Share

Papa's Arrival

Pagi hari, fajar menyising kembali pada malam yang mulai memudar. Hingga langit malam telah berganti terangnya di pagi hari dengan sang surya mulai merangkak naik. Ke dua gadis yang berada di atas tempat tidur masih meringkuk di dalam selimut yang menutupi tubuh mereka. Hingga suara dengkuran Gina menusuk gendang telinga Venna yang berada di dekatnya. 

Gadis itu memang di minta oleh Venna itu tinggal di Appatemen miliknya siang kemaren dan malamnya di telah berada di apartemennya. Rasanya Venna membutuhkan seorang teman untuk berganti cerita. Tinggal sendirian di sana, membuat gadis itu merasa bosan. Dan perdebatan semalam membuat Venna semakin melelahkan jiwa yang tengah di landa ke gelisahan. 

Namun tidak menutup kenyataan, hingga saat ini dia masih menyandang status pacaran, kekasih dari lelaki itu. Semakin Venna menyenyakan tidurnya, namun semakin dengkuran Gina menggusar kenyamanan lelapnya. 

Alis yang sengaja menyeringit itu, hingga menampakan kerutan halus dan mata yang mulai perlahan mengerjap membuat pandangan Venna sedikit buram menatap Gina."Salama aku menjadi sahabatnya, baru kali ini aku tahu tidurnya mendengur. Mengganggu saja!"

"Gina...bangun! dasar, cantik-cantik tidur mendengkur!" cetus Venna. Mendudukan tubuhnya dari tidur yang cukup nyaman di atas sana.

"Mmmm..."Gina meregangkan ototnya. "Kenapa kau membangunkan aku. Aku masih ngantuk."

"Ini sudah pagi. Ayo..bangun." sahut Venna. Ia pun beranjak dari tempat tidur. Melangkah menuju kamar mandi.

***

"Kau sudah siap, ayo kita berangkat." Ujar Venna. Meraih tasnya yang di sofa menyandangkan tas tersebut pada bahunya. Lalu melenggang menuju pintu. Di ikuti oleh Gina dari belakang yang telah bersiap juga untuk pergi.

Saat Venna hendak mengunci pintu, "tunggu." Venna merogoh tasnya, mencari kunci mobil di dalam sana.

"Jangan bilang kau melupakan sesuatu. Teledor bangat sih, jadi orang." Sembur Gina.

"Kau tunggu aku di mobil." Tidak peduli apa yang di ucapkan oleh Gina, ia pun kembali masuk ke dalam Apartemen. Gina menuruti perintah Venna. Ia pun berlalu dari sana.

"Belum tua, sudah pikun." Umpat Gina.

Venna sungguh lupa dimana Ia meletakkan benda tersebut. Setelah semalam kunci itu di berikan ke tangannya oleh Gina. Karena Venna menyuruh Gina untuk pulang dan mengemaskan barangnya dari tempat kosnya dia. Pagi ini, dia melupakan benda tersebut. Itu suatu kesalahan yang ia sesali saat ini. Membuat dia mengulur waktu pergi ke cafe.

Entah di mana mengumpatnya benda itu, hingga desahan kekesalan keluar dari kerongkongannya. Melihat sekitar kamarnya berantakan akibat di geledah olehnya sendiri." Astaga.. Dimana kunci itu aku letakan."

Venna memijit pelipisnya lalu berlanjut pada rambut yang di gusar oleh tangannya. Ia mencoba mengingat hingga langkahnya mengikuti pergerakan malam kemaren yang terlintas di pikirannya. Mana tau, ia bisa menemukan kunci tersebut.

Namun langkahnya terhenti saat ia keluar dari kamar. Tatapan yang tadinya menunduk kebawah, Venna perlahan mengangkat wajahnya ketika kedua manik matanya melihat sepasang sepatu pentofel berwarna hitam legam berada di hadapannya. Celana hitam bahan menutupi kaki jenjang dan kemeja hitam melekat rapi pada tubuh pria paruh baya bernama Zainal Abdulah.

"Papa?!" Satu kata itu menyentakan dia dari kegusaran, melupakan sejenak dari benda yang ia cari." Ngapain Papa kesini?" tanyanya dengan nada ketus.

Bukannya marah dengan ucapan Venna, lelaki itu hanya tersenyum lebar. Menampakan gigi sedikit kuning itu. Kerutan dari wajahnya menampakan umurnya memang sudah tidak lagi muda. Tentu saja begitu, sebab anaknya saja yang di hadapannya saat ini telah tumbuh dewasa. Jika saja ia ingin menikahkan Venna, tentunya dia akan memiliki cucu setelah itu. Lelaki itu sengaja menyambangi penginapan putrinya itu. Yang di anggap sebagai tempat gadis itu menetap. Sebelum ia benar-benar pergi ke kantor.

Manik mata lelaki tua itu menelusuri seluruh dalam apartemen milik Venna. Hingga matanya berhenti pada satu bingkai yang menghiasi dinding. Menampakan gambar Venna dengan wanita paruh baya yang tidak lain adalah almarhum istrinya sendiri- Dilora jennifer. 

Lelaki itu tersenyum getir melihat gambaran tersebut." Kau sangat mirip dengan-nya, Venna. Sama-sama keras kepala, namun mandiri."

"Tentu..." Venna menatap sinis kepada lelaki itu."Tentu saja begitu. Aku anaknya darah dagingnya. Tidak seperti wanita papa yang sok baik itu."

Lelaki itu mentolehkan kepalanya, dari gambar yang ia tatap sedari tadi. Senyum yang tadi mengembang sempurna perlahan tersamarkan. Perhatiannya teralihkan saat ucapannya Venna mengudara begitu saja." Venna...kau hanya di butakan oleh kebencian. Sehingga kau tak melihat kebaikannya."

Venna menyunggingkan senyumannya." Seharusnya Papa yang sadar. Dia hanya baik ketika di hadapan papa. Dan semua itu membuat aku muak." 

"Jika papa memang tidak mau mendengar ucapan Venna. Lebih baik papa pergi dari sini." Ucapan Venna penuh dengan nada penekanan.

"Venna...biar bagaimana pun, papa ini adalah ayah mu. Aku berhak mengatur mu. Selama kau masih belum bersuami, kau masih dalam tanggung jawab ku."  Papa Zainal melangkah mendekati Venna."Aku ke sini hanya melihat keadaan mu. Karena kau putri ku, aku menyayangi mu."

'Tanpa aku sadari, kau telah beranjak dewasa, Venna. Rasanya baru kemaren aku menimang mu berbalut kain bedongan, sekarang kau telah tumbuh dewasa.' Batin Papa Zainal.

Venna sama sekali bergeming. Jiwanya terpaku dalam hidup yang tak lagi sama seperti dulu lagi. Tidak sebahagia dirinya yang memiliki keluarga lengkap. Dan memiliki hak penuh atas papanya.

Lihat, bagaimana lelaki itu hendak keluar dari apartemen anaknya sendiri. Walau sudah memiliki keluarga baru, namun perhatiannya tidak luntur dari gadis itu. Keras hati Venna yang ingin tetap berada di bangunan yang menjulang tinggi tersebut, membuat lelaki itu mencemaskannya. Bukan tanpa alasan. Ia ingin membuka kembali mata hati sang papa. Melihat kebenaran yang nyata. Tetapi, Venna belum bisa memperlihatkan wujud asli sang mama sambungnya itu.

"Papa gak perlu mencemaskan aku." Venna memelankan suaranya. Ada hal yang membuat hatinya tersentuh. Dan menyadari satu hal, jika lelaki paruh baya itu adalah "Papanya". Venna melirik wajah sang papa." Aku baik-baik saja di sini."

Papa Zainal menghelus lembut puncak kepala Venna. Sentuhan itu sungguh di rindukan oleh Venna sebagai anak yang jauh dari ayah."Hubungi aku, kalau kau membutuhkan sesuatu. Hemmm... Akan lebih baik juga, kau mengangkat telepon papa mu ini nak."

Wajah sendu Venna begitu saja terangkat. Ada yang tercekat di tenggorokannya. Air ludahnya tidak teralir dengan baik. Ia juga mengerti jika tindakannya itu salah. Mengabaikan panggilan telepon papanya. 

"Ya sudah...Papa pergi dulu." Papa Zainal mencium pucuk dahi Putrinya itu.

Venna mengangguk pelan. Tanpa menjawab namun sorotan matanya tidak memberikan respon untuk bergedip. Tidak ingin kehilangan bayangan lelaki itu, hingga senyuman Papa Zainal hadir menyapa sebelum menghilang di balik pintu.

Venna terhenyak di atas sofa. Hari ini membuatnya begitu tidak bersemangat. "Pa, maafkan Venna!"

Mata yang tengah tertunduk lesu itu, tidak sengaja melirik benda yang sedari tadi ia cari, kelopak mata yang di hiasi bulu mata yang lentik mengedip memberi respon. Venna berdiri dari sofa, kakinya berjalan tiga langkah ke depan. Kemudian menekuk lututnya dengan tangan terulur mengambil benda tersebut.

"Kau di sini rupanya. Aku mencari mu dari tadi. Sampai menggeledah semuanya. Lihat, semuanya jadi berantakan." Setelah bermonolog dengan dirinya sendiri, Venna segera berdiri menyusul sahabat yang telah menunggunya di parkiran. 

***

Sesampainya di parkiran."Kenapa kau lama sekali?"

"Sorry, membuat mu menunggu lama. Ayo, kita berangkat." Venna  membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi. Begitu juga dengan Gina yang menduduki kursi penumpang depan.

"Kau menemukannya di mana?" Gina menoleh ke arah Venna yang sedang menyetir.

"Di bawah, dekat sofa." Venna bersuara." Mungkin jatuh saat aku hendak melangkah menuju balkon."

"Kalau hanya sekedar kunci yang kau cari, kenapa raut wajah mu begitu membosankan?" Karena Gina melihat perubahan raut wajah Venna.

Venna gelagapan." Ah tidak, hanya perasaan kau saja."

Gina hanya termanggut mendengar penuturan Venna.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Novia aryani
Venna kepikiran apa ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status