Share

BAB 9. Pergilah Berlibur!

"Ada apa?" tanya Binnie yang sedari tadi melihat Ririn yang terus saja memandang selembaran brosur itu.

"Indah kan?" Ririn yang bertanya kepada temannya itu.

"Iya indah sekali, terkenal dengan pantainya luar biasa," jawab Binnie yang juga ikut melihat brosur itu.

Ririn masih memandangi brosur, dengan sekali-kali bibirnya tersenyum manis. Binnie melihat ekspresi wajah Ririn, yang sepertinya senang sekali hanya melihat brosur itu.

"Pergilah!"

Ririn yang mendengar apa yang dikatakan sama teman itu, ia menoleh ke arah Binnie. Ririn hanya mengelengkan kepalanya saja, sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan sama Binnie.

"Kenapa?"

Saat Ririn ingin menjawab pertanyaan dari temannya itu, suara intruksi terdegar dan menandakan kalau waktu jam istirahat sudah selesai. Semua chef harus kembali lagi untuk memasak.

Kali ini Ririn tak melakukan kesalahan seperti kemarin, dirinya juga memasak seperti biasanya yang selalu nikmat dan memuaskan para tamu yang datang.

"Kau sudah membaik Ririn?"

Ririn terlonjak kaget mendengar pertanyaan itu yang tiba-tiba saja, Ririn kepalanya menoleh ke samping dan melihat kalau kepala chef yang berbicara seperti itu kepada dirinya.

"Sepertinya," jawab Ririn diseratai dengan senyumana.

"Pergilah!!"

"Ha?" bingung Ririn mendengar apa yang dikatakan sama kepala chefnya itu.

"Chef melihat kamu terus saja memperhatikan brosur itu. Jika kamu suka pergilah, jangan hanya memandangi lembaran kertas itu aja."

"Membuang uang," timpal Ririn disertai dengan gelengan kepalanya.

"Sudah waktunya kau membuat dirimu bahagia."

"Tapi..." bingung Ririn.

"Kau sudah bekerja keras, pasti uangmu sangat banyak dan sekarang waktunya, kamu menikmati uangmu itu untuk kebahagiaan dirimu sendiri.

"Semangatlah." kepala chef menepuk pundam Ririn, lalu berjalan untuk melihat chef yang lainnya.

Ririn terdiam setelah mendengar perkataan dari kepala chef-nya, yang mana mengatakan kalau dirinya harus berjalan-jalan agar membuat dirinya sendiri merasa bahagia.

Ririn mengakui kalau selama ini hidupnya ini, hanya tentang bekerja saja, karena tujuannya adalah pengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Agar bisa pesta pernikahan yang mewah dan juga membangun rumah impian bersama dengan sang mantan pacar itu.

Tapi semua itu hanyalah tinggal kenangan saja, karena orang yang ia impikan selama ini adalah orangnya telah menghancurkan hatinya hingga hancur berkeping-keping seperti ini.

"Berliburlah sekalian membuat hatimu menjadi tenang dan jauh lebih baik."

Ririn menoleh dengan cepat dan mendapati kalau kepala chef-nyalah yang bicara. Ia terkejut sekali karena atasan ini, yang selalu saja tiba-tiba bicara.

"Akan saya pikirkan chef." Ririn hanya menjawab itu dan ia kembali melakukan aktivitasnya untuk memasak.

***

Setelah ia memeluk Binnie dilobi hotel, untuk berpisah karena arah rumahnya yang berbeda. Ririn seperti biasa ia berjalan menuju halte bus, kali ini dirinya tak ditemani dengan earphone dan ponselnya.

Barang-barang miliknya rusak karena ia hancurkan, akibat rasa frustasinya yang mengetahui perselingkuhan tersebut. Ririn berjalan sambil matanya yang membaca lembaran brosur itu.

Ririn menatap sekeliling orang-orang Yang sepertinya juga baru pulang bekerja seperti dirinya. Ingatannya kembali mengingat perkataan, yang dilontarkan sama kepala chef-nya tersebut.

Didalam bus juga Ririn memikirkan ucapan kepala chef-nya itu, yang tergiang dikepalanya ini. Selama ini dirinya terus saja bekerja keras, sehingga sering mengambil pekerjaan di saat hari-hari besar.

Agar uangnya cepat terkumpul banyak, tapi Ririn menyadari kalau itu semua hanyalah sia-sia semata. "Apa aku harus pergi?"

Selama perjalanan menuju ke rumahnya, ia selalu bertanya-tanya akan hal itu. Tapi ia takut hanya membuang uang saja, tapi dilain hati dirinya ingin pergi ke tempat dimana ia impiakan selama ini.

Saking Ririn yang memikirkannya, hingga ia tak menyadari kalau dirinya sudah sampai di halte bus yang ia tuju. Hampir saja, Ririn tak bisa turun. Untung saja, ia menyadari kalau dirinya sudah sampai halte bus di dekat rumahnya.

Saat dirinya memikirkan hal itu, hingga membuat ia melamun sambil berjalan menuju rumahnya. 

Bruk.

"Maaf." Ririn membungkukkan kepalanya berkali-kali, kepada orang yang sudah ia tabrak dengan tubuhnya ini.

"Maaf, maaf saya tak hati-hati." Ririn mendongakkan kepala dan tubuhnya langsung saja membeku saat melihat orang yang ia tabrak adalah mantan kekasihnya selingkuh itu.

"Ririn."

Ririn pura-pura tak mengenali pria itu dan langsung saja melewati tubuh Miko. Kakinya berjalan cepat, agar pria tersebut tak mengejarnya.

"Ririn, kita harus bicara."

Semua yang dikatakan sama Miko ia hiraukan dan ia abaikan sama sekali. Ririn malu karena di sepanjang perjalanan, Miko terus saja memanggil dirinya dan mengatakan kalau 'kita harus bicara bicara'

Tapi Ririn masih kekeuh dengan pendiriannya, yang tak ingin bicara sama sekali sama Miko. Bagi Ririn kemarin malam, sudah sangat cukup bicara dan tak perlu mengatakan apapun lagi sama sekali.

"Cukup Miko!" tegas Ririn yang muak dengan pria itu, yang masih saja mengikuti dirinya.

"Kita harus bicara." Miko berkata dengan nada yang lembut sekali.

"Bicara? untuk apa? semua sudah jelas!" Ririn mendorong tubuh Miko, agar menyingkir dari dirinya.

Saat ia sudah sampai didepan rumahnya, sebuah tangan memeluk pinggangnya dengan erat. Ririn tau jelas siapa tangan yang memeluk, pinggangnya ini.

"Maaf, maaf, maaf." Miko berulang kali harus mengatakan kata itu sambil tangannya memeluk erat pinggang Ririn dari belakang.

"Kau tau Miko, disana aku melihat kau memeluk pinggang Mba Vanya. Seperti yang kau lakukan kepadaku hari ini, bedanya hari itu kau memeluk kakakku sendiri bukan pacarmu."

Ririn yang mengingat jelas yang terjadi hari itu. Ia berusaha menguatkan dirinya, agar tak menangis lagi. Seharian ini ia sudah cukup merasa bahagia dan melupakan masalah yang terjadi.

Tapi pria ini datang lagi dan menemuinya. Membuat ia kembali mengingat apa yang mereka lakukan kepada dirinya. Ririn dengan sekuat tenaga melepaskan tangan itu, yang sudah lancang memeluk dirinya.

"Tangan menjijikan ini, dilarang menyentuh gue!!" maki Ririn sambil berusaha melepaskan tangan Miko dari pinggangnya.

Ririn menatap tajam ke arah Miko, lalu ia masuk ke dalam rumahnya. Tapi suara pintu rumahnya terbuka dan Ririn melihat Mba Vanya yang keluar.

"Suruh pacarmu itu jaga sikap!" Ririn berkata seperti itu dengan tegas kepada kakaknya.

Lalu Ririn masuk ke dalam rumahnya dan langsung saja menuju ke dalam kamarnya. Tubuhnya terjatuh dilantai, ia hampir saja goyah perasaanya ini.

Pelukan hangat dari Miko yang selalu ia rindukan. Membuat perasaanya kembali mengingat masa lalu yang indah bersama dengan Miko.

"Tak boleh Ririn, kau harus move-on." Ririn yang bicara kepada dirinya sendiri, agar tak termakan ucapan pria itu lagi.

Hubungan sudah hancur karena perselingkuhan dan tak boleh kau masih menyimpan rasa kepada pengkhianat tersebut.

Ririn bangkit untuk berdiri dan berjalan menuju ke lemari kamarnya, ia membuka laci kecil dan mengambil buku tabungan miliknya. Ia membuka buku tabungan yang mana adalah uang, untuk modal membangun rumah tangga bersama dengan Miko.

"370 juta."

Uang yang selama ini dirinya kumpulkan lumayan banyak. Ririn mengambil brosur itu lagi yang berada di tas miliknya dan mengeluarkannya.

"Apa harus pergi? hati ini sepertinya memang butuh ketenangan."

Hari Ririn menjadi bimbang karena ada rasa gejolak didalam dadanya. Pertengkaran batin antara pergi atau tidak.

Ririn berjalan menuju jendela kamarnya, ia ingin melihat apa yang dilakukan pasangan selingkuhan itu. Ririn melihat kalau kakaknya, yang sepertinya sedang marah-marah sama Miko.

Mungkin saja marah karena Miko yang memeluk dirinya. "Mari kita pergi Ririn." tangannya menyentuh dadanya, yang mana masih jelas merasakan kesakitan sebuah pengkhianatan.

"Mari kita pergi ke Hawai." 

Ririn sudah menetapkan pada sebuah pilihan, yang baik bagi dirinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wini Widiana
nice text nya butuh dikoreksi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status