Share

Bab 4 Status Baru

Pernikahan itu membawa cerita tersendiri bagi siapa pun yang menyaksikan. Banyak yang tersenyum lega melihat pernikahan Caramel dengan sosok misterius itu.

Akhirnya hidup Caramel tidak se-mengerikan yang dibayangkan sebelumnya. Bayangan tentang menjadi istri ke-empat dari pria yang sudah tua sungguh bukan sebuah impian.

“Silakan, Tuan.” Dirga memberikan sebuah kotak cincin kepada Yuan.

Yuan membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin dari sana. “Mana jari manis kamu?” tanya Yuan meminta Caramel menunjukkan jari manisnya.

Caramel enggan. Akhirnya Yuan mengambil paksa tangan Caramel tanpa persetujuan empunya.

Yuan menyematkan cincin pernikahan itu di jari Caramel. Yuan menyodorkan kotak itu kepada Caramel. Bukannya menyambut Caramel malah melihat Yuan dengan tatapan bingung.

“Pasangkan ke jari ku,” pinta Yuan datar.

Dengan ragu Caramel mengambil cincin itu dan memasangkan cincin yang serupa dengan miliknya itu di jari manis Yuan.

Canggung, tentu saja. Mereka baru saja sah menjadi pasangan suami istri. Rasanya seperti mimpi bagi Caramel bisa bersanding dengan pria yang sama sekali tidak terlintas di pikirannya.

Caramel masih tidak menyangka dengan status barunya yang menyandang sebagai istri dari seorang pria yang belum jelas asal-usulnya.

Jika kebanyakan pasutri setelah menikah akan mencium tangan dan kening, berbeda dengan Caramel dan Yuan. Mereka sama-sama asing dan memilih untuk tidak bersentuhan fisik dulu.

Penghulu itu memecah kecanggungan dengan meminta Yuan dan Caramel menandatangani beberapa berkas. Setelah itu penghulu berpamitan menyisakan pengantin baru yang masih malu-malu.

“Permisi, Tuan... saya akan mengabadikan momen ini. Boleh tunjukkan cincin pernikahan dan buku nikah kalian?” tanya Dirga.

Tanpa menjawab Yuan langsung menunjukkan keduanya. Caramel menoleh ke arah Yuan yang tampak santai menunjukkan dua barang tersebut. Dengan ragu-ragu Caramel pun menunjukkannya di depan Dirga.

“Senyum, Tuan, Nona,” pinta Dirga. Namun permintaan Dirga tak mendapat respon positif dari keduanya. Mereka tampak rapat menutup mulut masing-masing. Dirga hanya bisa menggeleng sambil tersenyum tipis melihat pasangan baru itu.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Tetangga dan orang-orang yang berada di ruangan itu memberikan selamat kepada kedua mempelai.

“Caramel,” seru Alya memeluk Caramel tanpa canggung pada Yuan yang berdiri di samping Caramel.

“Alya,” balas Caramel juga antusias.

“Aku senang karena akhirnya kamu tidak menikah dengan si Jarot itu. Ternyata benar ya, Mel, jodoh itu penuh misteri. Siapa yang menyangka kamu akan memiliki suami se-tampan dan se-kaya Tuan Yuan. Kamu benar-benar beruntung, Mel....”

Caramel melirik menggunakan ekor matanya melihat Yuan. Yuan tampak GR dengan pujian yang terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.

“Jangan puji dia dulu. Kita belum tahu kedok dia sebenarnya. Asal kamu tahu, ini adalah awal dari perjalanan hidupku. Aku nggak tahu hidupku akan bahagia atau justru sebaliknya,” bisik Caramel di telinga Alya.

“Ya ampun, Mel, kamu masih aja berpikiran buruk. Suami kamu itu—” Caramel buru-buru menutup mulut Alya yang ember. Dia berusaha berbisik tapi Alya malah membocorkan dengan santai.

“Lebih baik kamu pergi dari sini, Devon mana? Aku mau bicara sama dia,” tanya Caramel mencari keberadaan adiknya.

“Tuh, dia lagi duduk sendiri di pojokan. Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi sedari tadi dia hanya diam dan nggak mau makan.”

Mata Caramel langsung tertuju pada Devon. Tanpa menunggu lagi, dia langsung meninggalkan Yuan dan Alya untuk menemui adiknya yang terlihat sedih.

Entah mengapa melihat Devon bersedih seperti itu membuat hati Caramel terenyuh sakit.

“Devon, Sayang... kenapa? Kok diam aja di sini?” tanya Caramel lembut seraya menarik kursi dan duduk di hadapan Devon.

“Devon kangen sama ibu, Kak... seharusnya ibu bisa menyaksikan pernikahan kakak dengan kakak ganteng itu. Ibu pasti senang karena akhirnya kakak tidak jadi menikah dengan kakek galak itu,” terang Devon membuat hati Caramel kembali teriris.

Tangan Caramel mengelus rambut Devon dengan lembut kemudian memeluk bocah polos itu diiringi buliran bening yang mengalir dari persembunyian.

“Iya, Ibu pasti senang di Surga melihat kakak tidak jadi menikah dengan Jarot. Tapi... ibu akan lebih senang kalau melihat Devon tersenyum. Devon tahu nggak, kalau Devon sedih seperti ini, di sana ibu juga merasakan sedih. Devon mau ibu sedih?”

“Enggak, Kak.”

“Kalau enggak mau, mulai sekarang Devon jangan sedih lagi, ya. Kalau Devon kangen sama ibu, adukan sama Allah, berdoa supaya Allah menjaga ibu di sana. Ibu akan sangat bahagia karena memiliki anak yang Sholeh dan berbakti seperti Devon. Devon jangan sedih lagi, ya,” bujuk Caramel seraya mengusap air mata Devon menggunakan ibu jarinya.

Devon mengangguk patuh. Jemarinya yang mungil turut menghapus air matanya yang terlewat.

“Devon, mau ini?”

Caramel dan Devon kompak menoleh saat mendengar suara Barito memecah obrolan mereka. Yuan datang dengan membawa sekotak pizza.

“Apa ini, Kak?” Devon belum pernah makan makanan itu sebelumnya, wajar saja jika dia tidak tahu.

Yuan mengambil kursi dan duduk sejajar dengan Caramel. “Ini namanya pizza. Devon coba pasti suka.” Yuan menyodorkan kotak pizza itu dan membukanya di depan Devon.

Devon tampak ragu namun Caramel memberikan isyarat untuk mengambilnya. Selama ini memang keluarga sederhana itu belum pernah mencicipi makanan seperti itu.

Devon mengambil sepotong kemudian Yuan beralih memberikan kotak itu kepada Caramel. “Jangan bilang kamu juga belum pernah makan,” seloroh Yuan.

“Aku memang belum pernah makan,” jawab Caramel dengan santai seraya mengambil sepotong dan melahapnya.

Yuan melihat kakak beradik itu makan pizza membuat hatinya tersentuh. Entah mengapa sikapnya yang dingin kepada semua orang kini bisa luluh begitu saja di depan keluarga barunya tersebut.

Selama ini Yuan seringkali menyepelekan makanan dan membuangnya jika tidak suka, ternyata dibalik sikap arogannya itu ada orang lain yang lebih membutuhkan makanan itu. Bahkan untuk sekadar mencicipi saja suatu hal yang mustahil bagi mereka yang kurang beruntung.

Yuan merasa berdosa. Melihat Caramel dan Devon begitu lahap menyantap makanan yang dia bawa membuat Yuan tersadar. Bahwa apa yang menurutnya biasa terkadang menjadi hal yang luar biasa bagi orang lain.

“Ada yang ingin aku bicarakan sama kalian berdua,” ujar Yuan memecah kesibukan Caramel dan Devon yang sedang menyantap pizza.

“Bicara saja,” jawab Caramel acuh.

“Ini terkait dengan kesehatan Devon.”

Caramel menghentikan makannya. “Menyangkut kesehatan Devon? Maksud Anda?” Caramel dan Devon beradu pandang.

“Aku berencana akan membiayai pengobatan Devon ke Singapura.”

“Apa?” jawab kakak beradik itu bersamaan.

“Iya. Di sana fasilitasnya lebih bagus dan Devon bisa ditangani secara intensif. Dengan begitu Devon akan lebih cepat sembuh.”

Entahlah. Haruskah Caramel meluruhkan kecurigaannya terhadap Yuan? Tapi bagaimana jika ini salah satu cara Yuan untuk memisahkan Caramel dari Devon.

“Kenapa? Kamu berpikiran buruk lagi tentang aku?” tanya Yuan yang menyadari tatapan aneh Caramel. Yuan seolah bisa menebak apa yang Caramel pikirkan.

Yuan mengambil ponsel dan menunjukkan identitasnya sebagai CEO di salah satu perusahaan ternama. Yuan bukan orang sembarangan yang mungkin saja melakukan kejahatan yang bisa merugikan dirinya sendiri.

“Masih tidak percaya?” Yuan hendak menunjukkan sesuatu lagi.

“Sudah, cukup. Iya, saya percaya. Lantas maksud Anda mau mengajak Devon berobat di Singapura itu apa? Biayanya pasti sangat mahal. Anda meminta saya untuk membayarnya lagi?”

Yuan mendelik menatap manik Caramel dengan mencondongkan sedikit badannya. “Kamu pikir aku selicik itu?” Caramel acuh dan enggan menjawab pertanyaan Yuan.

“Kak… Singapura itu di mana? Devon nggak mau berpisah dengan Kak Caramel.”

Yuan mendekatkan jaraknya dengan Devon. “Kenapa, Devon? Ini demi kesembuhan kamu. Kak Yuan dan Kak Amel akan mengunjungi Devon setiap sebulan sekali. Di sana Devon akan dirawat oleh om dan tantenya Kak Yuan. Ini tidak seburuk yang Devon bayangkan. Devon pasti senang,” rayu Yuan sambil sesekali menoleh ke arah Caramel.

“Em, Tuan... apa tidak sebaiknya Devon berobat di sini saja? Dengan begitu aku tidak perlu berpisah dengan dia dan aku bisa memantau langsung kesehatannya. Aku rasa fasilitas di sini juga cukup bagus,” usul Caramel.

“Mel, kamu jangan egois. Di sana Devon bisa beberapa kali lebih cepat sembuh, apa kamu tidak senang? Di sini memang bagus, tapi aku juga kakaknya sekarang... aku juga punya hak untuk memberikan yang terbaik buat dia.”

Caramel dilema. Di satu sisi dia senang karena Devon akan mendapatkan perawatan yang memadai, tapi di sisi lain dia juga sedih karena harus berpisah dengan adik yang selama ini dia perjuangkan kesehatannya.

“Harusnya kamu bantu aku untuk membujuk Devon. Semakin cepat dia berangkat, semakin cepat pula dia sembuh dan kembali ke sini. Kalian tidak akan terpisah lagi,” tutur Yuan.

Berat memang bagi Caramel. Karena ini merupakan kali pertama dia akan berjauhan dengan Devon. Anggaplah saat ini mereka sedang diuji. Bukankah pertemuan terindah itu adalah saat hati sama-sama merindu?

“Kak Yuan, Kak Amel… jika kesembuhan Devon membuat Kak Amel bahagia, Devon rela berpisah dengan Kakak. Devon akan kembali setelah Devon sembuh, Kak.”

Devon melapangkan hatinya. Dia teringat saat menyedihkan kala sang kakak menangis saat penyakitnya kumat. Devon bersikeras untuk sembuh. Devon tidak ingin lagi melihat kakaknya menitikkan air mata hanya untuk menangisinya.

Caramel tersenyum haru. Air matanya terjatuh tanpa ia sadari. Mendengar penuturan Devon membuat perasannya menjadi campur aduk.

“Setelah ini kita pulang ke rumah Kakak, ya. Kalian tenang saja, selama kalian tidak ada, rumah ini akan ada yang mengurus.”

“Tapi, Tuan....”

“Aku suamimu dan kamu istriku sekarang. Kamu harus ikut di manapun aku tinggal. Satu lagi, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Kamu bukan pembantuku, jadi tolong ralat panggilanmu itu.”

“Lalu saya harus memanggil Anda apa?”

“Terserah kamu.”

Siapa yang tidak kesal mendengar jawaban terserah? Jawaban yang tidak memiliki makna terarah. Tentu saja Caramel kesal mendapat jawaban seperti itu.

“Kemasi pakaian kalian, setengah jam lagi kita akan pulang,” tutur Yuan sambil berdiri karena mendapat panggilan telepon.

Caramel masih bingung dengan kenyataan ini. Haruskah dia mensyukuri ini semua? Apakah Yuan sosok malaikat yang diturunkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya? Tapi kenapa sosoknya sangat misterius. Tidak ada firasat apa pun, dalam sekejap Caramel diangkat derajatnya oleh Tuhan dengan cara yang tidak terduga. Bahkan untuk pengobatan Devon pun Caramel tidak perlu bersusah-payah karena Suaminya yang akan mengurus semuanya.

***

Selesai mengemasi pakaian, Caramel dan Devon bersiap untuk berangkat. Mereka menoleh ke belakang sekali lagi saat akan meninggalkan rumah mereka. Rumah yang selama ini menjadi hunian ternyaman dan menyimpan ribuan kenangan di dalamnya. Kenangan bersama ayah dan ibunya.

“Ayah... Ibu... maafkan Caramel harus meninggalkan rumah ini. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan tentang keluarga kita. Aku tidak akan pernah melupakan momen-momen indah tentang kebersamaan kita. Semoga kalian tenang ya di alam sana.”

Caramel menitikkan air mata kala harus meninggalkan rumah itu. Langkahnya terasa berat karena selama ini rumah itulah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya.

Bim! Bim!

“Ayo, masuk!” ajak Yuan yang sudah berada di dalam mobil bersama Devon.

Caramel masuk ke dalam mobil mewah itu menuju tempat tinggal baru yang tentunya akan terasa asing bagi Caramel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status