LAGI-LAGI mimpi terkutuk itu mendatanginya.
Raffa mengumpat berulang kali sembari mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dia tidak berniat memimpikan kejadian malam itu lagi dan lagi, tapi seperti kaset usang yang rusak, mimpi itu terus-menerus mendatanginya dengan intensitas sentuhan yang semakin tinggi.
"Sial!"
Raffa mendesah kasar sembari mengelus miliknya yang menegang di balik celana. Jika saja tadi ia memilih membawa pulang salah seorang wanita, mungkin situasi seperti ini tidak akan terlalu menyesakkan. Masalahnya, sejak kejadian malam itu, dia menjadi tidak bernafsu dengan wanita manapun selain wanita yang ia temui di pesta pernikahan sepupunya.
"Sialan, gue perlu nikah kalau kayak gini terus!"
Dengan langkah gontai dia keluar dari kamarnya. Selama beberapa hari terakhir, dia menjadi baby sitter Evan, lantaran Nayla dan Ethan ingin menghabiskan waktu berdua. Tentu saja, mereka ingin menghabiskan waktu berdua karena pengantin baru memang membutuhkannya. Belum lagi, si Bocah Es Batu itu menginginkan seorang adik.
"Om Raffa baru bangun?" pertanyaan itu membuat Raffa mendelik.
Baru bangun? Memangnya sekarang jam berapa?
Melihat Evan yang sudah berpakaian rapi dan tidak sendirian di meja makan membuat dahi pria itu mengernyit. Dia menoleh ke arah jam dinding dan seketika itu pula matanya melotot.
"Anjir, udah pagi?"
"Lo kira masih tengah malam?" tanya Nayla sinis sembari mengambilkan nasi untuk Evan, sebelum beralih pada Ethan. "Lo emang cuma numpang, tapi lo juga wajib ikut sarapan. Sini, makan!"
Raffa menggaruk-garuk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.
Ethan yang melihatnya hanya melirik sekilas sebelum berujar, "Mimpi buruk lagi?"
"Iya, kayak kemarin dan kemarinnya lagi."
"Perlu ke psikiater?"
Tawaran itu membuat Raffa menggeleng tegas. Astaga, dia tidak akan pergi ke psikiater mana pun. Apalagi alasannya karena ada seorang wanita yang telah menolak pesonanya mentah-mentah.
Sori aja, ya, gue masih punya harga diri!
"Om Raffa sakit?" tanya Evan begitu Raffa duduk di sebelahnya.
"Enggak, kamu makan aja yang banyak, jangan banyak omong kalau nggak mau tersedak."
Evan tidak bertanya lagi dan Raffa mulai menyantap makanannya dengan santai. Dia tidak terlalu lapar, jujur saja, mimpi itu selain membuatnya terangsang juga membuat perutnya terasa kenyang.
Ethan telah selesai makan lebih dulu, seperti biasa, sepupunya itu makan dengan lahap disusul putranya yang benar-benar seperti kopian dari ayahnya.
"Tante tadi nelepon, kamu disuruh pulang malam ini. Beliau mau mengenalkanmu dengan wanita pilihannya."
"Ck!" Raffa berdecak, dia menatap Ethan tidak suka. "Udah gue bilang berapa kali, sih, kalau gue nggak suka dijodohin?"
Ethan mengangkat bahunya tak acuh. "Kalau kamu memang nggak suka, bawa salah satu pacarmu pulang dan kenalkan pada mereka."
Raffa mendelik. "Enak aja, gue nggak mau nikah sama mereka."
"Kalau sama Riza mau?" Nayla ikut campur dengan membawa-bawa nama wanita yang sejak sebulan yang lalu dekat dengannya.
Raffa ganti mendelik ke arah wanita itu. "Lo mau gue ngerebut dia dari pacarnya?"
"Kenapa enggak coba? Masih pacar juga, belum nikah, masih bisa jadi milik bersama. Kalau lo emang suka ya berjuang dong buat dapatin dia, bukannya mundur dan jadi pengecut kayak gini!"
Raffa mendengkus. "Sori, ya, gue alergi berjuang demi tujuan yang nggak pasti."
"Om Raffa sukanya yang pasti-pasti, tapi pacarnya suka gonta-ganti. Om ini ternyata orangnya plin-plan, ya? Harusnya Om setia sama satu wanita aja, kayak Daddy gitu misalnya."
Ethan berdeham saat Evan ikut campur dalam pembicaraan mereka. Nayla yang melihatnya tampak puas, Evan berada di pihaknya untuk menyudutkan Raffa yang jujur saja, belum kapok-kapok juga.
Dia sempat dengar jika Raffa mendekati Riza, salah satu pekerjanya di restoran, dan dia tahu juga kalau Riza sudah punya pacar, tapi perempuan itu tetap meladeni Raffa dan membuat pria itu baper. Ketika tahu Riza sudah punya pacar, Raffa mundur, padahal dari sudut pandang Nayla, dia bisa melihat jika Riza benar-benar menyukai seorang Raffa si Playboy Tengil dan Mesum.
"Evan mau berangkat sekarang atau nanti?" tanya Ethan setelah dehamannya reda.
"Sekarang, Dad, ayo berangkat!"
Ketika dua orang itu telah pergi, Nayla kembali bicara, "Riza kayaknya kangen sama lo, coba hubungi dia lagi siang ini. Oh iya ... lo bisa ngambilin album foto pernikahan gue minggu lalu di studio fotonya, nggak?"
"Gue? Kenapa nggak lo aja, sih, gue sibuk tahu!"
"Hari ini Damn cuti, cuma ada Nando sama gue yang ngehandle dapur, kalau gue pergi, lo bisa bayangin apa yang akan terjadi sama restoran gue nanti?".
Raffa mendengkus. "Oke, gue pergi."
"Oh, ya, jam dua belas, ya, ntar bareng sama Riza."
"Anjir!" Raffa melotot, tapi Nayla tak peduli dan segera berlalu dari sana. "Gue, kan, sengaja lagi ngehindarin dia. Astaga ... lo nggak tahu gimana rasanya jadi orang ketiga, sih, Nay, nyesek tahu," gerutunya.
____
Bisa mengertiin posisi Raffa sekarang?
BISA dibilang, Riri hampir tidak pernah kemari. Walaupun setiap tahun ia pulang ke Indonesia dan menghubungi kakak tingkatnya itu, tapi ia tidak pernah mendatangi restoran ini. Ini kedatangan perdananya setelah ia pulang beberapa bulan yang lalu.Dulu, mereka memang dekat, tapi kedekatan mereka tergolong biasa saja. Dia memang adik tingkat Nayla, tapi mereka beda jurusan, beda jam kuliah juga, dan setelah setahun mereka pun berada di belahan dunia yang berbeda. Riri masih harus melanjutkan kuliahnya di benua Amerika, sedangkan Nayla pulang ke Indonesia.Selama ini, mereka berhubungan lewat email atau telepon ketika Riri pulang ke Indonesia. Dan hanya begitu, tanpa bertemu, karena Riri lebih suka mengurung diri di kamar. Selain jarang keluar, dia juga malas aktif di media jejaring sosial seperti yang sedang trend sekarang.Dia memang punya akun, tapi hanya sebatas itu. Riri malas menggunakannya.
RAFFA menghentikan mobilnya di depan restoran, dia tidak turun demi membukakan pintu untuk seseorang yang sedang menatapnya dengan kesedihan. "Aku ... turun, ya?"Raffa menggertakkan giginya. "Kalau nggak turun, lo mau terus-terusan di sini emangnya?""Kupikir, kamu kangen sama aku," jawaban itu membuat Raffa meradang.Dia kangen, iya, dia kangen pada Riza. Sayangnya, dia tidak akan mau mengakuinya. Riza sudah punya pacar, tapi entah kenapa dia malah berdekatan dengan Raffa. Bukannya Raffa tidak pernah seperti ini, tapi dia selalu menjaga diri agar tidak mendua begitu dia memilih salah seorang menjadi pacarnya.Kalaupun dia mau bersama wanita lain, dia akan memutuskan kekasihnya lebih dulu. Dia takkan jalan bersama dua orang wanita secara bersamaan, tidak seperti perempuan di sebelahnya ini. Mereka sangat berkebalikan dan jujur saja, sifat itu tidak dia sukai."Entah kangen atau
SETELAH berdebat dengan ibunya, Raffa menyelinap keluar dan kembali ke rumah Ethan serta Nayla. Ia menyukai pekerjaan barunya merawat Evan untuk sementara. Ia merasa bisa melupakan masalah jodoh-menjodohkan untuk sejenak saat bersama keponakannya itu.Ketika sampai di sana, ia melihat Ethan serta Nayla duduk sembari melihat-lihat album. Dia yang penasaran pun menyelinap di belakangnya dan ikut mengintip—mengganggu kebersamaan— pasangan suami istri itu."Riri ikut fotonya cuma sekali doang, dih!" gerutuan Nayla membuat Raffa mengernyitkan dahi. "Mana fotonya sambil sok mesra sama kamu lagi," ujarnya dengan nada cemburu yang kentara.Raffa melongok dan memperhatikan seorang wanita yang bergelayut manja di lengan sepupunya. Dahinya mengernyit saat mengamati wajah wanita itu lekat-lekat.Wajah ayunya dipoles make-up tebal, gaun biru gelapnya tampak kontras dengan kulitnya yang putih, lalu kalung bint
MIMPI dikejar-kejar setan ternyata lebih horor daripada mimpi dikejar-kejar mantan. Kalau mantan masih bisa disentuh, diajak rundingan, atau apa aja, tapi kalau setan, baru lihat juga langsung lari tunggang langgang.Riri menghela napas kasar sembari menguap lebar. Dia menggaruk-garuk rambut lurusnya hingga berantakan sebelum melesat ke kamar mandi untuk mencuci muka di wastafel. Penampilan mukanya—sebelum mencuci muka—yang putih pucat dengan noda-noda hitam sialan, ditambah kantung matanya yang semakin menghitam nyaris membuatnya menjerit."Muka gue kayaknya perlu perawatan, nih," gumamnya.Riri melangkah keluar, mengambil ponsel dan mulai menjalankan aplikasi mobile banking. Penampakan saldo ATM-nya yang pas-pasan, sukses membuat ia nelangsa bukan main."Gimana caranya gue dapat duit lebih biar bisa beli skincare yang bagus coba? Atau gue minta aja sama Mama kali, ya?"Sepertiny
"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya."Aryiella Garcia?"Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga a
SARAPAN seperti biasa. Tidak ada suara, bahkan bunyi sendok yang beradu dengan piring tak diizinkan untuk berbunyi ketika anggota keluarga sedang makan. August menyelesaikan acara makannya pertama kali, disusul Raffa yang kemudian bangkit hendak pergi ke kantor. Seperti biasa, lalu kenapa Rosa menyuruhnya pulang kemarin?"Kamu mau ke mana?" Suara itu membuat langkah Raffa terhenti. "Kita akan pergi bersama sekarang.""Eh? Emang mau ke mana?" Raffa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.Jangan bilang mau melamar Riri? Mana mungkin! Dia baru menghubungi ibunya kemarin, jadi tidak mungkin mereka bisa melamar Riri hari ini?Mereka pasti butuh waktu untuk meneliti latar belakang keluarga Riri dulu, paling tidak satu minggu, mereka baru bisa melamar Riri untuknya. Iya, kan?"Melamar Aryiella untuk kamu."Raffa menatap ibunya dengan delikan. "Kalian nggak lagi bohongin R
"HEI!" Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin."Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini.""Siapa yang bilang?""Gue."Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik.""Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan
RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul."Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?""Eng—""Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan l