Namaku Aristela, di sore hari diriku merasa begitu lelah, karena bekerja di toko roti yang sudah besar dan pelanggannya sangatlah banyak, bahkan aku disuruh untuk lembur karena toko roti kini bukanya sampai tengah malam.
Namun, aku berpura-pura menunjukkan kelesuan atau ketidaksehatan sehingga bos mengizinkanku untuk pulang cepat dari karyawan lainnya, tentu mereka iri karena tidak seberuntung diriku.
Aku pun pulang ke rumah dan di garasi sudah terparkir mobil ayah di sana, tentu aku senang karena tumben sekali ayah pulang di sore hari, biasanya ... dia selalu nongkrong di warkop dulu sampai malam karena sedang berbincang dengan teman-temannya di sana.
Saat masuk, aku pun disambut olehnya dan dengan bahagia aku menghamburkan badan atau memeluk sang ayah.
"Ayah, kok tumben sekali pulangnya cepat?"
"Ayah pulang cepet karena mau ngasih kabar gembira buat kamu, Nak."
Mendengar kabar gembira, tentu semangatku langsung membara, perasaan lelah karena bekerja di toko roti tadi, lenyap begitu saja.
"Ayah mau nikah lagi."
Bagai tersambar petir mendengarnya, padahal diriku sangat berharap bahwa ayah ingin membawaku liburan bersamanya, tetapi, berita yang kudengar malah ayah ingin menikah lagi.
"Ayah, aku enggak salah denger, kan?"
"Enggak, Nak. Memangnya kenapa?"
Sedikit tapi pasti, air mataku menetes. "Maaf, tapi Aristela enggak setuju kalau Ayah menikah lagi, apakah Ayah merasa kurang kasih sayang dari seorang istri atau merasa kurang belaian? Itu tidak perlu, karena Aristela bisa mengurus Ayah kok, kecuali untuk anu," ujarku menggantung.
"Anu?" tanya Ayah dengan alis yang naik sebelah.
"Untuk belaian Aristela enggak bisa, kecuali cuman mijitin pundak Ayah karena capek."
"Nak, Ayah harus menikah, bukan karena kurang belaian, coba kamu ingat, umur kamu berapa sekarang ini?"
"Baru 20 tahun."
"Usiamu tidak akan terasa dan akan terus bertambah, dan semakin dewasanya dirimu, maka kamu akan berpikiran untuk menikah. Nah, ketika dirimu menikah tentu kamu mengikut pada suamimu dan yang ngurus ayah siapa?"
Aku berpikir keras, benar juga yang dikatakan ayah, tetapi ... ini terlalu berat, nanti kasih sayang ayah harus terbagi kepada istrinya, belum lagi kalau istrinya itu baik, kalau jahat layaknya di sinetron? Ah ... tak dapat kubayangkan jika harus seperti itu. Aku merutuki diri karena menjadi anak tunggal, kenapa ayah tidak mencetak anak banyak-banyak? Jadi halangan untuk menikah itu semakin besar, akan tetapi ... semuanya sudah menjadi nasib dan aku harus membuat ayah gagal menikah.
"Ayah, pikirin berkali-kali dulu, memangnya siapa sih yang mau jadi istri dari duda anak satu?"
Posisi ayah langsung berubah dengan gaya yang sedikit cool.
"Banyak, apalagi Ayah ini kaya dan ganteng, siapa yang berani menolak? Bahkan gadis-gadis seumuranmu tentu membutuhkan sugar daddy seperti Ayah ini."
"Menjijikkan, palingan mereka dekat karena cuman mau iphone doang," balasku dan ayah langsung melototkan mata.
"Kok kamu tahu, Nak?"
"Eh, Ayah sering gituan yah?"
"Enggaklah, Ayah tuh selalu waras, itu terlalu beresiko dilakukan, selain itu ... Ayah punya anak gadis yaitu kamu, jika Ayah ingin melakukan maksiat, Ayah selalu berpikir berkali-kali, karena jika kamu menjadi korban gila iphone terus melakukan hal-hal yang begitu menjijikkan, pasti Ayah marah besar dan kecewa."
"Ayah sejak kapan pandai bertaubat seperti ini?" tanyaku dengan nada terharu.
"Kamu ingin Ayah jadi Bapak yang durhaka terus nebar benih di mana-mana agar kamu punya adik yang banyak?"
"Jangan sampai, Aristela pasti malu, dong."
"Cih, kamu sampai malu punya Ayah ganteng seperti Bapak?"
"Kadang malu karena Ayah selalu narsis sama tebar pesona."
"Haish ... sudahlah, jadi kesimpulannya, Ayah akan menikah nanti, untuk calon ibu tiri, kamu enggak usah khawatir, Nak. Dia baik, tentu Ayah tidak sembarang memilih janda."
"Aristela enggak rela. Pokoknya Ayah jangan nikah dulu, aku belum siap."
Ayah sibuk dengan ponselnya sembari tersenyam-senyum, dapat kutebak dirinya kemungkinan saling mengirim pesan dengan calon mama baru atau tiri, segala upaya harus aku lakukan untuk membatalkan niatan mereka. Namun, menggunakan cara apa? Apakah aku harus mempermalukan ayah? Akan tetapi ... aku takut kalau ayah sampai marah atau kecewa karena putrinya menghancurkan harga diri di hadapan janda itu."Nak, nanti malam siap-siap, kita bakalan ke rumah calon mama tiri kamu, ingat ... jangan sampai membuat Ayah malu yah," pinta Ayah, sorotan matanya pun memancarkan kebahagiaan, membuatku berpikiran ulang untuk melakukan hal bodoh di hadapan calon istrinya, akan tetapi aku juga tidak ingin jika ayah menikah lagi."Iyah, Ayah, tapi tergantung dari calon mamah juga nantinya, kalau bagus Aristela bakalan nerima, kalau agak kegatelan, maaf, Aristela bakalan nunjukkin sifat malu-maluin secara alamiah," balasku dan Ayah berdecak sebal."Awas!"
Otomatis, badanku tiba-tiba terdiam kaku dengan tangan yang menyentuh pintu kamar, dekat toilet yang kusinggahi tadi.Saat kepalaku berbalik, aku menjumpai lima pria yang salah satunya ada Pak Raden di sana."Kamu kan anaknya Pak Adibal, ngapain ke sini, Nak?" tanya Pak Raden. Perlahan kegugupan menyelimuti perasaanku, terlebih lagi keempat pria yang sedang menatapku dengan lekat dari atas sampai bawah."Ta-tadi saya denger orang nyanyi suaranya bagus, Pak. Jadi saya mengintip karena penasaran, tau-taunya Bapak datang ngagetin saya deh," jawabku jujur, karena kejujuran adalah kebenaran yang dapat membuat perasaanku semakin lega kemudian tapi belum bisa menghilangkan sedikit kegugupan yang tersisa.Author Pov"Ngomong-ngomong mamah pengen nikah lagi sama seorang duda anak satu dan ternyata dialah anaknya," sahut pria yang bernama Agam, anak kedua dari kelima saudaranya."Wah, cantik
Huft, di tengah sibuknya mereka berbincang, kumanfaatkan situasi tersebut untuk kabur dan untungnya Pak Raden begitu mengerti posisiku, sehingga dia hanya tersenyum sembari mengangguk, diriku pun akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di samping ayah yang sedang berbicara bersama Tante Cahyani.Aku memandang Ibu Cahyani, walau umurnya sudah di atas kepala lima, dia masih cantik juga, pantas ayah terpana sama dia, bahkan senyum dan suaranya pun membuat orang yang mendengarnya jadi nyaman.Kalau begini, aku setuju jika Tante Cahyani menjadi pengganti ibuku, karena ayah sama dia tak ada tanda-tanda ingin saling memanfaatkan, bahkan tatapan mereka tak bisa berbohong untuk saling mengungkapkan."Nyonya Cahyani, sebentar lagi, mereka berlima akan menyusul," lapor Pak Raden dan Tante mengangguk lalu memersilakan Pak Raden yang pamit kemudian.Tak lama, apa yang dikatakan Pak Raden telah terbukti, di mana kelima putra Tan
Tidak perlu membayangkan wajahku, tentu memerah! bisa-bisanya calon kakak tiriku ini membicarakan hal itu, hal yang paling memalukan untukku."Mengintip?" Dan ayah mulai bertanya dan hidupku akan semakin memalukan ketika Tante Cahyani pun tahu."Hm, konyol sekali, tadi dia tertangkap basah karena mengintip di kamar Abang Abraham yang lagi menyanyi sambil bertelanjang dada."Cowok yang bernama Agam ini sialan sekali, tetapi aku harus mengontrol emosi karena dia calon abangku juga, jadi wajahnya sangat disayangkan untuk dilukai karena tampan.Ayah langsung menatapku, tatapannya seolah memberitahu bahwa kelakuanku sangatlah absurd."Tadi Aristela ngintip karena penasaran sama siapa yang nyanyi, suaranya keren banget, Tante," ucapku menatap Tante Cahyani penuh ketulusan karena aku tidak bisa membuat alasan lain lagi selain kejujuran, karena jujur adalah keteguhan yang sering ayah ajarkan padaku.
Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek."Kak Aristela kesehariannya apa saja?"Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga."Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata."Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"
Author Pov"Nikah sama Adnan? Enggak ah, aku enggak mau sama brondong, maunya sama yang dewasa."Adnan mengembuskan napas ketika mendengar kata 'dewasa' ia mengerti akan hal itu, karena yang dimaksud oleh Aristela selain dewasa, juga yang mapan, padahal Adnan ada ketertarikan pada gadis tersebut walau umur mereka berjarak beberapa tahun.Hal yang dipercayai oleh Adnan untuk mendapatkan Aristela adalah, jodoh takkan ke mana bila Tuhan telah menakdirkan, jika status saudara tiri menghalangi, Adnan rasa itu tidak cukup, karena mereka bukan saudara sepersusuan, jadi tidak ada masalah."Adnan? Ngapain ngelamun? Ayo balas perkataanku dong," pinta Aristela.Adnan tersenyum kemudian menunjukkan ekspresi berpikirnya, tidak lama kemudian, ia pun menjawab dengan berupa pertanyaan pula, "Kalau Kak Aristela maunya sama yang dewasa, berarti ada tiga pilihan, yaitu Kak Abraham, Kak Agam, sama Kak August, ayo pilih
Aristela PovPembicaraanku bersama Adnan harus berakhir ketika suara Tante Cahyani mengagetkan kami dari belakang."Ternyata kalian ada di sini. Adnan, tuntun Aristela ke dalam, karena kita akan makan malam bersama," ucap Tante Cahyani kemudian meninggalkan kami. Adnan pun mulai berdiri dan diriku menyusulnya yang sedang menggerakkan tangan sebagai kode agar aku mengikutinya.Setelah sampai di ruang makan, ternyata hanya kami berdua yang belum datang sebelumnya, karena ayah dan keempat saudara Adnan sudah duduk di kursi masing-masing."Nak, kamu duduk di sampingnya Abraham enggak apa-apa, kan?" tanya Tante Cahyani, sebenarnya diriku tentu keberatan karena harus berada di samping pria menyebalkan itu, terlebih lagi dia kurang lebih seperti ayah yang terlihat narsis dan suka tebar pesona."Eum, kalau Aristela di sampingnya Adnan enggak apa-apa kan, Mah?" sahut Adnan tiba-tiba dan aku langsung menatapn
Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam."Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan."Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak.""Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he.""Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela h