Share

9

Pagi ini, Aristela sarapan pagi bersama sang ayah, walau berangkat kerjanya agak sedikit lambat di banding hari-hari sebelumnya, tapi itu tidak membuatnya terlambat pula di toko roti karena nanti dia harus ke rumah Tante Cahyani untuk menjemput Adnan, sesuai perjanjian mereka semalam.

"Tumben jam segini baru pergi, biasanya jam enam, kok bisa, Nak?" tanya Adibal, dan pria tersebut sepertinya lupa jika hari ini Aristela ingin ke rumah Tante Cahyani untuk mengantar Adnan.

"Ayah enggak inget kalau Aristela bakalan ke rumahnya Tante Cahyani buat nganterin Adnan?" Setelah memberikan pertanyaan tersebut, Adibal langsung menjitak dahinya dan mengatakan, "Astaga, Papah lupa, Nak."

"Haduh Ayah, makin berumur sih, jadi wajar, he he."

"Eits, makin berumur makin ganteng loh Papahmu ini, Nak. Ngomong-ngomong, mulai sekarang kamu manggil Ayah, pake Papah yah, enggak usah Ayah, agak kuno kedengerennya," balas Adibal dan Aristela hanya menurut dan akan terus mengingat bahwa dia akan memanggil ayahnya dengan sebutan papa mulai detik ini.

"Okey, Pah. Kalau gitu, Aristela berangkat dulu, yah."

Hal yang selalu dilakukan Aristela sebelum berangkat kerja, pastinya mengecup kedua pipi sang ayah, dan Adibal senang akan hal itu.

"Hati-hati, sayang."

"Siap!"

Di sisi lain, di kediaman Cahyani, August geleng-geleng melihat adiknya yang baru saja bangun, padahal sudah jam enam pagi dan nanti, Aristela akan datang ke rumah mereka untuk menjemput adik kebonya yang satu ini.

"Buruan mandi, lo lupa sama Aristela yang bakal jemput lo nanti?"

"Inget, Bang, santai aja ... masih jam enam lewat sepuluh, gue mah mandi cuman lima menitan doang, terus siap-siap."

"Heleh, palingan mandi bebek, jangan lupa mandi junub lo, pasti semalam lagi berbuat dosa karena ngebayangin yang enggak-enggak," balas August dan Adnan melototkan matanya, dari mana sang kakak tahu?

"Jangan ngada-ngada lo, Bang. Dasar fitnah!"

"Ngelak lagi, semalem gue kebetulan pengen minum, terus pintu kamar lo terbuka dikit, nah gue iseng tuh ngintip seperti Aristela ngintipin si Bang Abraham, eh tau-taunya gue liat bocil sangean lagi ngekuda-kudain guling," balas August, tak lupa dengan gelakan tawanya kemudian yang membuat Adnan jadi malu + keringat dingin karena tertangkap basah.

"Ya-yaelah, wajar mah soalnya gue laki, emangnya lo enggak pernah?"

"Pernah lah, tapi gue juga mikir sebelum ngelakuin itu karena ini tuh privasi, kalau sampai ketahuan mah bakalan malu, HA HA HA."

Adnan menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian mendorong August begitu saja untuk keluar dari kamarnya, tak lupa meninggalkan sebuah kalimat yang berupa, "Awas lo, Bang. Kalau gue dapet, bakalan gue videoin."

"Jangan menghibur diri," balas August dengan senyum yang jahil sebelum dirinya benar-benar keluar dari kamar Adnan.

Di dalam kamar, Adnan merutuki diri yang sangat ceroboh, bukan hanya itu, dia menjadi resah ketika membayangkan August menyeritakan hal ini kepada kakak-kakaknya yang lain, tetapi ... dia masih bersyukur karena August tidak merekamnya.

Selesai mandi, Adnan pun menuju ruang makan, saat dirinya melihat jam dinding, masih ada sepuluh menit sebelum Aristela tiba di rumah.

"Ck, ck, ck, sampai terlambat bangun, padahal Aristela udah nunggu di ruang tamu loh, Nak," ucap Cahyani membuat Adnan terkejut, sementara keempat saudaranya sedikit tidak menyangka jika Aristela sepagi ini datang ke rumah mereka.

"Haduh, kalau gitu Adnan harus cepet-cepet nih makannya," balas Adnan yang panik, dia tidak mau membuat seseorang menunggu lebih lama, karena menunggu adalah hal yang menjengkelkan.

"Eh, Aristela bilang enggak apa-apa kalau Adnannya harus sarapan pagi, dia bisa nungguin kamu, tapi inget, jangan terlalu lama juga makannya."

"Mah, gimana kalau Adnan bawa bekal aja? Nanti Adnan makan pas sampai di sekolah, soalnya ini kan masih jam enam lewat dua puluh," saran Adnan dan akhirnya Cahyani setuju.

Saudara Adnan yang lainnya lebih dahulu selesai makan dan mereka sedang bersantai di ruang tamu sembari meminum teh hangat, apalagi di ruangan tersebut juga ada Aristela yang sedang berkutat dengan ponselnya.

"Lo mau minum teh enggak?" tawar Aderald tiba-tiba, tapi tawaran tersebut ditolak halus oleh Aristela. Mendapat respon itu, Aderald mengedikkan bahu dengan kode, baiklah, tidak apa-apa kalau memang tidak mau.

"Gue heran, lo baru kenalan sama adek gue tapi cepet banget akrabnya, pake jurus apa? Terus ... sampai repot-repot segala mau nganterin dia," tanya Agam tiba-tiba.

Aristela mendapatkan pertanyaan dadakan tersebut, membuatnya harus berpikir sejenak lalu menjawabnya dengan lugas, "Enggak pake jurus apa-apa, karena memang aku sama Adnan sefrekuensi, Kak. Jadi gitulah ... mudah akrab, terus masalah repot mah enggak, soalnya aku juga berangkat kerjanya pagi-pagi, malah seharusnya jam enam sih, tapi enggak apa-apa kalau lebih lambat dari biasanya, karena enggak ngebuat aku terlambat juga, sekarang udah puas?" jawab Aristela dengan lengkap dan panjang lebar, gadis itu berharap bahwa Agam maupun ketiga saudaranya tidak melayangkan pertanyaan yang lain.

"Lo kerja apa emangnya?" tanya Agam lagi.

"Kerja di toko roti sebagai karyawan, kenapa emangnya?" tanya balik Aristela dan Agam hanya berkata 'oh'

"Haish, enggak usah nanya kalau ujung-ujungnya oh segala," sebal Aristela tapi dicueki oleh Agam.

Sementara itu, Abraham tak ingin ketinggalan untuk bertanya, "Umur lo berapa?"

"20 tahun."

"Seumuran Aderald ternyata, lo enggak kuliah?"

"Enggak, mending kerja dulu baru kuliah, lagipula aku capek kalau belajar teori mulu, walau pernah pendidikan setahun buat ngejar sertifikat sih, tapi lumayan karena skill-nya pun berguna banget di bidang perkantoran sama administrasi," jawab Aristela dengan senang hati, walau dia berharap pertanyaan dari mereka segera berakhir.

"Berarti, lo sekarang bisa kuliah karena udah dapet pekerjaan, bener kan?"

"Iya juga sih, cuman gimana yah, Kak. Belum ada niat gitu," jawab Aristela lagi dan langsung dibalas oleh Abraham yang membuatnya jengkel seketika, "Bilang aja lo males, enggak usah pake alasan enggak ada niatan."

"Aduh ... ketus banget sih balasannya, dan jawabannya iyah, aku emang malas kuliah, soalnya udah kerja walau pendidikan itu juga penting banget," dengan nada malas, ditunjukkan Aristela secara terang-terangan saat membalas perkataan Abraham satu per satu.

Sekian lama melihat wajah ketus dari keempat laki-laki itu, akhirnya Aristela mampu menyaksikan senyuman dari pangeran Adibrata yang menghipnotisnya selama beberapa detik, hingga dia refleks berkata, "Kok kalian ganteng banget, sih?"

Secara tidak sadar, keempatnya pun menatap Aristela secara bersamaan dengan tatapan yang begitu lekat, bahkan Aderald sendiri semakin menyunggingkan senyumnya dan menambahkan kalimat yang bernada godaan, "Kenapa baru sadar? Kalau kamu bisa jadi wanita yang patuh sama keempat saudaramu ini, kami akan membuatmu bahagia layaknya ratu."

Aristela merasa terbang sesaat tetapi harus disadarkan oleh Adnan yang tiba-tiba datang dengan wajah yang kesal dan tidak terima atas perkataan abangnya itu.

"Keempat pangeran? Terus gue kalian anggap apa?" tanyanya cemberut.

Kompak keempatnya menjawab, "Pengganggu."

■□●○


Gimana nih chapter 9 ini? Makin seru enggak?


Kalau seru, silakan klik tombol like dan jangan lupa komentarnya juga.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suszfridar Ramdhan
ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status