Berdiri di samping tempat tidur adik kandungnya, Zen melayangkan tatapan tajam menghujam kepada gadis belia itu. Dia sangat yakin jika apa yang terjadi pada Lea adalah ulah Ryn. Selama ini dia sudah cukup menahan diri untuk tidak melakukan apa pun atas apa yang dilakukam oleh Ryn jika menyangkut tentang wanitanya. Namun kali ini, Zen merasa adiknya tersebut sudah sangat keterlaluan.
"Kau mengganggu tidurku," ujar Ryn dengan nada malas lalu menarik selimut yang berada di ujung ranjang dengan satu kakinya yang masih dapat berfungsi.
Semakin geram karena diabaikan, Zen mendekat ke arah ranjang lalu menarik lengan kecil adiknya hingga tubuh gadis belia itu terangkat dengan paksa.
"Aw! Kau menyakitiku, Zen!" protes Ryn.
Namun Zen tidak mengindahkannya. Pria itu membuat adiknya terduduk di atas tempat tidur. Setelah itu dia membungkukkan badan, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Ryn. Kedua matanya tajam menyorot ke dalam iris kelam di balik kelopak mata Ryn yang m
Jika benar Angel's Eye adalah salah satu benda milik organisasi rahasia yang memegang kendali dunia seperti yang dikatakan Clint, maka Zen sedang berhadapan dengan sesuatu yang sangat besar. Berapa pun sumber daya yang dia miliki, semua akan sia-sia. Tak akan mampu melawan organisasi setan itu."Kau yakin benda ini milik mereka?" Zen menyipitkan mata ke arah Clint.Clint melipat tangan di pinggang lalu dia mendesah pelan. "Aku kenal sesorang dari organisasi itu. Tidak banyak, tapi dia pernah bercerita tentang simbol organisasi mereka. Ada beberapa benda di dunia ini yang diagungkan menjadi simbol organisasi itu. Sebuah organisasi yang akan selalu menjadi mata dunia. Kau tidak tahu seberapa mengerikannya tujuan mereka, Zen. Mereka mendoktrin anak-anak dan remaja di seluruh dunia dengan isu dan tren yang akan menghancurkan generasi muda. Mereka iblis, Zen. Mereka memiliki kekuatan di seluruh dunia yang tidak akan pernah bisa kau sentuh meski kau mengorbankan seluruh hidu
Kepanikan seketika menyelimuti mansion saat terdengar suara Zen berteriak meminta para penjaganya membawa Clint untuk datang ke kamar. Matt yang saat itu bersiaga di depan pintu sekejap melihat situasi di dalam kamar. Saat mendapati Lea telah sadarkan diri namun dalam keadaan histeris, Matt bergegas meninggalkan posnya untuk memanggil Clint."Aku tidak dapat melihat apa pun! Kenapa semua gelap seperti ini? Di mana cahayanya? Zen? Kau di mana? Kenapa aku tidak dapat melihat apa-apa? Zen?" Lea terus meracau. Wanita itu duduk sambil menggerakkan tangannya ke sembarang arah seolah sedang mencari pegangan."Sweet Cake, tenanglah! Hei, aku di sini." Zen berusaha menenangkan.Pria itu menahan tangan Lea yang bergerak tak tentu arah. Dalam cekalannya, tangan Lea gemetar. Air mata mulai membanjir dari balik kelopak matanya."Aku buta, Zen ... aku tidak mau menjadi buta! Berikan aku cahaya! Aku tidak mau menjadi buta!" jerit Lea. Wanita itu terus memberontak, merau
Laju Buggati La Voiture Noire itu semakin kencang meski diapit oleh tiga kendaraan di sekitarnya. Tak gentar sedikit pun, Zen yang hanya seorang diri terus melaju, mempermainkan orang-orang yang sengaja menginginkan dirinya terluka."Aku ingin melihat seberapa tangguh kalian," ujar Zen dengan mata menyipit.Sebuah siasat telah dia pikirkan. Menghadapi ancaman tanpa back up sudah bukan hal asing lagi bagi Zen. Dia tidak takut sama sekali. Justru momen seperti ini adalah saat yang dia nanti untuk mengetahui apakah kemampuannya masih bisa diandalkan. Salah satu cara untuk mengasah kemampuan bertahannya."Let's play the game!" seru Zen dengan satu sudut bibir tertarik ke atas.Dari arah depan ada sebuah truk ekspedisi yang melaju dengan kecepatan standar. Kesempatan bagi Zen. Pria itu memperhitungkan jarak dan waktu yang tepat sebelum membanting stir ke kiri dengan tiba-tiba. Tak pelak badan mobil yang mengapitnya dari sisi kiri tertabrak oleh bagian depan mo
"Shit!" Zen mengumpat keras saat mendengar bunyi sirine dari mobil Sheriff meraung-raung, mendekat ke arahnya.Berlari memsuki ladang jagung yang masih utuh, Zen menyelinap di antara tanaman semusim itu. Dia terus bergerak ke arah utara untuk mencapai jalan utama. Tidak! Zen tidak akan bertindak bodoh dengan berlari atau berjalan kaki ke tempat yang dia tuju. Setidaknya, dia butuh kendaraan yang bisa mengantarkannya ke jalur utama dengan aman. Tanpa menarik perhatian dari aparat penegak hukum yang kini telah tiba di lokasi, di mana empat mayat tergeletak dan bangkai mobil yang masih terbakar. Zen terus bergerak dengan gesit.Iris kelam Zen bergerak liar mencari jalan keluar untuk bisa lolos dari Sheriff. Pria itu menarik satu sudut bibirnya ke atas kala melihat gudang jerami yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya bersembunyi. Dia kenal dengan pemilik ladang itu, dan dia tahu apa saja yang ada di dalam gudang tersebut.Berlari menyibak tanaman jagung yang m
"Zen Aberdein. Kau tidak akan bisa lolos lagi."Suara pria asing yang tak pernah dia dengar menyapa gendang telinga Zen."Oh, not again," keluh Zen malas.Baru saja Zen membersihkan luka-luka yang ada di tubuhnya, kini dia harus kembali menghadapi ancaman. Rasa panas dan perih di punggung tangan yang dia gunakan untuk menghajar keempat pria sebelumnya belum menghilang. Bukan masalah jika harus berkelahi lagi. Dengan tangan kosong pun Zen selalu siap membantai orang-orang itu. Namun, rasa malas untuk meladeni penjahat kacangan seperti mereka membuat minat Zen untuk berkelahi sedikit berkurang."Jalan!" Pria di belakang Zen berdesis sembari menambah tekanan senjatanya di kepala Zen.Tidak ingin membuat gaduh yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian di tempat itu, Zen pun melangkah mengikuti apa yang dikatakan pria di belakangnya. Melangkah dengan sesekali di tendang di bagian kaki, membuat Zen harus betul-betul menahan diri untuk tidak menghabisi
Tiba di salah satu hotel miliknya di Corpus Christi, Zen langsung mendapat sambutan dari anak buahnya. Arthur, melangkah paling depan menyambut sang tuan yang tampak babak belur. Meski samar, namun raut khawatir itu masih bisa dilihat oleh Zen."Berhenti menatapku seperti itu, Art! Aku tidak akan mati hanya karena luka kecil seperti ini," ujar Zen.Pria itu terus melangkah. Bahkan saat melewati Arthur, dia sama sekali tidak berniat berhenti sekadar untuk membuat tangan kanannya itu merasa tenang."Berapa banyak yang Anda hadapi, Tuan?" tanya Arthur.Tak perlu diminta, tangan kanan Zen itu lantas memutar badan mengikuti langkah kaki tuannya menuju lift untuk menuju ke ruang kerja Zen di lantai teratas hotel tersebut."Tujuh." Zen berhenti di depan pintu lift, menunggu pegawai yang sigap memberi akses pada Zen untuk memasuki lift. "Dalam dua serangan," lanjut Zen seraya melangkah masuk ke dalam lift begitu pintu berwarna silver itu terbuka.Membalik
Melaju membelah jalanan, kecepatan mobil yang ditumpangi Zen melebihi rata-rata. Tidak peduli pada batas kecepatan yang harus dia patuhi, pria itu terus melaju menuju Brownsville. Jarak sepanjang 164 mil dari Corpus Christi ke Brownsville yang normalnya bisa dijangkau dengan waktu sekitar 2,5 jam, di tangan Zen ... 164 mil itu bisa dijangkau dalam waktu hampir separuhnya. Perasaan tidak tenang adalah pemicu kenapa Zen ingin segera tiba di mansion."Di mana Clint?" Zen bertanya pada penjaga pertama yang dia temui setelah menginjakkan kaki di mansion."Dokter Clint ada di laboratorium, Tuan." Bukan hanya penjaga itu, seluruh penjaga yang ada di mansion telah menerima pesan dari Clint. Agar ketika Zen menanyakan keberadaannya, mereka dapat menjawab dengan benar dan tidak akan mendapat masalah."Apa terjadi sesuatu selama aku tidak ada?" Zen bertanya sambil terus melangkah.Dia berharap tidak akan mendengar berita yang tidak mengenakkan selama dirinya meningg
Perlu beberapa menit untuk sampai di tempat yang dia tuju. Zen memang memberikan perintah agar kamar Ryn tidak pernah dikunci. Dia ingin sewaktu-waktu bisa masuk ke dalam kamar itu. Mengingat seberapa sakit jiwanya Ryn, Zen tidak ingin membuang waktu hanya untuk membobol pintu kamar yang dikunci.Melangkah masuk ke dalam kamar yang lampunya telah dipadamkan, Zen menyisir kamar tersebut. Hanya mengandalkan cahaya temaram dari jendela yang tirainya dibiarkan terbuka, Zen meneliti setiap sudut kamar untuk mencari sesuatu yang sekiranya mencurigakan."Apa yang kau lakukan di kamarku, Zen?" Tiba-tiba terdengar sebuah suara serak khas orang yang baru saja terbangun dari tidur.Tidak terkejut, Zen memutar kepala. Dia menengok ke arah ranjang di mana Ryn—adiknya—tengah duduk bersandar pada headboard dengan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Gadis itu menatap tidak tertarik pada satu-satunya keluarga yang masih dia miliki itu."Kau belum tidur?" Zen meletakk