Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.
Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek.
"Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.
Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu.
"Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Kentara sekali kalau tukang ojek itu ketakutan. Ia merasa terancam lantaran khawatir membonceng seorang buronan.
"Bukan. Sudahlah Pak, nyalakan lagi motor Bapak dan pergi dari sini secepatnya!" ujar Smith sambil menepuk pundak tukang ojek.
"Sasmitha! Turun dan cepat masuk! Sedangkan kau tukang ojek, ambil ini dan pergilah dari sini."
Tukang ojek yang menerima uang seratus ribu rupiah, langsung menyalakan mesin dan tancap gas.
***
Ruang tamu terlihat sangat megah dan apik dengan ornamen-ornamen dinding yang menawan. Lantai marmer mengkilat, guci-guci besar, sofa panjang dengan warna merah bata yang elegan, dan lampu hias raksasa dengan cahaya terang menjadikan ruang tamu itu sangat cukup untuk membuat orang yang melihatnya berdecak kagum.
Kemewahan ruang tersebut semakin lengkap dengan adanya sebuah lukisan keluarga berukuran 2 x 2 meter. Itu adalah potret dari ayah, ibu, dan seorang gadis kecil yang manis.
Akan tetapi ruangan itu senyap saja, seolah tidak ada kehidupan di sana. Padahal, kini tengah duduk dua orang di sofa yang berbeda.
"Mengapa kau tidak memakai mobil yang ayah belikan?"
Smith tidak menyahut. Ia hanya duduk dengan wajah malas, tanpa melihat lelaki yang bertanya padanya.
"Sasmitha, mau sampai kapan kau bersikap kekanak-kanakan seperti ini? Lihatlah dirimu, kau sudah dewasa. Semestinya kau bisa lebih bijak dalam bertindak dan mengerti mana yang baik untukmu sendiri."
Smith masih tidak menyahut. Ia malah berdiri dan hendak meninggalkan ayahnya.
"Sasmitha, ayah belum selesai bicara," ujar Hendry dengan suara lebih lantang pada putrinya yang telah menaiki tangga.
Seperti biasa, lelaki itu pada akhirnya hanya merebahkan tubuhnya ke sofa sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Dalam saat-saat matanya terpejam, segala hal buruk yang telah ia lakukan di masa silam pada istri pertamanya terlintas dalam pikirannya. Hal itulah yang membuat dirinya mengerti mengapa Smith bersikap demikian padanya.
Hendry Sasongko adalah seorang konglomerat dengan jumlah kekayaan yang tidak akan habis sampai tujuh keturunan. Ia memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, misalnya pertambangan timah, batu bara, juga minyak. Kesemuanya sukses besar dengan omset yang luar biasa menggiurkan.
Selain itu bisnisnya di bidang properti juga tidak kalah mentereng. Sejumlah aset berharga miliknya tersebar di berbagai kota besar.
Berkat usahanya yang terus menghasilkan pundi-pundi uang itu mengantarkan Hendry masuk dalam jajaran orang paling kaya di Indonesia.
Akan tetapi, segala kekayaan yang dimiliki Hendry nyatanya tidak membuat lelaki itu bisa benar-benar bahagia. Hubungannya dengan putri semata wayangnya itu telah memburuk sejak kematian istri pertamanya, saat Smith masih duduk di bangku kelas VIII.
Dan sampai detik ini, keadaan tidak kunjung membaik juga. Kemarahan dan kekecewaan putrinya seperti tidak berkurang sejumput pun. Bahkan Henry merasa Smith semakin benci padanya.
***
Smith duduk di atas lantai dengan punggung menempel di tempat tidur. Kedua lututnya tertekuk dengan dua tangan yang bertumpu di atasnya. Smith meletakkan dahinya ke tangan.
Dalam posisi duduk dengan wajah yang tersembunyi itu, pundak Smith terlihat turun naik. Tapi tidak ada isakan yang terdengar sebab Smith menggigit bibirnya agar tetap tertutup rapat.
Sesekali Smith mengambil napas dari mulutnya, sebab lubang hidungnya tertutup oleh lendir yang keluar bersama air mata.
Smith selalu merasa sesak dadanya setiap kali melihat wajah sang ayah. Ia tidak bisa melupakan wajah menyedihkan almarhum ibunya ketika berhadapan dengan Hendry.
Bagi Smith, tidak ada orang yang lebih ia benci ketimbang sang ayah. Bahkan terkadang pikiran liarnya membayangkan betapa bahagia hidupnya jika Hendry lenyap dari muka bumi.
Entah di tangan perampok atau di mulut buaya, ia bersumpah untuk tidak akan menangisi kematian ayah paling buruk sepanjang masa itu.
Padahal ketika masih kecil, tidak ada orang yang lebih dicintai dan disayangi Smith daripada sang ayah. Bahkan ibunya sekalipun.
Ketika itu di mata Smith, Hendry merupakan ayah paling hebat sedunia, yang sangat bertanggung jawab, pekerja keras, gigih, sabar, dan penyayang.
Smith bisa murung sepanjang hari ketika sang ayah terpaksa mesti meninggalkannya untuk bekerja. Gadis itu akan dengan setia menunggu kedatangan ayahnya di halaman rumah seperti seekor anak kucing yang menanti majikannya pulang.
Kadang-kadang Smith kecil yang manis akan menangis dengan sekencang-kencangnya ketika waktu pulang sang ayah telah tiba, tapi Hendry belum juga tampak batang hidungnya.
Ada kalanya ketika sifat manjanya sedang kumat, Smith akan mengunci rapat mulutnya ketika sang ibu hendak menyuapinya. Semakin sering sang ibu memintanya untuk membuka mulut, semakin kuat ia menempelkan kedua bibirnya. Dan Smith baru akan makan, hanya jika Hendry yang menyuapinya.
Maka, Hendry terkadang pulang di waktu istirahat hanya untuk menyuapi gadis mungilnya. Untung saja jarak dari rumah ke tempat bekerja Hendry tidak terlalu jauh.
Tapi segala sesuatunya berubah ketika usaha yang dirintis Hendry semakin maju dan bertambah banyak.
Kesuksesan yang diraih sang ayah diikuti dengan munculnya kebiasaan baru, yakni sering pulang larut malam, pulang dalam keadaan mabuk, bahkan juga pergi entah kemana dan baru akan pulang ke rumah dua atau tiga hari kemudian.
Sialnya, bukan hanya kebiasaan Hendry yang berubah, melainkan juga perangainya. Hendry menjadi seorang yang lebih mudah marah dan kerap membesarkan dirinya sebagai seorang pengusaha sukses yang sangat terhormat.
Sikap penyayang Hendry mulai terkikis dan digantikan dengan sifat arogan yang menyebalkan. Hendry sering marah besar untuk masalah-masalah sepele, misalnya kopi yang kurang pahit, menu sarapan yang tidak sesuai dengan keinginannya, sampai dengan wajah sang istri yang dibilang membosankan.
Bahkan Hendry yang dulunya selalu berusaha untuk menuruti permintaan Smith meski keadaan perekonomian ketika itu masih pas-pasan, berubah menjadi acuh tak acuh pada apa yang diinginkan putrinya itu.
Singkatnya, Hendry sudah tidak memiliki waktu lagi untuk keluarganya. Ia sibuk sendiri dengan urusannya yang seperti tidak pernah selesai. Entah urusan pekerjaan ataupun urusan lainnya.
Namun, andai kata hanya itu masalahnya, mungkin Smith tidak akan menderita lara batin akut yang sangat sulit untuk disembuhkan.
Sakit hati yang membuat semua rasa cinta kasih Smith pada sang ayah terkubur dalam-dalam, tertutup oleh kemarahan, kekecewaan, juga kebencian yang tidak terhingga.
Pasalnya, saat Smith duduk di bangku kelas 5 SD, kekasaran Hendry pada sang istri semakin menjadi-jadi. Hendry tidak hanya akan mengoceh, mengumpat, dan mengeluarkan kata-kata menyakitkan saja. Melainkan sampai memukul istrinya setiap kali terjadi perselisihan di antara mereka.
Kali pertama Smith melihat perlakuan kasar Hendry terjadi pada tengah malam di ruang tamu. Ketika itu Hendry tidak hanya menampar istrinya, tetapi juga sempat mencengkeram leher sang istri hingga terbatuk-batuk.
Smith yang sudah tidur di kamarnya, tidak mendengar dengan jelas apa yang menyebabkan kedua orang tuanya ribut. Tapi ketika ia bangun dan pergi ke ruang tamu, ibunya sudah menjadi sasaran amukan sang ayah.
Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,
Smith melangkah. Ia tidak peduli dengan suara Hendry yang terus memanggilnya.Sesaat ada sesal di hatinya lantaran telah meletakkan selimutnya di tubuh sang ayah. Semestinya orang seperti itu tidak pantas untuk diperlakukan dengan baik. Begitulah gerutunya dalam benak."Sasmitha! Ayah mohon, katakanlah sesuatu."Kali ini Smith yang telah berada di atas tangga menghentikan langkah kakinya. Ia menarik napas panjang untuk melapangkan dadanya yang selalu sesak saat berada di dekat ayahnya.Bukan hal mudah bagi Smith untuk bisa berbicara pada Hendry. Ia mesti kuat mengendalikan segala emosinya yang selalu membesar hanya karena melihat wajah ayahnya.Selama ini Smith memang tidak banyak bicara. Segala keluhan, kebencian, dan kemarahan pada sang ayah selalu ia telan begitu saja. Semuanya belum pernah sampai terutarakan.Benar, walaupun Smith sangat marah dan benci kepada Hendry, ia tidak p
"Aku? Aku sedang melihatmu menulis. Siapa orang yang kau maksud dalam tulisanmu itu? Apa itu kekasihmu?"Smith tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menggeleng sambil memasukkan semua barang yang telah ia keluarkan dari dalam tasnya. Lantas berdiri dan berjalan meninggalkan Janu."Tunggu, Smith! Tunggu!" ujar Janu sambil berlari mengejar Smith.Tapi smith tidak peduli. Ia terus berjalan bahkan dengan langkah yang semakin cepat.Sampai akhirnya Janu berdiri di depan Smith. Ia menghadang gadis itu agar tidak lagi meninggalkannya."Minggir!" ujar Smith dengan wajah datar."Tidak. Kita perlu bicara. Aku tidak suka kau mengabaikanku begitu saja. Setidaknya, duduklah sebentar dan mari kita berbincang. Besok lusa tugas sudah harus dikumpulkan. Tapi kita bahkan belum pernah berdiskusi sama sekali.""Tidak perlu. Biar aku mengerjakannya sendiri.""Mana bis
Janu menjadi semakin bertanya-tanya, siapakah sebenarnya si gadis singa jantan itu? Smith adalah orang yang sangat misterius bagi Janu. Pikiran dan tingkahnya tidak bisa ditebak.Jika mengacu dari cerita Pak Hadi, sepertinya ia adalah seorang yang berada, yang memiliki banyak harta. Tapi jika itu memang benar, mengapa Smith seolah-olah menutupi segalanya? Ia terlihat sederhana. Bahkan sangat sederhana.Janu pun menanyakan keanehan itu kepada Pak Hadi. Tapi ia tidak mendapat banyak informasi perihal tersebut.Pak Hadi juga tidak tahu pasti tentang hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa Smith selalu datang ke rumahnya dengan menaiki angkutan umum yang berisi perkakas-perkakas tertentu yang di bawah Smith untuk keluarganya."Nona Smith selalu carter angkot, Mas. Dan memberi istri saya amplop tebal berisi uang pecahan seratus ribuan. Nona smith tidak pernah menceritakan banyak hal tentang dirinya atau keluarganya. Dia hany
Smith berjalan menuju pintu dengan wajah malas. Wajah itu tidak berubah sedikit pun ketika ia membuka pintunya. Bahkan menjadi semakin malas ketika melihat siapa orang di balik pintu rumahnya."Untuk apa kau ke rumahku malam-malam begini? Apa tidak bisa bertamu besok saja? Pulanglah! Aku sedang malas untuk menerima tamu," ujar Smith sambil menoleh ke belakang sesaat. Melihat seorang tamu lainnya yang tengah duduk di lantai, yang membuatnya sudah ingin tidur saja."Aku hanya datang membawa makan malam untuk ayah. Mama membuatkan makanan ini secara khusus. Ini menu kesukaan ayah, nasi goreng spesial pakai udang," kata gadis tinggi semampai yang rambut panjangnya diikat rapi itu."Apa kau pikir aku peduli? Lagipula ayahmu tidak ada di sini. Jadi pulanglah! Aku sangat lelah."Smith memegang kepalanya dengan tangan kiri. Entah bagaimana rasa pening langsung ada di sana. Sementara tangan kanannya di gerak-gerakkan sebagai