Bruaaakkk!
"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.
Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.
Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.
Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya.
"Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.
Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Nama aslinya adalah Sasmitha Maharani. Tapi ia selalu mengenalkan dirinya sebagai Smith. Bukan Sas, Mitha, atau Rani.Entah mengapa ia sengaja tidak memilih nama panggilan yang lebih menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang perempuan.Bukan hanya nama panggilan, tingkah lakunya juga tidak mencerminkan bahwa dirinya memang perempuan.Jika dulu dirinya masih terpaksa tampak sebagai perempuan karena diwajibkan untuk mengenakan rok di sekolah, kini ia bebas membuang segala rok yang terpaksa ia miliki.Lebih dari itu, mulai detik ini, Smith juga bebas menentukan pakaian seperti apa yang akan ia kenakan di kampus.Praak!“Apa matamu sudah rabun? Turun dan minta maaf pada nenek ini sekarang juga! Kalau tidak, aku akan meneriakimu sebagai sopir cabul!” bentak Smith usai memukul sebuah angkot hijau yang ia tumpangi.Suara Smith yang sangat lantang dan meledak-ledak, dengan c
Suasana di kantin sangat ramai. Meja-meja telah penuh. Dari sekian banyak gerai yang menyediakan makanan yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang terlihat sepi.Hal itu sangat berbeda dengan suasana perpustakaan yang tampak lengang. Tidak banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di sana, hanya segelintir saja. Itupun tidak kesemuanya benar-benar berniat untuk membaca buku atau mencari referensi tertentu.Ada saja mahasiswa yang duduk lesehan di pojokan sekadar untuk menghabiskan waktu kosong dengan tidur di dalam perpustakaan. Suasana yang tenang dengan suhu ruangan yang dingin, sungguh lokasi yang pas untuk terlelap.Tidak sedikit pula yang hanya berkumpul dan menggosip, sambil melahap kudapan yang dibawa secara sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat dari pantauan penjaga perpustakaan.Pasalnya, sepinya perpustakaan sudah menjadi budaya yang sangat lumrah terjadi. Selain karena penjaga perpustakaan
“Bangs*t! Berhenti menelponku!”Smith mematikan telepon dengan wajah geram. Ia menyisir ke belakang rambutnya yang panjang dan selalu terurai dengan jari-jari kanannya. Memunculkan terbentuknya sebuah belahan rambut tepat di tengah-tengah kepalanya.Smith bahkan juga menghentakkan kaki untuk melampiaskan kejengkelannya yang telah sampai di ubun-ubun.“Orang ini benar-benar bisa membuatku gila. Apa dia tidak bosan mendengar umpatanku setiap saat? Haaah, menyebalkan sekali!” ujar Smith dengan napas yang masih tersengal menahan amarah.Gadis itu berjalan melewati pos satpam fakultas masih dengan menggerutu. Membuat Janu yang tadi melewatinya dan kini tengah berdiri di tempat parkir, tak jauh dari pos satpam, menjadi bertanya-tanya, kepada siapa Smith berbicara dengan begitu kasar?“Nona Smith!” teriak seorang lelaki yang berusia sekitar 42 tahun dengan baju berwarna putih lengkap dengan topi, peluit, d
Hening sempat menyekat kelas sebelum akhirnya menjadi begitu bergemuruh. Apa yang diucapkan Smith tidak pernah terduga sebelumnya. Hal itu secara otomatis memperluas pemahaman teman-temannya tentang apa yang diterangkan Pak Jack.“Bagus Smith. Sepertinya kau telah memperhatikan Janu jauh sebelum Bapak memintanya. Hehehe.”Suara tawa Pak Jack lekas diikuti oleh gelak tawa teman-teman Smith satu kelas. Tapi suara tawa itu segera terhenti saat Smith mengangkat wajahnya dan memandang temannya satu per satu dengan tatapan khas singa jantan.Tapi hal berbeda terlihat di wajah Janu. Pemuda itu masih terpaku tak jelas, entah memandang apa, dengan kedua alis yang hampir menyatu.“Janu, sekarang giliranmu,” suara Pak Jack mengejutkan Janu.Pemuda itu menarik napas panjang. Lalu membuangnya secara perlahan sambil memejamkan mata, seolah tidak hanya melepaskan sisa ud
Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek."Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu."Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Ke
Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi