"NAMA lengkapnya Aryiella Garcia, umurnya sekitar 22 tahun, status jomlo, masih perawan, anak rumahan yang hampir nggak pernah keluar rumah kalau nggak ada kepentingan."
Raffa mengernyit sambil memandangi kertas yang disodorkan Nayla padanya. Di situ tertuliskan alamat Riri lengkap beserta nomor teleponnya. Raffa memandangi Nayla sekali lagi, lalu mengulangi kata-kata wanita itu barusan padanya.
"Aryiella Garcia?"
Nayla mengangguk. "Namanya cakep, sih, tapi orangnya kelihatan biasa aja." Nayla mengangkat bahunya tak acuh. "Itu menurut pengelihatan gue, kalau aslinya, ya, gue nggak tahu. Apalagi sifatnya yang agak absurd, lo serius mau ngelamar dia? Ini lamaran, lho, Raf, jangan lo ajak dia buat main-main doang!"
Raffa mendengkus. "Padahal, lo sebelumnya ngedukung gue banget buat ngelamar dia, Nay."
Nayla menghela napas kasar. "Iya, sih, daripada dia ngejomlo sampai kiamat, kasihan juga a
SARAPAN seperti biasa. Tidak ada suara, bahkan bunyi sendok yang beradu dengan piring tak diizinkan untuk berbunyi ketika anggota keluarga sedang makan. August menyelesaikan acara makannya pertama kali, disusul Raffa yang kemudian bangkit hendak pergi ke kantor. Seperti biasa, lalu kenapa Rosa menyuruhnya pulang kemarin?"Kamu mau ke mana?" Suara itu membuat langkah Raffa terhenti. "Kita akan pergi bersama sekarang.""Eh? Emang mau ke mana?" Raffa mengernyitkan dahinya tidak mengerti.Jangan bilang mau melamar Riri? Mana mungkin! Dia baru menghubungi ibunya kemarin, jadi tidak mungkin mereka bisa melamar Riri hari ini?Mereka pasti butuh waktu untuk meneliti latar belakang keluarga Riri dulu, paling tidak satu minggu, mereka baru bisa melamar Riri untuknya. Iya, kan?"Melamar Aryiella untuk kamu."Raffa menatap ibunya dengan delikan. "Kalian nggak lagi bohongin R
"HEI!" Raffa berhenti melangkah, dia menatap Riri dengan ekspresi datar. Riri pun balas menatapnya dingin."Gue tahu, lo nggak suka dengan perjodohan ini.""Siapa yang bilang?""Gue."Raffa memejamkan mata. "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Karena lo punya segalanya, lo ganteng, kaya, sempurna, lo pasti bisa nyari wanita yang lo suka sendiri, bukannya dijodohin kayak gini."Raffa mendengkus. "Nyari cewek yang baik nggak semudah nyari cewek murahan."Riri gantian mendengkus. "Lo kurang gaul, kalau nggak pernah ketemu sama cewek baik-baik.""Cewek yang kelihatannya baik, belum tentu hatinya juga baik." Raffa menatap wanita itu tajam, kakinya membawanya mendekati wanita yang pernah meninggalkannya di atas ranjang.Apa Riri sama sekali tidak mengingatnya? Apa dia tidak ingat pernah bersinggungan dengan
RAFFA kembali ke ruang tamu dengan wajah cerah yang mencurigakan, sedang Riri menyusul di belakangnya dengan wajah pucat pasi dan seperti baru kehilangan tiga per empat nyawanya.Rosa sampai mendelik, bahkan August menghunjamkan tatapan mematikan untuk putra semata wayangnya. "Kamu apain dia, Raffa?" bisik Rosa sewaktu Raffa duduk di sampingnya.Raffa melirik Riri yang matanya tidak punya fokus. Wajahnya yang pucat serta tatapannya kosong entah mengapa malah membuat senyumnya timbul."Nggak apa-apa, kok, dia mau nikah sama Raffa." Riri sontak melotot ke arah Raffa yang malah tersenyum puas. "Iya, kan? Kita udah sepakat untuk menikah, kan?""Eng—""Baguslah kalau begitu," potong Arya tanpa membiarkan Riri membuka suara. "Kalian bisa pendekatan dulu sampai bulan depan, dua bulan lagi kalian akan menikah."Arlin tersenyum cerah. "Nak Raffa nggak keberatan menikah dua bulan l
PENDEKATAN itu memang perlu untuk sebuah hubungan. Raffa tidak menyangkal, karena dia juga membutuhkan waktu untuk mengenal Riri dengan lebih baik lagi dan juga sebaliknya, Riri perlu mengenalnya sebelum mereka menikah dua bulan lagi.Padahal, niat awal Raffa meminta dijodohkan dengan perempuan itu hanya karena harga diri, tapi entah mengapa ia setuju dengan rencana kedua orang tuanya kali ini. Ia ingin perempuan itu menjadi miliknya, rasa baru yang mungkin pertanda baik untuk hubungan mereka ke depannya."Raf, lo nanti mau jemput Evan, kan?""Hm." Raffa memakan sarapannya seperti biasa, di hadapannya ada Ethan dan Nayla, juga putra mereka Evan.Dia memang biasa menginap di sana sebagai baby sitter keponakannya, kadang juga ia akan pulang ke rumah orang tuanya seperti kemarin-kemarin. Padahal, dia punya apartemen pribadi yang kini kosong melompong tidak berpenghuni. Apartemen yang beberapa tahun terakhi
SEKSI. Entah pikiran itu datang dari mana, tapi Riri terlihat seksi di matanya. Terutama saat ia berdiri, memamerkan kaki jenjangnya dengan lekuk tubuh sempurna. Raffa tersenyum di dalam hati, ternyata Tuhan sangat adil padanya.Ketika ia berpikir untuk melepas Riza lantaran wanita itu sudah punya kekasih, Raffa hampir tidak rela, tapi ia mencoba ikhlas. Jujur saja, dia memang menyukai Riza, sebagai playboy dia takkan keberatan menjadi orang ketiga, tapi entah kenapa dia tidak bisa berjuang untuk wanita itu.Setelah hari yang mereka lewati, setelah waktu yang mereka habiskan, dan setelah apa yang telah terjadi. Raffa tahu seperti apa sosok Riza yang sebenarnya, tapi rasa suka itu nyaris membuatnya buta. Namun dia berhasil melepaskannya, mengikhlaskan dia untuk kekasihnya, dan kini, Raffa mendapat pengganti seorang perempuan yang benar-benar sempurna di matanya.Cantik, tanpa polesan make up, Riri terlihat cantik, kulit
TIDAK sampai lima belas menit, Riri sudah mengganti pakaian bahkan menggunakan make up sederhana. Raffa yang menunggu di pintu masuk hanya dibuat terperangah melihat kecepatan Riri membenahi diri."Ayo, nanti Evan kelamaan nunggu!"Riri bahkan berani menarik tangan Raffa, mengabaikan amarahnya yang sempat memuncak pada Raffa sebelum ini. Pria itu menghela napas kasar, dia membiarkan tubuhnya ditarik-tarik oleh perempuan yang tampak cantik, tapi tidak berlebihan di depannya ini.Dengan rambut digerai, kaus putih, dan celana jin hitam, Riri terlihat sangat menakjubkan. Lalu, tatapannya beralih pada pakaiannya sendiri. Jas hitam khas pegawai kantor, ditambah kemeja, tak lupa dasi yang benar-benar membuatnya terlihat membosankan."Ayo, Raffa! Lama banget sih jalannya?""Bentar, lo nggak mau pamitan?"Riri berhenti, Raffa berdiri di sampingnya. Mereka saling tatap sebentar, se
BUKANNYA senang, Evan terus mengatupkan mulut sejak bergabung dengan Raffa. Awalnya, Evan menyambut Riri dengan senyum semringah, tapi ketika Riri membawanya pada Raffa, entah kenapa senyumannya menguap ke udara."Jadi, calon istrinya Om Raffa itu Tante?" tanyanya, sewaktu ia dan Riri duduk berdua di kursi belakang."Siapa yang bilang?""Daddy, Om Raffa juga bilang mau jemput Evan bareng sama calon istriya."Raffa melirik melalui kaca spion, ekspresi keponakannya benar-benar mengusik. Apa Evan tidak suka Riri dan dirinya menikah?"Hm." Riri memegangi dagunya seraya mendongak, ekspresi berpikir yang sukses membuat Raffa menatapnya dengan tatapan aneh. "Gimana bilangnya, ya?"Evan menatap penuh tuntutan, dia ingin mendengarnya secara langsung, atau dia akan membenci om-nya mulai sekarang."Tante dilamar, sih, tapi Tante belum bilang iya, jadi, status Tante s
"EVAN Sayang!" teriak Riri begitu Evan dan Nayla kembali, di tangan mereka ada kantung plastik yang ia yakini berisi es krim. Riri hafal betul apa kesukaan bocah laki-laki itu."Tante udah balik?"Riri mengernyitkan dahinya tak mengerti, dia menatap Nayla yang juga tengah menatapnya penasaran. "Emang Tante abis dari mana?""Katanya mau kencan?" Evan melengos, dia mengabaikan Riri dan hal itu berhasil membuat dada wanita itu sesak bukan main."Siapa juga yang kencan, orang nggak jadi, tadi Om kamu itu langsung balik kanan maju jalan.""Apaan deh, Ri, kayak tentara aja bahasa lo." Nayla menggeleng-geleng, sebelum kembali menatap putranya. "Mommy kerja dulu, ya? Kalau kamu mau apa-apa, panggil Mommy, atau minta tolong aja sama Tante Riri, lo nggak ke mana-mana, kan, Ri?"Riri menggeleng. "Gue laper, Kak, bikinin apa gitu. Si Raffa nggak jadi ngajakin makan, gue kelaperan ini belum