Share

Bab 5. BAYIMU PEMBAWA SIAL

    Sementara Rudi yang memilih untuk menemani istri dan dua putrinya. Terkejut saat tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah depan rumah. Pria itu bergegas keluar. Tapi sebelumnya dia meminta istrinya untuk tetap berada di kamar.

     Betapa terkejutnya dia saat melihat beberapa warga berkumpul di halaman rumah orang tuannya. Tak hanya Rudi, Bu Minah yang sudah tergopoh-gopoh keluar dari rumah juga merasa terkejut.

     “Hai Rudi! Bayi anehmu itu benar-benar pembawa sial!” terdengar suara nyaring seorang perempuan yang berasal dari arah belakang kerumunan warga.

     “Iya betul itu!”

     “Bayi pembawa sial!”

     “Buang saja jauh-jauh dari sini!”

     Suara-suara hujatan itu terus saja terdengar. Rudi dan Bu Minah yang masih syok dan belum mengerti dengan apa yang terjadi, masih saja terpaku. Mereka berusaha mencerna apa yang mereka katakan. Tiba-tiba, tatapan Bu Minah bersirobok dengan tatapan seorang wanita yang saat ini tengah tersenyum penuh kemenangan. ‘Wati’ batin Bu Minah.

     “Hai Wati! Fitnah apa yang sudah kau sebarkan kepada warga, tentang menantu dan cucuku!” bentak Bu Minah yang seketika membuat Wati tercekat. Wanita yang tengah diliputi oleh rasa cemburu, iri dan dengki itu mendadak bungkam. Namun, bukan Wati namanya jika dia menyerah begitu saja.

     “Bu Minah! Saya tidak pernah menyebarkan fitnah. Semua yang saya katakan benar adanya. Benar begitu kan? Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu!” bantah Wati yang berusaha mencari dukungan warga.

     “Ya! Itu benar. Wati tidak sedang menebar fitnah. Ini kenyataan Bu Minah. Saya punya buktinya!” seru seorang pria paruh baya dengan tubuh tambun.

     “Tuh! Dengar sendiri Bu Minah. Pak Gondo, punya buktinya!” seru Wati sambil tersenyum penuh kemenangan. ‘Rasain kalian. Ini baru awal pembalasan dendamku’ batin Wati.

     “Memangnya ... Bukti apa yang Pak Gondo punya?!” kali ini Rudi yang bertanya.

     “Salah satu sapiku tiba-tiba saja mati! Padahal kemarin dia baik-baik saja!” seru Pak Gondo dengan raut wajah tak terima.

     “Kalo sapi Pak Gondo mati, kenapa jadi cucu saya yang dianggap membawa sial!” seru Bu Minah dengan wajah merah padam menahan marah.

     “Bu Minah pikir cuma sapi saya yang mati?! Warga lain yang memiliki ternak juga mengalami hal yang sama!” bentak Pak Gondo.

     “Iya benar!”

     “Benar!”

     Suara warga bersahutan membenarkan apa yang disampaikan Pak Gondo.

     “Assalamu’alaikum!” tiba-tiba terdengar suara Pak Karta yang baru saja datang dari kebunnya. Dia terkejut melihat di halaman rumahnya telah berkumpul beberapa warga yang sedang beerteriak-teriak

     “Waalaikumsalam. Kebetulan Pak Karta datang ...”

     “ ... Ada apa ini Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu!” ujar Pak Karta memotong kalimat Pak Gondo.

     “Ada apa ini Rud?! Bu?!” tanya Pak Karta sambil mengalihkan pandangan ke arah isteri dan anaknya.

     “Mereka menuduh cucu kita pembawa sial, Pak. Hanya karena ada ternak mereka yang mati!” jelas Bu Minah dengan netra berkaca-kaca. Untuk sesaat Pak Karta hanya bisa diam. Dia sudah menduga akan hal ini. Hanya saja dia tak pernah menyangka akan secepat ini. Lelaki paruh baya itu menghela nafas panjang.

     “Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu, kita tidak tahu apa penyebab ternak Bapak-bapak dan Ibu-bu sekalian mati. Tapi saya tegaskan, itu semua tidak ada hubungannya dengan cucu kembar saya.

     “Kembar dari mana, Pak?! Sudah jelas waktu mengandung, hanya ada satu bayi di rahim Maya!” celetuk Wati tiba-tiba.

     “Bapak-Bapak ... Ibu-Ibu, saya ada di rumah sakit itu ketika Maya melahirkan. Tidak sengaja saya mendengar penjelasan dokter yang selama ini memeriksa Maya!” terang Wati. Perempuan itu menyeringai puas.

     “Oh ya! Satu lagi, orang tua Maya itu dukun santet dan penganut ilmu hitam di Desa Dayoh. Apa Bapak-bapak dan Ibu-Ibu tahu ini artinya apa? Saya yakin seratus persen bayi Maya yang satu lagi ada hubungannya dengan ilmu hitam yang dianut oleh orang tua Maya. Entah dimana mereka sekarang. Mereka tiba-tiba menghilang dari Desa Dayoh,” cibir Wati membeberkan semua tentang orang tua Maya.

     “Oh jadi orang tua Maya itu dukun ilmu hitam?!” celetuk salah satu warga yang merupakan kaki tangan Wati.

     “Kalo begitu ... usir saja mereka dari desa ini!” seru Pak Gondo tak kalah sengit.

     “Wati! Apa kamu punya bukti jika orang tua Maya, dukun santet!” bentak Pak Karta. Mendengar itu, nyali Wati mendadak menciut. Ya, dia tak punya bukti apapun. Selama ini dia hanya mengetahui dari suara bisikan seseorang yang belum pernah dia ketahui sosoknya.

     “Cukup!”

     “Sudah cukup! Ini ... bunuh bayi kami agar kalian semua puas! Agar tak ada lagi bayi aneh dan pembawa sial seperti yang kalian bilang!” tiba-tiba terdengar seruan Maya dari arah dalam seraya menggendong kedua putrinya. Dengan berurai airmata dan dipenuhi emosi, perempuan yang baru beberapa hari melahirkan itu, meletakkan kedua bayinya di tanah, tepat di hadapan warga yang sedang berkumpul. Sedangkan dia jatuh luruh ke tanah masih dengan tangisnya. Rudi dan Bu Minah segera menghampiri perempuan itu.

     “Maya ... Sayang, bawa masuk anak kita,” pinta Rudi.

     “Iya Nak, kasihan mereka,” Bu Minah ikut membujuk menantunya.

     “Kalian semua lihat kedua bayi ini. Lihat!” seru Maya sambil menunjuk ke arah dua bayi mungilnya yang saat ini terbaring di tanah, alih-alih menuruti suami dan ibu mertuanya.

     “Menurut kalian ... bagaimana caranya kedua bayi ini membuat ternak kalian mati?!” ucap Maya dengan menatap tajam ke arah warga.

     “Apakah mereka berjalan atau berlari ke kandang ternak kalian?! Atau mereka terbang?! Lihat kedua bayi ini! Menurut kalian ... mereka sanggup melakukan itu?!”

     “Jika menurut kalian, mereka mampu melakukan itu. Bunuh saja mereka berdua. Habisi mereka berdua. Jika sebaliknya, tolong ... saya mohon ... jangan lagi fitnah anak-anak kami. Terutama kau! Aku tidak pernah tahu apa kesalahanku padamu. Aku hanya diam saat kau memfitnahku, menuduhku yang tidak-tidak bahkan saat kamu bilang orang tuaku dukun santet, aku juga diam. Sekarang ... tega kamu memfitnah bayi yang umurnya bahkan belum genap satu bulan!” kali ini dengan suara bergetar penuh amarah Maya menunjuk tepat ke arah Wati. Membuat wanita itu mundur beberapa langkah. Melihat sorot mata Maya, wanita itu merasakan tubuhnya berdesir. Bahkan, dengan susah payah dia menelan salivanya.

     “Maaf, sebaiknya Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian, pulang ke rumah masing-masing!” ucap Rudi meminta warga untuk bubar. Baru beberapa langkah warga kembali mendengar suara Maya yang menggelegar.

     “Tunggu! Dengar kalian semua ... jika setelah ini aku masih mendengar kalian memfitnah anak-anakku, menyebutnya bayi aneh atau bayi pembawa sial. Aku bersumpah! Atas nama kedua bayiku, Dara dan Diandra, kalian akan benar-benar merasakan kemarahan seorang ibu!” bentak Maya.

     Tiba-tiba langit mendung, angin bertiup kencang, petir menggelegar ketika mendengar sumpah dari Maya. Tak hanya warga yang tercekat dan dicekam rasa takut. Tapi Rudi dan kedua orang tuanya pun merasa terkejut.

     “Maya ... istighfar, Nak! Istighfar!” ucap Bu Minah sambil memeluk menantunya. Diusapnya punggung menantunya dengan penuh kasih sayang.

     “Rud ... bawa masuk kedua putrimu!” titah Pak Karta. Rudi hanya mengangguk. Digendongnya kedua bayi mungil itu. Meski merasa heran, setidaknya Rudi merasa bersyukur, kedua bayinya tetap terlelap di tengah keributan tadi. Sementara Pak Karta, pria itu lalu menghampiri istri dan menantunya.

     “Maya, istighfar. Sholat taubat ya Nak. Cabut kembali sumpahmu itu. Jangan biarkan amarah menguasai hatimu,” ucap Pak Karta lembut.

     “Maya sakit hati, Pak. Jujur, Maya sangat marah mendengar mereka memfitnah anak-anak yang Maya lahirkan. Maya sadar, kehadiran Diandra memang di luar nalar manusia. Tapi dia tetap bayi Maya, anak Maya Pak,” lirih Maya panjang lebar dengan berurai air mata.

     “Bapak tahu, Nak. Bapak hanya minta jangan mau dikuasai amarah. Itu tidak baik, Nak. Bukan hanya untukmu tapi juga untuk kedua putrimu,” kembali Pak Karta menasehati menantunya. Setelah dibujuk akhirnya, Maya mau melakukan sholat taubat dan menarik kembali sumpahnya.

     Namun, siapa yang tahu jika jauh dikedalaman palung hatinya, Maya masih menyimpan rasa sakit itu. Rasa sakit yang akan membuatnya berubah menjadi sosok yang lain.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status