Share

3. Tempat Rahasia

Alena seperti mendapatkan energi ekstra sepanjang sisa jam pelajaran. Ada sesuatu yang ditunggu-tunggunya, dan hanya dia dan Alva yang tahu. Alva tetap tidak banyak bicara di dalam kelas, tapi dia sudah mulai bicara dengan Lucky yang duduk di depannya, atau lebih tepatnya Lucky yang mengajaknya bicara. Sepertinya setelah pertandingan voli tadi, Alva mulai dapat berbaur dengan teman-teman yang lain.

Tapi ada satu hal yang tetap membuat Alena penasaran. Dia belum pernah melihat Alva tersenyum, apalagi tertawa. Wajahnya tetap saja dingin dengan sorot mata tajam. Hanya tatapan matanya yang kadang berubah menjadi lebih lembut, atau setidaknya begitu menurut Alena.

“Setidaknya ada kemajuan. Dia udah mulai ngobrol sama yang lain,” Alena berkata dalam hati.

*

Bel tanda pulang berbunyi. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang, seperti menantikan sesuatu yang sangat diharapkan. Ia mengemasi bukunya. Seperti biasa, Karin menghampiri mejanya.

“Kamu pulang ke rumah nggak, Len?” tanya Karin.

Ya, hari ini hari Jumat, artinya libur akhir pekan sudah tiba. Tapi...dia masih punya janji...

“Aku besok pagi aja pulangnya,” jawab Alena.

“Kamu nggak takut di kamar sendirian? Soalnya habis ini, aku langsung naik bus.’

“Iya, nggak apa-apa, Rin... Aku udah biasa kok sendirian, apa-apaan kamu?” kata Alena sambil tertawa.

Dalam hati, Alena merasa lega Karin akan pulang ke rumah, artinya dia tidak akan bertanya ke mana Alena pergi setelah ini, karena Karin tahu, tidak ada jadwal ekstrakurikuler lagi di hari Jumat. Alena belum siap bercerita ke Karin.

“Oh, ya udah kalo gitu, aku pulang ya... Jangan kangen sama aku...,” balas Karin sambil bergaya.

Alena tertawa lagi. “Sampai jumpa Minggu sore...”

Alena menoleh ke arah Alva. Cowok itu masih tetap duduk, sambil tangannya memegang pulpen, seperti menulis sesuatu di kertas.

“Ketemu di gudang nanti?” tanya Alena.

Alva mengangkat wajahnya, memberikan tatapan mata magisnya lagi. “Iya, aku tunggu.”

*

Alena merasa seperti melayang, saat ia setengah berlari pulang ke asrama. Ia buru-buru mandi dan berganti pakaian. Alena memakai blouse berwarna putih dan celana denim biru. Seperti biasa, ia hanya memakai bedak tipis. Tidak, ia tidak boleh kelihatan berdandan berlebihan. Ini bukan kencan. Rambutnya dibiarkan tergerai. Bibirnya diolesi lip balm berwarna pink, ya seperti dandanan biasanya kalau ia di kelas. Pokoknya tidak boleh berlebihan, Alena mengingatkan diri sendiri.

Alena berjalan menyusuri lorong menuju gudang alat musik. Kali ini, pintu gudang sedikit terbuka. Alva pasti sudah di dalam gudang. Alena mulai merasa gugup, sekaligus gembira. Ia membuka pintu perlahan.

Alva berdiri di dekat jendela yang menghadap ke belakang gudang. Ia menoleh waktu Alena berjalan masuk. Tatapan matanya... Ah, Alena tidak yakin apa arti tatapan itu, ia tidak mau menebak.

“Hai... Udah lama?”

“Nggak...”

Alva juga sudah berganti pakaian. Alena belum pernah melihat ia memakai pakaian lain, selain seragam sekolah selama ini. Karin ada benarnya juga, Alva memang kelihatan seperti seorang pangeran. Ia pantas memakai pakaian apapun. Padahal, ia hanya memakai T-shirt biasa berwarna biru dan celana training hitam.

“Kamu latihan biola terus... Apa kamu mau tampil di pertunjukan?” Alena bertanya.

Ia mengamati biola yang dipegang Alva. Biola tua yang sulit ditebak umurnya.

“Cuma hobi. Tapi kapan pun ada pertunjukan, aku siap,' jawab Alva singkat. Tapi matanya masih tetap menatap Alena.

“Besok kamu nggak di asrama?” giliran Alva yang bertanya. Ia pasti mendengar percakapan Alena dan Karin lagi sebelum pulang tadi.

Entah mengapa, Alena merasa hatinya berbunga-bunga, karena Alva ingat setiap kata-katanya. "Iya... Besok aku pulang ke rumah. Kalau kamu? Pulang nggak?”

Alva hanya menggelengkan kepala. Matanya mulai menatap keluar jendela lagi. Tiba-tiba Alena jadi penasaran.

“Kalau boleh tahu...kamu tinggal di mana?” tanya Alena.

Sejenak hening.

“Aku tinggal sama Opa Omaku di Magelang.”

“Oh… Magelang... Aku juga punya saudara di Magelang, ada Omku...”

“Rumah kamu di mana?” Alva balik bertanya, sambil memandang Alena.

“Di daerah Sleman. Agak naik ke arah Kaliurang...”

“Masih di Jogja. Kenapa kamu tinggal di asrama?”

“Papa yang mau... Kata Papa, biar aku belajar mandiri dan disiplin.”

Alena merasa senang bisa mengobrol dengan Alva, cowok itu ternyata memang tidak sedingin penampilannya. Alva sepertinya tidak suka basa-basi, bahkan dalam menanyakan hal-hal pribadi. Tapi Alena tidak keberatan.

Hening lagi.

“Kamu mau latihan lagu apa hari ini?” tanya Alena, sambil memandangi biola yang dipegang Alva.

Alva juga menunduk memandangi biolanya. “Nggak ada. Aku cuma pingin ngobrol sama kamu...”

Alena terpaku, ia yakin tidak salah dengar.

Alva mengangkat wajahnya dan menatap Alena lagi, mata mereka beradu. Alena mencoba tersenyum, walaupun jantungnya berdebar tidak karuan.

“Kamu boleh nanya apa aja kok... Kamu masih baru di sini, pasti masih penyesuaian...,” Alena mencoba menanggapi dengan tenang, walaupun kata-kata Alva tadi bisa saja diartikan lain. Apakah Alva bisa melihat wajahnya memerah?

Tiba-tiba, Alva menaruh biolanya ke dalam tas biola, yang diletakkannya di atas meja di samping jendela. Ia menutup tas itu.

“Eh... Kenapa?” Alena kebingungan.

“Ayo, kita pergi ke suatu tempat...,” ajak Alva, sambil berjalan ke arah pintu gudang. Tangannya menenteng tas biolanya.

“Ke mana?” Alena tambah penasaran.

“Ikuti aku.”

“Nggak keluar asrama kan? Kita nggak boleh keluar tanpa izin lho...”

“Tenang aja...” Alva memberikan tatapan mata magisnya lagi, membuat Alena terdiam.

Mereka berjalan ke arah gedung asrama putri. Apa Alva tidak salah, dia kan tidak boleh masuk ke asrama putri? Ternyata mereka berbelok, ke arah gedung tua di belakang kompleks sekolah. Gedung berlantai tiga itu adalah gedung sekolah yang lama, sebelum pindah ke gedung sekolah yang baru sekarang. Gedung tua itu sekarang dijadikan semacam mess untuk para tamu yang menginap: tamu yayasan, para orang tua yang ingin melihat anak-anaknya diwisuda pada saat kelulusan, atau para guru dan staff yang mungkin bekerja lembur. Tapi gedung itu belum pernah didatangi oleh Alena, salah satu alasannya, karena cerita-cerita aneh dari para senior tentang gedung tua itu.

Alva seperti sangat mengenal gedung itu. Ia mengambil jalan menyusuri lorong sepanjang sisi barat gedung itu, lalu tiba di depan tangga besi yang berputar menuju ke atas. Mereka berhenti di bawah tangga. Alena memandangi tangga itu, mencoba melihat ke atas.

Alva menaiki anak tangga pertama. Ia menoleh memandang Alena. Matanya bersinar. “Kamu percaya kan sama aku?” Lalu ia terus menaiki tangga itu.

Alena mengikuti dari belakang. Alena tidak tahu apa yang membuat dia mau mengikuti Alva. Tempat itu benar-benar asing baginya, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Alva terus menoleh ke belakang, membuat Alena merasa seolah-olah Alva ingin memastikan, kalau dia baik-baik saja.

Mereka terus menaiki tangga yang melingkar itu. Akhirnya, mereka tiba di bagian paling atas dari gedung itu. Rooftop itu luas dan kosong, kecuali di salah satu sudut, tampak beberapa pot tanaman besar, pertanda tempat itu masih ada yang merawat.

Alva berdiri di pinggir rooftop yang dibatasi oleh tembok setinggi pinggangnya. Alena berdiri di sampingnya. Pemandangan dari atas gedung itu menyuguhkan sawah dan pepohonan yang menghijau di kejauhan. Ada gedung dan pertokoan juga di sisi yang lain.

“Kok kamu bisa tahu tempat ini?” tanya Alena sambil tersenyum ke arah Alva. Wajahnya terasa segar karena terpaan angin di puncak gedung itu.

“Sebelum masuk asrama, aku sempat nginap satu malam di mess ini.”

“Oya? Sendiri?”

Alva mengangguk. “Karena bosan, malamnya aku jalan-jalan keliling gedung, ketemu tempat ini.”

“Kamu berani banget malam-malam jalan sendirian di sini...”

“Emangnya ada apa? Kamu takut?” Alva menolehkan wajahnya.

Alena tertawa. “Itu gara-gara cerita para senior, nakut-nakutin kami, waktu orientasi kelas sepuluh dulu...”

“Aku nggak percaya yang kayak gitu.”

“Iya, aku juga nggak percaya... Tapi tetap aja, aku nggak berani kalau sendirian ke sini.”

“Ini tempat rahasia kita. Janji ya, nggak cerita ke siapa-siapa...,” kata Alva sambil menatap Alena.

Alena tersenyum, hatinya merasa bergemuruh, mendengar cara Alva menyebut 'tempat rahasia kita'.

“Aku janji...”

Mereka terdiam, menikmati hembusan angin dan pemandangan dari atas gedung itu.

“Besok kamu di asrama aja?” tanya Alena.

“Iya.”

“Ngomong-ngomong, kamu sekamar sama siapa di asrama?”

“Theo, kelas Sebelas B…”

Alena tahu yang namanya Theo, cowok berwajah bulat, berkacamata, dan sepertinya pendiam juga.

Alva meletakkan tas biolanya di lantai semen, dan mengeluarkan biola lagi. Sekilas, Alena melihat ada beberapa lembar kertas bergambarkan notasi balok di dalam tas itu.

“Kamu nulis lagu?” tanya Alena ingin tahu.

Alva cepat-cepat menutup tasnya. “Nggak kok... Cuma coret-coret.” Alva memalingkan wajahnya, apa mungkin dia merasa malu?

“Kamu main alat musik apa? Maksud aku, selain gamelan,” giliran Alva yang bertanya. Ia mulai memegang biola pada posisi siap bermain.

“Aku punya keyboard di rumah. Kalau ikut ekskul gamelan, itu karena aku pingin belajar alat musik yang beda aja...” jawab Alena, sambil memandangi bagaimana Alva dan biolanya terlihat sangat serasi.

“Sini aku ajarin kamu biola.”

Perkataan Alva membuat Alena tertegun. Alva balas memandanginya.

“Beneran?” tanya Alena dengan suara pelan.

“Kalau kamu mau, aku ajarin.”

Alena setengah melompat karena kegirangan. Ia langsung memegang biola Alva tanpa sadar. Alva memberikan biola itu ke Alena. Alena meletakkan biola di bahu kirinya dan menjepit dengan rahangnya, sepertinya agak susah. Ia tertawa gugup.

Alva membenarkan letak biolanya, lalu memegang tangan kanan Alena yang menggenggam busur (alat penggesek biola), untuk mengarahkan posisi tangannya. Alena merasa jantungnya berdetak kencang. Posisi mereka berdekatan, dan Alva masih tetap memegang tangannya. Apakah Alva tidak sadar, kalau wajah Alena sudah mulai memerah? Alena tidak berani menatap mata Alva.

Alva mulai memberitahu Alena bagaimana cara menggesek biola, menggesek panjang dan pendek, lembut atau penuh tekanan. Kemudian ia mengajari kunci-kunci dasar. Alva jelas sangat menguasai alat musik itu. Sesekali ia memberikan contoh dengan memainkannya sendiri. Mereka berdua menikmati sore itu di atas rooftop.

Matahari mulai terbenam. Mereka harus segera turun, karena jam makan malam di asrama sudah dimulai, dan para penghuni asrama diharapkan sudah kembali ke asrama sebelum jam enam sore. Alva menemani Alena berjalan, sampai ke dekat gerbang samping gedung asrama putri.

“Makasih ya buat hari ini... Udah ngajarin aku biola tadi...,” kata Alena dengan nada riang.

Mereka sudah sampai di depan gerbang. Alena menoleh memandang Alva. Bibir Alva terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu.

“Aku ke dalam dulu ya... Daa...” Alena memberikan senyum manisnya.

Tiba-tiba Alva memanggilnya.

“Alena... Boleh aku minta nomor hape kamu?”

*

Alena menikmati makan malam dengan lahap. Ia baru sadar, tadi siang ia belum makan, karena terburu-buru ingin bertemu Alva. Ruang makan asrama agak kosong, karena di akhir pekan, pasti banyak penghuni asrama yang pulang ke rumah atau berkunjung ke keluarga yang terdekat. Biasanya Jumat malam sampai Minggu siang adalah waktu liburan bagi penghuni asrama.

Alena teringat Alva, yang akan menghabiskan akhir pekan di asrama saja. Kenapa Alva tidak pulang ke Magelang? Apakah karena jauh? Alena tidak berani bertanya tadi. Ia merasa ada beberapa hal yang Alva belum cukup terbuka, terutama tentang keluarganya. Lagipula mereka baru kenal beberapa hari.

Selesai makan, Alena naik ke kamarnya yang terletak di lantai tiga. Ada dua teman cewek yang sedang menonton TV di ruang rekreasi. Ia hanya menyapa mereka, tapi tidak bergabung. Ia langsung pergi ke arah kamar mandi. Alena mandi sambil bersenandung. Ia tahu benar apa yang membuatnya begitu gembira, walaupun masih malu mengakuinya.

Sehabis mandi dan memakai piyama, Alena naik ke tempat tidur, masih dengan rambut basah karena keramas. Rasanya ia tidak sabar mau membuka ponselnya. Tadi Alva meminta nomornya, apakah cowok itu akan mengirim chat malam ini?

Alena mengecek, ada beberapa chat yang masuk, tapi tidak ada nomor baru. Papa mengirim pesan, bahwa besok ia akan dijemput sekitar jam tujuh pagi. Alena menjawab chat dari Papa. Ada juga chat dari Karin, mengabarkan kalau ia sudah sampai di rumahnya di daerah Wonosari. Tapi belum ada pesan dari Alva.

Alena merebahkan badannya. Ia menatap langit-langit kamar. Kenapa sih, beberapa hari ini, selalu Alva yang memenuhi pikirannya? Alena punya teman-teman cowok yang lain, tapi tidak seperti ini rasanya. Ada sesuatu yang unik sekaligus menarik dari Alva. Alena mulai merasa mengantuk. Hari ini hari yang melelahkan, tapi sangat menyenangkan.

Tepat jam delapan malam, sebuah chat masuk di ponselnya. Nomor baru, foto profilnya juga tidak menunjukkan wajah, hanya foto pemandangan.  Jantung Alena mulai berdebar, apakah...

Alena membuka chat itu. Ternyata sebuah foto yang dikirim, foto bulan separuh. Alena buru-buru bangun dan membuka gorden kamarnya. Memang malam ini, bulan hanya tampak separuh di langit.

Ada tulisan yang menyusul. “Good night. Alva.”

Ingin rasanya Alena memekik saking senangnya. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Sambil tersenyum lebar, ia membalas chat itu.

“Good night, Alva... Thanks for today.”

Alena terlelap dalam mimpi indah malam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status