Share

Truly In Love 1
Truly In Love 1
Penulis: Annabella Shizu

1. Biola

Suara itu... Alena menghentikan langkahnya. Ia yakin, ini kedua kalinya telinganya mendengar suara bernada tinggi itu. Ya, Alena yakin, itu suara biola yang digesek. Tapi dari mana datangnya? Setahu Alena, di SMA Scientia, tidak ada mata pelajaran atau ekstrakurikuler biola. Para siswa juga dilarang bermain alat musik di dalam ruangan asrama, kecuali di dalam ruang kelas musik.

Alena mencoba menajamkan pendengarannya, mencari asal suara yang menarik perhatiannya itu. Tetapi suara itu mendadak tidak terdengar lagi.

"Ah, jangan bilang kalau aku salah dengar...," katanya pada dirinya sendiri.

Ia mempercepat langkah kakinya menuju gedung Asrama Putri SMA Scientia. Walaupun sering ada cerita angker tentang asramanya, tapi selama setahun ia tinggal di asrama ini, ia tidak pernah mengalami yang aneh-aneh. Ia sekarang sudah kelas XI, masa masih percaya dengan cerita seperti itu? Itu hanya cerita para senior kepada junior kelas X untuk menakut-nakuti mereka.

Alena membuka pintu kamarnya. Karin, teman sekamarnya, sedang tiduran di dipan sambil mendengarkan musik dari headset. Karin melambaikan tangan ke Alena. Alena hanya tersenyum, sambil menaruh tasnya di atas meja.

"Len, tadi ekskul apa?" Karin melepaskan headsetnya.

"Teater...," jawab Alena. Ia masih memikirkan suara biola tadi.

"Kamu rajin amat sih, ikut ekskul ini itu. Kalau aku sih, ikut satu aja udah cukup. Itu aja udah keteteran belajarnya," Karin tertawa. "Tapi kalau kamu mah beda, otaknya pentium level tinggi."

Alena menyukai sifat Karin yang suka ceplas-ceplos. Ia senang masih tetap sekelas dengan Karin setelah naik kelas XI.

"Rin, tadi kok aku kayak dengar suara biola ya? Waktu jalan dari kelas ekskul teater ke asrama putri," Alena mengutarakan rasa penasarannya.

"Suara biola? Kita kan nggak ada ekskul biola."

"Makanya itu...," Alena menggumam. "Tapi ini udah kedua kalinya, kemarin aku juga dengar, aku pikir mungkin telingaku yang salah. Hari ini aku yakin, itu emang suara biola... Tapi dari mana asalnya?" Alena seperti bicara pada dirinya sendiri.

Karin memandang teman sekamarnya itu. Alena memang selalu gampang penasaran pada hal-hal yang menarik perhatiannya, mungkin memang sudah 'kutukan' orang pintar. Tapi Karin senang berteman dengan Alena, karena sifatnya yang tulus dan tidak pelit, terutama tidak pelit berbagi ilmu.

"Ya udah, besok kalau kamu dengar lagi, aku temanin kamu cari deh...," Karin menawarkan diri. "Tapi aku pinjam catatan Fisika kamu dong, ada PR nih, susah banget..." Itu cara Karin untuk minta diajari mengerjakan PR secara halus.

Alena tertawa. "Sini..., mana yang susah?"

"Hihihi.... Kamu emang paling baik deh..." Karin terkikik.

*

"Hari ini, kita kedatangan teman baru. Saya harap, kalian dapat menyambutnya dengan ramah, dan membantunya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru," suara Miss Stella, wali kelas XI A IPA, terdengar lantang di depan kelas.

"Silakan memperkenalkan diri." Miss Stella mengangguk pada pemuda yang berdiri di sampingnya.

Alena melihat teman-teman ceweknya mulai berbisik-bisik. Sekolah mereka sering menerima siswa baru di pertengahan semester, itu bukan hal baru lagi. Jadi, kenapa teman-temannya seperti mulai bergosip? Apa karena cowok yang berdiri di depan kelas itu punya rambut bergelombang yang tebal? Atau karena tatapan matanya yang tajam seperti elang, dibingkai oleh alisnya yang tebal melengkung? Atau karena kulit wajah dan tubuhnya yang putih bersih, badannya yang tinggi dan tegap seperti seorang atlet?

Alena memalingkan mukanya, tiba-tiba ia merasa wajahnya jadi hangat. Kenapa dia? Tidak biasanya dia menilai seorang cowok dari penampilannya.

"Hai, aku Alva. Salam kenal." Perkenalan diri yang singkat.

Miss Stella sedikit mengangkat bahunya, mungkin dia berpikir siswa baru itu masih malu.

"Baiklah, Alva. Silakan duduk di bangku yang kosong, mmm.... Itu, di sebelah Alena, di sudut..." Miss Stella mengarahkan dengan jarinya.

Deg! "Kenapa harus di sebelahku?" Alena memprotes dalam hati.

Teman-teman mulai terdengar berisik. Sebagian teman cewek seperti mengikuti langkah kaki Alva dengan mata mereka, sedangkan beberapa yang lain, termasuk Karin, tersenyum-senyum ke arah Alena dan berbisik-bisik. Alena pura-pura memandang ke arah lain.

Saat siswa baru itu lewat di sampingnya, Alena melempar senyum tipis. Tapi... cowok itu bahkan tidak melirik ke arahnya! Alena merasa mukanya memerah lagi, tapi kali ini lebih karena kesal.

"Silent, please...," Miss Stella mengingatkan. "Kita lanjutkan pelajaran."

Alena berusaha agar tidak melirik ke arah kanannya selama pelajaran berlangsung. Tidak biasanya Alena tidak menyapa siswa baru, tapi cowok ini kenapa berbeda ya? Sepertinya dia memang bukan tipe yang ramah.

Bel istirahat berbunyi. Alena memasukkan bukunya ke dalam tas, sambil melirik ke kanan dengan sudut matanya. Ia hanya ingin tahu, apa yang akan dilakukan cowok itu saat istirahat.

"Alena!" suara Karin mengagetkannya. Teman sekamarnya itu berjalan ke arahnya. Karin masih tersenyum-senyum seperti tadi.

"Mau ke kantin nggak?" ternyata Karin bertanya kepada Alva.

Alena menunggu reaksi cowok itu. Tanpa sadar, ia menahan nafas.

"Nggak," jawab Alva dengan cepat sambil menggeleng.

Wajah Karin seperti membeku, ia tampaknya masih mengharapkan kata-kata selanjutnya dari mulut Alva. Alena cepat-cepat menggandeng tangan Karin, dan setengah menariknya untuk keluar dari kelas.

"Kenapa sih, kok kamu narik aku?" Karin baru melepaskan tangannya setelah di luar kelas.

"Kamu ngapain juga berdiri bengong di situ? Pakai ngajak-ngajak cowok itu ke kantin lagi..." Alena setengah mengomel.

"Lho, maksudku kan baik, biar dia ada temannya. Mungkin dia belum tau di mana letak kantin, ya kan?"

"Iya... Tapi kayaknya dia bukan orang yang senang ngobrol. Dari tadi di kelas, dia diam aja."

"Kamu nggak ngajak dia ngomong?" Karin bertanya dengan nada heran. "Ya ampun, Alena..." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sampai rambut ekor kudanya ikut bergoyang.

"Apa yang aneh sih? Yang lain juga nggak ada yang ngobrol sama dia. Lucky yang duduk di depan dia juga nggak..."

"Mungkin dia cuma malu. Itu kan biasa, di hari pertama sekolah baru."

Mereka sampai di kantin, di depan penjual bakso langganan mereka.

"Tahu nggak, apa kata Farah tadi?" kata Karin sambil mengantri.

Farah adalah cewek yang duduk di sebelah Karin di kelas, ia termasuk cewek yang populer di sekolah karena kecantikannya.

"Katanya si Alva itu...keren..." Karin mengacungkan kedua jempolnya.

Alena hanya menghela nafas. "Keren tapi sombong juga nggak menarik," ujarnya dalam hati.

*

"Kamu masih ada ekskul, Len?" Selesai pelajaran, Karin menghampiri Alena lagi. Ia masih melirik-lirik Alva, tapi tidak mengajak cowok itu bicara lagi.

"Ada, ekskul gamelan. Kamu duluan aja, Rin..." jawab Alena, sambil mengemasi buku-bukunya.

"Ya udah, see you..." Karin setengah berlari keluar kelas.

Alena melihat sekeliling, sudah tidak ada lagi siswa lain di dalam kelas, kecuali dia dan... Alva. Alena menarik nafas dalam-dalam, ia bermaksud untuk berkenalan dengan Alva, yah...sekedar berbasa-basi..., karena dia tidak tahan juga kalau duduk bersebelahan, tapi tidak saling menyapa.

"Halo... Aku Alena." Ia berdiri di sebelah bangku Alva. Tadinya ia mau mengulurkan tangan, tapi diurungkannya.

Cowok itu sepertinya sedang mencoret-coret di selembar kertas.

"Salam kenal ya..." Alena sudah siap-siap berjalan pergi, kalau cowok itu tidak merespon.

Di luar dugaan, Alva berdiri dan menatapnya. "Halo Alena..."

Alva tidak tersenyum, tapi tatapan matanya yang tajam itu seperti melembut. Mereka berdiri berhadapan. Alena baru sadar, kalau ia hanya lebih tinggi sedikit dari bahu Alva.

Alena tersenyum gugup. "Aku...masih ada ekskul... Aku duluan ya...," katanya. Ia melangkah dengan cepat dan keluar dari kelas, tidak menoleh ke belakang lagi.

*

Ekstrakurikuler gamelan siang itu terasa berjalan sangat cepat. Mungkin karena Alena hampir tidak bisa fokus pada apa yang disampaikan Sir Danar.

Ia berjalan menyusuri ruangan kelas yang kosong, ke arah gedung asrama putri, yang terletak di belakang kompleks sekolah. Dan... Suara itu lagi...

"Kali ini, aku akan cari sampai dapat," katanya dalam hati.

Suara biola itu sudah tiga kali mengusiknya. Alena mendekatkan telinganya ke tembok, berharap bisa melacak asal suara itu. Datangnya seperti dari arah belakang ruang kelas musik. Ia terus berjalan, entah kenapa jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Di sekitar situ tidak ada siapapun. Seharusnya tadi ia mengajak Karin dulu.

Di belakang ruang kelas musik, ada lorong yang menuju ke gudang tempat penyimpanan alat musik. Alena pernah lewat situ, tapi kenapa ia mulai merasa gugup sekarang? Lorong itu sedikit gelap, karena tanaman perdu yang merambat di tembok menghalangi masuknya cahaya matahari.

Suara biola itu terdengar semakin jelas, nadanya tinggi dan sendu, seperti menceritakan suatu kesedihan. Alena berdiri di depan gudang alat musik. Tidak salah lagi, siapapun yang memainkan biola itu, dia ada di dalam gudang. Tangannya meraih gagang pintu, jantungnya berdetak semakin cepat. Klek...

Alena terpaku di muka pintu. Kakinya terasa lemas. Si pemain biola menghentikan permainannya. Mata mereka bertatapan.

"Kamu...?" hanya itu yang keluar dari mulut Alena.

Sosok Alva yang tinggi berdiri di tengah gudang, ia memegang biola tua di tangannya. Ia sepertinya juga sama kagetnya dengan Alena.

"Kenapa kamu bisa ke sini?" tanyanya pada Alena.

"Eh... Aku... Cuma ikutin suara biola..."

Alva mengernyitkan dahinya. Apa ia merasa terganggu?

"Masuklah..." Itu sambutan yang di luar dugaan Alena.

Alena melangkah perlahan. Gudang alat musik itu cukup luas, tapi bagian tengahnya kosong. Ada cahaya yang masuk melalui skylight di bagian tengah langit-langit, sehingga ruang itu tidak perlu lampu di siang hari. Sosok Alva yang berdiri persis di bawah skylight itu seperti bermandi cahaya matahari sore.

"Kok kamu bisa main biola di sini?" tanya Alena untuk menutupi kegugupannya. Tanpa sadar, ia meremas tangannya.

Alva balik menatapnya. Tatapan mata yang tajam itu... Tapi, mengapa Alena sekilas seperti melihat ada kesedihan di matanya?

"Sir Johan izinin aku main biola di sini selesai pelajaran. Karena belum ada kelas ekskul biola."

Sir Johan adalah guru seni musik kelas XI. Alva masih terus memandangnya. Alena berusaha menemukan kata-kata. Kenapa sih dia? Belum pernah dia segugup ini di depan seorang cowok.

"Oh.... Ya udah kalau gitu... Kamu lanjutin aja main biolanya. Aku...."

"Kamu juga bisa main biola?" tiba-tiba Alva memotong perkataannya.

"Eh.... Nggak... Aku nggak bisa..." Alena menggeleng.

"Terus kenapa kamu ikuti suara biola?"

Kenapa Alva sekarang jadi banyak bertanya ya? Padahal tadi di kelas, dia diam saja. Alena tersenyum gugup.

"Aku suka aja... Maksud aku, aku suka dengar suara biola. Opaku dulu juga main biola." Jawaban itu tiba-tiba membuat Alena jadi terkenang sosok Opa.

"Kalau gitu, harusnya kamu juga bisa main biola."

"Aku nggak pernah belajar. Opa udah meninggal waktu aku masih tujuh tahun... Aku cuma ingat, waktu kecil Opa sering mainin biola buat aku..."

Sejenak, mereka berdua sama-sama terdiam.

"Kamu mau dengar lagu apa?"

Alena tidak menduga Alva akan bertanya seperti itu. Alva mulai menggesek biolanya lagi. Matanya setengah terpejam, ia tampak sangat menikmati. Alena tidak tahu harus menjawab apa.

Mendadak suara biola berhenti. Alva memandang Alena lagi. "Ayo...lagu apa?" Ternyata Alva masih menunggu jawabannya.

"Mmm...lagu apa...? Terserah kamu aja deh, aku dengerin aja..." Alena masih tidak percaya Alva bisa bertanya seperti itu.

Alva masih tetap menatapnya. "Kamu suka main gamelan. Berarti kamu suka lagu tradisional ya?"

"Kok kamu tau aku main gamelan?"

Alva tidak menjawab. Ia malah mulai memainkan musik Gundul Gundul Pacul dengan biolanya, sebuah lagu tradisional Jawa. Tangannya begitu lincah, dan ia bermain dengan mata setengah terpejam.

Alena rasanya ingin membingkai momen itu di dalam hati dan pikirannya, walaupun seandainya momen itu tidak akan pernah terulang lagi.

*

Malam itu, Alena termenung di atas tempat tidur. Karin sudah terlelap dari tadi. Setelah kembali ke asrama putri, Alena tidak menceritakan pertemuannya dengan Alva di gudang alat musik ke Karin. Ia juga tidak cerita, bahwa ternyata Alva juga tinggal di asrama putra SMA Scientia.

Alena memiringkan badannya ke kiri. Dari tadi, rasanya ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. Kenapa sih pikirannya terus saja kembali ke kejadian tadi sore? Tentang Alva yang memainkan sebuah lagu dengan biola untuknya. Tentang Alva yang ternyata ingat perkataannya di kelas, bahwa ia ikut ekstrakurikuler gamelan. Tentang sikap Alva yang tidak seperti dugaannya, tentang Alva, semuanya tentang Alva, siswa baru itu!

"Ada apa sih dengan aku?" Alena memarahi dirinya sendiri. Tapi ia tidak bisa memaksa dirinya, untuk menghilangkan bayangan Alva dari benaknya. Kalau sampai Karin tahu, ia pasti akan meledek Alena

Komen (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status