Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.
“Jadi istri kamu itu ...”
“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.
“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.
“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”
“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”
“Apa, hamil?”
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Kamar apartemen termegah di salah satu kota Jakarta tampak remang-remang di malam hari. Kedua mataku rasanya sangat berat, membuat aku semakin susah membukanya. Aku juga merasakan tubuhku sangat memanas, atau lebihnya berhasrat. Kedua mataku sedikit mengernyit melihat seorang wanita berkacak pinggang di hadapanku.“Hah, bagaimana mungkin aku berhasil didapatkannya? Padahal aku bersusah payah berlari untuk menghindar darinya.”Wanita itu berjalan menuju ke ranjang dengan pelan, tempat di mana aku terbaring. Semakin dekat, aku semakin jelas melihatnya.“Tidak mungkin aku akan melakukannya. Tapi, aku ini laki-laki normal. Tidak mungkin aku akan tahan melihat wanita sangat cantik di hadapanku. Duh, bagaimana ini, milikku sangat berdiri.”Dia semakin mendekatiku. Kedua miliknya yang menggunung di atas tubuhnya, berada tepat di hadapanku. Aku melotot melihatnya. Bentuknya sangat indah bulat sempurna. Apalagi kulitnya putih dan sangat mul
“Lalu kau apa?” tanyanya sambil mengernyit.Aku masih saja diam terpaku mendengar pertanyaannya. Tidak aku percaya dia masih saja bersikeras dengan keinginannya. Aku semakin kebingungan dengan wanita yang aku temui ini. Sangat mengerikan. “Kau tidak bisa menjawab?” tanyanya kembali semakin membuatku kesal.“Wes, percuma dijelaskan. Aku bukan seperti itu, Mbak,” jawabku tegas.Aku ini Raden Agus. Sifatku lembut dan baik dengan siapapun. Namun, aku sudah dilatih untuk menjadi pemuda yang sangat disiplin. Itu semua Ibu yang mengajarkanku. Apalagi Bapak yang mengharuskanku menjadi seperti itu. Baik, namun tegas. Maklum saja aku adalah calon pewaris keturunan bangsawan. Apalagi dengan wanita, aku tidak boleh bersikap kasar.“Kau masih berpikir?” Dia semakin menatapku. Aku menggelengkan kepalaku, kemudian menghindari tatapannya.“Masih ragu dengan tawaranku?”“Duh, wan
Aku dengan sangat lega, menerima ajakan Nenek. Hidupku sangat beruntung ada Nenek yang menemukanku saat pagi tertidur di jalanan. Aku terselamatkan dari diriku yang akan menjadi gelandangan.“Tapi, rumah Nenek kecil, dan harus menjual nasi pecel ini tiap hari.”“Aku akan membantu Nenek.”“Ya udah, kau dorong gerobak itu!”“Baik, Nek.”Dengan sangat gagah, aku mendorong gerobak ini. Semua mata memandangku. Apalagi semua wanita yang melintas. Mereka berbisik membicarakan aku, hingga aku menjadi salah tingkah sendiri. Aku terus berusaha tersenyum ke semua arah, sampai tanpa sadar berada di depan kampus yang sangat mewah.“Berhenti di sini! Kita tunggu semua mahasiswa istirahat. Nanti semua mahasiswa yang melintas pasti akan membelinya. Kamu bantu menerima uang, dan menjaganya dari pencuri!”“Siap, Nek,” ucapku sangat bersemangat.Aku masih menebar senyuman kep
Seseorang datang tidak berselang lama setelah aku bertemu wanita tadi, mengetuk pintu rumah Nenek. Aku segera berlari ke dalam kamar, memakai pakaian yang sudah disiapkan Nenek. Kaos berwarna putih yang sangat tipis, dan kekecilan di tubuhku hingga terlihat sangat ketat.“Banyak sekali lubang. Tapi tidak apa-apa, yang penting punya baju,” gumamku segera memakainya dan keluar kamar.“Nenek Suri, keluarlah!” Laki-laki memakai peci, dengan kumis tipis menghiasi wajahnya, yang sepertinya adalah Pak RT. Dia segera masuk ke dalam rumah saat Nenek membuka pintu."Nenek yang membantuku ternyata namanya Suri,” batinku segera berdiri di sebelah Nenek.Laki-laki itu menatapku heran. Dia pasti akan segera mengatakan sesuatu yang membuat perasaanku sangat tidak enak."Nenek, tadi anakku Rahayu pulang ke rumah dengan menangis. Katanya dia melihat laki-laki yang sudah membuka baju di hadapannya. Apa itu dia?” Aku terkejut melih
Aku tidak percaya mendengar apa yang Pak RT mata duitan itu katakan. Aku harus membayar dua kali lipat hanya gara-gara Ayu menangis. Dan aku sendiri tidak tahu kenapa.“Nek, kenapa laki-laki seperti itu terpilih menjadi Pak RT sih, Nek?” tanyaku lemas.Aku masih berpikir dari mana aku bisa mendapatkan uang dua juta itu. Jam tanganku yang harganya ratusan juta saja tidak laku. Apalagi ditambah dengan uang dua juta.“Sudah, jangan kau pikirkan perkataan Pak RT. Dia memang mata duitan. Kerjaannya selalu saja menarik iuran tidak jelas. Tapi, entah kenapa semua warga selalu percaya kepadanya. Mungkin karena dia paling kaya di kampung ini.”“Nanti akan aku balas, Pak RT,” kataku sangat kesal dengannya.“Kamu sebaiknya tidur saja sekarang! Besuk, antar Nenek jualan pecel lagi biar laris.”“Iya, Nek. Tapi, aku mau mencari udara segar dulu. Aku mau menenangkan pikiranku.”“Baikl
Aku semakin tidak mengerti dengan Cinta. Biasanya, laki-laki yang memaksa wanita. Ini lha kok malah wanitanya yang sangat menakutkan. Terlebih lagi, kepemilikanku yang masih berdiri tegang seperti ini. Entahlah aku tadi diberikan minuman jenis apa, sampai aku sangat panas seperti ini.“Mbak, aku tidak bisa. Duh, aku mau pakai pakaian apa ini?”Aku menutup milikku dengan kedua tangan, masih di atas ranjang. Cinta di atas tubuhku, semakin menggodaku. Dia mencoba membuka tanganku yang aku tahan.“Agus, jika kau tidak membukanya, aku akan berteriak hingga semua orang datang, dan aku akan bilang, saya dilecehkan pemuda yang sangat tinggi besar.”“Loh, jangan Mbak! Aku akan mengelak. Mereka tidak akan percaya. Aku akan bilang Mbak yang menjebakku.”“Hahaha, mereka mempercayai gadis kecil cantik seperti diriku, atau dirimu pemuda yang sangat kuat dan tinggi. Mana mungkin aku sekecil ini melecehkan laki-laki besar