Share

Part 3

"Selalu berikan yang terbaik pada pertemuan pertama. Karena rasa suka bisa datang disaat pandangan pertama, begitupun dengan rasa tidak suka."

----------------------

Alfizam Dinnar Agustaf

          Hari ini aku ada jadwal meeting sama client, sebelum  berangkat ke kantor gue berencana menjenguk om Diga yang sudah satu minggu ini dirawat di rumah sakit. Tepat pukul 07:00 berangkat bersama Varo, sesuai rencana aku menjenguk om Diga terlebih dahulu. Stelah sampai di rumah sakit aku langsug menuju ruag VIP dimana om Diga dirawat. Kurang lebih satu jam aku ngobrol-ngobrol sama om Diga yang kondisinya sudah semakin membaik.

Flashback

Assalamualakum.” Aku memasuki ruang rawat om Diga, dan terlihat tante Kayla sedang ngobrol sama dokter.

Waalaikumsalam ganteng.” Balas tante Kayla seraya menghampiriku.

“Gimana keadaan om Diga tan.” Aku mengambil tangannya dan mencium punggung tangannya.

Alhamdulillah udah baikan, nanti sore juga udah boleh pulang.” Ujarnya.

          Aku dan Varo segera menghampiri om Diga yang terbaring di atas ranjang, sedangkan tante Kayla terlihat sedang mengantarkan dokter untuk keluar dari ruang rawat om Diga.

“Hai om, gimana keadaanny?” Tanyaku sembari membantu om Diga untuk duduk bersandar.

Alhamdulillah udah mendingan.” Jawabnya.

“Oh ya om, ini aku bawain buah dan kue kesukaan om.” Varo meletakan buah dan kue kesukaan om Diga yang di beli sebelum menuju rumah sakit.

“Terimakasih banyak ya, terimaksih juga udah jengukin om.” Om Diga mengucapkan terimaksih sembari menepuk-nepuk bahu pelan. Aku memang dekat dengan keluarga om Diga bahkan keluarga mereka sudah aku anggap seperti keluarga sendiri.

“Kapan om boleh pulang?” Tanyaku membantu mengambilkan kue yang baru saja Varo belikan.

“Nanti sore juga udah pulang, bosen tiduran mulu.” Ujarnya sambil perlahan memakan kue.

“Lho kok bosen om seharusnya  seneng dong bisa lihat plus dipegang-pengang suster-suster cantik.” Dengan senyum jahil Varo mengoda om Diga.

“Seneng bagi yang jomblo, kalo bagi om ya musibah.” Ujarnya terkekeh.

“Kok musibah seharusnya anugrah dong om.”

“Lha gimana nggak musibah  setiap ada suster yang meriksa, tantemu sudah siap dengan tatapan mautnya kok.” Aku tertawa mendengar candaan om Diga. Begitulah tante Kayla selalu number one yang maju kalau ada wanita cantik yang deket-deket sama suaminya.

 “Mamamu belum sampai Nar?” Tiba-tiba pertanyaan tante Kayla menghentikan tawa kami.

“Hah, emangnya mama mau pulang ya tan?” Aku kaget mendengar pertanyaan tante Kayla barusan, karena mama nggak ngasih tau kalo mau pulang.

“Lho emang nggak ngasih tau kalian ya?” Tanya om Diga.

“Nggak tuh om” Jawabku bareng Varo yang juga kaget.

“Mungkin mau bikin kejutan buat kalian” om Diga.

Flashback End

          Keluarga om Diga itu sudah seperti keluarga ku sendiri, setelah kepergian kak Alifa, mama dan papa lebih sering tinggal di Singapura dari pada di Indonesia. Jadi selama mereka di Singapura aku lebih dekat sama keluarga om Diga terutama bang Helga yang sudah seperti abang sendiri, yang selalu membimbing dalam mengurus perusahaan papa di Indonesia.

          Setelah dikira cukup menjenguk om Diga  aku segera menuju kantor. Saat aku dan Varo berjalan menuju parkiran tiba-tiba  mama telfon memberi tahukan bahwa dia mau ke kantor. Apaan deh mama, pulang nggak kasih tau tiba-tiba main ke kantor aja. Saat sedang asyik ngobrol sama mama tiba-tiba ada seseorang yang nabrak ku dan map yang aku bawa jatuh dan kertas yang ada di dalamnya berserakan.

Brukkk…….

“Maaf nggak sengaja.” Seorang perempan dengan kerudung putih sedang mengambil lembaran-lembaran kertas dan memasukannya ke dalam  map merah kemudian memberikanya pada ku.

          Untuk sekilas mata kami saling bertemu, namun perempuan  itu segera menundukan kepala dan langsung pergi.

“Cantik.” Batinku dalam hati, mimpi apa aku semalam bisa ketemu bidadari secantik itu.

          Aku masih memandangi perempuan itu, tapi tunggu…, ada noda merah di belakang baju panjangnya, jangan-jangan dia  lagi PMS dan tanpa berfikir panjang aku segera memanggil nya sebelum ada  orang lain yang melihat noda merah itu.

“Tunggu mbak.” Panggilku sedikit keras.

          Prempuan itu berhenti,  segeraku buka jas ku dan map yang gue pegang gue kasih ke Varo. Aku langsung menghampiri perempuan itu dan langsung mengikatkan jas di pinggang rampingnya. Aku nggak perduli semahal apa jas yang ku kenakan saat ini, yang penting tuh perempuan nggak menanggung malu.

“Ka-mu apa-apaan.” Terlihat perempan  itu terekejut dan berusaha mendorong tubuhku yang sedang mengikatkan jas ke pinggangnya.

“ Maaf mbak saya lancang, tapi ada noda merah di belakang rok anda.”  Dengan sedikit senyuman aku berbisik di telinganya.

“Hah….” Dengan wajah polos dan sedikit bingung dia berusaha berfikir akan maksud ucapan ku.

“Iya, ada noda merah di rok anda.” Ujarku memperjelas, semoga aja dia paham.

“Maaf dan terimakasih.” Ujarnya singkat, sepertinya dia sudah mengatahui apa yang aku maksud. Dia menundukan kepala dan segera berlari masuk kedalam rumah sakit.

“Mbak namanya siapa.” Aku berteriak menanyakan namanya,  terlihat dia hanya melambaikan tangan tanpa berbalik.

          Aku masih setia memandangi gadis cantik itu yang enggan memberi tahu namanya. Gadis cantik berkerudung yang aku taksir usianya 20 tahun itu telah berhasil membuat ku senyum-senyum sendiri akibat wajah polosnya.

“Woi gila lo ya senyum-senyum sendiri.” Varo mengagetkan ku yang tengah merasakan indahnya bunga sakura yang pertaburan dalam hatiku.

“Brisik deh lu, gimana mama?” Tanyaku mengalihkan perhatian, supaya dia nggak kepo lebih lanjut.

“Mama mau nysul ke kantor, nanti sekalian bareng bang Helga mau jemput om Diga.” Jawabnya seraya mengembalikan ponsel yang tadi ku serahkan padanya.

“Ya udah yuk cabut, keburu telat meeting.” Aku ajak Varo untuk segera pergi ke kantor.

“Jas lo mana?” Varo bertanya saat dia sadar aku nggak pakai jas.

“Emmm.” Aku hanya mengangkat kedua bahu  enggan menjawab bahwa jas mahalku baru saja aku ksih cewek cantik.

-----------------

Kanaya Naratama

Ceklek…..!

          Aku membuka pintu ruang rawat ayah, ku lihat seorang lelaki paruh baya dengan uban yang mulai tumbuh di kepalanya dan tidak lupa dengan kacamata yang menemaninya, tengah fokus melihat tab yang ada di genggamanya.

“Cek..! dasar ayah, sakit aja masih sempet-semmpetnya sibuk sama tab-nya.” Gumamku lirih.

“Ada apa dek?” Tanya bunda.

“Lihat deh bun, saking fokusnya ayah sampai nggak sadar kita datang.” Ujarku memandangi ayah yang tengah fokus dengan tab-nya.

“Ayah mah emang gitu.” Bunda tersenyum melihat aku yang masih heran melihat ayah.

Aku berjalan menghampiri ranjang ayah, dan ayah belum juga menyadari kedatangan ku.

Assalamuallaikum ayah.” Aku menghampiri ayah dan langsung menyalaminya.

Waalaikumsalam, lho Nay kapan sampai sini?” Tanya beliua sembari melepas kaca mata bacanya

“Tadi yah, Ayah gimana? udah sehat?”

“Udah, nanti juga udah boleh pulang.”

“Ihhhh ayah  kangen” Aku mengambil tab yang ada di tangan ayah kemudian meletakan di atas meja yang terletak di samping ranjang.

“Uluh…uluh, anak ayah.” Ayah merentangkan kedua tangannya dan aku  segera masuk ke dalam pelukanya.

 “Bunda keluar dulu ya sebentar.” Pamit bunda tiba-tiba.

“Mau kemana bun” Tanya ayah ku.

“Mau beli baju buat Kanaya.” Jawab bunda yang sudah membawa tas di pundaknya.

“Lho emang baju Naya kenapa?” Ayah mengamati bajuku yang kelihatan baik-baik aja.

“Urusan perempuan ayah gak perlu tau.” Sahut ku yang masih bersandar di dada ayah.

“Jagain ayah ya, terutama matanya jangan biarin lirik kanan lirik kiri.”

“Santai bun kalo ada aku aman deh.” tau yang di maksud bunda aku mencium pipi ayah.

          Satu jam sudah berlalu dan bunda sudah kembali membawa baju, tanpa menunggu lama aku segera mengganti baju ku di kamar mandi. Setelah mengganti pakaian, aku menyuapi ayah, saat sedang menyuapi ayah tiba-tiba kak Helga dan tante Marta datang.

Assalamualaiikum.” kak Helga masuk di ikuti tante Marta.

Waalaikumsalam.” Jawab kami bersama.

“Marta.” Bunda beranjak dari sofa dan segera memeluk tante Marta tidak lupa cipika cipiki tentunya..

          Aku, Ayah dan kak Helga hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua sahabat yang sedang melepas rindu itu. Setelah panjang lebar ngobrol ini itu, dan setelah dokter Fahri memeriksa ayah akhirnya ayah diperbolehkan pulang ke rumah. Setelah sampai rumah, aku mengantarkan ayah ke dalam kamarnya. Aku segera menghampiri bunda dan tante Marta yang sedang asyik mengobrol.

“ Tan nginep sini kan.” Tanyaku pada tante Marta.

“Nggak, tante juga kangen lah sama anak tante.”

“Terus  tante pulangnya sama siapa?”

“Tante dijemput sama Dinnar dia lagi otw ke sini.”

“Tante besok jadi kan nganterin ke kampus?” Tanyaku kepada tante Marta

“Jadi dong, berkas-berkasnya udah lengkap kan?”

“Udah, makasih ya tan.” aku memeluk tante Marta sebagai ucapan terimaksihku.

“Ya udah tan aku ke kamar dulu ya, mau beres-beres dulu tadi belum sempat beres-bers soalnya” pamitku pada tante Marta dibalas anggukan olehnya.

“Lho dek kamu belum selesai beres-beresnya?” Tanya bunda saat aku hendak pergi.

“Belum bun.”

“Da… Ida.” Bunda memanggil mbak ida yang sedang menyiapkan makan malam.

“Iya bunda.” Jawab mbak Ida sopan.

“Tolong bantu Naya beresin barang-barangnya ya.” Perintah bunda pada mbak Ida.

“Siap bun.”

          Aku dan mbak Ida bergegas ke kamar dan langsung merapikan barang-barangku yang ada di koper, disela-sela aktivitas aku bercerita pada mbak Ida tentang kejadian yang terjadi di rumah sakit. Tidak lupa aku juga menunjukan jas mahal bermerek itu.

“Pasti dia tampan ya non.” Tanya mbak Ida antusias.

“Jujur dia memang menarik, tapi aku nggak tau namanya siapa.” Ujarku kecewa.

“Jangan-jangan ya non,  dia udah punya pacar atu nggak udah punya istri malahan.”

          Mendengar pernyataan mbak Ida raut wajahku menjadi murung, seketika bayangan pertemuanku dengan dia muncul di fikiran ku, mulai saat kita saling bertatapan, sampai bagaimana lembutnya dia mengikatkan jas di pinggangku. Mengingat itu semua tak sadar membuat aku senyum-senyum sendiri.

Bersambung..........

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status