Share

5. Prom Night

Senin pagi, Alena dan Karin berjalan berdua ke ruang kelas XI A. Karin masih asyik bercerita tentang liburannya ke Air Terjun Sri Gethuk. Mereka sampai di bangku Alena. Alva sudah duduk di bangkunya. Seperti biasa, ia kelihatan asyik mencoret-coret di kertas.

Karin langsung duduk di bangku di depan Alena, dan meneruskan ceritanya. "Padahal jaraknya nggak jauh. Masa kamu belum pernah sih, ke Sri Gethuk?" tanya Karin dengan nada tidak percaya.

"Ya kalau dari rumah kamu dekat, kalau aku kan agak jauh. Lagian, kamu bukannya ngajak-ngajak... Udah tahu kalau aku paling suka air terjun," Alena menjawab.

"Siapa suruh kamu nggak mau ikut pulang ke rumahku?" ledek Karin.

Alena tertawa. Tiba-tiba, Sania, pemilik bangku di depan Alena, sudah ada di samping Karin. Ia pun bergabung dalam obrolan. Sekilas, Alena menoleh ke arah Alva, cowok itu tetap asyik dengan kesibukannya sendiri.

Bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Para siswa kembali ke tempat duduk masing-masing dengan tertib. Miss Stella yang masuk lebih dulu di jam pertama, itu berarti ada pengumuman untuk kelas.

Miss Stella masuk bersama Manda dan Nico, keduanya adalah ketua dan wakil ketua OSIS di sekolah. Manda yang mengumumkan di depan kelas, bahwa akan ada pentas seni yang diadakan sekitar satu bulan lagi. Sebagian besar siswa sudah tahu, karena pentas seni adalah kegiatan rutin tahunan di SMA Scientia. Tetapi bagi siswa kelas XI, ada tambahan yang ditunggu-tunggu, yaitu Prom Night. Pada malam terakhir pentas seni yang diadakan selama tiga hari, para siswa akan merayakan penutupan acara dengan makan malam, pertunjukan seni, dan... ini yang paling ditunggu, pemilihan King and Queen of Prom Night. Pemilihan pasangan yang paling favorit malam itu. Karena itu, para siswa yang ingin dipilih harus hadir berpasangan.

Kelas mulai riuh, teman-teman yang cewek mulai saling berbisik, sedangkan yang cowok juga saling menggoda dan tertawa-tawa. Mendadak, Alena merasa jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Pasangan? Apakah dia harus pergi dengan pasangan? Dan yang pertama muncul di pikirannya sudah pasti... Alena tidak berani menoleh ke arah Alva.

Lebih baik dia memikirkan untuk pertunjukannya, karena tim gamelan pasti akan tampil. Sebenarnya, Sir Danar, yang mengajar ekstrakurikuler gamelan, sudah mempersiapkan mereka sejak satu bulan yang lalu. Bagaimana dengan Alva? Seharusnya dia bisa mempertunjukkan kemampuannya bermain biola.

Saat istirahat, Alena dan Karin duduk di bangku taman dekat kantin. Karin membawa oleh-oleh getuk goreng dari rumah, mereka asyik mengunyah.

"Prom Night.... Kira-kira, siapa yang bakal ngajak aku ya?" Karin seperti bicara pada diri sendiri.

"Nggak usah dipikirin... Itu kan buat yang pingin dipilih jadi King and Queen. Kalau kita yang cuma mau ikut acara penutup, ya datang aja rame-rame...," Alena mencoba memberi pendapat.

Karin memandang Alena, seolah dia telah mengatakan sesuatu yang sangat aneh. "Tapi Len, semua bakal datang berpasangan. Kamu kayak nggak pernah lihat di TV aja, acara Prom Night gitu..."

"Ah, itu kan budaya di Barat sana..."

"Terus, kalau ada yang ngajak kamu jadi pasangannya, gimana?"

Alena sedikit terbatuk. "Itu kalau ada yang ngajak... Kalau nggak ada, juga nggak apa-apa, aku tetap datang ke acara. Lebih baik, kita fokus ke latihan. Kamu juga tampil kan, modern dance?"

Karin memang ikut ekstrakurikuler tari modern. "Iya, nanti siang latihan lagi nih..." Tiba-tiba Karin tersentak. "Eh, menurutmu gimana kalau Lucky? Dia lumayan keren, orangnya juga baik..." Ternyata Karin masih saja membahas Prom Night. Alena hanya menghela nafas, sambil tersenyum memandang sahabatnya itu.

*

Pelajaran hari itu sudah berakhir. Karin langsung keluar kelas, karena dia akan mengikuti ekstrakurikuler tari modern. Alena sengaja agak berlama-lama mengemasi bukunya. Setelah tidak ada orang lain lagi di kelas, ia menoleh ke arah Alva. Alva juga mengangkat wajahnya dan memandang Alena.

"Hari ini, aku mau latihan biola di gudang. Kamu ada ekskul?" Alva yang lebih dulu membuka mulut.

Alena sudah tahu maksud Alva. "Nggak ada... Nanti aku nyusul ya, habis mandi."

"Oke."

Alena sudah berjalan sampai di luar kelas. Tiba-tiba, ia berpikir untuk mampir ke toilet dulu. Alena membalikkan badan. Pada saat itulah, ia melihat Farah berjalan masuk ke dalam kelas mereka. Farah tidak melihat Alena. Setahu Alena, cuma tinggal Alva di dalam kelas. Ada apa dengan Farah?

Alena berjalan pelan-pelan ke arah pintu. Ia mencoba mengintip ke dalam kelas. Farah berdiri di depan bangku Alva, menghadap cowok itu. Mereka sedang bicara berdua.

Sekilas telinga Alena menangkap suara Farah. "Kamu mau nggak, jadi pasangan aku di Prom Night?"

Alena bergegas berjalan pergi dari situ. Jantungnya berdetak kencang, kepalanya terasa pusing. Sejujurnya, ia takut mendengar jawaban Alva.

*

Alena berjalan perlahan menyusuri lorong antar kelas. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Tetapi mendadak ia jadi ragu, apakah ia sebaiknya pergi ke gudang alat musik atau tidak. Walaupun ia ingin bertemu Alva, tapi kejadian sepulang sekolah tadi masih mengganggu pikirannya. Farah mengajak Alva menjadi pasangannya di Prom Night, ia sepertinya naksir Alva, sampai memberanikan diri mengajak lebih dulu. Farah memang selalu percaya diri, ia juga populer karena penampilannya yang cantik dan modis.

Alena sudah sampai di lorong menuju gudang alat musik. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, sehingga tidak menyadari kalau ada Norman, yang berlari di belakang mengejarnya.

"Alena...," suara Norman mengagetkannya.

Alena terkejut dan menoleh dengan cepat. "Hai... Sorry, aku nggak lihat kamu...," kata Alena agak canggung.

"Iya nih, kamu lagi ngelamunin apa? Sampai nggak dengar aku panggil dua kali," ujar Norman sambil tersenyum. "Tadi aku lihat kamu, pas aku keluar dari kelas ekskul, jadi aku langsung ikutin..."

"Oh... Aku lagi... Eh, ada apa Norman?"

Norman kelihatan agak salah tingkah, tidak seperti biasanya. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang lain. Tapi Alena tahu, di gudang alat musik, ada Alva yang sedang latihan biola.

"Ini... Mmm... Kamu mau nggak, jadi pasangan aku di Prom Night nanti?" Norman akhirnya mengutarakan maksudnya, sambil tersenyum gugup.

Alena terkesiap. Jadi, ini tentang Prom Night lagi.

Alena terdiam. Godaan untuk menerima ajakan itu sangat kuat. Jika Alva pergi dengan Farah, bukankah ini kesempatan yang bagus untuk menunjukkan kepada mereka, bahwa dia juga bisa dapat pasangan? Norman sangat populer di sekolah, terutama karena dia atlet bola voli putra. Lagipula, Norman selama ini selalu ramah dan baik padanya. Tidak ada salahnya menerima ajakan ini. Dalam hati, Alena berharap, seandainya Alva mendengar percakapan mereka dari gudang alat musik.

Alena membuka mulutnya ingin menjawab. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menahan hatinya. Ia menundukkan kepala.

"Maaf, Norman... Tapi...kayaknya aku nggak ikut Prom Night...," Alena terpaksa berbohong. "Maaf... Aku..." Alena tidak tahu lagi harus memberi alasan apa.

Norman tetap tersenyum. "Oke, nggak apa-apa kok... Santai aja..."

Tapi Alena bisa melihat, ada kekecewaan di wajahnya. "Norman, maaf ya..." Alena jadi merasa bersalah.

"Nggak apa-apa kok, beneran..." Norman tetap bersikap sopan. "Tapi, kalau kamu berubah pikiran dalam seminggu ini, tolong kasi tahu aku ya..."

Alena jadi semakin merasa tidak enak. Norman berkata ia masih ada latihan voli, lalu ia pun meninggalkan Alena. Alena terpaku memandangi Norman yang berjalan menjauh. Apakah ia yang bodoh karena telah melepaskan kesempatan ini? Di saat semua teman-teman ceweknya berharap, ada yang mengajak mereka ke Prom Night, ia malah menolak seorang cowok yang baik seperti Norman.

Alena berbalik dan berjalan perlahan menuju gudang alat musik. Perasaannya bentrok, antara ingin bertemu Alva, atau ingin kembali saja ke kamar asramanya. Pintu gudang sedikit terbuka.

Akhirnya, Alena mengalah pada keinginannya bertemu Alva. Ia membuka pintu perlahan.

Alva berdiri di dekat jendela, tapi pandangannya tertuju pada Alena. Ada sesuatu di tatapan matanya, tapi Alena sedang terlalu bingung untuk mengartikannya.

"Aku udah nunggu kamu...," suara Alva kedengaran bersemangat.

"Sorry, aku agak lama... Kamu harusnya latihan aja, nggak usah nunggu aku..." Sebaliknya, Alena yang merasa kehilangan semangat.

Alva mengernyitkan dahinya.

"Alena, kamu kenapa? Sakit?" Apakah nada suara Alva kedengaran cemas?

Alva berjalan menghampiri Alena. Alena rasanya ingin mengutuk dirinya sendiri. Ia tetap tidak bisa menghilangkan perasaan berbunga-bunga di hatinya, setiap kali ia merasakan perhatian dari Alva. Alva sudah berjarak hanya selangkah dari hadapannya.

"Aku nggak apa-apa kok..." Alena bergegas berjalan menjauh. Ia berpura-pura mendekati dan memperhatikan biola Alva, yang terletak di atas meja samping jendela. "Kamu mau latihan lagu apa?" sambung Alena, sambil tetap membelakangi Alva.

"Aku diminta Sir Johan tampil di pentas seni, biola tunggal."

Alena membalikkan badan dengan cepat karena terkejut. Alva sudah berdiri dekat di hadapannya.

"Itu bagus banget... Kesempatan yang bagus." Alena tidak bisa menahan rasa gembiranya mendengar berita itu. "Tadi pagi, waktu jadwal pentas seni diumumkan, aku udah sempat bayangin, kamu harusnya bisa tampil... Karena belum pernah ada pertunjukan biola tunggal." Mendadak, Alena merasa bersemangat lagi.

"Oya? Kamu pingin aku tampil?" Alva masih menatapnya dengan pandangan menyelidik.

"Ya jelas dong... Kamu berbakat, Alva... Jadi, kamu mau main lagu apa di pentas seni nanti?" tanya Alena dengan tidak sabar.

"Aku cuma mau tampil kalau...kamu janji mau datang di pertunjukan aku nanti..."

Kata-kata Alva membuat Alena terdiam sesaat. Kenapa Alva berkata seperti itu?

"Kok kamu ngomong gitu sih? Ya pasti aku datang, semuanya juga pasti datang, itu kan acara seluruh sekolah... Lagian, tim gamelan juga tampil di hari pertama. Besok Kamis, kami mau latihan lagi," Alena menjawab.

"Aku tampil di acara penutup," Alva menegaskan. Matanya menatap penuh arti.

Alena merasa lidahnya mendadak jadi kaku. Alva tampil di Prom Night! Ia tadinya sudah berpikir untuk tidak usah datang ke Prom Night saja, mengingat ia sudah beralasan ke Norman. Selain itu, jika ia harus melihat Alva berpasangan dengan Farah, rasanya lebih baik ia pulang ke rumah saja.

"Oh....." Alena memutar otaknya mencari kata-kata. "Maksud kamu, Prom Night?"

Alva mengangguk.

Alena mengeraskan hatinya. "Iya, aku datang kok..."

Alva seperti menarik nafas lega. Alena tidak tahu, kenapa ia menjawab begitu. Tapi, apakah ia tega mengecewakan Alva?

Alva mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas biolanya. Kertas-kertas itu berisikan notasi balok. "Ini lagu yang aku mainin...," katanya, sambil menunjukkan pada Alena.

Alena membaca dan membalik-balik kertas-kertas itu. Ia sudah tidak asing dengan notasi balok, karena Sir Danar juga sering memberikan teks dalam bentuk notasi balok di kelas gamelan. Tapi setelah membacanya, Alena tahu, itu bukan salah satu lagu yang ia kenal. Tidak ada judul atau teks yang tertulis.

Alena menatap Alva. "Kamu yang nulis lagu ini?"

"Sir Johan bantu koreksi, tadinya masih banyak yang kurang..."

Alena menatap Alva dengan rasa kagum. Ia yakin Alva memang berbakat. "Aku pingin dengar...," pinta Alena sambil tersenyum.

Alva memandang Alena dengan lembut. Kemudian ia mengambil biolanya, dan mulai memainkan musik yang terdengar sangat indah, sekaligus entah mengapa menimbulkan rasa sedih. Alva bermain dengan mata terpejam. Gerakan tangannya lincah dan tegas, tapi ada kalanya menjadi lembut dan bergetar. Alena bisa merasakan, semua itu berasal dari dalam hatinya. Pengalaman hidup seperti apa yang sudah Alva rasakan, sehingga bisa menginspirasinya menciptakan musik seindah ini?

Sekitar jam lima sore, Alva menghentikan latihannya. Mereka berjalan berdua ke arah gedung asrama putri.

"Besok, aku ada ekskul Palang Merah Remaja. Kalau kamu mau latihan, nggak usah nungguin aku ya... Kalau sempat, nanti aku nyusul..." Alena merasa harus memberitahu Alva lebih dulu.

"PMR? Aku pikir, kamu cuma ambil ekskul seni."

Alena tersenyum. "Maunya sih ikut banyak ekskul, tapi maksimal kan cuma boleh tiga. Aku ikut PMR, teater, sama gamelan. Kalau teater dan gamelan, karena aku emang suka... Kalau PMR, biar aku bisa ngobati orang sakit kayak Mama. Mama kan Apoteker..."

Alena bisa merasakan Alva sedang menatapnya, tapi ia tidak punya keberanian untuk menatap balik. Mereka sudah sampai di gerbang samping asrama.

"Besok, aku tunggu di tempat rahasia kita. Kalau kamu sempat...sampai jam enam, aku pasti di situ...," ucap Alva, seolah ingin memastikan Alena untuk menyusulnya.

Alena berusaha tersenyum.

"Iya...," jawabnya singkat.

"Sampai jumpa besok."

*

"Aku cari-cari kamu dari tadi... Kamu ke mana sih?" Karin langsung memberondong dengan pertanyaan, begitu Alena masuk ke dalam kamar mereka.

Alena merasa bersalah, haruskah ia menyembunyikan terus dari Karin, sahabatnya sendiri? Tapi, apa yang harus dia ceritakan? Bahwa dia dan Alva berteman, punya tempat rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu, dan saling berkirim chat? Dia tidak tahu apa reaksi Karin.

"Rin... Aku tadi ketemu Alva..." Alena terhenti, karena Karin langsung membelalakkan matanya. "Dia...mau pinjam catatan, buat ngejar materi pelajaran... Makanya, tadi aku bantuin dia dulu di perpus..." Alena mengutuk dirinya sendiri karena berbohong pada Karin. Alena cepat-cepat menolehkan wajahnya ke arah lain, supaya tidak usah menatap wajah Karin.

Karin langsung bangkit dari tempat tidurnya. "Serius?? Kamu sama Alva tadi?" Karin bertanya dengan suara keras.

"Eh... Ssstt..." Alena meletakkan jari telunjuk di bibir Karin.

Karin masih menatap Alena dengan mata terbelalak. "Jadi, si Pangeran Putih yang cool itu, ternyata sekarang udah bisa berteman..."

Karin duduk kembali di atas dipannya. "Eh, gimana rasanya dekat dia? Apa dia juga makan nasi kayak kita?" Karin sengaja membuat Alena tertawa.

"Mmm... Menurut aku, dia nggak sedingin kelihatannya... Orangnya emang nggak banyak ngomong, tapi juga nggak sombong...," Alena mencoba menjelaskan sewajar mungkin.

Karin tampak masih penasaran, tapi dia memang sahabat yang baik. Dia tidak menggoda atau meledek Alena. Sepertinya Karin membiarkan semuanya berjalan apa adanya.

Dalam hati, Alena merasa bersalah telah membohongi Karin, tapi juga berterima kasih karena pengertiannya.

Jam delapan malam itu, Alva mengirim sebuah file musik lagi. Lagu 'Somewhere Over The Rainbow' yang dimainkan Alva dengan biola.

"Kapan kamu rekam ini?" tanya Alena di chat.

"Tadi siang di gudang," balas Alva.

"Bagus banget...," ketik Alena lagi.

Alena merasa apa yang Alva lakukan sangat manis, tapi mengapa juga menimbulkan rasa sakit? Sakit karena rasa takut kehilangan. Rasa takut, bahwa apa yang dirasakan Alena, tidaklah sama dengan apa yang dirasakan Alva. Alena baru bisa terlelap selepas tengah malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status