RAFFA menghentikan mobilnya di depan restoran, dia tidak turun demi membukakan pintu untuk seseorang yang sedang menatapnya dengan kesedihan. "Aku ... turun, ya?"
Raffa menggertakkan giginya. "Kalau nggak turun, lo mau terus-terusan di sini emangnya?"
"Kupikir, kamu kangen sama aku," jawaban itu membuat Raffa meradang.
Dia kangen, iya, dia kangen pada Riza. Sayangnya, dia tidak akan mau mengakuinya. Riza sudah punya pacar, tapi entah kenapa dia malah berdekatan dengan Raffa. Bukannya Raffa tidak pernah seperti ini, tapi dia selalu menjaga diri agar tidak mendua begitu dia memilih salah seorang menjadi pacarnya.
Kalaupun dia mau bersama wanita lain, dia akan memutuskan kekasihnya lebih dulu. Dia takkan jalan bersama dua orang wanita secara bersamaan, tidak seperti perempuan di sebelahnya ini. Mereka sangat berkebalikan dan jujur saja, sifat itu tidak dia sukai.
"Entah kangen atau enggak, itu bukan urusan lo. Gue sibuk, Riz, jadi cepet keluar dari sini, gue mau balik ngantor."
"Oke, aku keluar, ya." Bukannya langsung turun, Riza malah memberikan kecupan singkat di pipi Raffa. "Aku kangen kamu yang dulu."
Raffa hanya bisa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dirinya yang dulu takkan kembali lagi, dia takkan bisa bersama wanita itu lagi walau setelah semua waktu yang telah mereka lalui.
Dunia mereka berbeda.
Dan tidak akan pernah menjadi sama.
***
Perjodohan ini bukan hanya sekali dua kali, melainkan sudah berulang kali. Raffa harus menahan kesabarannya setelah apa yang ia alami hari ini. Biasanya, dia akan memasang muka santai, tampak tidak peduli, dan pada akhirnya dia akan menolaknya mentah-mentah.
Lagipula, wanita yang selama ini dijodohkan dengannya tidak masuk kriterianya sama sekali. Jelas saja, mereka bukan wanita baik-baik. Raffa takkan tertipu lagi untuk yang kedua kalinya. Cukup sekali ia merasa benar dengan pendapatnya, bahkan sepupunya berpendapat hal yang sama, tapi nyatanya, wanita itu hanyalah serigala berbulu domba.
"Ck!" decakannya mengundang perhatian dari kedua belah pihak keluarga.
Ibunya menatap dia tidak suka, sedang ayahnya menatapnya datar. Sebagai salah satu Gunawan tertua yang tersisa, August memiliki sifat yang hampir sama persis dengan sepupunya. Tidak terlalu banyak berekspresi dan tatapan dingin yang menghunjam tanpa ampun.
Mungkin, dari sejarah yang ada, hanya dia satu-satunya Gunawan yang punya sikap biasa cenderung slengekan, ditambah sifat playboy-nya yang tidak tanggung-tanggung.
Hanya dia ... Julian Raffa Gunawan.
"Kenapa Raff?"
"Iya, kayaknya kita nggak bisa cocok, deh, Ma," ujarnya sembari mengedikkan bahu.
Wanita di hadapannya cantik, menarik jelas, pendidikannya tinggi, latar belakang keluarganya pun pasti. Semua konglomerat pasti senang menjadikan wanita ini sebagai menantunya, tapi sayangnya, Raffa bukan orang yang mau memiliki istri sesempurna itu.
Terutama, dilihat secara sekilas. Selain sudah tidak lagi perawan, wanita ini jelas-jelas memiliki sifat yang bisa memeras Raffa hingga kering. Bukannya dia orang miskin yang tidak sanggup membiayai, dia cuma tidak mau memiliki istri boros yang lebih suka tas branded sekian ratus juta, pakaian belasan juta, dan sekian aksesoris lain yang memiliki angka nol minimal berjumlah enam.
Dia memang menyukai wanita yang memiliki fashion bagus dan glamour, tapi wanita sejenis itu hanya bisa dijadikan piala. Mereka tidak cocok untuk diajak berumah tangga. Apalagi, gajinya sekarang masih belum sampai seratus juta. Benar-benar bisa kering tabungannya kalau sampai memiliki istri sejenis ini.
Iya, keluarganya memang kaya, tapi mau sampai kapan dia menengadahkan tangan dan meminta pada kedua orang tuanya?
"Kenapa nggak dicoba dulu?" tanya wanita itu disertai senyuman manis yang pasti bisa melelehkan hati pria manapun, kecuali para Gunawan. Tentu saja, senyuman itu terlalu biasa saja di matanya.
"Sori, tapi aku nggak ada waktu buat coba-coba lagi, kalau udah tahu hasilnya nggak pasti."
August berdeham, dia menatap putranya dengan delikan tajam yang sukses membuat Raffa membungkam paksa bibirnya. "Mungkin, sebaiknya kita sudahi dulu pertemuan malam ini. Saya akan bicara kembali dengan putra saya, jika dia berniat mengubah pendapatnya, saya akan menghubungi kalian kembali."
"Saya sangat menunggu jawaban terbaik sari kalian, Aug. Sebagai teman lama, saya berharap bisa berbesan dengan Anda."
Rossaline tersenyum manis dan menggenggam erat tangan wanita yang sejak tadi memasang senyum terbaiknya. "Mama akan berusaha memaksa Raffa agar menerima perjodohan ini."
"Makasih, Ma!"
Raffa memutar bola matanya bosan. Setelahnya mereka pulang dan Rosa memarahinya habis-habisan. "Dia itu suka sama kamu, Raf? Kenapa kamu nggak coba menerima dia saja? Dara itu perempuan baik-baik, dia sangat cocok menjadi istri kamu."
"Please, deh, Ma. Raffa juga bisa menilai mana wanita baik-baik atau enggak. Kalau Raffa udah ketemu sama wanita itu, tanpa nunggu waktu lama, Mama akan menjadi orang pertama yang tahu."
August berdeham. "Kamu sepertinya sudah menemukannya."
Satu-satunya yang ada di kepala Raffa hanyalah gadis yang hampir ia tiduri di malam pernikahan Nayla dan Ethan. Wanita itu memang berkata telah memiliki calon suami, lalu menolaknya mentah-mentah. Namun, dia tahu wanita itu adalah wanita yang baik.
Jika bukan karena khilaf, dia takkan berakhir di tempat itu, apalagi alasannya sampai sana karena Raffa yang telah menggodanya dengan godaan maut dan menyeretnya memasuki salah satu kamar di lantai atas. Namun, bukan hal itu yang membuat Raffa tetap bisa memikirkannya terus menerus.
Wanita itu punya pengendalian diri yang tinggi. Satu-satunya hal yang tak ia miliki. Dan juga ... dia memiliki kesetiaan. Satu-satunya hal yang mungkin tersisa secuil di hati Raffa yang sekarang.
"Hm, kalau aku bisa merampasnya dari calon suaminya."
"GILA KAMU MAU JADI PEBINOR!" komentar ibunya langsung, sedangkan ayahnya mengangkat bahu tak peduli.
Baginya, asalkan Raffa bahagia dengan pilihannya, dia akan menyetujuinya, walau anaknya harus mengambil calon istri orang lain.
"Kan masih calon, Ma. Masih bisa jadi milik bersama, nah, kalau udah nikah, ya udah, Raffa nyerah."
"Mama nggak tahu, deh, harus nasihatin kamu kayak gimana lagi! Terserah kamu, Raffa! Terserah!" Rosa menatap Raffa tajam. "Tapi cepat bawa kami menemui orang tuanya."
Raffa hanya bisa memasang senyum miring. Kenal saja belum, jadian apalagi, sudah disuruh membawa kedua orang tuanya bertemu dengan orang tua wanita yang bahkan tidak ia kenal siapa namanya.
____
Pasrah daku denganmu, Raffa!
SETELAH berdebat dengan ibunya, Raffa menyelinap keluar dan kembali ke rumah Ethan serta Nayla. Ia menyukai pekerjaan barunya merawat Evan untuk sementara. Ia merasa bisa melupakan masalah jodoh-menjodohkan untuk sejenak saat bersama keponakannya itu.Ketika sampai di sana, ia melihat Ethan serta Nayla duduk sembari melihat-lihat album. Dia yang penasaran pun menyelinap di belakangnya dan ikut mengintip—mengganggu kebersamaan— pasangan suami istri itu."Riri ikut fotonya cuma sekali doang, dih!" gerutuan Nayla membuat Raffa mengernyitkan dahi. "Mana fotonya sambil sok mesra sama kamu lagi," ujarnya dengan nada cemburu yang kentara.Raffa melongok dan memperhatikan seorang wanita yang bergelayut manja di lengan sepupunya. Dahinya mengernyit saat mengamati wajah wanita itu lekat-lekat.Wajah ayunya dipoles make-up tebal, gaun biru gelapnya tampak kontras dengan kulitnya yang putih, lalu kalung bint
MIMPI dikejar-kejar setan ternyata lebih horor daripada mimpi dikejar-kejar mantan. Kalau mantan masih bisa disentuh, diajak rundingan, atau apa aja, tapi kalau setan, baru lihat juga langsung lari tunggang langgang.Riri menghela napas kasar sembari menguap lebar. Dia menggaruk-garuk rambut lurusnya hingga berantakan sebelum melesat ke kamar mandi untuk mencuci muka di wastafel. Penampilan mukanya—sebelum mencuci muka—yang putih pucat dengan noda-noda hitam sialan, ditambah kantung matanya yang semakin menghitam nyaris membuatnya menjerit."Muka gue kayaknya perlu perawatan, nih," gumamnya.Riri melangkah keluar, mengambil ponsel dan mulai menjalankan aplikasi mobile banking. Penampakan saldo ATM-nya yang pas-pasan, sukses membuat ia nelangsa bukan main."Gimana caranya gue dapat duit lebih biar bisa beli skincare yang bagus coba? Atau gue minta aja sama Mama kali, ya?"Sepertiny
"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya."Aryiella Garcia?"Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga a
SARAPAN seperti biasa. Tidak ada suara, bahkan bunyi sendok yang beradu dengan piring tak diizinkan untuk berbunyi ketika anggota keluarga sedang makan. August menyelesaikan acara makannya pertama kali, disusul Raffa yang kemudian bangkit hendak pergi ke kantor. Seperti biasa, lalu kenapa Rosa menyuruhnya pulang kemarin?"Kamu mau ke mana?" Suara itu membuat langkah Raffa terhenti. "Kita akan pergi bersama sekarang.""Eh? Emang mau ke mana?" Raffa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.Jangan bilang mau melamar Riri? Mana mungkin! Dia baru menghubungi ibunya kemarin, jadi tidak mungkin mereka bisa melamar Riri hari ini?Mereka pasti butuh waktu untuk meneliti latar belakang keluarga Riri dulu, paling tidak satu minggu, mereka baru bisa melamar Riri untuknya. Iya, kan?"Melamar Aryiella untuk kamu."Raffa menatap ibunya dengan delikan. "Kalian nggak lagi bohongin R
"HEI!" Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin."Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini.""Siapa yang bilang?""Gue."Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik.""Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan
RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul."Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?""Eng—""Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan l
PENDEKATAN itu memang perlu untuk sebuah hubungan. Raffa tidak menyangkal, karena dia juga membutuhkan waktu untuk mengenal Riri dengan lebih baik lagi dan juga sebaliknya, Riri perlu mengenalnya sebelum mereka menikah dua bulan lagi.Padahal, niat awal Raffa meminta dijodohkan dengan perempuan itu hanya karena harga diri, tapi entah mengapa ia setuju dengan rencana kedua orang tuanya kali ini. Ia ingin perempuan itu menjadi miliknya, rasa baru yang mungkin pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya."Raf, lo nanti mau jemput Evan, kan?""Hm." Raffa memakan sarapannya seperti biasa, di hadapannya ada Ethan dan Nayla, juga putra mereka Evan.Dia memang biasa menginap di sana sebagai baby sitter keponakannya, kadang juga ia akan pulang ke rumah orang tuanya seperti kemarin-kemarin. Padahal, dia punya apartemen pribadi yang kini kosong melompong tidak berpenghuni. Apartemen yang beberapa tahun terakhi
SEKSI. Entah pikiran itu datang dari mana, tapi Riri terlihat seksi di matanya. Terutama saat ia berdiri, memamerkan kaki jenjangnya dengan lekuk tubuh sempurna. Raffa tersenyum di dalam hati, ternyata Tuhan sangat adil padanya.Ketika ia berpikir untuk melepas Riza lantaran wanita itu sudah punya kekasih, Raffa hampir tidak rela, tapi ia mencoba ikhlas. Jujur saja, dia memang menyukai Riza, sebagai playboy dia takkan keberatan menjadi orang ketiga, tapi entah kenapa dia tidak bisa berjuang untuk wanita itu.Setelah hari yang mereka lewati, setelah waktu yang mereka habiskan, dan setelah apa yang telah terjadi. Raffa tahu seperti apa sosok Riza yang sebenarnya, tapi rasa suka itu nyaris membuatnya buta. Namun dia berhasil melepaskannya, mengikhlaskan dia untuk kekasihnya, dan kini, Raffa mendapat pengganti seorang perempuan yang benar-benar sempurna di matanya.Cantik, tanpa polesan make up, Riri terlihat cantik, kulit