Share

Intinya (2)

Boo mengunyah kacang almond dan beberapa kudapan lainnya. Ia sungguh lapar. Bahkan sampai lupa jika semua orang terkecuali Charlie memandangnya begitu lekat.

"Apa?" tanyanya ketus. Ia masih kesal dengan keadaan yang membuatnya gila. Bagaimana bisa ia terjebak dengan mereka semua.

"Ekm. Baiklah sesuai surat wasiat ayahmu, Boo. Kau harus tinggal di sini bersama kami. Kau juga sekarang bagian dari kami. Jika kau bingung, mereka adalah makhluk setengah manusia 

yang aku temui. Hanya kau yang tahu masalah ini. Juga, benda-benda di sini yah seperti yang kau lihat, hidup. Mereka hidup sebelum kami semua di sini. Jadi, tolong hormati mereka." William serius dengan ucapannya. Ditambah tak ada bantahan dari siapa pun di sini.

"Aku tak peduli mau kalian semua bahkan kau, Will. Tapi, benda-benda di kamarku yang membuatku tak nyaman. Kau pikir bagaimana bisa aku tidur jika semuanya meracau dan berteriak bahkan ada yang menangis juga semalaman karena halamannya robek. Kau tahu? Tak masuk akal! Aku rasanya sudah gila. Jika kau ingin aku tinggal di sini, tolong pindahkan aku ke kamar lain." Boo bernapas lega karena berhasil menjelaskan begitu rinci. Ia menoleh ke arah William yang memandangnya sejenak. Ntah apa yang ada di kepala pria itu.

"Biar ku beritahu. Walaupun kau ku pindahkan ke kamar lainnya, semua benda hidup, Boo. Mereka hidup bukan atas keinginanku. Kau harus membiasakannya mulai sekarang. Dan juga, kau akan bersekolah lagi. Aku dengar kau putus sekolah saat tingkat pertama. Aku sudah urus semua berkasnya dan lusa kau akan sekelas dengan Charlie, Valdish dan Christ. Untuk kalian, tolong jangan membuat Boo terkejut seperti tadi. Mengerti?"

Tak ada yang berani menatap William. Hanya anggukan kecil yang dilakukan mereka.

"Judish tak bersekolah denganku? Ah, maksudku kami?" tanya Boo yang kemudian mendapat gelengan dari semuanya dan tentu saja senyuman pria bernama Judish.

"Aku tak sekolah, Boo. Aku, William dan Jackson bekerja. Sementara Hosea masih mengerjakan tugas kuliahnya," jelas pria manis itu.

Boo rasanya ingin merosot saja. Judish tak bersamanya? Lalu, untuk apa aku sekolah?

"Aku ingin protes," celetuk Charlie yang mengembungkan pipinya hingga sebesar biji kenari.

Duh, dia lagi

"Baiklah. Katakan," ucap William

"Aku tak mau sekelas dengannya. Satu sekolah sih oke. Tapi, untuk satu kelas? Aku tak mau," protes Charlie dengan wajah memerah. Ia kesal pada gadis itu. Ntah kenapa.

"Kau masih kesal dengannya karena menarik telingamu waktu itu?" tanya Hosea yang ikut bertanya. Pria tampan nan ceria itu penasaran juga.

"Bukan. Aku hanya merasa gadis ini tak baik. Ia saja tinggal dengan Paman Hwang. Kau kan tahu bahwa Paman Hwang itu—"

"Char, berhenti. Kau membingungkannya," sergah Judish yang mencoba menghentikan ucapannya.

"Ugh. Maafkan aku," ucapnya menundukkan kepala karena William memandangnya tajam.

"Kenapa dengan Paman Hwang?" tanya Boo yang ikut terpancing.

"Kita akan membahasnya nanti. Aku tak akan bohong padamu, Boo. Tapi, untuk saat ini, kebenaran tak akan berarti. Suatu saat nanti kau bisa tahu sendiri." William mencoba mencari celah sentimentilnya.

"Baiklah. Rasanya pembahasan ini terlalu berat. Jadi intinya kau membawaku ke sini untuk apa?"

"Untuk memperkenalkanmu dengan anggota keluargamu. Semua yang ada di sini, meski flowerblast yang kau temui tadi, adalah keluarga."

"Maaf mengganggu suasana sentimentil kalian. Tapi, bisakah kita membahas hal yang biasa saja seperti pesta penyambutan? Aku baru datang dari Swiss dan butuh hiburan, bukan begitu Hosea?" ujar Jackson yang sejak tadi hanya memperhatikan mereka. Ia jengah juga. Ditambah Charlie yang sempat rewel.

"Wah, bagus juga. Kita adakan pesta saja, bagaimana Will?" tanya Hosea yang begitu senang. Ia tengah penat karena dosen pembimbingnya dan butuh sekali penyegaran pikiran.

"Tidak bisa. Aku ada pesta di sekolah malam ini. Bagaimana kalau besok saja?" Charlie buru-buru menghentikan.

"Itu urusanmu manis. Aku dan yang lainnya akan berpesta malam ini." itu Christ yang menyahuti.

"Tidak boleh! Aku juga mau ikut pesta." Charlie tak ingin tertinggal pesta. Tentu saja ia tak mau melewati hidangan mewah dan kue-kue manis di sini.

Sekadar informasi, tiap pesta yang diadakan di rumah ini, dari dekorasi sampai lampu-lampu kecil akan dibuatnya mewah.

Apalagi saat perayaan akhir tahun lalu. Semuanya mengadakan jamuan besar-besaran.

Tak bisa dilewatkan!

"Tak ada pesta untuk hari ini atau selanjutnya jika tak ada hal istimewa lainnya. Lagipula aku yang akan miskin nanti. Kalian seperti babi kelaparan saat pesta," keluh Jackson yang merupakan anggota tertua.

Ia jadi ingat saat semua mengadakan pesta dan berakhir dirinya harus membayar semuanya.

Sahut-sahut kecewa terdengar dari Charlie, Valdish dan Christ karena ketiganya begitu menyukai pesta. Jika diizinkan, mereka bisa mengadakan pesta tiap hari.

"Jika tak ada pertanyaan, kita akhiri pertemuan ini," tegur William yang melihat keadaan sedikit tak terkendali.

"Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan denganmu, Will. Hanya berdua saja." Boo berucap serius.

Will mengangguk setuju, "Di Kamarku," lanjutnya lagi.

"Mengapa tak di sini saja?" tanya Judish sedikit menyelidik. Pikirannya saja atau memang pria itu terlihat tak suka.

"Jika ia ingin berdua, bagaimana?" balas William sembari meneguk minumannya yang tersisa.

"Tak masalah sih. Tapi, sebaiknya tak ada yang dirahasiakan." Judish kemudian tersenyum pada Boo.

Suasana berubah tegang kembali saat Judish tiba-tiba mengubah dirinya menjadi serigala besar dan bergerak melewati semuanya.

Boo tentu saja menjadi satu-satunya yang begitu terkejut. Alasannya bahwa ini pertama kalinya Judish mengubah dirinya menjadi serigala.

"Tenanglah, Boo. Mungkin Judish mengendus musuh di sekitar sini. Biasanya ia berubah menjadi serigala saat keadaan genting," jelas Christ menenangkan.

"Lalu, kalian membiarkan dia sendiri melawan musuh? Kau gila?" Boo kesal mendengarnya. Ia memandang sengit pada tiap orang di sana.

"Judish akan baik-baik saja. Aku kenal dia dengan baik. Ia pasti memiliki urusan sendiri. Tapi, jika itu musuh, ia akan memberitahu kami semua," timpal William ikut menjelaskan.

"Pikiranmu picik sekali, sih. Memang gadis lemah dan penakut," hardik Charlie yang kemudian meninggalkan gazebo.

"Char, aish anak itu. Maafkan dia ya. Dia memang begitu menyayangi Judish jadi ia tak ingin kakaknya itu dibicarakan tak baik." Christ mulai menyusul kelinci itu cepat. Takut-takut mengamuk di dalam.

Bisa bahaya jika ia menangis lagi di tengah malam. Maka ia akan mendapat masalah dan umpatan dari Paman Berkaki Emas.

"Will, aku dan Jackson akan beristirahat. Kalain juga ya. Kami permisi."

Hosea dan Jackson mulai ikut pergi meninggalkan ketiganya.

Iya, ketiganya. Masih ada Valdish bersama keduanya.

"Kau tak ingin pergi?" tanya William

"Tidak, aku tak ada urusan apapun," jawab pria itu yang terus menatap Boo dengan senyumannya.

"Kalau begitu, Boo dan aku akan pergi."

Boo mengangguk setuju. Ia perlu membicarakan hal lain dengan William. Namun, Valdish menahan dirinya sejenak. Tersenyum lagi.

Ia meraih jemari Boo dan mengecupnya singkat.

Astaga, singa tampan ini

"Sebagai ucapan penyambutan dariku."

¶¶________________________________¶¶

William dan Boo memasuki kamar tamu yang terlihat rapih. Sepertinya para maid yang membuat hiasan bunga mawar berbentuk hati ini di lantai kamarnya lagi.

Astaga, aku bukan pengantin baru!

Boo mengabaikan hiasan-hiasan dan aroma lilin yang memabukkan itu. Ia duduk di tepi ranjang dan membuat William duduk di hadapannya.

"Kau— kau jenis makhluk apa?" pertanyaan pertama yang ada dalam pikiran Boo akhirnya terdengar.

William mengerutkan keningnya. Ia kemudian mengamati beberapa benda yang ikut menguping mereka.

Pria itu lupa bahwa benda-benda akan lebih aktif pada malam hari.

"Aku... Tentu saja manusia biasa," jelas Will masih mengamati sekeliling.

Benda-benda di sini memang genit.

"Tapi yang lainnya hybrid, 'kan? Jangan membohongiku." Boo mulai pusing.

Bau-bauan di kamarnya begitu pekat dan membuat kepalanya berputar.

"Aku tak bohong padamu, Boo." lagi, William mengamati sebuah lilin berwarna biru di antara lainnya.

"Baiklah. Sepertinya aku mulai pusing. Kau pergilah," ucapnya lemas.

Ia sungguh merasa pusing.

"Tidrulah. Aku di sini." William lantas membenahi selimut gadis itu. Memastikan ia tak kedinginan karena ulah Mrs Fan .

"Matikan lilin pembuat pusing itu atau aku yang akan mematikannya sendiri!" seru William setelah memastikan Boo telah terlelap.

Dengan cepat Mrs. Fan meniup lilin itu agar padam. Sementara yang lain bersora kecewa.

"Ku ingatkan pada kalian. Jangan ganggu Boo. Ia tamu di sini. Mengerti?"

Sekiranya keadaan mulai terasa normal kembali, pria pucat itu beranjak dan mengecup pelan kening Boo.

"Selamat malam."

"Selamat malam Ketua Will," balas semuanya serempak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
sabar, nanti juga bakal terungkap kalo Will jenis apa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status