Share

Chapter 3 Addicted

Pertemuan Ayse bersama Can begitu cepat. Bukan tanpa alasan, melainkan ketika pria itu menyatakan cintanya dan semua seolah begitu mengalir dengan mudah.

Ayse sudah merasa nyaman berada di pelukan Can. Pria itu duduk di sampingnya, merangkul pinggang Ayse menatap gedung pencakar langit di Istanbul.

“Rumahmu di Ankara. Kenapa bisa sampai ke mari?”

Can mengulum senyum seraya menyisir helaian rambut panjang Ayse. “Sudah kukatakan. Tiga bulan terakhir, aku tau keberadaanmu. Tentu selanjutnya bisa aku dapatkan informasi dengan mudah. Termasuk mendapati namamu terdaftar dalam acara reuni,” ungkap Can.

Ayse menatap lekat manik coklat di sampingnya. “Kau banyak berubah, Can,” cetus Ayse.

“Aku bukan pria yang menganggap semuanya layaknya pertemanan biasa lagi. Aku ingin mengungkapkan semuanya, termasuk perasaanku,” balas pria itu tanpa sungkan.

“Seharusnya aku yang berkata demikian. Kau terlihat kaku. Di mana sosok perempuan manis dan terlihat seperti pria?”

Wajah Ayse bersemu ketika Can mengingatkan ia yang terlihat seperti seorang pria dibandingkan perempuan. Terlihat jelas dari pakaian dan juga kegiatan olahraga basket yang sering dilakukan perempuan dengan tinggi 175 senti itu.

Can tertawa kecil, meraih dagu Ayse dan menyematkan ciuman manis di sana. Ayse masih saja merespons kaku. Terutama kaget dengan perlakuan manis Can.

“Tidak masalah. Kita baru saja bertemu semalam. Perlahan akan terbiasa kembali,” ucapnya tersenyum manis.

“Aku masih tidak menyangka kau bisa mencintaiku, Can,” ucap perempuan itu, tidak menyadari teh mereka masih terisi lebih dari setengah.

Obrolan mereka terlalu banyak, sampai tidak bisa disela oleh sebuah minuman hangat di pagi hari. Banyak hal yang ingin mereka ceritakan sampai usai.

“Aku juga tidak menyangka, kau menerima pernyataan cintaku.”

Ayse bersemu dengan wajah tertunduk malu.

Can terkekeh pelan.

“Semua ini aku lakukan karena keseriusanmu saat di dalam tadi, Can. Maafkan aku yang harus pergi dari Yayasan milik orangtuamu dan memutuskan komunikasi di antara kita.”

“Tidak ada tempat yang bisa membuat aku merasa hidup.”

“Itu karena kau tidak mau menungguku, Ayse,” sahut Can cepat yang sudah melepas rangkulannya.

Pria itu menatap tegas perempuan yang dicintainya.

“Seandainya kau tetap di sana, tumbuh dan menjadi perempuan dewasa di sana, kita akan bertemu selang empat tahun. Aku sudah pulang dan mencarimu. Tapi takdir tengah mempermainkan kita.”

Ayse mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Can. Sampai sekarang dipikiranku hanyalah rasa terima kasih dan ingin membalas budi dengan kebagian Akman.”

“Aku bisa mengganti semua materi,” balas Can membuat Ayse menatapnya cepat.

Sorot Can jika membahas pria dewasa yang pernah mengenyam pendidikan di Yayasan Keluarga Sener selalu saja tidak baik. Ayse bisa melihat tatapan cemburu di sana.

“Itu tidak mungkin,” lirih Ayse.

Can bukanlah pria yang selalu mengedepankan ego. Bersikap dengan perasaan kerasnya. Ia masih bisa berpikir dengan kepala dingin.

Jadi, ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahasnya.

Can sudah meraih wajah Ayse, menatapnya lekat dengan tangkupan lembut itu.

Senyum pria itu mendebarkan perasaan Ayse.

“Aku tidak bisa pernah melupakan ciuman pertama kita, Ayse,” ungkap pria itu membuat pipi Ayse bersemu.

Can mengulum senyumnya. “Saat itu aku tidak tau apa yang aku pikirkan. Mungkin, aku melakukannya karena naluriah sebagai seorang pria muda,” lanjutnya dibalas anggukan pelan Ayse.

“Aku ... Aku juga membalasmu di area lapangan basket di Yayasan saat itu,” balasnya dan menghadirkan degup di jantung mereka kembali.

“Kau tidak sedang mempermainkanku kan, Ayse? Cintamu masih besar untukku?”

Ayse menatap lekat manik coklat dan mendapati keraguan di sana.

“Aku takut kau meninggalkanku,” balasnya membuat Ayse menggeleng.

Kini giliran perempuan itu meraih wajah Can, menangkup paras tampan di hadapannya.

“Justru aku yang harusnya takut kehilanganmu, Can. Selama ini aku juga memantau bagaimana perkembanganmu. Diam-diam aku tersenyum akan prestasi yang kau raih. Tapi, di saat itu pula aku tau, sainganku bukanlah perempuan mudah.”

“Dia Akira. Perempuan yang sekaligus menjadi teman masa kecilmu.”

Can mengusap pipi Ayse dan berucap lembut, “Aku melakukannya karena tidak ada pilihan lain, dibandingkan aku harus menjalin hubungan dengan perempuan lain. Akira jauh lebih mengenal diriku,” ucapnya membuat perasaan Ayse sedikit gelisah.

Ia tampak menyiratkan kecemburuan. “Hubungan kalian sudah sangat jauh,” cetusnya lirih.

Can mengulum senyum. “Kau juga sama dengan Akman, Ayse,” ungkap Can.

Ayse tampak malu dengan pernyataannya sendiri. Karena apa yang Can katakan sungguh benar.

Namun, belum sempat Ayse mengutarakan kalimat selanjutnya. Perempuan itu nyaris memekik mendapati Can sudah meraih pinggangnya dan mendudukkan perempuan itu di pangkuannya.

Ayse salah tingkah. Wajahnya bersemu malu, menatap Can yang memandangnya dengan penuh kerinduan. Ayse pun tampak melihat hasrat pria itu di manik coklatnya.

“Kau mendapati sesuatu di dalam mataku, Ayse?”

Perempuan itu menjawab tidak percaya diri. “Kerinduan dan ... hasrat,” bisiknya dibalas tawa kecil Can.

Ia mengangguk tegas. Pria itu mendekati kepalanya dan berbisik di telinga Ayse lalu berkata, “Kau pernah menjadi fantasi liarku, Sayang,” bisiknya membuat tubuh Ayse menegang.

Can tersenyum nakal seraya mengusap lengan perempuan itu. “Akman pria sukses yang mana baru membawamu ke depan wartawan tiga bulan lalu.”

“Di saat itu aku sadar, kau sudah tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan sangat seksi,” lanjutnya semakin mengantarkan gelenyar dalam tubuh Ayse.

“Kau ... Semakin pandai menggoda dan merayu rupanya.”

Can terbahak. Ia dengan gemas mengeratkan pelukan pada pinggang Ayse dan mencium bergantian pipi perempuan itu.

“Aku mencintaimu, Ayse.”

“Perasaan ini sudah kupendam lama dan aku tidak akan menutupinya lagi. Aku bisa menyesal seumur hidupku jika tidak menyampaikan perasaanku padamu,” lanjutnya yang tidak sanggup membuat Ayse menahan kedua kedutan sudut bibirnya.

“Kau semakin manis saja, Can ...”

“Ucapanmu terkesan seperti perayu ulung,” ungkap perempuan itu dibalas tawa kecil Can.

“Boleh aku menciummu lagi?” bisik Can mendaratkan kecupan manis di tengkuk Ayse ketika ia menyampirkan helaian rambut panjang perempuan-nya.

Ayse menatap Can dengan sebelah alis terangkat. “Apa dari tadi kau sudah meminta izin padaku?”

Can tampak berpikir, mengikuti jahilnya Ayse yang setengah meledek. “Tidak. Aku baru sadar, ternyata tidak sama sekali.”

Ayse tidak bisa menutupi tawanya dan dengan gerakan selaras, tubuh mereka mendekat.

Perempuan itu tidak bisa membohongi perasaannya lebih lama jika Ayse masih mengharapkan kebersamaan mereka kembali nyata.

Ayse melingkarkan kedua tangan di tengkuk Can. Membiarkan pria itu meraih lembut tengkuknya, berbagi candu yang direngguk kembali. Mencecap dan berbagi di sana, begitu memabukkan.

Senyum mereka sesekali terlihat dan sangat mendebarkan. Terutama saat perlahan wajah mereka bergerak miring, menyesuaikan dengan tiap ritme yang diciptakan.

“Kau canduku sejak usiaku genap tujuh belas tahun, Ayse,” bisik Can dengan menggoda menggigit permukaan bibir bawah Ayse.

Perempuan itu bersemu, ikut menyematkan ciuman sejenak di sana. “Setelah ini, aku tidak mungkin lagi bersikap asing di depanmu, Can. Aku tidak pernah bisa melakukannya. Karena aku sudah mendapatkan jawaban dari segala kegelisahanku selama ini.”

Senyum Can terbit.

“Seni Seviyorum,” bisik Ayse dan dengan cepat, Can meraih tengkuk Ayse, menaikkan ritme lebih kasar dan liar.

Bisikan cinta itu terlalu berisiko untuk detak jantungnya yang semakin tidak keruan.

**

Silakan tinggalkan jejaknya di kolom review jika suka, ya. Selamat datang di cerita Beautiful Fault. Semoga suka dan jangan lupa follow Instagram @jasmineeal

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status