DUA PULUH TAHUN SEBELUMNYA.
Malam itu sudah menunjukkan jam sebelas malam. Suasana di Desa Damai juga sudah sepi. Hanya sesekali terdengar suara pantongan dari bambu yang dipukul oleh para peronda. Termasuk Rudiansyah, suami dari Mayasari yang juga ikut meronda.
“Rud ... Rudi!” panggil seorang pria paruh baya yang tergopoh-gopoh mendekati Rudi yang sedang asik main catur di pos ronda.
“Lho Pak! Ada apa ini, malam-malam Bapak kok malah ke sini?! Ada yang terjadi sama Maya?!” tanya Rudi cemas. Tak pelak pikirannya menerawang kepada istrinya di rumah yang saat ini sedang hamil tua.
“Iya Rud, istrimu ... Maya ... dia mau melahirkan!” seru pria paruh baya itu terbata.
“Be-benarkah, Pak?!” kembali Rudi bertanya.
“Iya! Makanya, ayo kamu cepat pulang!” ajak pria paruh baya itu. Rudi tak membantah lagi. Dia langsung berpamitan pada bapak-bapak lain yang sedang mendapat giliran jaga malam bersamanya.
“Bapak-bapak ... maaf istri saya mau melahirkan, jadi saya ijin pulang dulu!” pamitnya sopan.
“Iya Rud. Nggak apa-apa. Semoga istri dan anakmu selamat ya,” balas salah satu peronda.
Kemudian, Rudi dan pria paruh baya tersebut bergegas pulang. Tak berapa lama mereka sampai di rumah Rudi. Pria itu bisa menengar dengan jelas suara rintihan istrinya.
“Rud! Sebaiknya bawa istrimu ke rumah sakit!” seru seorang wanita paruh baya yang sejak tadi menemani Mayasari.
“Iya Bu. Tolong siapkan keperluan Maya saya akan cari pinjaman mobil dulu!” ucap Rudi. Pria itu segera kembali keluar rumah untuk mencari pinjaman mobil. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali dengan mengendarai mobil.
Mereka segera membawa Mayasari ke dalam mobil. Rudi bergegas melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, Mayasari segera dibawa ke unit gawat darurat untuk di periksa. Entah suatu kebetulan atau semua memang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, dokter yang bertugas di UGD saat ini adalah dokter kandungan yang selama ini memeriksa Mayasari. Dokter itu segera meminta suster untuk menyiapkan kamar bersalin dan memindahkan Mayasari ke sana.
Di kamar bersalin, Mayasari berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan bayi perempuannya. Sementara itu, Rudi dan orang tuanya memilih menunggu di luar. Ya, sepasang pria dan wanita paruh baya itu adalah ayah dan ibu dari Rudiansyah. Rudi merasa tidak tega melihat perjuangan istrinya yang nampak begitu sakit.
Tak lama kemudian, terdengar nyaring suara tangisan bayi. Dan pintu ruangan itu pun terbuka. Tampak dokter keluar dari ruangan itu.
“Keluarga Ibu Mayasari!” panggilnya. Mereka bertiga pun mendekat.
“Saya suaminya, Sus. Dan mereka adalah orang tua saya. Bagaimana istri dan anak saya, Sus?” tanya Rudi.
“Selamat ya Pak, istri Bapak melahirkan bayi yang sangat cantik. Mereka berdua selamat. Sebentar lagi ibu dan bayinya akan dipindahkan ke ruang perawatan,” ucap dokter itu sambil mengulas senyum.
“Dokter! Dokter! I-itu ... Ibu Maya ... Ibu Maya ...” tiba-tiba terdengar suara teriakan suster yang sudah tergopoh-gopoh dan terlihat panik menghampiri dokter itu.
“Ada apa dengan istri saya suster?!” Rudi pun menjadi panik.
“Katakan ada apa, Sus?!” kali ini dokter yang bertanya.
“B-Bu Maya ... b-beliau ... seperti mau melahirkan lagi!” jawab suster itu dengan terbata.
“Tidak mungkin! Dari hasil USG, bayinya Cuma ada satu dan sudah dilahirkan!” seru dokter itu sambil bergegas kembali masuk meninggalkan Rudi yang masih kebingungan. Entah kenapa suasana berubah mencekam. Langit yang tadinya dipenuhi bintang dan dihiasi bulan purnama, tiba- tiba berubah menjadi gelap. Angin pun tiba-tiba bertiup kencang disertai suara gemuruh di langit. Terlihat kilat yang menyambar dan terdengar suara petir yang menggelegar.
Bahkan di kejauhan terdengar suara lolongan entah anjing atau serigala. Suasana malam itu benar-benar membangunkan bulu kuduk. Pak Karta dan Bu Minah yang merupakan orang tua Rudi terlihat saling berbisik. Keduanya tampak cemas. Mereka berdua seperti mengetahui sesuatu.
“Pak! Ibu punya firasat buruk tentang menantu kita,” bisik ibu dari Rudi kepada suaminya.
“Iya Bu. Bapak juga merasakannya. Sebaiknya kita berdo’a dan semoga firasat ini tidak benar,” ucap ayah dari Rudi berusaha menenangkan isterinya.
“Pak ... Apa Bapak mendengar yang ibu dengar?” tanya wanita itu. Pria paruh baya itu hanya mengangguk.
“Ibu takut, Pak. Ibu takut ...”
“Ibu ... takut apa?” tanya Rudi yang sudah berada di hadapan orang tuanya yang sejak tadi duduk di ruang tunggu.
“Gimana istrimu, Rud?!” alih-alih menjawab pertanyaan putranya, wanita itu justeru balik bertanya.
“Entahlah, Bu. Dokter sedang kembali memeriksanya,” lirih pria itu, lalu menghela nafas panjang.
Sementara itu, di dalam kamar besalin, dokter sedang memeriksa kondisi Mayasari. Dia menatap tajam pada perut wanita itu. ‘Perutnya kempes dan tidak menunjukkan ada bayi lagi di sana’ batin dokter itu.
“D-Dokter ... t-to-long sa-ya ... pe-perut sa-ya s-sakiit. S-se-per-ti ... a-da yang mendesak ke-ke-lu-ar,” rintih Mayasari lemah.
“Sabar ya, Bu. Biar saya periksa dulu,” ucap dokter itu.
“Sus, siapkan alat USG!” titahnya.
“Baik Dokter,” jawab suster itu.
“Aarrgh! S-sa-kiiit!” tiba-tiba terdengar suara teriakan Mayasari. Tampak wanita itu mengejan seperti saat melahirkan tadi.
“Dokter! Li-lihat!” teriak suster lain yang juga turut membantu dokter itu.
“Ada apa, Sus!” seru dokter itu lalu berjalan ke arah suster itu yang saat ini sedang berdiri terpaku menatap ke arah jalan lahir Mayasari. Untuk sesaat, dokter itu juga tercekat melihat pemandangan di hadapannya. Tampak kepala bayi yang sudah menyembul di jalan lahir Mayasari.
“S-Sa-kiiit!” teriakan Mayasari menyadarkan dokter dan suster itu. Meski diliputi keheranan, dokter itu tetap membantu proses kelahiran bayi itu. Bersamaan dengan suara petir yang menggelegar, bayi itu pun berhasil dilahirkan. Namun anehnya, bayi itu tidak menangis sama sekali meski dokter sudah membuatnya menangis. Bayi itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan bayi yang pertama tadi. Namun, anehnya mata bayi itu sudah terbuka lebar. Sedangkan bayi yang lahir pertama tadi langsung menangis dan matanya terpejam. Entah mengapa, dokter dan suster merasa sedikit takut melihat mata bayi itu yang seolah sedang menatap tajam mereka.
“Dokter! Bu Maya pingsan!” seru seorang suster yang bertugas mengurus bayi Mayasari yang lahir pertama dengan panik. Dokter segera memeriksa kondisi Mayasari.
“Kita observasi dulu di sini. Setelah beliau sadar, baru pindahkan ke kamar perawatan. Oh ya, tetap bersihkan dan rawat bayi yang baru lahir tadi!” titah dokter itu. Kemudian dia keluar ruangan untuk menemui keluarga Mayasari.
“Bagaimana kondisi istri saya, dok!” seru Rudi begitu melihat dokter tadi kembali keluar ruangan.
“Bapak, silakan masuk dan adzankan kedua putri Bapak,” ucap dokter itu. Nampak, sorot mata lelah dari dokter itu. Sementara itu, Rudi dan kedua orang tuanya terperanjat mendengar ucapan dokter itu.
“Du-dua dok? Istri saya melahirkan dua bayi? Tapi ... kata dokter ...”
“Saya juga bingung, Pak. Saya yakin tidak salah melakukan USG waktu itu. Hanya ada satu bayi dalam kandungan ibu. Bapak sendiri juga melihatnya kan?” tanya dokter itu. Rudi hanya mengangguk membenarkan.
“Silakan, Pak,” ucap dokter itu lagi.
Dengan diliputi kebingungan dan keheranan, Rudi melangkah ke ruangan itu untuk mengadzankan dua putrinya.
Bersambung
Dengan diliputi kebingungan dan keheranan, Rudi melangkah ke ruangan itu untuk mengadzankan dua putrinya. Terjadi keanehan saat Rudi membisikan adzan di telinga putri keduanya. Bayi yang belum terdengar suara tangisnya sejak dilahirkan itu, tiba-tiba menangis sangat kencang begitu mendengar lafal adzan. Namun, anehnya suara tangis bayi itu terdengar sangat mengerikan. Suara tangis itu lebih terdengar seperti suara rintihan kesakitan. Hingga siapa pun yang mendengarnya, tak pelak bergidik ngeri. Dara Syahita dan Diandra Sarinila itulah nama yang diberikan Rudi untuk kedua putrinya. Meski masih diliputi kebingungan atas lahirnya Diandra, namun Rudi dan Maya tetap menerimanya dengan ikhlas. Mayasari merawat keduanya seolah-olah keduanya memang benar-benar saudara kembar. Apalagi wajah kedua bayi itu memang benar-benar mirip. Berbeda dengan mereka berdua, Pak Karta da
Pencarian terus berlanjut. Hingga tanpa mereka sadari, mereka sudah memasuki hutan yang ada di ujung desa. Hutan yang menurut warga adalah hutan terlarang dan angker. Selama ini tak seorang pun yang berani memasukinya. Beruntung, salah satu warga segera menyadari hal itu sebelum mereka masuk terlalu dalam. Saat ini mereka hanya mengandalkan lampu senter sebagai penerangan karena obor yang mereka bawa sudah mati diterpa angin yang bertiup kencang. “Ustadz, sepertinya kita sudah memasuki hutan terlarang,” bisik salah satu warga kepada Ustadz Yusuf. “Bapak benar. Sebentar. Pak Rudi, sepertinya saat ini kita sudah memasuki hutan terlarang. Bagaimana jika pencarian putri Bapak dilanjutkan besok saja?” usul Ustadz Yusuf. “Sa-saya ... ikut saja Ustadz. Saya juga sudah pasrah. Saya juga tidak ingin bapak-bapak yang lain ada dalam masalah kare
“Mas ... Diandra sudah ditemukan,” lirih wanita itu. Membuat kedua pria itu terperanjat dan menatap penuh tanya pada Mayasari. Maya yang mengerti arti tatapan itu pun memulai ceritanya. “Tadi, Pak Rahman datang ke rumah. Beliau mendapat kabar dari Bu Bidan jika saat ini, Diandra ada di Puskesmas. Kebetulan tadi Pak Rahman mengantar istrinya berobat ke sana,” terang Maya. Rudi dan Pak Karta hanya manggut-manggut tanda mengerti. “Ya sudah, biar Mas yang Puskesmas. Kamu jaga Dara di rumah,” ujar Rudi. “Tapi Mas ...” “ ... Nggak ada tapi-tapian, Maya. Turuti Mas ya. Kamu jaga Dara aja di rumah!” ucap Rudi tegas. Bukan tanpa alasan Rudi meminta hal itu dari Maya. Rudi hanya tidak ingin Maya mendapat cemoohan dari beberapa warga seperti yang dia dan bapaknya dapatkan terka
Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar. Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut. “Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga. “Iya betul itu!” “Bayi pembawa sial!” “Buang saja jauh-jauh dari sini!” Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang
POV WATI Perempuan itu bergegas meninggalkan halaman rumah orang tua Rudi. Amarah tergambar jelas di wajahnya. Bahkan dia mengabaikan orang-orang yang ditemuinya. “Hai Wati! Mau kemana ... buru-buru amat!” sapa seorang wanita paruh baya. Namun, perempuan yang ternyata Wati itu hanya diam dan terus saja berlalu. ‘Dasar aneh, ditanyain diam aja. Kesambet kali tuh orang!’ gerutu wanita paruh baya itu. Sementara itu, Wati terus melangkahkan kakinya hingga tiba di jalan raya. Dia menghentikan angkutan umum yang menuju ke Desa Dayoh. ‘Dendamku harus terbalas’ geram perempuan itu dalam hati. Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya Wati tiba di Desa Dayoh. Desa tempat dia dan Mayasari berasal sebelum mereka pindah ke Desa Damai. Bergegas dia menuju ke rumah lamanya. Lima belas menit dari gapura
Waktu bergulir begitu cepatnya. Tanpa terasa satu bulan sudah Wati meninggalkan Desa Damai dan kembali ke Desa Dayoh demi untuk menyempurnakan niatnya membalas dendam kepada Mayasari. Meninggalkan Wati dengan segala ritualnya di Desa Dayoh. Ternyata hampir satu bulan ini Desa Damai mengalami petaka tiada henti. Tak hanya ternak yang mati mendadak tetapi hampir seluruh warga yang bertani dan berladang mengalami gagal panen. Sungai dan sumur tiba-tiba mengering. Bahkan, banyak anak kecil dan balita yang tiba-tiba jatuh sakit. Entah semua itu disebabkan karena apa. Hanya saja warga Desa Damai yang sempat terhasut oleh ucapan Wati tentang siapa orang tua Mayasari, mulai kasak-kusuk kembali. Tak segan mereka melontarkan tuduhan keji bahwa bencana yang terjadi di Desa Damai disebabkan oleh kehadiran bayi kembar Mayasari atau karena kutukan Mayasari yang sempat terlontar karena amarahnya. Dari kedua bayi Ma
“Kisah ini berawal, jauh sebelum kami menikah dan memiliki keturunan,” ucap Pak Karta memulai ceritanya. Namun, saat itu kami telah memiliki calon pasangan masing-masing. Kemana-mana kami selalu berempat hingga suatu hari Sarina, adik Widarta ingin ikut bergabung dengan kami. Tak ada alasan dari kami untuk menolak. Karena kami juga tak melakukan hal-hal yang aneh. Kami yang waktu itu masih muda sangat menyukai petualangan. Terkadang kami bahkan pergi ke tempat-tempat yang menurut warga adalah tempat yang angker dan terlarang untuk kami datangi. Suatu hari, di Desa Dayoh, datang seorang warga baru bernama Aki Sudra. Kami tidak tahu darimana dia berasal atau siapa dia sebenarnya. Waktu itu Aki Sudra berusia sekitar empat puluhan. Yang membuat kami heran adalah, dia memilih untuk menempati rumah kosong yang sudah tidak layak huni yang berada di ujung desa padahal masih banyak rumah yang laya
Gadis itu diam-diam tersenyum licik. Dari sorot matanya terpancar banyak rencana jahat. Sebuah rencana yang entah dia tujukan untuk siapa. Sorot mata itu tertuju hanya pada satu orang. “Hai Sudra!” apakah mereka ini pengikut baruku?!” tanya sosok itu dengan suara menggelegar. “Benar Tuan, junjungan hamba,” jawab Aki Sudra sambil membungkuk penuh hormat pada makhluk itu. Lalu terdengar suara tawa makhluk itu lagi. “Apakah mereka sudah menikah?!” tanya makhluk itu lagi. “Belum Tuanku,” jawab Aki Sudra. “Hmm ... di antara mereka siapa yang akan menikah lebih dulu?!” kembali makhluk itu bertanya. “Mereka Tuanku. Mereka akan menikah bulan depan,” jawab Aki Sudra sambil menunjuk ke arah Karta dan Minah.