Share

SMP • 03

BISA dibilang, Riri hampir tidak pernah kemari. Walaupun setiap tahun ia pulang ke Indonesia dan menghubungi kakak tingkatnya itu, tapi ia tidak pernah mendatangi restoran ini. Ini kedatangan perdananya setelah ia pulang beberapa bulan yang lalu.

Dulu, mereka memang dekat, tapi kedekatan mereka tergolong biasa saja. Dia memang adik tingkat Nayla, tapi mereka beda jurusan, beda jam kuliah juga, dan setelah setahun mereka pun berada di belahan dunia yang berbeda. Riri masih harus melanjutkan kuliahnya di benua Amerika, sedangkan Nayla pulang ke Indonesia.

Selama ini, mereka berhubungan lewat email atau telepon ketika Riri pulang ke Indonesia. Dan hanya begitu, tanpa bertemu, karena Riri lebih suka mengurung diri di kamar. Selain jarang keluar, dia juga malas aktif di media jejaring sosial seperti yang sedang trend sekarang.

Dia memang punya akun, tapi hanya sebatas itu. Riri malas menggunakannya.

Riri masuk ke restoran dan mengambil tempat duduk di tengah, tatapannya terarah ke arah pintu dapur yang tertutup rapat, ketika seorang pelayan mendatanginya. Pria itu tersenyum ramah padanya, Riri membalas senyum itu dengan senyuman manis.

"Mau pesan apa, Mbak?" tanya pria itu sopan. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi keramahannya membuat Riri terkesan.

Sayangnya, perempuan itu tidak berminat pacaran, apalagi pacarnya seorang pelayan. Dia tidak akan mau berpacaran dengan pria sejenis itu, karena masa depannya pasti akan suram. Selain tidak akan bisa bertahan lama, pria sekelas pelayan tidak akan bisa diajak membangun masa depan dengan gajinya yang pas-pasan.

Riri tersenyum sopan. "Saya pesannya nanti dulu, deh, Mas, boleh?"

Pria itu mengangguk, masih dengan senyum ramah yang menghiasi wajahnya. Mungkin, dia berpikir bisa memikat Riri dengan senyuman itu? Ceh, jangan berharap lebih!

"Oh, ya, Kak Nayla-nya ada di sini, nggak?"

Dengan dahi mengerut, pria itu menjawab, "Ada, Mbak."

"Tolong dipanggilin, bisa?" pintanya dengan sopan, tak lupa senyum manis yang dibalas anggukan.

Riri melihat-lihat sekitar restoran itu yang masih sepi pengunjung. Memang belum waktunya jam makan siang, jadi ia memakluminya. Interior restoran ini yang pertama kali menarik minatnya, kemudian dia tersadar jika telah menunggu cukup lama.

Dia melirik bagian pelayan. Ada beberapa pelayan yang kini saling berbincang, tak terkecuali pelayan yang tadi menanyainya. Dia mengernyitkan dahi, melihat jam dinding, kemudian kembali menatap pelayan itu lagi.

Gue diabaiin, nih, ceritanya?

Ia menatap pelayan itu sekali lagi, tapi tatapannya terhenti pada seorang pelayan wanita yang kini menatapnya dengan berani. Dari tatapannya, ada sekelumit rasa kesal dan benci yang menguar hingga membuat Riri bergidik.

Siapa sih itu orang? batinnya bertanya, tapi ia tak menemukan jawabannya.

Penyakit pikun dadakannya membuat ia melupakan banyak hal, bahkan di saat yang sangat dibutuhkan seperti sekarang, dia tidak bisa menemukan nama yang tepat untuk pelayan wanita yang kini kembali berbincang dengan rekan-rekannya.

Namun, tidak seperti saat menatapnya. Wanita itu kini terlihat manis, layaknya perempuan lemah dan pemalu pada umumnya, dan hal itu, jujur saja membuat dahi Riri mengernyit.

Selama ini, Riri tidak punya musuh. Dia selalu menghindari keramaian, dia bahkan jarang berteman. Dengan sifat nyentriknya itu, dia bahkan ragu ada yang mau berteman dengannya. Walaupun pada kenyataannya, dia memiliki beberapa orang teman dan salah satunya pemilik restoran ini.

Riri menatap wanita itu sekali lagi, sebelum mengendikkan bahu tak acuh. "Kalau emang gue pernah bikin salah sama dia, gue pasti bakal ingat, kan, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Riri kemudian menoleh ke arah pintu dapur yang tiba-tiba terbuka. Damian keluar dengan pakaian casual yang membuat Riri mengernyit sebelum melambaikan tangan bak orang gila.

"Dami!" panggilnya.

Damian menoleh, dia terlonjak saat melihat Riri berada di sana, lalu kepalanya menggeleng lemah. Damian melangkah mendekati Riri dan duduk di kursi yang berhadapan dengan wanita itu.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Damian, nada suaranya tampak tidak bersahabat.

"Kangen sama Kak Nayla," balasnya. Sebelah tangannya terangkat, menutupi sisi mulutnya kemudian berbisik, "Gue mau nanyain, dia udah isi apa belum?"

"Dasar setan!" umpat Damian sembari melotot tajam. "Kalau lo mau nanyain masalah privasi gitu, kenapa malah duduk di sini? Kenapa nggak nyuruh pelayan manggilin Nayla langsung biar masalah lo di sini cepet kelar, ha?"

Riri cemberut, diomeli Damian memang bukan kali pertama, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. Jemari tangannya menunjuk ke arah jejeran pelayan yang langsung syok saat Riri menunjuk mereka.

"Noh, lihat! Gue udah minta sama mereka, tapi gue malah dikacangin kayak patung lilin di sini. Mereka nggak tahu apa, gue itu Aryiella Garcia, calon novelis terkenal Indonesia. Mereka malah ngacangin gue kayak gue bukan siapa-siapa."

"Emang sekarang lo siapa?" Damian mendengkus kasar.

Riri nyengir kuda dan hal itu membuat Damian menghela napasnya kasar. Kepala pria itu menoleh ke arah jejeran pelayan yang melirik mereka takut-takut, tapi satu ekspresi aneh ia temukan di antara mereka dan hal itu membuat Damian mengambil kesimpulannya sendiri.

"Langsung masuk aja ke dapur, Nayla lagi sibuk nugas, jangan diganggu yang aneh-aneh!"

"Siap Bos!" Riri memandangi damian sekali lagi. "Terus, lo kenapa nggak bantuin Kak Nayla di dalam?"

"Gue mau keluar," balas Damian, sudah berdiri, tapi Riri juga ikut berdiri.

"Bilang aja mau kencan, ceh! Gue masuk, ya, makasih izinnya!" teriak wanita itu yang langsung melesat menuju pintu dapur, meninggalkan Damian yang diabaikan begitu saja di sana.

Padahal, niatnya ingin meninggalkan Riri lebih dulu, kenyataannya, dia yang malah ditinggalin di situ.

***

"KAK NAYLA!" teriak Riri disusul pelukan erat yang membuat Nayla sesak napas, padahal wanita itu sedang menjawab panggilan Raffa yang menjemput anaknya di seberang sana.

Semua koki yang ada di dapur dibuat menoleh, Nando yang memang tahu jika ada manusia sejenis Riri langsung menyeletuk, "Heh, Nayla bisa mati kehabisan napas itu!"

"Eh, iya?" Riri melonggarkan pelukannya dan Nayla bisa menghela napas lega.

Ditatapnya adik tingkatnya itu dengan pelototan tajam. "Tahan dulu omongan lo, gue lagi ngomong di telepon."

Riri cemberut, tangannya bersedekap dada, dengan kepala membuang muka. Nando yang melihat wanita itu hanya bisa nyengir kuda, sedang Nayla melanjutkan panggilan yang sempat tertunda.

"Lo bawa Evan ke sini aja. Gue emang sibuk, tapi gue masih bisa ngurus dia sambil ngawasin dapur. Oh, ya, sekalian aja ambil album fotonya sekarang, kalau lo mau sibuk-sibukan. Riza juga lagi nggak ada kerjaan di luar."

Riri mengernyitkan dahi. Evan akan kemari? Evan, bocah berusia lima tahun dengan ekspresi datar yang menurut Riri sangat menggemaskan. Dia ikhlas jadi babby sitter anak itu kalau Nayla mengizinkannya.

"Good, gue tungguin lo di sini. Bawa anak gue-nya hati-hati! Inget, kalau sampai kenapa-kenapa sama Evan, elo gue cincang ntar malam!"

Nayla memutus sambungan telepon dan menatap Riri yang memasang ekspresi ceria. "Kenapa ke sini dan nyariin gue sampai mau bunuh gue segala?"

"Astaga, yang tadi enggak sengaja." Riri nyengir kuda. "Evan mau ke sini, Kak?"

"Iya, dia biasanya di sini. Nanti mungkin main sendiri. Gue lagi sibuk, Ri, sibuk banget. Damian mau izin, belum lagi resto lagi rame-ramenya gini!"

"Di luar masih sepi, tuh!"

"Kan nanti, Sayangku!"

"Iya, iya, ya udah, si Evan biar main sama gue aja entar, ya? Gini-gini juga, gue pengin rasain gimana rasanya punya anak."

Nando yang sejak tadi menyimak ikut menyeletuk. "Ya udah, bikin anak aja sana!"

"Enak aja mulut lo kalau ngomong, Om!"

Nayla tersenyum miring. "Nan, mana mungkin Riri bisa punya anak coba? Dia lepas perawan aja kagak mau!"

"Idih, emang apa enaknya lepas perawan? Enakan juga jadi perawan tua, single selamanya, nggak perlu ngurus rumah tangga, nggak ada yang bakal ngelarang macam-macam, bisa gebetin semua cowok tampan tanpa ada yang cemburu—"

"Ehem!"

Dehaman itu membuat Riri menoleh. Seorang pria dewasa dengan kemeja panjang yang dilipat sampai lengan berwarna putih, dasi bergaris-garis merah hitam, dan celana bahan berwarna hitam. Di sebelahnya ada bocah laki-laki yang kini berlari menghampiri Nayla dan memeluk kaki kakak tingkatnya itu dengan erat.

Tanpa sadar, senyum di bibirnya merekah. Dia menarik tangan bocah itu hingga berhadapan dengannya yang sudah duduk bertumpu di atas lantai, lalu berkata, "Hai Ganteng, masih ingat Tante, nggak?"

Evan memiringkan kepala dan dengan polosnya bertanya, "Siapa, ya?"

Riri cemberut, sedang Nayla menahan tawa. Bahkan Nando sudah terbahak di tempatnya.

"Evan jahat, dih, masa Tante udah dilupain!" rajuknya sambil membuang muka.

"Tante ngambekan, dih, kayak anak kecil. Jangan ngambek dong, Tante, nanti Evan nangis, lho!" bujuk Evan sembari menarik kepala Riri agar kembali menatap wajahnya.

Sedangkan Raffa hanya menatap interaksi mereka berdua dengan penasaran. Wanita di hadapan Evan membuatnya teringat akan seseorang, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan baik.

Pakaian santai dengan kaus pendek, gelang rajut di tangan kiri, celana jin hitam panjang, dan rambut lurus sepunggung berwarna hitam membuat keningnya berkerut.

Penampilannya biasa saja, tapi kenapa gue ngerasa nggak asing sama dia?

"Tumben cepet banget?" pertanyaan itu membuat Raffa menatap Nayla.

"Gue ada rapat bentar lagi."

"Ya udah, sana pergi!"

Raffa berdecak, dia diusir, padahal dia yang menjemput Evan dan mengantarnya kemari. Raffa melangkah pergi, tapi ia menoleh ke belakang, melihat siluet wanita yang tampak tak asing dalam ingatannya.

Apa gue pernah ketemu sama dia? Tapi di mana ... dan kenapa dia kayak nggak pernah ketemu sama gue sebelumnya?

____

Duo pikun dan mesum akhirnya ketemu lagi. Wakakakakak

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status