Otomatis, badanku tiba-tiba terdiam kaku dengan tangan yang menyentuh pintu kamar, dekat toilet yang kusinggahi tadi.
Saat kepalaku berbalik, aku menjumpai lima pria yang salah satunya ada Pak Raden di sana.
"Kamu kan anaknya Pak Adibal, ngapain ke sini, Nak?" tanya Pak Raden. Perlahan kegugupan menyelimuti perasaanku, terlebih lagi keempat pria yang sedang menatapku dengan lekat dari atas sampai bawah.
"Ta-tadi saya denger orang nyanyi suaranya bagus, Pak. Jadi saya mengintip karena penasaran, tau-taunya Bapak datang ngagetin saya deh," jawabku jujur, karena kejujuran adalah kebenaran yang dapat membuat perasaanku semakin lega kemudian tapi belum bisa menghilangkan sedikit kegugupan yang tersisa.
Author Pov
"Ngomong-ngomong mamah pengen nikah lagi sama seorang duda anak satu dan ternyata dialah anaknya," sahut pria yang bernama Agam, anak kedua dari kelima saudaranya.
"Wah, cantik juga, kenapa mamah harus nikah sama bapaknya? Kalau begini Adnan enggak bisa macarin dia, nih," goda laki-laki yang bernama Adnan, Adnan ini merupakan anak yang paling bungsu.
"Anak kecil tau apa tentang pacaran?" tanya satunya lagi yang bernama August.
"Masih kecil main pacar-pacaran, tidak boleh Adnan!" tambah kakaknya yang satu lagi, bernama Adelard.
Agam yang sedari tadi memerhatikan Aristela kini mendekati gadis tersebut, semakin dekat hingga Aristela hampir terjatuh karena terus memundurkan langkah dan tanpa sadar pintu yang menjadi sandarannya terbuka akibat tidak tertutup rapat.
Seseorang yang paling digilai oleh Aristela tadi adalah Abraham, sang anak sulung dari kelima saudaranya.
Susunan dari anak Cahyani adalah. Abraham (27) merupakan anak pertama, disusul oleh Agam (24), lalu August (22) terus ke Adelard (20) dan berakhir di Adnan (17).
Sewaktu Abraham bernyanyi, pria tersebut diintip oleh Aristela dengan keadaan tidak memakai baju, hanya celana boxer yang menutupi bagian bawahnya karena kebetulan pula Abraham habis mandi di saat tersebut.
"Ada apa ini? kenapa ramai sekali?" tanya Abraham yang akhirnya keluar karena pintu kamarnya yang terbuka, tak hanya itu, pandangannya pun menyelusuri tubuh Aristela untuk mengenali siapa wanita itu.
"Lalu, dia siapa? Sepertinya Abang baru liat."
"Dia anaknya ...." Adnan berpikir keras, hingga Pak Raden yang berada di tengah mereka pun menyahut, "Anaknya Pak Adibal, calon ayah baru kalian."
Setelah Raden meneruskan perkataan Adnan, maka keempatnya pun kaget. Untuk Agam, dia tentu biasa saja karena dirinya tidak sengaja mendengar percakapan ibunya dengan seseorang tadi sore dan kalimat yang ia dengar membahas pernikahan.
"Haish ... kenapa kalian baru kaget? Terutama August, Adelard, dan Adnan, tadi Abang kan udah kasih tau pas si cewek ini tertangkap basah," ujar Agam dan ketiga adiknya hanya cengengesan.
"Shit! Kau tau dari mana Mamah bakalan nikah?"
"Tadi sore pas lagi teleponan sama seseorang, kemungkinan bapaknya si cewek itu," jawab Agam, setelah mengatakan 'cewek itu' Agam mencari-cari keberadaan Aristela, dia pun kebingungan, ke mana gadis tersebut padahal tadi dia ada di depan pintu kamar Abraham.
"Anaknya Pak Adibal sudah pergi dari tadi, kalau begitu, Bapak pergi juga yah, masih banyak yang mau saya kerjakan."
"Astaga, Bapak kenapa enggak kasih tau kami kalau dia itu lagi kabur, Pak?" tanya Agam frustasi dan Pak Raden hanya mengangkat kedua bahunya, lalu meninggalkan kelima pria itu.
Agam pun menghampiri kakaknya dan mengatakan, "Kita disuruh ke ruang tamu, kata Pak Raden, Mamah ingin membicarakan hal yang serius, kemungkinan ini akan membahas pernikahannya nanti," ujar Agam.
Abraham yang mendengarnya pun merespon, "Kalau gue setuju aja kalau Mamah menikah, apalagi Papah udah lama meninggal, kurang lebih sepuluh tahun dan kemungkinan Mamah butuh seorang suami supaya dapat dibelai-belai setiap malam jumat," balas Abraham, dan keempat adiknya tertawa.
"Gue juga setuju sih, Bang. Apa pun keputusan Mamah Adnan bakalan terima, asal Mamah bahagia aja," sahut Adnan dan mendapatkan picingan mata dari August.
"Bilang aja lo demen sama anaknya Pak Adibal."
"Iyalah, cantik gitu orangnya. Mau saudara tiri kek, gue bakalan embat."
"Ho ho ho, enggak semudah itu burung cekukur, lo enggak inget punya empat Abang?"
"Adnan ingetlah, Adnan kan punya empat Abang yang laknat, mesum pula semuanya, gue jadi ngeri."
Huft, di tengah sibuknya mereka berbincang, kumanfaatkan situasi tersebut untuk kabur dan untungnya Pak Raden begitu mengerti posisiku, sehingga dia hanya tersenyum sembari mengangguk, diriku pun akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di samping ayah yang sedang berbicara bersama Tante Cahyani.Aku memandang Ibu Cahyani, walau umurnya sudah di atas kepala lima, dia masih cantik juga, pantas ayah terpana sama dia, bahkan senyum dan suaranya pun membuat orang yang mendengarnya jadi nyaman.Kalau begini, aku setuju jika Tante Cahyani menjadi pengganti ibuku, karena ayah sama dia tak ada tanda-tanda ingin saling memanfaatkan, bahkan tatapan mereka tak bisa berbohong untuk saling mengungkapkan."Nyonya Cahyani, sebentar lagi, mereka berlima akan menyusul," lapor Pak Raden dan Tante mengangguk lalu memersilakan Pak Raden yang pamit kemudian.Tak lama, apa yang dikatakan Pak Raden telah terbukti, di mana kelima putra Tan
Tidak perlu membayangkan wajahku, tentu memerah! bisa-bisanya calon kakak tiriku ini membicarakan hal itu, hal yang paling memalukan untukku."Mengintip?" Dan ayah mulai bertanya dan hidupku akan semakin memalukan ketika Tante Cahyani pun tahu."Hm, konyol sekali, tadi dia tertangkap basah karena mengintip di kamar Abang Abraham yang lagi menyanyi sambil bertelanjang dada."Cowok yang bernama Agam ini sialan sekali, tetapi aku harus mengontrol emosi karena dia calon abangku juga, jadi wajahnya sangat disayangkan untuk dilukai karena tampan.Ayah langsung menatapku, tatapannya seolah memberitahu bahwa kelakuanku sangatlah absurd."Tadi Aristela ngintip karena penasaran sama siapa yang nyanyi, suaranya keren banget, Tante," ucapku menatap Tante Cahyani penuh ketulusan karena aku tidak bisa membuat alasan lain lagi selain kejujuran, karena jujur adalah keteguhan yang sering ayah ajarkan padaku.
Kami tak langsung pulang begitu saja karena ayah dan calon ibuku sedang bermesraan di ruang tamu, sedangkan aku tengah berduaan bersama Adnan di ruang keluarganya, si berondong asik yang menurutku bisa diajak obrol di banding keempat kakaknya yang ketus dan cuek."Kak Aristela kesehariannya apa saja?"Bocil satu ini bertanya tentang keseharianku, berani juga, tapi aku senang karena mungkin ini awal mula aku bisa dekat dengannya, dalam artian kakak adik sesungguhnya, hitung-hitung latihan juga."Kerja di toko roti, kalau kamu? Selain sekolah pasti kerjaannya keluyuran, kan? Atau enggak kumpul-kumpul sama teman terus ngerokok bareng sambil jadi bad boy gitu," tanyaku sambil memicingkan mata."Enak aja, enggaklah, Kak. Gue mah habis sekolah palingan di rumah main game, males nongkrong, temen-temen pada sok sibuk, kalau ngumpul pun semuanya fokus sama hp-nya. Ngomong-ngomong, Kak Aristela enggak kuliah?"
Author Pov"Nikah sama Adnan? Enggak ah, aku enggak mau sama brondong, maunya sama yang dewasa."Adnan mengembuskan napas ketika mendengar kata 'dewasa' ia mengerti akan hal itu, karena yang dimaksud oleh Aristela selain dewasa, juga yang mapan, padahal Adnan ada ketertarikan pada gadis tersebut walau umur mereka berjarak beberapa tahun.Hal yang dipercayai oleh Adnan untuk mendapatkan Aristela adalah, jodoh takkan ke mana bila Tuhan telah menakdirkan, jika status saudara tiri menghalangi, Adnan rasa itu tidak cukup, karena mereka bukan saudara sepersusuan, jadi tidak ada masalah."Adnan? Ngapain ngelamun? Ayo balas perkataanku dong," pinta Aristela.Adnan tersenyum kemudian menunjukkan ekspresi berpikirnya, tidak lama kemudian, ia pun menjawab dengan berupa pertanyaan pula, "Kalau Kak Aristela maunya sama yang dewasa, berarti ada tiga pilihan, yaitu Kak Abraham, Kak Agam, sama Kak August, ayo pilih
Aristela PovPembicaraanku bersama Adnan harus berakhir ketika suara Tante Cahyani mengagetkan kami dari belakang."Ternyata kalian ada di sini. Adnan, tuntun Aristela ke dalam, karena kita akan makan malam bersama," ucap Tante Cahyani kemudian meninggalkan kami. Adnan pun mulai berdiri dan diriku menyusulnya yang sedang menggerakkan tangan sebagai kode agar aku mengikutinya.Setelah sampai di ruang makan, ternyata hanya kami berdua yang belum datang sebelumnya, karena ayah dan keempat saudara Adnan sudah duduk di kursi masing-masing."Nak, kamu duduk di sampingnya Abraham enggak apa-apa, kan?" tanya Tante Cahyani, sebenarnya diriku tentu keberatan karena harus berada di samping pria menyebalkan itu, terlebih lagi dia kurang lebih seperti ayah yang terlihat narsis dan suka tebar pesona."Eum, kalau Aristela di sampingnya Adnan enggak apa-apa kan, Mah?" sahut Adnan tiba-tiba dan aku langsung menatapn
Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam."Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan."Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak.""Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he.""Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela h
Keempatnya tak dipedulikan oleh Aristela karena gadis tersebut lebih mementingkan Adnan sekarang, buktinya ... Aristela menghampiri Adnan untuk meraih tangan anak tersebut agar dia cepat-cepat bèrsiap untuk sekolah, sebelum waktu termakan lebih banyak hanya karena mendengar kelima saudara membahas hal yang konyol."Kamu udah siap, kan? Kalau gitu ayo, nanti Kakak telat kerja," ucap Aristela dan Adnan menurut."Bang minta duit dong buat jajan," pinta Adnan cengengesan dan Aristela langsung menyicingkan matanya karena perkataan Adnan tak sesuai dengan ucapannya kemarin."Iddih, katanya punya banyak duit buat jajanin Kakak tiap bulan, tapi nyatanya minta-minta," ucap Aristela dengan tawa yang mengiringi."Nih lima rebu, harus irit.""Bjir, pelit banget lu, Bang, masa dikasih lima rebu doang?""Syukur-syukurlah, lo harus hemat karena di luaran sana masih banyak orang yang s
Pita langsung tersentak dengan pertanyaan Aristela yang dirasanya sangat lancang itu, sementara menurut Aristela sendiri, dia takkan peduli jika perasaan Pita akan sakit atau teriris akan kalimat sadisnya, karena dia sudah terlanjur buruk mood-nya, ditambah lagi dengan dua wanita songon yang tambah memanas-manasinya."Kenapa diam? Apa ucapanku bener yah? Kalau memang bener, miris banget demi duit sampai segitunya mempermalukan diri sendiri, bahkan harga dirimu dapat ditukar dengan iphone," lanjut Aristela semakin sinis menatap Pita, Pita ingin membalas wanita itu, akan tetapi ... suasana di toko roti semakin ramai dengan hadirnya para pelanggan yang sedang menyaksikan adu mulut mereka.Aristela yang merasakan situasi makin ramai, segera menghindari mereka yang terus menatapnya dan memilih untuk masuk ke dapur saja agar dapat menenangkan diri sejenak."Pagi-pagi langsung disemprot sama bos, nasib ... nasib," gumam Ariste