Pernikahan itu membawa cerita tersendiri bagi siapa pun yang menyaksikan. Banyak yang tersenyum lega melihat pernikahan Caramel dengan sosok misterius itu.
Akhirnya hidup Caramel tidak se-mengerikan yang dibayangkan sebelumnya. Bayangan tentang menjadi istri ke-empat dari pria yang sudah tua sungguh bukan sebuah impian.“Silakan, Tuan.” Dirga memberikan sebuah kotak cincin kepada Yuan.Yuan membuka kotak itu dan mengambil sebuah cincin dari sana. “Mana jari manis kamu?” tanya Yuan meminta Caramel menunjukkan jari manisnya.Caramel enggan. Akhirnya Yuan mengambil paksa tangan Caramel tanpa persetujuan empunya.Yuan menyematkan cincin pernikahan itu di jari Caramel. Yuan menyodorkan kotak itu kepada Caramel. Bukannya menyambut Caramel malah melihat Yuan dengan tatapan bingung.“Pasangkan ke jari ku,” pinta Yuan datar.Dengan ragu Caramel mengambil cincin itu dan memasangkan cincin yang serupa dengan miliknya itu di jari manis Yuan.Canggung, tentu saja. Mereka baru saja sah menjadi pasangan suami istri. Rasanya seperti mimpi bagi Caramel bisa bersanding dengan pria yang sama sekali tidak terlintas di pikirannya.Caramel masih tidak menyangka dengan status barunya yang menyandang sebagai istri dari seorang pria yang belum jelas asal-usulnya.Jika kebanyakan pasutri setelah menikah akan mencium tangan dan kening, berbeda dengan Caramel dan Yuan. Mereka sama-sama asing dan memilih untuk tidak bersentuhan fisik dulu.Penghulu itu memecah kecanggungan dengan meminta Yuan dan Caramel menandatangani beberapa berkas. Setelah itu penghulu berpamitan menyisakan pengantin baru yang masih malu-malu.“Permisi, Tuan... saya akan mengabadikan momen ini. Boleh tunjukkan cincin pernikahan dan buku nikah kalian?” tanya Dirga.Tanpa menjawab Yuan langsung menunjukkan keduanya. Caramel menoleh ke arah Yuan yang tampak santai menunjukkan dua barang tersebut. Dengan ragu-ragu Caramel pun menunjukkannya di depan Dirga.“Senyum, Tuan, Nona,” pinta Dirga. Namun permintaan Dirga tak mendapat respon positif dari keduanya. Mereka tampak rapat menutup mulut masing-masing. Dirga hanya bisa menggeleng sambil tersenyum tipis melihat pasangan baru itu.Setelah itu acara dilanjutkan dengan acara ramah tamah. Tetangga dan orang-orang yang berada di ruangan itu memberikan selamat kepada kedua mempelai.“Caramel,” seru Alya memeluk Caramel tanpa canggung pada Yuan yang berdiri di samping Caramel.“Alya,” balas Caramel juga antusias.“Aku senang karena akhirnya kamu tidak menikah dengan si Jarot itu. Ternyata benar ya, Mel, jodoh itu penuh misteri. Siapa yang menyangka kamu akan memiliki suami se-tampan dan se-kaya Tuan Yuan. Kamu benar-benar beruntung, Mel....”Caramel melirik menggunakan ekor matanya melihat Yuan. Yuan tampak GR dengan pujian yang terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.“Jangan puji dia dulu. Kita belum tahu kedok dia sebenarnya. Asal kamu tahu, ini adalah awal dari perjalanan hidupku. Aku nggak tahu hidupku akan bahagia atau justru sebaliknya,” bisik Caramel di telinga Alya.“Ya ampun, Mel, kamu masih aja berpikiran buruk. Suami kamu itu—” Caramel buru-buru menutup mulut Alya yang ember. Dia berusaha berbisik tapi Alya malah membocorkan dengan santai.“Lebih baik kamu pergi dari sini, Devon mana? Aku mau bicara sama dia,” tanya Caramel mencari keberadaan adiknya.“Tuh, dia lagi duduk sendiri di pojokan. Aku nggak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi sedari tadi dia hanya diam dan nggak mau makan.”Mata Caramel langsung tertuju pada Devon. Tanpa menunggu lagi, dia langsung meninggalkan Yuan dan Alya untuk menemui adiknya yang terlihat sedih.Entah mengapa melihat Devon bersedih seperti itu membuat hati Caramel terenyuh sakit.“Devon, Sayang... kenapa? Kok diam aja di sini?” tanya Caramel lembut seraya menarik kursi dan duduk di hadapan Devon.“Devon kangen sama ibu, Kak... seharusnya ibu bisa menyaksikan pernikahan kakak dengan kakak ganteng itu. Ibu pasti senang karena akhirnya kakak tidak jadi menikah dengan kakek galak itu,” terang Devon membuat hati Caramel kembali teriris.Tangan Caramel mengelus rambut Devon dengan lembut kemudian memeluk bocah polos itu diiringi buliran bening yang mengalir dari persembunyian.“Iya, Ibu pasti senang di Surga melihat kakak tidak jadi menikah dengan Jarot. Tapi... ibu akan lebih senang kalau melihat Devon tersenyum. Devon tahu nggak, kalau Devon sedih seperti ini, di sana ibu juga merasakan sedih. Devon mau ibu sedih?”“Enggak, Kak.”“Kalau enggak mau, mulai sekarang Devon jangan sedih lagi, ya. Kalau Devon kangen sama ibu, adukan sama Allah, berdoa supaya Allah menjaga ibu di sana. Ibu akan sangat bahagia karena memiliki anak yang Sholeh dan berbakti seperti Devon. Devon jangan sedih lagi, ya,” bujuk Caramel seraya mengusap air mata Devon menggunakan ibu jarinya.Devon mengangguk patuh. Jemarinya yang mungil turut menghapus air matanya yang terlewat.“Devon, mau ini?”Caramel dan Devon kompak menoleh saat mendengar suara Barito memecah obrolan mereka. Yuan datang dengan membawa sekotak pizza.“Apa ini, Kak?” Devon belum pernah makan makanan itu sebelumnya, wajar saja jika dia tidak tahu.Yuan mengambil kursi dan duduk sejajar dengan Caramel. “Ini namanya pizza. Devon coba pasti suka.” Yuan menyodorkan kotak pizza itu dan membukanya di depan Devon.Devon tampak ragu namun Caramel memberikan isyarat untuk mengambilnya. Selama ini memang keluarga sederhana itu belum pernah mencicipi makanan seperti itu.Devon mengambil sepotong kemudian Yuan beralih memberikan kotak itu kepada Caramel. “Jangan bilang kamu juga belum pernah makan,” seloroh Yuan.“Aku memang belum pernah makan,” jawab Caramel dengan santai seraya mengambil sepotong dan melahapnya.Yuan melihat kakak beradik itu makan pizza membuat hatinya tersentuh. Entah mengapa sikapnya yang dingin kepada semua orang kini bisa luluh begitu saja di depan keluarga barunya tersebut.Selama ini Yuan seringkali menyepelekan makanan dan membuangnya jika tidak suka, ternyata dibalik sikap arogannya itu ada orang lain yang lebih membutuhkan makanan itu. Bahkan untuk sekadar mencicipi saja suatu hal yang mustahil bagi mereka yang kurang beruntung.Yuan merasa berdosa. Melihat Caramel dan Devon begitu lahap menyantap makanan yang dia bawa membuat Yuan tersadar. Bahwa apa yang menurutnya biasa terkadang menjadi hal yang luar biasa bagi orang lain.“Ada yang ingin aku bicarakan sama kalian berdua,” ujar Yuan memecah kesibukan Caramel dan Devon yang sedang menyantap pizza.“Bicara saja,” jawab Caramel acuh.“Ini terkait dengan kesehatan Devon.”Caramel menghentikan makannya. “Menyangkut kesehatan Devon? Maksud Anda?” Caramel dan Devon beradu pandang.“Aku berencana akan membiayai pengobatan Devon ke Singapura.”“Apa?” jawab kakak beradik itu bersamaan.“Iya. Di sana fasilitasnya lebih bagus dan Devon bisa ditangani secara intensif. Dengan begitu Devon akan lebih cepat sembuh.”Entahlah. Haruskah Caramel meluruhkan kecurigaannya terhadap Yuan? Tapi bagaimana jika ini salah satu cara Yuan untuk memisahkan Caramel dari Devon.“Kenapa? Kamu berpikiran buruk lagi tentang aku?” tanya Yuan yang menyadari tatapan aneh Caramel. Yuan seolah bisa menebak apa yang Caramel pikirkan.Yuan mengambil ponsel dan menunjukkan identitasnya sebagai CEO di salah satu perusahaan ternama. Yuan bukan orang sembarangan yang mungkin saja melakukan kejahatan yang bisa merugikan dirinya sendiri.“Masih tidak percaya?” Yuan hendak menunjukkan sesuatu lagi.“Sudah, cukup. Iya, saya percaya. Lantas maksud Anda mau mengajak Devon berobat di Singapura itu apa? Biayanya pasti sangat mahal. Anda meminta saya untuk membayarnya lagi?”Yuan mendelik menatap manik Caramel dengan mencondongkan sedikit badannya. “Kamu pikir aku selicik itu?” Caramel acuh dan enggan menjawab pertanyaan Yuan.“Kak… Singapura itu di mana? Devon nggak mau berpisah dengan Kak Caramel.”Yuan mendekatkan jaraknya dengan Devon. “Kenapa, Devon? Ini demi kesembuhan kamu. Kak Yuan dan Kak Amel akan mengunjungi Devon setiap sebulan sekali. Di sana Devon akan dirawat oleh om dan tantenya Kak Yuan. Ini tidak seburuk yang Devon bayangkan. Devon pasti senang,” rayu Yuan sambil sesekali menoleh ke arah Caramel.“Em, Tuan... apa tidak sebaiknya Devon berobat di sini saja? Dengan begitu aku tidak perlu berpisah dengan dia dan aku bisa memantau langsung kesehatannya. Aku rasa fasilitas di sini juga cukup bagus,” usul Caramel.“Mel, kamu jangan egois. Di sana Devon bisa beberapa kali lebih cepat sembuh, apa kamu tidak senang? Di sini memang bagus, tapi aku juga kakaknya sekarang... aku juga punya hak untuk memberikan yang terbaik buat dia.”Caramel dilema. Di satu sisi dia senang karena Devon akan mendapatkan perawatan yang memadai, tapi di sisi lain dia juga sedih karena harus berpisah dengan adik yang selama ini dia perjuangkan kesehatannya.“Harusnya kamu bantu aku untuk membujuk Devon. Semakin cepat dia berangkat, semakin cepat pula dia sembuh dan kembali ke sini. Kalian tidak akan terpisah lagi,” tutur Yuan.Berat memang bagi Caramel. Karena ini merupakan kali pertama dia akan berjauhan dengan Devon. Anggaplah saat ini mereka sedang diuji. Bukankah pertemuan terindah itu adalah saat hati sama-sama merindu?“Kak Yuan, Kak Amel… jika kesembuhan Devon membuat Kak Amel bahagia, Devon rela berpisah dengan Kakak. Devon akan kembali setelah Devon sembuh, Kak.”Devon melapangkan hatinya. Dia teringat saat menyedihkan kala sang kakak menangis saat penyakitnya kumat. Devon bersikeras untuk sembuh. Devon tidak ingin lagi melihat kakaknya menitikkan air mata hanya untuk menangisinya.Caramel tersenyum haru. Air matanya terjatuh tanpa ia sadari. Mendengar penuturan Devon membuat perasannya menjadi campur aduk.“Setelah ini kita pulang ke rumah Kakak, ya. Kalian tenang saja, selama kalian tidak ada, rumah ini akan ada yang mengurus.”“Tapi, Tuan....”“Aku suamimu dan kamu istriku sekarang. Kamu harus ikut di manapun aku tinggal. Satu lagi, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Kamu bukan pembantuku, jadi tolong ralat panggilanmu itu.”“Lalu saya harus memanggil Anda apa?”“Terserah kamu.”Siapa yang tidak kesal mendengar jawaban terserah? Jawaban yang tidak memiliki makna terarah. Tentu saja Caramel kesal mendapat jawaban seperti itu.“Kemasi pakaian kalian, setengah jam lagi kita akan pulang,” tutur Yuan sambil berdiri karena mendapat panggilan telepon.Caramel masih bingung dengan kenyataan ini. Haruskah dia mensyukuri ini semua? Apakah Yuan sosok malaikat yang diturunkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya? Tapi kenapa sosoknya sangat misterius. Tidak ada firasat apa pun, dalam sekejap Caramel diangkat derajatnya oleh Tuhan dengan cara yang tidak terduga. Bahkan untuk pengobatan Devon pun Caramel tidak perlu bersusah-payah karena Suaminya yang akan mengurus semuanya.***Selesai mengemasi pakaian, Caramel dan Devon bersiap untuk berangkat. Mereka menoleh ke belakang sekali lagi saat akan meninggalkan rumah mereka. Rumah yang selama ini menjadi hunian ternyaman dan menyimpan ribuan kenangan di dalamnya. Kenangan bersama ayah dan ibunya.“Ayah... Ibu... maafkan Caramel harus meninggalkan rumah ini. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan tentang keluarga kita. Aku tidak akan pernah melupakan momen-momen indah tentang kebersamaan kita. Semoga kalian tenang ya di alam sana.”Caramel menitikkan air mata kala harus meninggalkan rumah itu. Langkahnya terasa berat karena selama ini rumah itulah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya.Bim! Bim!“Ayo, masuk!” ajak Yuan yang sudah berada di dalam mobil bersama Devon.Caramel masuk ke dalam mobil mewah itu menuju tempat tinggal baru yang tentunya akan terasa asing bagi Caramel.Mengagumkan. Ya, itulah yang Caramel dan Devon pikirkan saat pertama kali memasuki pelataran rumah mewah milik keluarga Alexander. Terdapat banyak mobil mewah berjejer rapi kian menambah decak kagum keduanya. Bangunan megah nan elegan membuat kesan glamor yang tak terbantahkan. “Ayo, masuk... Rumah ini rumah kalian juga sekarang,” ujar Yuan berjalan lebih dulu memasuki teras rumah. “Kak Yuan, ini rumah Kakak?” tanya Devon sambil mengedarkan pandangan melihat sekeliling.“Bukan, ini rumah peninggalan Pak Alexander,” jawab Yuan santai. “Pak Alexander siapa?”“Papahnya Kakak.” Yuan mencubit pipi Devon gemas. “Ayo, masuk,” sambungnya.Yuan menggiring Caramel dan Devon masuk ke dalam rumah. Semua pengawal dan pembantu tunduk kepadanya membuat Caramel heran.“Kamu pasti bingung kenapa semua orang tunduk sama aku?”Lagi-lagi Yuan dapat membaca pikiran Caramel. Caramel semakin heran dengan pekerjaan Yuan. Jangan-jangan selain menjadi pengusaha Yuan juga menjadi seorang paranormal. “Setela
Sang Surya mulai memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Melalui celah jendela kamar, sinarnya menembus masuk ke dalam kamar Yuan. Yuan mulai tersadar dan mengucek mata.Yuan melihat ke bawah dan mendapati sebuah selimut yang membungkus tubuhnya. Sekilas Yuan tersenyum, ia yakin pasti Caramel lah yang telah memberi selimut itu untuknya. “Sebenarnya seperti apa kamu Caramel? Kadang kamu acuh, kadang perhatian.”Yuan melihat ke arah ranjang dan sudah tidak ada Caramel di sana. Yuan bergegas bangun dan mencari keberadaan Caramel di kamar mandi. Namun, tak juga ia temukan. Yuan turun ke lantai bawah. Dari kejauhan ia melihat Caramel tengah berada di dapur. Tanpa sadar senyum tipis terurai di bibir Yuan. “Bi Tyas ke mana? Kok kamu yang masak?” “Aw!”Caramel mengaduh karena pertanyaan Yuan membuat Caramel kaget hingga tanpa sengaja pisau yang dia pegang mengenai jarinya.“Kamu kenapa? Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan kamu,” sesal Yuan seraya meraih jemari Caramel yang terluka. Yuan l
Bim! Bim! Bim! “Itu pasti om Bima dan tante Sinta, ayo kita keluar,” ajak Yuan pada Caramel dan juga Devon yang telah selesai bersiap-siap. Dari raut keduanya terlihat sangat menyedihkan. Caramel memeluk Devon sambil menangis.“Kamu semangat berjuang untuk sembuh ya, Sayang, supaya kamu cepat kembali ke sini. Kakak pasti merindukan kamu,” ujar Caramel sambil menangis sesenggukan.“Iya, Kak. Devon akan berjuang keras. Devon pasti sembuh, Kak. Maaf kalau selama ini Devon merepotkan Kakak terus,” tutur Devon membuat tangis Caramel semakin pecah.“Jangan bicara seperti itu. Nggak ada yang merasa direpotkan. Ini sudah menjadi tanggung jawab Kakak.”Adik dan Kakak itu meraung karena perpisahan ini terasa berat untuk mereka berdua. Dua insan yang saling melengkapi kini dipisahkan oleh keadaan demi tujuan yang lebih baik. “Ssh, ssh, sudah sudah. Ini hanya sementara, Devon, Amel... kalian akan bersatu lagi. Saat ini biarlah jarak memisahkan kalian berdua, tapi nanti... kalian akan menuai bua
Waktu terus bergulir, setelah kepergian Devon kerapkali Caramel merasa kesepian. Hari-harinya terasa sangat membosankan. Caramel seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas.Beruntung beberapa hari ini penghuni rumah tak ada yang singgah selain Yuan dan dirinya. Jennifer dan Selina sedang ada kegiatan kampus sementara Damitri sibuk dengan arisan sosialita-nya yang melakukan acara di luar negeri.Menilik tentang hubungan cintanya dengan Yuan, belum ada yang berarti. Semuanya masih sama. Namun saat ini sudah ada rasa canggung setiap kali mereka bersentuhan atau bertatap mata tanpa sengaja.Jika melihat fisik, rasanya tidak sulit untuk mencintai sosok seperti Yuan. Siapa yang bisa menolak kharisma dan ketampanannya? Yuan bagaikan titisan dewa yang beruntung Caramel dapatkan.Caramel jalan-jalan santai mengelilingi rumah megah Alexander. Beberapa kali ia disapa oleh banyak pembantu yang ada di rumah Yuan. Caramel membalas dengan senyum ramah.Hiruk pikuknya kota Jakarta yang terkenal
Kepergian Caramel dari rumah Yuan membawa kesedihan tersendiri bagi Caramel. Jika bukan karena mengikuti suaminya, Caramel akan lebih memilih untuk menempati rumahnya yang sederhana tapi penuh cinta.Meski rumahnya tidak mewah seperti rumah suaminya, tapi di rumah sederhana itu Caramel bisa menemukan kenyamanan dan kebahagiaan. Berbeda halnya dengan rumah Yuan yang hanya merasakan kesedihan karena keberadaannya tidak dianggap.Caramel berjalan menyusuri trotoar dengan beralaskan sandal yang sudah usang. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa dirinya seorang istri dari pengusaha muda ternama. Ia terus berjalan dan menaiki angkutan umum menuju pemakaman ibunya.Air mata Caramel terjatuh saat melihat gundukan tanah yang mulai mengering.“Ibu ... Caramel datang, Bu. Caramel bawakan bunga kesukaan ibu,” ucap Caramel sesampainya di depan pusara makam ibunya dan meletakkan seikat bunga yang sempat dia beli di dekat gerbang pemakaman. Bibir Caramel bergetar menahan tangis. “Caramel kangen bang
Sesampainya Caramel di rumah, ia kembali merasakan kehangatan dan kedamaian. Ia merasa seperti berada di zona nyaman yang selama ini dia rindukan. Zona yang membuatnya senang, nyaman dan merasa aman berada di dalamnya. Caramel meletakkan tasnya. Ia membaringkan tubuhnya di kasur yang sudah terasa tidak empuk lagi. Ia mencoba menenangkan dirinya dengan melupakan kejadian buruk yang menimpanya hari ini.Saat bayangan tentang perlakuan keluarga suaminya itu datang, dengan segera Caramel menyapunya. Ia tidak ingin berlarut dalam belenggu yang membuatnya tertekan. Caramel bergegas membersihkan diri. Badannya terasa lengket sejak siang akibat terkena keringat dan sinar matahari.Usai mandi dan berganti pakaian Caramel duduk di ruang tamu dengan memandangi foto keluarganya. “Ayah… ibu... maafkan aku. Selama hidup aku belum sempat membahagiakan kalian. Aku belum bisa membuat kalian bangga,” sesal Caramel sambil mengelus foto tersebut. Air matanya kembali terjatuh.“Ayah… maafkan aku belum b
Yuan terbangun setelah mendengar suara tukang bubur melintas di depan rumah Caramel.Yuan mengedarkan pandangan namun tak mendapati Caramel dalam ruangan itu. Dia berpikir mungkin saja Caramel masih tidur.Ya, mereka tidur terpisah. Yuan di ruang tamu sementara Caramel tidur di kamarnya. Mereka sudah berkomitmen untuk tidak melakukannya sebelum mereka saling mencintai.“Caramel… Mel... kamu di mana?” panggil Yuan mencari keberadaan Caramel. Yuan membuka pintu kamar Caramel namun kosong. Yuan beralih ke dapur dan kamar mandi tapi Caramel tak juga ia temukan.“Mel, Mel... kamu ke mana lagi, sih? Hobi banget ngilang-ngilang begini,” gumam Yuan. Yuan membuka pintu utama dan melihat Caramel sedang berbelanja di tukang sayur bersama ibu-ibu lainnya. Caramel terlihat akrab sesekali mereka juga bercanda saling melempar candaan. “Ternyata senyum kamu manis juga,” celetuknya terlontar begitu saja. “Semoga suatu saat kita bisa menjadi pasangan suami istri sungguhan. Saling melengkapi, saling m
Caramel terbangun saat merasakan ada sesuatu yang besar melingkar di perutnya. Caramel perlahan menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya Caramel saat mendapati Yuan tidur satu ranjang dengannya.Caramel ingin berteriak, tapi dia urungkan. Bagaimana pun mereka berdua suami istri. Tidak ada larangan untuk mereka tidur satu ranjang bersama. Caramel memutuskan untuk melihat ciptaan tuhan tersebut mumpung Yuan sedang tidur. “Kamu tampan juga baik hati. Tapi aku nggak habis pikir kenapa kamu bisa memilih perempuan seperti aku. Aku tahu jodoh itu penuh misteri, tapi aku rasa kisah kita terlalu rumit untuk dimengerti,” lirih Caramel sambil memandangi wajah rupawan suaminya.Yuan menggeliat, membuat pelukannya di tubuh Caramel terlepas. Caramel segera pura-pura tidur agar Yuan tidak memergoki dirinya yang diam-diam mulai mengangumi sosok suaminya. “Nggak usah pura-pura tidur, aku tahu kok kamu sudah bangun,” sindir Yuan.Caramel terpaksa membuka matanya dan melihat Yuan sedang memandangi Caram