Ayah sibuk dengan ponselnya sembari tersenyam-senyum, dapat kutebak dirinya kemungkinan saling mengirim pesan dengan calon mama baru atau tiri, segala upaya harus aku lakukan untuk membatalkan niatan mereka. Namun, menggunakan cara apa? Apakah aku harus mempermalukan ayah? Akan tetapi ... aku takut kalau ayah sampai marah atau kecewa karena putrinya menghancurkan harga diri di hadapan janda itu.
"Nak, nanti malam siap-siap, kita bakalan ke rumah calon mama tiri kamu, ingat ... jangan sampai membuat Ayah malu yah," pinta Ayah, sorotan matanya pun memancarkan kebahagiaan, membuatku berpikiran ulang untuk melakukan hal bodoh di hadapan calon istrinya, akan tetapi aku juga tidak ingin jika ayah menikah lagi.
"Iyah, Ayah, tapi tergantung dari calon mamah juga nantinya, kalau bagus Aristela bakalan nerima, kalau agak kegatelan, maaf, Aristela bakalan nunjukkin sifat malu-maluin secara alamiah," balasku dan Ayah berdecak sebal.
"Awas!"
"Iyah, Ayah."
Pikiranku pun bergelut di malam hari, serta diriku pun telah bersiap-siap untuk menuju rumah calon mamahku itu, bagaimana dengan sifatnya? Bagaimana pula dengan anak-anaknya nanti yang akan menjadi saudaraku.
Tiba-tiba, ketukan di balik pintu kamar terdengar, dan suara ayah mulai menyahut, "Aristela, kamu udah siap? Soalnya kita udah mau berangkat nih."
"Iyah, Ayah. Aristela udah siap, tunggu sebentar," balasku, kemudian menghirup udara sedalam mungkin lalu mengembuskannya secara perlahan, semoga calon ayah baik dan seperti ibu kandungku yang telah meninggal pada dua tahun yang lalu.
Aku mulai melangkah, membuka pintu dan kini berhadapan dengan ayah yang begitu tampan dan memesona, membuatki makin tak rela jika calon istrinya nanti bagaikan wanita haus hanya akan harta ayah saja.
Ngomong-ngomong, ayahku memiliki usaha cafe menengah, tidak terlalu besar tapi penghasilannya lumayanlah untuk menghidupiku serta membayar uang kuliahku yang agak mahal.
Bukan hanya usaha cafe, tetapi usaha bunga dari almarhum mamahku pun ayah yang mengurusnya, walau terkadang diserahkan kepadaku untuk menggantikannya sebentar kalau ayah sedang sibuk.
Selain itu, ayah juga seorang PNS lebih tepatnya kepala sekolah di salah satu sekolah menengah atas, jika dipikir-pikir, sesibuk apa sih ayahku? Jelas sangat sibuk, kadang manajemen waktunya pun sampai keteteran dan membuatnya selalu pusing, untunglah aku selalu membantunya walau ayah pun selalu melarangku. Namun, sebagai anak, jika melihat ayahnya terlalu lelah, apakah dia tega? Tidak, aku takkan membiarkan hal itu terjadi, karena aku sangat menyayangi ayah, melihatnya saja sakit aku pasti selalu menangis karena takut kehilangannya, maka dari itu ... aku agak posesif ke ayah dan selalu menanyakan ke mana dia akan pergi pada waktu di luar pekerjaannya.
Sekarang, kami pun berangkat ke rumah calon istri ayah. Di perjalanan ayah terlihat tidak sabaran sekali, sampai membuatku semakin penasaran, sewah apa sih wanita yang berstatus janda itu? Aku sedikit bersyukur jika dia janda, karena kalau gadis, pasti aku meradang, mengingat gadis-gadis jaman now itu memilih sugar daddy kebanyakan karena hanya ingin memanfaatkan harta atau memiliki tujuan tertentu.
"Kita sudah sampai."
Ucapannya ayah menyadarkanku dari lamunan yang terlalu mengarah negatif ke calon ibu tiri, ditambah lagi pikiran itu langsung sirna saat suatu pemandangan menggantikan segalanya, di mana rumah yang disinggahi begitu megah dan besar.
Perlahan pikiran burukku pun berkurang terutama pada janda itu yang berkemungkinan menikahi ayahku karena hanya ingin mengeruk hartanya. Namun, dengan rumah yang megah itu sudah membuktikan bahwa diriku salah prasangka. Selanjutnya, batinku bertanya-tanya, apakah janda ini lebih kaya dari ayah? Entahlah, karena sekarang aku hanya mengikuti langkah ayah dari belakang.
"Oh, Bapak Adibal Keswara, yah?"
Ayah mengangguk dan menunjukkan senyum ramahnya kepada seorang laki-laki yang mengenakan baju kaos serta celana training.
"Silakan masuk, Pak. Saya akan panggilkan Ibu Cahyani," lanjut bapak-bapak tersebut memersilakan kami untuk masuk, sementara dia sedang mencari seorang wanita yang bernama Cahyani dan kemungkinan dialah calon ibu tiriku.
"Nak, jangan malu-maluin Ayah, yah."
"Siap, Ayah. Kalau gini mah enggak bakalan malu-maluin, he he."
Niat yang telah kupersiapkan pun perlahan memudar tapi tidak hilang sepenuhnya, karena aku akan terus mengawasi Ibu Cahyani itu yang sekarang sudah berjalan ke arah kami dengan senyumnya yang tipis.
"Akhirnya kamu mau datang juga, Adibal, padahal ... udah berapa kali aku undang kamu selalu ngebatalin, loh."
"Aku kan sudah bilang kalau semuanya tergantung sama kesempatannya putriku Aristela, jadi baru malam ini sempatnya," balas Ayah yang nampak canggung sekali, padahal sewaktu berbalas pesan begitu terlihat bahagia. Apakah waktu perkenalan mereka baru beberapa bulan ini?
"Aristela, yang di samping kamu, bukan?"
Namaku disebut dan otomatis aku tersenyum lalu menyapanya, "Halo, Tante."
"Aduh, cantik banget, loh."
Tante Cahyani menghampiriku dan menyubit pipiku dengan gemas, aku merasa agak aneh lantaran umurku sudah 20 tahun tapi diperlakukan seperti ini, akan tetapi ... aku kembali mengingat ucapan ayah untuk tidak mempermalukannya, maka dari itu aku masih bisa menahan diri untuk tidak menghancurkan moment ini.
"Salam kenal Tante, saya Aristela."
"Nama Tante Cahyani, kamu tunggu sebentar yah, Tante mau manggil mereka dulu," balasnya dan aku mengernyit karena tidak tahu siapa mereka itu.
Beberapa detik kemudian, sebelum Tante Cahyani pergi, aku merasa kebelet untuk buang air kecil, segera aku menyahut, "Tante, maaf. Kamar mandinya di mana yah? Saya mau pipis, he he."
"Owalah, mau pipis toh, Pak Raden, Pak Raden," panggil Bu Cahyani, dan pria yang menyambut kedatangan kami tadi segera datang dan membalas, "Iyah Nyonya, ada apa?"
"Kamu antar dia ke kamar mandi yah, sekalian panggilin anak-anak juga, mumpung lagi lengkap dan momentnya pas sekali untuk membicarakan sesuatu yang serius," jawab Tante Cahyani, dan Pak Raden pun mengangguk lalu menuntunku ke toilet.
Sampai di tujuan, tak lupa diriku berterima kasih kepada bapak-bapak tersebut lalu dengan cepat diriku masuk ke kamar mandi.
Rasanya amat lega setelah mengeluarkan sesuatu yang begitu meresahkan, jika aku pipis berdiri di sana, rasa malu pasti tak terbayangkan.
Saat menuju tempat semula, aku mendengar suara seseorang bernyanyi dan suaranya itu sangat bagus, karena penasaran, aku mencoba mengintip dan karena situasinya mendukung yang berupa pintu sedikit terbuka, tentu aku memanfaatkannya dengan baik serta dengan langkah yang pelan agar si laki-laki itu tidak sadar kalau ada bidadari cantik yang mendengar suaranya.
Suaranya semakin jelas, bahkan bentuk tubuhnya pun juga tak kalah jelas, dan ... astaga, ganteng sekali! Mataku langsung cerah begitu saja ketika disuguhkan pemandangan yang luar biasa indahnya.
"Hei, kamu lagi ngapain di sana?!"
Otomatis, badanku tiba-tiba terdiam kaku dengan tangan yang menyentuh pintu kamar, dekat toilet yang kusinggahi tadi.Saat kepalaku berbalik, aku menjumpai lima pria yang salah satunya ada Pak Raden di sana."Kamu kan anaknya Pak Adibal, ngapain ke sini, Nak?" tanya Pak Raden. Perlahan kegugupan menyelimuti perasaanku, terlebih lagi keempat pria yang sedang menatapku dengan lekat dari atas sampai bawah."Ta-tadi saya denger orang nyanyi suaranya bagus, Pak. Jadi saya mengintip karena penasaran, tau-taunya Bapak datang ngagetin saya deh," jawabku jujur, karena kejujuran adalah kebenaran yang dapat membuat perasaanku semakin lega kemudian tapi belum bisa menghilangkan sedikit kegugupan yang tersisa.Author Pov"Ngomong-ngomong mamah pengen nikah lagi sama seorang duda anak satu dan ternyata dialah anaknya," sahut pria yang bernama Agam, anak kedua dari kelima saudaranya."Wah, cantik
Huft, di tengah sibuknya mereka berbincang, kumanfaatkan situasi tersebut untuk kabur dan untungnya Pak Raden begitu mengerti posisiku, sehingga dia hanya tersenyum sembari mengangguk, diriku pun akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di samping ayah yang sedang berbicara bersama Tante Cahyani.Aku memandang Ibu Cahyani, walau umurnya sudah di atas kepala lima, dia masih cantik juga, pantas ayah terpana sama dia, bahkan senyum dan suaranya pun membuat orang yang mendengarnya jadi nyaman.Kalau begini, aku setuju jika Tante Cahyani menjadi pengganti ibuku, karena ayah sama dia tak ada tanda-tanda ingin saling memanfaatkan, bahkan tatapan mereka tak bisa berbohong untuk saling mengungkapkan."Nyonya Cahyani, sebentar lagi, mereka berlima akan menyusul," lapor Pak Raden dan Tante mengangguk lalu memersilakan Pak Raden yang pamit kemudian.Tak lama, apa yang dikatakan Pak Raden telah terbukti, di mana kelima putra Tan
Tidak perlu membayangkan wajahku, tentu memerah! bisa-bisanya calon kakak tiriku ini membicarakan hal itu, hal yang paling memalukan untukku."Mengintip?" Dan ayah mulai bertanya dan hidupku akan semakin memalukan ketika Tante Cahyani pun tahu."Hm, konyol sekali, tadi dia tertangkap basah karena mengintip di kamar Abang Abraham yang lagi menyanyi sambil bertelanjang dada."Cowok yang bernama Agam ini sialan sekali, tetapi aku harus mengontrol emosi karena dia calon abangku juga, jadi wajahnya sangat disayangkan untuk dilukai karena tampan.Ayah langsung menatapku, tatapannya seolah memberitahu bahwa kelakuanku sangatlah absurd."Tadi Aristela ngintip karena penasaran sama siapa yang nyanyi, suaranya keren banget, Tante," ucapku menatap Tante Cahyani penuh ketulusan karena aku tidak bisa membuat alasan lain lagi selain kejujuran, karena jujur adalah keteguhan yang sering ayah ajarkan padaku.
Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek."Kak Aristela kesehariannya apa saja?"Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga."Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata."Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"
Author Pov"Nikah sama Adnan? Enggak ah, aku enggak mau sama brondong, maunya sama yang dewasa."Adnan mengembuskan napas ketika mendengar kata 'dewasa' ia mengerti akan hal itu, karena yang dimaksud oleh Aristela selain dewasa, juga yang mapan, padahal Adnan ada ketertarikan pada gadis tersebut walau umur mereka berjarak beberapa tahun.Hal yang dipercayai oleh Adnan untuk mendapatkan Aristela adalah, jodoh takkan ke mana bila Tuhan telah menakdirkan, jika status saudara tiri menghalangi, Adnan rasa itu tidak cukup, karena mereka bukan saudara sepersusuan, jadi tidak ada masalah."Adnan? Ngapain ngelamun? Ayo balas perkataanku dong," pinta Aristela.Adnan tersenyum kemudian menunjukkan ekspresi berpikirnya, tidak lama kemudian, ia pun menjawab dengan berupa pertanyaan pula, "Kalau Kak Aristela maunya sama yang dewasa, berarti ada tiga pilihan, yaitu Kak Abraham, Kak Agam, sama Kak August, ayo pilih
Aristela PovPembicaraanku bersama Adnan harus berakhir ketika suara Tante Cahyani mengagetkan kami dari belakang."Ternyata kalian ada di sini. Adnan, tuntun Aristela ke dalam, karena kita akan makan malam bersama," ucap Tante Cahyani kemudian meninggalkan kami. Adnan pun mulai berdiri dan diriku menyusulnya yang sedang menggerakkan tangan sebagai kode agar aku mengikutinya.Setelah sampai di ruang makan, ternyata hanya kami berdua yang belum datang sebelumnya, karena ayah dan keempat saudara Adnan sudah duduk di kursi masing-masing."Nak, kamu duduk di sampingnya Abraham enggak apa-apa, kan?" tanya Tante Cahyani, sebenarnya diriku tentu keberatan karena harus berada di samping pria menyebalkan itu, terlebih lagi dia kurang lebih seperti ayah yang terlihat narsis dan suka tebar pesona."Eum, kalau Aristela di sampingnya Adnan enggak apa-apa kan, Mah?" sahut Adnan tiba-tiba dan aku langsung menatapn
Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam."Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan."Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak.""Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he.""Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela h
Keempatnya tak dipedulikan oleh Aristela karena gadis tersebut lebih mementingkan Adnan sekarang, buktinya ... Aristela menghampiri Adnan untuk meraih tangan anak tersebut agar dia cepat-cepat bèrsiap untuk sekolah, sebelum waktu termakan lebih banyak hanya karena mendengar kelima saudara membahas hal yang konyol."Kamu udah siap, kan? Kalau gitu ayo, nanti Kakak telat kerja," ucap Aristela dan Adnan menurut."Bang minta duit dong buat jajan," pinta Adnan cengengesan dan Aristela langsung menyicingkan matanya karena perkataan Adnan tak sesuai dengan ucapannya kemarin."Iddih, katanya punya banyak duit buat jajanin Kakak tiap bulan, tapi nyatanya minta-minta," ucap Aristela dengan tawa yang mengiringi."Nih lima rebu, harus irit.""Bjir, pelit banget lu, Bang, masa dikasih lima rebu doang?""Syukur-syukurlah, lo harus hemat karena di luaran sana masih banyak orang yang s