas kursi rodanya mengarah pada Lea lantas berhenti persis di hadapan wanit
Rasanya malam-malam yang dilalui Lea di kamar Zen terasa lebih lama dari biasanya. Dia ingin melupakan apa yang dikatakan Ryn tempo hari tentang wanita-wanita yang bersama Zen, namun dia tidak bisa melakukannya. Tetap saja ucapan Ryn menggaung di kepalanya seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.Di saat harapannya mulai muncul. Di saat hatinya mulai tersentuh dengan kebaikan yang Zen lakukan untuknya, Lea harus berada di tengah dilema."Jika yang dikatakan Ryn benar, apa Zen akan melakukan hal yang sama padaku seperti yang dia lakukan terhadap wanita lainnya?" gumam Lea.Wanita itu mendesah kasar. Udara dingin yang berembus di balkon kamar Zen menyergap tubuh Lea yang hanya terbalut gaun tidur tipis. Dia memeluk tubuhnya sendiri kala merasakan hawa dingin itu kian menusuk."Rasanya kepalaku mau meledak hanya karena memikirkan masalah ini." Lea bermonolog.Merasakan kepenatan di kepalanya, Lea mengenakan mantel lantas keluar dari kamar.
"Nona Lea!" seru Matt.Pria itu mengayunkan stik drum yang sempat dia ambil dari atas meja ke arah kalajengking yang baru saja menyengat lengan Lea. Lantas dia membunuh kalajengkung itu. Sempat merintih menahan sakit beberapa saat, akhirnya Lea tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu terkulai tepat pada saat Matt menadahkan tangan untuk menangkapnya."Nona! Nona! Bertahanlah!" seru Matt.Tidak berpikir panjang, pria itu segera mengangkat tubuh Lea. Dia berlari secepat yang dia bisa untuk membawa Lea kembali ke kamar majikannya."Ambil bangkai kalajengking di ruang musik. Bawa kepada Dr. Clint lalu minta Dr. Clint datang ke kamar Tuan Zen sekarang juga!" seru Matt pada penjaga pertama yang dia lihat di koridor."Apa yang terjadi?" tanya rekannya."Nona Lea tersengat kalajengking. Cepatlah, sebelum terlambat," balas Matt.Rekan pria itu segera melakukan perintah Matt. Sementara Matt kembali berlari membawa Lea ke kamar."Bertahanlah, Nona. D
Berdiri di samping tempat tidur adik kandungnya, Zen melayangkan tatapan tajam menghujam kepada gadis belia itu. Dia sangat yakin jika apa yang terjadi pada Lea adalah ulah Ryn. Selama ini dia sudah cukup menahan diri untuk tidak melakukan apa pun atas apa yang dilakukam oleh Ryn jika menyangkut tentang wanitanya. Namun kali ini, Zen merasa adiknya tersebut sudah sangat keterlaluan."Kau mengganggu tidurku," ujar Ryn dengan nada malas lalu menarik selimut yang berada di ujung ranjang dengan satu kakinya yang masih dapat berfungsi.Semakin geram karena diabaikan, Zen mendekat ke arah ranjang lalu menarik lengan kecil adiknya hingga tubuh gadis belia itu terangkat dengan paksa."Aw! Kau menyakitiku, Zen!" protes Ryn.Namun Zen tidak mengindahkannya. Pria itu membuat adiknya terduduk di atas tempat tidur. Setelah itu dia membungkukkan badan, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Ryn. Kedua matanya tajam menyorot ke dalam iris kelam di balik kelopak mata Ryn yang m