Share

Ch. 2 Interview

Sisca mengerjapkan matanya ketika alarm dari iPhone miliknya berdering, sudah pukul lima dan ia harus segera bangun. Hari ini hari pentingnya, jadi ia harus segera bergegas. Ia duduk di ranjangnya, mengikat rambut panjangnya dan menguap sejenak. Sisca berusaha membuka matanya lebar-lebar, rasa kantuk itu masih menguasainya.

Setelah ia rasa nyawanya sudah full terisi, ia bergegas turun dari ranjang dan melangkah ke luar kamar. Pertama yang ia lakukan adalah mencuci mukanya, air dingin yang menyapa wajahnya sontak membuat wajahnya segar seketika. Sisca tersenyum, ia kemudian melangkah ke depan rumah guna mengambil handuk yang ia jemur di jemuran depan rumah.

Ia melirik sekilas tetangga rese barunya, masih sepi. Rumahnya gelap, mungkin dia belum bangun. Namun Sisca tidak peduli, ia bergegas kembali masuk guna mandi dan bersiap-siap berangkat interview. Bodoh amat sama laki-laki rese sebelahnya itu.

Ia melangkah ke dalam kamar mandi, melepas semua bajunya dan memulai ritual mandinya. Ia harus tampil totalitas, ia mau pekerjaan itu, ia mau posisi itu! Ia sudah lelah dan malu minta kiriman uang dari orangtuanya. Ia harus punya pekerjaan dan pendapatan sendiri, ia sudah besar! Itu yang membuat ia bertekad harus berhasil mendapatkan pekerjaan itu.

"Cukup!" gumannya sambil mematikan shower dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Setelahnya ia membungkus tubuhnya itu dengan handuk.

Ia melangkah keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Rambut yang kemudian ia bungkus dengan handuk dan ia mulai ritual skincare hariannya. Tak lupa handbody favoritnya yang selalu membuat mood Sisca sontak jadi baik karena aromanya yang begitu menenangkan itu.

"Make up tipis nggak dosa kali ya?" Sisca mematut wajahnya di cermin rias, lalu meraih foundation dan beberapa perlengkapan make up-nya.

"Foundation, bedak, blush-on tipis, eyeshadow tipis, eyeliner, mascara dan lipcream!" desisnya sambil mulai memulas wajahnya setipis mungkin.

"Cukup eyeshadow cokelat sedikit gelap dan eyeliner!" gumannya lagi sambil menggambar eyeliner itu di matanya, kemudian ia meraih eyelash curler, menjepit buku matanya dan mengaplikasikan mascara itu di bulu mata lentiknya.

"Perfect, kurang alis nih!" kini ia meraih pensil alis, menggambar alisnya dengan tipis, pokoknya jangan sampai terlalu menor, ia tidak ingin membuat kesan buruk di hari interview-nya.

Sisca tersenyum ketika riasan wajah dan matanya sempurna, kini ia meraih kuas blush-on, membubuhkan blush-on peach itu tipis-tipis. Mengoleskan lipcream nude itu di bibirnya. Wajahnya sudah makin segar, dan ia sangat suka melihat wajahnya yang sudah ter-make up ini.

Setelah wajahnya beres, ia meraih botol hair vitamin di meja riasnya, menuang isinya dan mengaplikasikannya di rambutnya yang setengah basah. Menghidupkan hairdryer dan mengeringkan rambutnya agar ia bisa segera mencatok rambutnya.

Memang ribet ya jadi cewek? Namun Sisca tidak peduli, make up dan penampilan itu penting. Sebodoh amat dia banyak dikatakan cantik karena efek make up, toh tanpa make up pun ia cantik kok, hanya saja jika ditambah make up maka wajahnya akan sedikit lebih segar dan ia lebih percaya diri.

Cukup lama ia mencatok rambutnya, kini ia meraih kemeja dan rok yang sudah sejak kemarin ia siapkan itu. Pokoknya ia harus punya kesan baik di hari interview pagi ini, itu wajib!

"Sarapan nanti aja kalinya? Nggak boleh telat pokoknya!" Sisca meraih tasnya dan bergegas melangkah keluar kamar, memasukkan dua potong roti sandwich kemasan merek ternama, dan satu botol kopi favoritnya.

Setelah semuanya siap, ia meraih kunci motor dan helm. Kembali ia melirik rumah di sebelahnya itu, masih sepi. Kemana sih yang punya rumah? Mati? Jam segini belum nampak batang hidungnya, dasar laki-laki aneh!

Namun Sisca tidak peduli, ia memakai helm dan menghidupkan mesin motornya. Dengan sedikit tergesa Sisca bergegas memacu motornya, ia harus segera sampai kantor dan segera interview. Pekerjaan impiannya sudah di depan mata!

***

Arnold tersentak ketika melihat jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan! Gila! Bisa-bisanya sih dia telat bangun? Bisa hancur kariernya di hari pertama ia masuk kerja. Masa iya direktur utama datang telat? Apa kata bawahannya nanti?

Dengan langkah kaki seribu Arnold bergegas melangkah ke kamar mandi, ia harus segera sampai kantor! Kalau tidak reputasinya bisa hancur sebagai direktur utama di perusahaan itu, apalagi dia direktur katrolan bapaknya, dimana sebenarnya ia sama sekali belum punya pengalaman memimpin perusahaan.

Mana belum ada sarapan lagi, astaga! Makin pening kepala Arnold kalau begini. Mana ia punya gerd lagi, bisa gawat nanti kalau sampai dia telat sarapan. Benar-benar menyebalkan sekali punya riwayat penyakit lambung!

"Harus cepet cari asisten nih, nggak bisa begini terus!" gerutunya sambil buru-buru memakai pakaiannya.

Secepat kilat ia menyisir rambut dan merapikannya dengan Pomade, kemudian meraih kunci mobil dan bergegas keluar dari kamarnya.

Parah banget sih hari pertama bisa telat kayak gini? Dan itu benar-benar membuat mood Arnold berantakan

***

"Jadi saya di terima di perusahaan ini, Bu?" mata Sisca berbinar cerah, akhirnya ia bisa dapat pekerjaan juga.

"Kerja mulai sekarang bisa?" tanya wanita empat puluh tahun itu sambil tersenyum.

"Bisa, tentu bisa, Bu. Saya siap kalau hari kerja sekarang," guman Sisca dengan penuh semangat.

"Kalau begitu sekarang ikut saya, saya akan tunjukkan meja kerja kamu, ya!" guman Bu Citra seraya bangkit dan melangkah keluar dari ruangannya.

Dengan penuh semangat Sisca mengikuti langkah Bu Citra menunjukkan meja kerja yang akan dia tempati selama bekerja di perusahaan ini.

"Nanti kamu ada di bawah manajer keuangan, jadi bertanggung jawab langsung sama manajer keuangan perusahaan ini."

Sisca mengangguk tanda mengerti, sesuai dengan kompetensinya bukan? Setelah ini ia harus mentraktir makam Dita rasanya, berkat info dari dia sekarang Sisca bisa kerja di perusahaan ini. Ahh ... untungnya ia punya sahabat seperti Dita.

"Siap kerja hari ini kan?" Bu Citra tersenyum, menatap Sisca dengan tatapan ramah.

"Siap, tentu saya siap Ibu." jawab Sisca mantab.

"Kalau begitu saya tinggal ya, nanti biar Rizky yang menjelaskan," Bu Citra melirik sosok laki-laki berkulit kuning itu, "Riz, tolong ini nanti dijelaskan ya perkerjaan yang harus dia lakukan."

Laki-laki yang dipanggil Rizky itu mendekat, ia mengulurkan tangannya pada Sisca.

"Pegawai baru? Kenalkan saya Rizky."

Sisca tersenyum, ia membalas uluran tangan laki-laki itu, "Iya, perkenalkan saya Fransisca, panggil saja Sisca, tolong bimbingannya ya Kak."

"Nah, saya tinggal dulu ya," Bu Citra tersenyum, menepuk lembut pundak Sisca.

"Baik, terima kasih banyak ya, Bu."

Sisca tersenyum, rasanya benar-benar hari baiknya hari ini. Ia mulai duduk dan memperhatikan meja yang akan menjadi partner kerjanya.

"Nanti mulai kamu pelajari pendapatan dari perusahaan dari tahun kemarin ya, buat grafiknya," Rizky menyodorkan map-map tebal itu di meja Sisca.

"Oke baik, terima kasih Kak," guman Sisca sambil tersenyum.

"Nanti kalau kamu bingung atau butuh bantuan panggil saja aku ya."

Rizky bergegas pergi meninggalkan meja Sisca, membiarkan Sisca mengerjakan pekerjaannya. Sisca membuka map besar itu mulai mempelajari satu persatu angka-angka yang tertulis di sana.

Sementara itu ...

"Meeting-nya jam berapa?" tanya Arnold pada sekretaris pribadinya itu.

"Jam sepuluh pagi, Bapak."

"Di mana?" tanya Arnold sambil membaca berkas-berkas yang terhantar di mejanya.

"Meeting room Bengawan Resto, Pak," guman Jelita yang masih berdiri di depan meja Arnold.

"Oke, nanti ingatkan saya!"

"Saya permisi, Bapak!" Jelita tersenyum, lalu bergegas undur diri dari ruang kerja direktur utama itu.

Arnold memijit keningnya, rasanya ia benar-benar perlu personal asisten yang bisa membantunya dalam pekerjaan kantor maupun rumah.

Tapi berapa nanti dia membayar jasa personal asisten itu? Personal asisten papinya saja sebulan tiga puluh juta, lantas akan dia bayar berapa nanti personal asistennya? Tahu sendiri gajinya benar-benar minim di sini, papinya benar-benar menggembleng dirinya dengan begitu luar biasa.

Arnold menghela nafas panjang, rasanya ia memang perlu sedikit adaptasi. Ia harus pintar-pintar mengatur keuangan, itu kan yang selalu dikatakan oleh sang papi?

"Ya ampun, Pi ... begini amat sih sama anak?"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
bagus sih bngat
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status