Share

4. Foto

Pagi itu, Alena terbangun sekitar jam setengah enam. Ia mandi dengan santai dan berganti pakaian. Ia mengemas beberapa barang ke dalam tas ransel kecil untuk dibawa pulang. Sambil menyisir rambut panjangnya, Alena membuka chat di ponselnya. Jam enam. Ada chat dari Alva lagi!

Sebuah foto, kali ini foto matahari yang baru terbit di kejauhan. Alena tersenyum. Cara yang unik untuk mengucapkan selamat pagi.

Mendadak, Alena tersentak. Dia menyambar ranselnya dan buru-buru berlari keluar kamar, menuruni tangga dengan setengah berlari juga. Dia tahu, dari mana Alva mengambil foto itu.

Alena sampai di atas rooftop dengan sedikit terengah-engah. Ia masih mengatur nafasnya. Di ujung, ia melihat Alva memegang kamera DSLR, sedang membidik sesuatu di kejauhan.

"Kamu juga hobi motret?" Alena sengaja mengagetkan Alva.

Usahanya berhasil, Alva tampaknya tidak menduga Alena sudah berada di situ. Alva menoleh. Raut mukanya tampak terkejut.

"Sorry... Kaget ya?"

Alva mengangkat alisnya. "Kamu kok tahu aku di sini?"

"Tahu dong... Itu foto yang kamu kirim, pasti diambil dari atas sini kan..."

Alena berdiri di depan Alva yang masih terus memandangnya. Alva hanya memakai T-shirt putih dan celana training pendek, tapi seperti biasa, ia tetap kelihatan menarik.

"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu?" Alena mulai berani bertanya sekarang.

"Bukannya kamu mau pulang hari ini?"

"Iya, nanti aku dijemput jam tujuh." Alena melirik arlojinya, masih ada waktu setengah jam lebih. "Apa aku mengganggu?" tanya Alena setengah bercanda.

Alva menggeleng cepat, "Nggak kok..." Ia mengalungkan tali kamera di bahunya." Pagi ini, cuaca lagi cerah. Makanya aku kirim foto itu ke kamu," sambung Alva, sambil bersandar di tembok pembatas pinggir rooftop.

"Iya, foto yang bagus," puji Alena sambil tersenyum. "Kamu bisa ikut ekskul fotografi, kamu punya bakat..."

Alva menggelengkan kepalanya. "Cuma hobi."

"Atau ekskul yang lain. Kamu suka main alat musik yang lain nggak? Kayak gitar, drum, piano?"

Alva menggeleng lagi. "Aku cuma suka biola."

"Siapa yang ajari kamu main biola?"

"Papa."

Hening. Sebenarnya Alena menunggu Alva melanjutkan ceritanya. Tapi Alva hanya memandangi kameranya.

"Kenapa? Kamu...kelihatan nggak semangat hari ini...," tanya Alena, sambil memandangi wajah Alva yang agak menunduk.

"Nggak apa-apa..." Alva mengangkat wajahnya, membalas tatapan mata Alena. Alena merasa seperti ada yang berbeda dengan tatapan matanya. Apakah itu kesedihan?

"Hari Sabtu Minggu ini, apa rencana kamu?" tanya Alena untuk mengalihkan.

"Aku mau baca-baca buku, ngejar ketinggalan pelajaran. Karena banyak yang aku belum tahu. Aku dikasih waktu satu minggu ke depan sama Miss Stella."

"Kok kamu nggak cerita kemarin? Aku kan bisa bantu kamu," Alena menawarkan. "Aku pinjami catatan aku ya..."

"Bukannya kamu mau pulang?"

"Aku tinggal naik bentar ke kamar, ambil catatan, terus ke sini lagi..."

"Eh, nggak usah, Alena..." Tangan Alva terulur, nyaris menyentuh tangan Alena. "Aku temanin kamu sampai depan asrama aja. Kamu nggak usah repot bolak-balik ke sini."

*

Alena membawa semua buku catatannya dalam sebuah tas ransel besar. Alva sudah menunggu di teras depan ruang tamu asrama.

"Kamu yakin nggak butuh buat belajar?" tanya Alva sambil menerima tas ransel dari Alena.

"Nggak kok..." Alena menggeleng.

Tepat pada saat itu, Alena melihat mobil Papanya masuk ke halaman depan asrama.

"Itu Papa aku udah datang... Aku...pulang dulu ya..." Entah kenapa Alena merasa agak berat mengucapkannya, mungkin karena ia memikirkan Alva yang akan sendirian di asrama.

Alva memandangi mobil yang sedang parkir itu, lalu menatap Alena. "Sampai jumpa lagi..."

*

Di dalam mobil, Alena tidak banyak bicara. Papa memperhatikan, Alena sering memandangi ponselnya, seperti menunggu sesuatu.

"Kamu belum sarapan? Biasanya, kamu sarapan dulu di asrama," tanya Papa.

"Iya Pa, tadi nggak sempat... Lena pikir sarapan di rumah aja deh, udah kangen masakan Mama."

"Aah...yang bener...," goda Papa. Mereka tertawa berdua.

"Siapa anak cowok yang tadi di ruang tamu sama kamu?" Ternyata Papa memperhatikan.

"Namanya Alva, anak baru, Pa... Baru masuk beberapa hari. Makanya tadi Lena pinjami catatan Lena, biar dia bisa belajar."

Papa mengangguk-angguk. "Asli mana?"

"Katanya, Opa Omanya tinggal di Magelang."

Papa menolehkan kepalanya. "Tapi kayaknya blasteran gitu... Soalnya wajahnya agak bule-bule, kulitnya juga putih."

"Lena juga putih... Berarti Lena blasteran?"

"Iya, blasteran Jawa - Tionghoa...," jawab Papa.

Mereka tertawa lagi. Mobil terus meluncur ke arah Utara.

*

Alena sudah berkali-kali memandangi ponselnya. Tidak ada chat dari Alva sampai siang itu. Apa sebaiknya dia yang mengirim chat duluan ya? Alena merasa heran sendiri, kenapa dia jadi bertingkah aneh begitu?

Alena memotret bagian depan rumahnya, lalu mengirim foto itu ke Alva. "Aku udah sampai rumah," Alena mengetik.

Tidak sampai dua menit kemudian, balasan datang.

"Rumah yang bagus," balas Alva.

Tiba-tiba Alena jadi bersemangat lagi. Alva juga mengirim foto, Alena mengenali ruangan itu sebagai perpustakaan sekolah.

"Kamu di perpus?"

"Iya, lagi baca catatan kamu."

Alena membayangkan, bagaimana Alva bisa membaca habis semua catatan itu dalam waktu dua hari.

Alva mengirim chat lagi. "Tulisan kamu bagus, Alena."

Alena merasa, seperti ada api yang membakar pipinya. Baru kali ini, setelah sampai di rumah, mendadak ia merindukan kembali ke sekolah.

Malam itu, Alena duduk di pinggir jendela kamarnya, ia masih menggenggam ponselnya. Sepanjang hari itu, Alva beberapa kali mengirim foto yang lain, seolah menceritakan aktivitasnya. Foto di perpustakaan, di rooftop, di kamar asrama, bahkan foto menu makan malam asrama putra malam itu. Alena tertawa melihatnya. Tapi, yang lebih dirindukannya adalah memandang wajah Alva, ya...menatap sepasang mata tajam itu.

"Aku udah di kamar sekarang. Kamu udah tidur?" Alena mengetik.

"Belum. Aku masih baca-baca."

"Kamu nggak capek, seharian ini baca terus? Lanjut besok aja..."

"Nggak kok, lagian aku belum bisa tidur. Kamu tidur duluan aja," balas Alva.

"Ya udah... Sampai besok ya..."

Alva membalas dengan mengirimkan sebuah file musik. Alena cepat-cepat mengunduh file itu, ia penasaran. Ia memutar musik itu. Alva memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star dengan biola, dan merekam untuknya. Alena jadi semakin tidak sabar menanti hari esok.

*

Hari Minggu pagi adalah hari piknik bagi keluarga Alena. Mama memasak pizza, menggoreng kentang, menyiapkan salad dan lain-lain, untuk bekal. Papa menyiapkan sepeda mereka bertiga. Dan Alena menyiapkan minuman dingin di dalam cooler bag. Mereka mengayuh sepeda bersama ke taman umum, yang tidak jauh dari rumah. Di situ tidak terlalu ramai, dan udaranya masih bersih. Setelah menggelar tikar di tempat yang teduh, mereka duduk dan mulai sarapan.

"Papa, biola tua Opa ada di mana ya?" tanya Alena sambil menggigit pizza. Ia sudah ingin bertanya ke Papa sejak kemarin.

Papa mengangkat alisnya. "Biola Opa? Udah lama banget nggak dipakai. Ada di rumah Om Andre. Waktu itu dibawa Om ke Magelang. Kok kamu tiba-tiba nanya biola Opa?"

"Ada teman di sekolah yang jago main biola, dia mau ngajarin Lena, Pa... Lena pikir, kalau ada biola Opa, mau Lena bawa ke asrama...," jawab Alena.

"Oya? Kamu dari dulu pingin belajar biola. Siapa teman kamu yang bisa?"

"Mmm... Itu Pa, Alva, yang kemarin Lena cerita..."

"Anak baru itu?" Papa melirik Mama. Alena mengangguk.

"Ada anak baru di sekolah kamu, Lena?" Mama yang bertanya.

"Iya, Ma... Katanya, keluarganya juga tinggal di Magelang."

"Oya? Di daerah mana?"

"Lena belum tanya..."

Mama juga melirik Papa. "Jadi, anak gadis Mama yang cantik ini udah mulai dekat sama cowok ya?" goda Mama.

Alena merasa wajahnya merona. "Mama, apaan sih? Cuma teman kok..." Tapi Alena memalingkan wajahnya, karena takut Papa dan Mama melihat perubahan di wajahnya.

Papa dan Mama tertawa.

"Habis, dari kemarin Papa perhatiin, kamu kayaknya sibuk lihatin hape terus, sesekali foto ini, foto itu, terus kirim pesan, kayaknya ada seseorang yang dihubungi... Nggak biasanya kamu kayak gitu, kalau udah di rumah," Papa menimpali.

Alena bingung bagaimana mau menjawab. Apa iya, tingkah lakunya kelihatan begitu jelas oleh Papa dan Mama?

"Papa nggak masalah kamu mau dekat sama siapapun, yang penting dia anak baik-baik. Makanya, lain kali kamu kenalin sama Papa, siapa cowok itu...," sambung Papa lagi.

Wajah Alena tambah merah. "Iya Pa, lain kali Alena kenalin..." Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi dari Papa dan Mama.

*

Jam tiga sore. Alena sudah duduk di dalam mobil bersama Papa. Papa sepertinya sudah tahu, kalau Alena tidak sabar lagi ingin balik ke asrama. Biasanya, mereka baru berangkat ke asrama setelah makan malam, karena jarak Sleman ke Bantul juga tidak terlalu jauh.

Ada chat dari Alva. Foto tanaman di dalam pot, dan ada sekuntum bunga yang baru mekar di tengahnya. Alena menebak, itu mungkin tanaman dalam pot yang ada di rooftop. Foto-foto yang diambil Alva selalu bagus. Cahayanya, warnanya, semuanya pas. Dia berbakat, sayang jika tidak disalurkan dengan baik. Begitu juga dengan kemampuannya bermain biola, Alena membatin.

"Aku udah mau sampai asrama...," ketik Alena.

Beberapa menit berlalu. Tidak ada balasan dari Alva. Alena menggigit bibir bawahnya.

"Sabtu depan, kamu mau dijemput apa nggak, Lena?" tiba-tiba Papa bertanya. Mobil sudah memasuki halaman depan asrama.

"Lho... Ya jemput dong, Pa...," Alena menjawab dengan nada kaget.

Papa terkekeh. "Siapa tahu, kamu lebih pingin di sini..."

"Ah, Papa..." Alena tersipu.

Ia melepaskan sabuk pengamannya, mengambil tas ransel, dan mengecup pipi sang ayah. "Daah, Papa..."

"Take care, Sayang..." Papa balas mengecup pipinya.

Alena berjalan memasuki ruang tamu asrama. Ruang tamu yang luas itu kosong. Bu Tasya, yang biasanya menjaga di situ, juga tidak kelihatan. Baru jam empat. Biasanya, Karin baru balik ke asrama malam-malam. Ia melihat ponselnya. Kenapa tidak ada balasan dari Alva?

Ia melangkah masuk, menuju ke tangga yang terletak di sudut ruang tamu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alva mengirimkan foto lagi. Foto Alena yang turun dari mobil, dan foto Alena yang melangkah masuk ke ruang tamu! Alena tersentak. Ia setengah berlari keluar.

Alva sudah berdiri di halaman depan, dekat pot-pot tanaman besar yang berjejer di pinggir halaman. Matanya menatap Alena.

Sejenak, Alena kehilangan kata-kata. Wajah yang dirindukannya sekarang sudah ada di hadapannya.

"Hai...," akhirnya ia menyapa Alva.

Alva tidak menjawab, hanya menatap dengan lembut.

"Kamu sembunyi ya tadi? Kok aku nggak lihat?" tanya Alena dengan nada riang, ia tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.

"Aku sengaja nunggu kamu di sini..."

Kenapa sih, kata-kata Alva selalu bisa membuat hatinya berbunga-bunga?

"Ayo sini duduk, aku bawa sesuatu buat kamu." Alena sudah mau melepas ranselnya dari bahunya.

"Di sini kurang nyaman, di tempat rahasia kita aja...," kata Alva.

Alena menduga, Alva mungkin malu jika ada orang lain yang melihat. "Oke."

*

"Ini buat kamu..."

Mereka sudah berada di atas rooftop. Alena mengeluarkan sebuah kotak makan persegi berwarna hijau tua, dan menyodorkan ke Alva.

"Tadi aku belajar bikin pizza, dibantuin Mama. Kelihatannya kurang rapi, tapi rasanya enak kok...," ujar Alena. Sebenarnya, ia deg-degan menunggu reaksi Alva.

Alva membuka tutup kotak, ada sesuatu yang bersinar di matanya waktu melihat pizza itu. Ia menatap Alena.

"Waw... Makasih...," katanya pelan. Ia langsung mengambil sepotong pizza dan menggigitnya. Alena masih tetap memandangi sambil tersenyum.

"Mmm... Enak banget...," komentar Alva, sambil mulutnya masih mengunyah.

Alena tertawa. Semua kesan dingin pada Alva lenyap, ia kelihatan seperti seorang anak kecil yang polos.

Mereka baru turun dari rooftop, saat jam hampir menunjukkan pukul enam sore. Alva membawakan ransel berisi buku-buku Alena yang dipinjamnya.

"Kamu yakin udah selesai semua? Kalau ada yang masih mau dipinjam, nggak apa-apa kok, bawa aja..."

"Udah aku foto semuanya," respon Alva.

Alena tertawa. "Benar juga... Aku nggak kepikiran ke situ."

"Sampai ketemu besok...," ucap Alva, begitu mereka sampai di gerbang samping asrama.

Alena memberikan senyum manisnya. "Daah..."

Malam itu, Alva mengirim sebuah foto lagi. Ternyata, ia memotret sepotong pizza buatan Alena yang belum dimakannya, di bawahnya ia menulis "Thanks for the homy taste. Good night."

Alena merasa, Alva pasti sangat merindukan rumahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status