Share

Pernikahan Nona Smith
Pernikahan Nona Smith
Author: Khoirul N.

Bab 1_ Gadis Singa Jantan

Nama aslinya adalah Sasmitha Maharani. Tapi ia selalu mengenalkan dirinya sebagai Smith. Bukan Sas, Mitha, atau Rani.

Entah mengapa ia sengaja tidak memilih nama panggilan yang lebih menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang perempuan.

Bukan hanya nama panggilan, tingkah lakunya juga tidak mencerminkan bahwa dirinya memang perempuan.

Jika dulu dirinya masih terpaksa tampak sebagai perempuan karena diwajibkan untuk mengenakan rok di sekolah, kini ia bebas membuang segala rok yang terpaksa ia miliki.

Lebih dari itu, mulai detik ini, Smith juga bebas menentukan pakaian seperti apa yang akan ia kenakan di kampus.

Praak!

“Apa matamu sudah rabun? Turun dan minta maaf pada nenek ini sekarang juga! Kalau tidak, aku akan meneriakimu sebagai sopir cabul!” bentak Smith usai memukul sebuah angkot hijau yang ia tumpangi.

Suara Smith yang sangat lantang dan meledak-ledak, dengan cepat menarik perhatian orang-orang. Jadi, secara otomatis ancamannya itu telah terdengar oleh banyak orang di sekitarnya.

Maka, kini para tukang ojek yang sedang berbincang di sebuah warung, juga orang-orang yang sedang berjalan melewati angkot hijau itu, menatap tajam ke arah sang sopir.

“Nenek, maafkan saya. Lain kali saya akan lebih berhati-hati,” ujar sang sopir yang masih muda, yang memilih turun untuk meminta maaf, ketimbang terus menerima tatapan orang-orang yang sepertinya sudah bernafsu untuk menghajarnya.

Sang sopir pun bisa bernapas lega ketika si nenek mengangguk memberi maaf. Dan satu per satu tatapan orang-orang mulai beralih darinya.

“Bagus, bagus. Sekarang, kembalikan uang nenek ini.”

“Apa? Janga ....”

“Stop! Tutup mulutmu! Jika tadi nenek ini sampai jatuh karena kau menginjak gas sebelum nenek benar-benar turun, kau bisa masuk penjara dengan pasal kelalaian. Jadi, kembalikan uangnya sebagai kompensasi dan kau akan selamat dari tuntutan,” ujar Smith sambil menyodorkan tangannya.

Sang sopir yang telah sangat kesal, terpaksa merogoh uang dari sakunya dan menuruti ucapan Smith.

Siapakah sebenarnya nenek yang dibela Smith sampai segitunya? Apakah itu nenek kandungnya, nenek angkat, atau nenek pungut?

Tidak! Nenek itu bukan siapa-siapa Smith. Bahkan mereka baru bertemu di angkot itu.

Tapi mengapa Smith menjadi begitu sewot saat sopir angkot hampir membuat sang nenek celaka?

Ya, begitulah Smith. Seorang gadis yang saking galaknya sampai-sampai mendapat julukan Singa Jantan dari teman-teman satu kelasnya. Julukan yang tidak pernah berubah sejak sekolah dasar hingga di jenjang universitas.

Smith cenderung diam dan tidak banyak bicara. Tapi, sekali saja ia merasa terusik, entah oleh tingkah orang yang menggaggunya atau melakukan hal yang salah di depan matanya, gadis itu akan sangat sulit untuk berhenti berbicara.

Itu sebabnya, Smith lebih sering terlihat sendiri saja. Menghabiskan waktuya di antara buku-buku di perpustakaan, atau tidur di dalam kelas saat perkuliahan telah berakhir.

Jika ia tidak ditemukan di dua tempat itu, sudah pasti Smith tengah duduk di beranda lantai dua kampusnya, duduk persis di pinggir atap. Hanya diam mengamati orang-orang yang tertangkap oleh matanya.

Selain karena sengaja menghindari segala percekcokan yang sangat mungkin akan terjadi dengan orang di sekitarnya, Smith tidak memiliki seseorang yang bisa disebut sahabat. Dari sekian banyak teman satu kelasnya, semua jaga jarak untuk tidak terlibat masalah dengan gadis itu.

Pasalnya, saat masa pengenalan lingkungan kampus dulu, Smith menjadi sangat tenar karena berani meludah pada kakak senior yang paling ditakuti oleh para mahasiswa baru.

Tidak ada yang tahu duduk perkaranya secara jelas. Kabar yang beredar hanya memojokkan Smith saja. Dan kabar itu semakin fiktif lantaran banyaknya tambahan-tambahan pendapat.

Tapi Smith tidak berkecil hati atau pusing memikirkan hal itu. Smith tidak peduli dengan penilaian orang lain padanya. Yang terpenting baginya adalah ia tidak menganggu atau menyusahkan orang lain.

“Apa aku boleh meminjam penamu?” tanya seorang lelaki yang wajahnya belum pernah terlihat oleh mata Smith.

“Aku lupa tidak membawa pena. Jadi, jika kau tidak keberatan, aku ingin meminjam pena milikmu itu sebentar untuk mengisi formulir ini,” kata lelaki itu lagi sambil menunjuk pena biru yang ada di tangan kanan Smith.

Smith yang melihat lelaki itu dengan wajah dingin tanpa senyum, lalu berdiri dan menyodorkan penanya, tanpa berbicara satu patah kata pun.

“Terima ....”

Belum sampai lelaki itu menuntaskan ucapan terima kasihnya, Smith telah pergi masih tanpa mengatakan apa-apa. Tentu saja membuat lelaki yang bernama Janu Malik itu keheranan.

***

Kelas Apresiasi Prosa Fiksi hampir dimulai. Para mahasiswa telah banyak yang duduk di bangku dalam kelas. Tanpa terkecuali Janu, yang terlihat sibuk menjabat tangan orang-orang yang akan menjadi teman satu kelasnya.

Janu memang baru masuk setelah perkuliahan berjalan hampir dua minggu. Karena suatu urusan yang mendesak, membuat keberangkatan Janu ke Bandung jadi tertunda. Itu sebabnya, di kelas tersebut, Janu belum mengenal satu orang pun.

Termasuk seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kelas bersamaan dengan masuknya dosen, yang sebenarnya telah ia kenal wajahnya, tapi tidak ia ketahui namanya.

“Namanya Smith,” kata seorang pemuda yang duduk di samping Janu karena mendapati Janu sedikit melongo terpaku melihat gadis itu.

“Siapa?” tanya Janu untuk meyakinkan bahwa nama yang ia dengar tidak salah.

“Smith. Nama lengkapnya Sasmitha Maharani. Tapi dia lebih suka dipanggil Smith. Cantik memang. Tapi aku sarankan, jangan dekati dia atau kau akan terlibat dalam masalah,” ujar pemuda itu lagi membuat Janu menoleh, lagi-lagi karena heran.

“Dia sangat aneh. Aku pernah melihatnya membentak-bentak seorang sopir angkot tanpa sebab yang jelas. Hiii, sangat menakutkan. Dia juga seperti orang bisu di kelas. Diam terus. Tidak pernah berbicara pada kami. Kalau diajak bicara, dia hanya diam dan melihat saja tanpa mengatakan apa-apa. Kadang hanya mengangguk atau menggeleng. Paling banter menjawab ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Mungkin’. Tingkahnya persis dengan singa jantan. Apalagi tatapan matanya, bisa membuat jantungmu copot.”

Pemuda itu terus mengoceh tanpa diminta. Dan Janu terus menatap Smith yang duduk di pojok kanan, bangku paling akhir. Rasa ingin tahunya pada Smith justru semakin besar setelah mendengar cerita tidak biasa tentang gadis itu.

“Apa semua orang memanggilnya Smith?” tanya Janu yang merasa nama panggilan itu kurang sesuai untuk seorang gadis. Ia sendiri jika diminta untuk memilih, akan memanggil gadis itu dengan sebutan Sas. Terdengar lebih manis.

“Jika kau memanggilnya dengan sebutan selain Smith, sampai pita suaramu putus pun dia tidak akan menyahut. Orang dipanggil Smith saja, dia hanya akan menatap tanpa menyahut. Pokoknya mengerikan!"

Janu tersenyum. Entah mengapa ia merasa Smith tidak seperti apa yang dikatakan teman di sampingnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status