Baru berjalan beberapa langkah.
"Aliciya, mami pinj-" jeda beberapa detik, lalu ...."Aliciya kenapa digendong? kram perut ya? morning sickness? pusing?" Tanya mami khawatir.Sementara yang dipanggil memejamkan matanya karena malu ketahuan di gendong Bima menuju kamar mandi.
Bima segera melepaskan gendongannya, ia tertawa lepas melihat ekspresi malu yang terpancar dari pipi Aliciya.
Aliciya sendiri berlari kecil menuju kamar mandi.
"Mami mau pinjam apa?" Bima bertanya.
"Tidak jadi deh, mami mendadak Amnesia." Wulan berbalik dan meninggalkan kamar anaknya.
***
Beberapa bulan kemudian ....
Semua tamu sudah banyak yang berdatangan. Tenda di depan rumah juga sudah penuh oleh bapak-bapak yang sedang menikmati hidangan.
Sebagian ada yang duduk di dalam rumah, Ibu-ibu yang paling banyak di dalam rumah. Acara doa tujuh bulanan kehamilan Aliciya baru saja selesai. Sekarang tamu yang datang sedang menikmati hidangan yang tersedia.Tidak terasa dua bulan lagi Aliciya akan melahirkan. Keluarga kecil mereka akan dianugrahi anak laki-laki - menurut hasil USG- sebagai pelengkap cinta mereka. Tidak bisa diungkapkan betapa bahagianya Bima saat dokter menyebutkan jenis kelamin anak mereka sewaktu Aliciya periksa kesehatan kehamilan seminggu yang lalu.Hari ini syukuran di gelar dirumah mereka dengan mengundang tetangga, keluarga dekat serta pegawai dikantor Rahadian corps.Besok mereka akan mengunjungi panti asuhan untuk membagikan sedikit rezeki sebagai ungkapan rasa syukur mereka kepada tuhan.***
Jam satu malam, Bima mengetuk pintu kamar oraangtuanya dengan keras. Tergopoh-gopoh Wulan membukakan pintu.
"Ada apa Bima?" Wulan bertanya dengan mimik wajah masih mengantuk."Mi, Aliciya....""Aliciya kenapa?" Kemudian ekspresi mengantuknya berubah menjadi rasa cemas."Perutnya sakit mi, sepertinya mau melahirkan.""Kamu bawa Aliciya, Mami siapkan perlengkapan buat bayinya, biar papi yang siapkan mobil." titah papi.Semua langsung bergerak sesuai dengan yang diperintahkan papi.Sampai dirumah sakit, Aliciya segera dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD). Di UGD dia mendapat pemeriksaan dari dokter yang jaga malam itu, lalu Aliciya langsung dibawa ke ruang bersalin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Bima menemani Aliciya di ruang bersalin. Sementara Wulan dan Rio menunggu diluar dengan khawatir. Bermacam doa mereka ucapkan agar Aliciya mendapatkan keselamatan dan kemudahan selama proses melahirkan."Sudahlah mi, jangan mondar mandir terus. Sebaiknya mami duduk supaya mami bisa tenang." kata Rio."Mana mungkin mami bisa tenang pi, mami tidak tahu bagaimana keadaan Aliciya di dalam sana.""Di dalam kan ada Bima. Kita doakan saja proses melahirkannya dilancarkan dan dimudahkan tuhan. Jangan mondar mandir terus, gak ada untungnya mi."Wulan mengambil tempat duduk disamping Rio, siapa yang tidak khawatir menunggu kelahiran cucu pertama. Rasanya mungkin lebih mendebarkan daripada menunggu kelahiran Bima dulu.
Hampir dua jam menunggu dengan gelisah diluar ruang bersalin, akhirnya terdengar juga tangisan bayi dari dalam."Pi, itu suara cucu kita. Aliciya sudah melahirkan." Wulan sangat antusias mendengar tangisan bayi yang sangat kuat terdengar sampai keluar."Tenang dulu mi, kita tunggu Bima keluar." sahut Rio."Papi ini gimana sih, cucunya lahir kok gak senang." komplain Wulan."Hehe..senang lah mi. Bahagia juga, tapi papi gak seperti mami yang loncat-loncat seperti anak kecil." kata Rio sambil terkekeh.Bima keluar dari ruang bersalin, langsung memeluk Wulan dan Rio. Air mata bahagia sudah membasahi pipinya.
"Mi, Pi, anak Bima laki-laki. Cucu mami dan papi seorang jagoan." Katanya sambil terisak bahagia.Tidak bisa disembunyikan kalau dia sangat bahagia saat ini. Wulan membalas pelukan Bima. Diusapnya kepala anaknya. Berulangkali kata syukur terucap dari bibir mereka."Syukurlah, mami juga sangat bahagia mendengarnya. Aliciya gimana?Dia baik-baik saja kan?" tanya Wulan sambil melonggarkan pelukan."Aliciya baik-baik saja mi. Awalnya susah, kata perawat Aliciya gak pandai ngedan, jadi lama keluar bayi. Karena disemangati terus akhirnya bisa juga. Bima sampai mules-mules nengoknya mi." cerita Bima."Dulu waktu mami melahirkan kamu, papi kamu juga seperti itu. Mami yang kesakitan malah papi yang mules. Iya kan, Pi?" Mami menoleh kearah Rio. Yang ditanya tersenyum lebar."Apa kita sudah bisa masuk?" tanya papi mengalihkan pertanyaan Wulan."Bentar lagi pi, Aliciya masih ditangani sama perawat." ujar Bima."Trus, cucu mami dimana?" tanya Wulan."Oh iya, sudah dibawa ke ruang bayi. Mami mau lihat?" tawar Bima."Ayo Pi, kita lihat cucu kita di ruang bayi." Wulan menarik tangan papi dengan paksa. Ketiganya berjalan menuju ruang bayi, tidak jauh letaknya dari ruang persalinan."Itu ... Cucu mami dan papi yang di dalam box paling pinggir." Bima menunjuk bayi yang berada di dalam box bayi warna biru, yang letaknya paling pinggir. Dibawah box tersebut tertulis nama Aliciya dan Bima."Mata dan hidungnya seperti kamu Bim." kata Rio."Bibirnya seperti Aliciya." lanjut Wulan."Iya, mami dan papi benar." sahut Bima."Kamu sudah punya nama belum?"Bima mengangguk mantap. "Sudah, Mi.""Siapa namanya?""Namanya----"Ucapan Bima terhenti ketika seorang perawat berlari kearahnya sambil berteriak."Pak Bima, ditunggu dokter diruang persalinan sekarang."Bersambung....Happy Reading, jangan lupa follow akun mizy yaa...
"Kamu sudah punya nama belum?" tanya Wulan.Bima mengangguk mantap. "Sudah, Mi.""Siapa namanya?""Namanya----"Ucapan Bima terhenti ketika seorang perawat berlari kearahnya sambil berteriak."Pak Bima, ditunggu dokter diruang persalinan sekarang."Bima langsung berlari menuju ruang persalinan. Dia tidak mau terjadi sesuatu pada Aliciya. Karena ingin melihat si buah hati, Bima melupakan kalau Aliciya masih terbaring lemah di ruang bersalin. Dia merutuki diri sendiri, kalau terjadi sesuatu pada Aliciya, Bima tidak akan memaafkan dirinya."Permisi, istri saya kenapa dok?" tanya Bima. Nafasnya masih terengah-engah karena habis berlari."Istrinya masih lemah, Pak, banyak kekurangan darah. Kami mau memberi infus tapi istri bapak tidak mau." ucap Dokter."Saya coba bujuk dulu ya, Dok." Bima mendekati Aliciya yang masih terbari
Dewi membereskan berkas-berkas yang berserak di atas meja. Bima dan dua orang partner bisnis mereka sudah keluar beberapa menit yang lalu untuk makan siang.Selama menjadi sekretaris Direktur Utama, ini adalah meeting yang tersingkat yang pernah dilakukan. Padahal proyek yang akan mereka kerjakan adalah proyek yang sangat besar. Pak Rahadian saja lembur sampai tengah malam bekerja keras untuk memenangkan proyek ini.Dewi mendesah, "Ahh ... Apa yang bisa dilakukan oleh seorang sekretaris? Tentu saja menuruti semua perkataan dan permintaan bos, selagi semua itu tidak keluar dari jalur pekerjaan." gumam Dewi.Namun Dewi merasa khawatir juga, karena menurut Dewi, Bima tampak ceroboh dan kurang hati-hati menerima semua permintaan client.Diwaktu yang sama, disebuah restoran siap saji. Bima dan kedua rekan bisnis yang baru saja membicarakan proyek kerja sama sedang makan siang bersama. Mereka tampak sangat menikmati
Mereka menyantap makan siang sambil berbincang-bincang tentang banyak hal, sampai kepala Bima mendadak pusing lalu tak sadarkan diri.Lalu Bima terbangun di kamar hotel dengan tubuh setengah telanjang, foto tidur bersama perempuan dan ancaman untuk membatalkan proyek yang sudah disepakati."Aarrgghhh ... Brengsek!" Bima melempar foto yang ditangannya. Kepalanya bertambah pusing dengan masalah yang dia hadapi sekarang.Papi pasti marah besar. Ini proyek pertama yang dipercayakan padanya. Tetapi dia menggagalkannya dalam satu hari?"Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya."Aliciya pasti tidak akan memaafkanku kalau dia tau tentang foto ini. Dan papi pasti tidak mau jika proyek ini dilepas.""Seseorang telah menjebakku. Orang itu dengan sengaja melakukannya untuk menghancurkanku.""Aku harus bisa menemukan orang yang menjebakku."Bima berbicara sendiri, pikirannya sangat kalut dengan masalah yang tiba-tiba menimpanya.***Mobil Bima mem
Bima mengumpulkan berkas yang sudah di tanda tanganinya, dia mulai bersiap untuk pulang. Diliriknya benda bermerk yang melingkar di pegelangan tangan, "Sudah jam delapan malam" gumamnya.Baru saja dia berjalan beberapa langkah, Ponsel yang berada di dalam saku jas nya berbunyi. Bima segera mengambil dan mengangkat panggilan dari Wulan."Ya, ada apa, Mi?" katanya membuka percakapan"Bim, Aliciya belum pulang dari tadi. Kamu tau kemana?" jawab suara di seberang sana. Wulan terdengar sangat panik, ditambah suara Arsya yang menangis."Belum pulang? memang Aliciya kemana, Mi? Dia tidak menghubungi Bima." tanya Bima cemas."Siang tadi katanya mau ke makam orangtuanya, tapi sampai sekarang belum pulang. Kamu coba susul ke makam ya, siapa tau dapat petunjuk." perintah mami.Bima melajukan mobilnya dengan cepat, setelah memasuki kawasan makam tempat mertuanya dikuburkan, Bima mulai memelankan laju mobilnya. Suasana sangat sepi bahkan menyeramka
Tangan Bima langsung gemetaran memegang foto yang diberikan sama polisi, matanya membulat lebar. Keringat bercucuran."Aliciya, tidak mungkin....""Bagaimana mungkin bapak menemukan mobilnya tetapi tidak menemykan istri saya?" tanya Bima, suaranya terdengar agak tertekan karena menahan gemetar."Sedang kami selidiki Pak, tidak ada saksi mata di tempat kejadian.""Saya mohon, bantu saya menemukan istri saya.""Jangan khawatir Pak, semua sudah menjadi tugas kami."***Bima tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan yang sedang ada di depan matanya. Pikirannya menerawang jauh memikirkan Aliciya.Semalaman ia tidak bisa tidur, dan sekarang ia harus menerima kenyataan pahit kalau mobil Aliciya ditemukan dalam keadaan buruk."Dimana kamu sayang? apa yang terjadi? anak kita menangis, merindukanmu. Aku juga rindu dan sangat mencemaskanmu." Bima bermonolog.Bima menyand
Bruukk...Bima tidak bisa bertahan, ia terjatuh sebelum meraih dinding untuk pegangan.Pelan dibukanya matanya, netranya menyesuaikan dengan cahaya lampu di kamar. Samar-samar dilihatnya wajah orang yang mengelilingi ranjangnya. Matanya memandang ke sekeliling ruangan yang serba putih, jelas ini bukan kamarnya.Nampak Wulan dengan cemas memandangi Bima, Wulan mulai tersenyum melihat Bima sudah membuka mata."Syukurlah, kamu sudah sadar. Kami sempat panik melihat kamu jatuh dan pingsan tiba-tiba." ujar Wulan. Ia mengusap kepala Bima.Bima meringis, kepalanya terasa berdenyut dan sakit. Kemudian dokter dan perawat masuk kemudian mendekati Bima. Perawat tersebut melingkarkan alat pengukur tensi ke tangan Bima. Setelah itu dokter memeriksa keadaan Bima."Kondisinya sudah mulai pulih, Pak Bima hanya kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran." kata lelaki yang berpakaian serba putih itu."Saya akan resepkan obat dan vitamin. Istirahat dan cu
Yasmine memakan bubur yang dibawa inaq nya dengan lahap. Tidak biasanya ia makan selahap ini, ia seperti tidak makan berhari-hari.Inaq tersenyum puas saat melihat semangkuk bubur di tangan Yasmine kandas. Ia senang karena Yasmine menyukai bubur buatannya."Kamu mau tambah lagi, Yasmine? Inaq akan mengambilkannya." Katanya, dia mengambil mangkuk kosong dari tangan Yasmine."Tidak Inaq, Yasmine sudah kenyang." Yasmine menjawab, kembali di edarkannya pandangan ke sekililing ruangan."Apa kamu melupakan kamarmu?"Yasmine mengangguk, sedikitpun ia tidak bisa mengingat sesuatu yang berhubungan dengan kamar ini?"Mungkin kamu lupa akibat benturan di kepalamu." Inaq duduk di sebelah Yasmine, mangkuk yang di pegangnya tadi di letakkannya di meja kecil sudut ruangan.Tangannya mengusap rambut Yasmine yang kusut. Sesekali tangan Inaq beralih mengusap punggung lalu naik kembali ke kepala."Kamu istirahat ya, nanti kalau sudah agak kuat, inaq bawa jalan-ja
Sudah satu tahun Aliciya menghilang. Arsya sudah berumur 18 bulan. Dia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Di usianya yang sekarang, dia sudah bisa di ajak mengobrol dan bercerita meskipun dalam pengucapan bahasa belum terlalu jelas.Bima berusaha menjadi orang tua yang baik untuk Arsya. Ia harus bisa memposisikan dirinya sebagai seorang papi dan seorang mami bagi putranya semata wayangnya.Bima sangat sedih ketika Arsya berceloteh memanggil 'mi..mi..mi..' Biasanya Bima akan menunjukkan foto Aliciya jika Arysa menanyakan sosok mami yang tidak pernah di lihatnya.Arsya suka mencium foto yang terbungkus figura tersebut, yang di kenalnya sebagai mami."Bima, kamu gak ke kantor?" Wulan berjalan mendekat ke arah anak dan bapak yang sedang bermain mobil-mobilan."Bentar lagi, Mi. Papi udah berangkat?" jawab Bima sambil memindahkan Arsya yang duduk di pangkuannya ke karpet."Sudah. Kamu harus semangat nak, jangan terus larut dalam kesedihan. Ing