Halo semuanya, Terima kasih karena sudah meluangkan waktu kalian untuk membaca Choosing Between Dragon and Werewolf. Jika kalian suka dengan ceritanya, kalian bisa tinggalkan kesan kalian pada ceritaku di kolom komentar dan dukung ceritaku dengan memberikan gem agar membantuku untuk tetap bisa menulis karya ini.
Pria itu masih menatapnya dengan alis terangkat ketika dia mendengar kata-katanya, sementara dia berdehem, mencoba menghentikan suasana canggung yang tercipta begitu dia selesai berbicara. "Kamu bilang apa? Kamu sudah tahu tentang itu?" Dia mengangguk, membenarkan kata-kata pacarnya. Pria itu bergumam dengan suara yang lebih rendah pada dirinya sendiri, berbicara dalam bahasa yang terdengar asing di telinganya sebelum wajahnya berubah muram. "Apakah kamu baik-baik saja?" "Daripada itu, kenapa kamu tidak memberitahuku tentang kakak laki-laki Stephen?" dia meludah, berusaha menahan amarah yang dia tidak tahu mengapa mulai muncul di dalam dirinya. "Kenapa kamu tidak memberitahuku bahwa makhluk yang menyerangku berumur dua belas tahun bukanlah serigala biasa, tapi manusia serigala?" Pria itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Diam saja, seolah laki-laki itu ingin memberinya kesempatan melampiaskan seluruh amarahnya pada laki-laki itu. Sikap pacarnya saat ini sedikit mengingatkannya pa
Stephen meletakkan jarinya di sisi kanan tabletnya, membuka kunci layar. Sekarang layar tidak lagi menampilkan layar hitam kosong, menunjukkan kepada mereka titik-titik lokasi terjadinya serangan. Jari-jari Karl menggerakkan layar, sesekali mencubit untuk memperbesar atau memperkecil ukuran denah area Laurent, dan untungnya, Karl berbaik hati memberinya lebih banyak ruang sehingga dia juga bisa melihat apa yang ada di layar tablet. Ada banyak titik merah di sana—pertanda bahwa area tersebut telah berhasil diambil alih oleh kelompok musuh, menyisakan dua titik hijau yang menjadi satu-satunya area yang tersisa.Artinya, Schneider berada di balik serangan ini, gumamnya pada dirinya sendiri.Perhatian Stephen kemudian beralih padanya, menatapnya dengan tatapan bersalah. "Dan untuk informasi Anda, saya memberi tahu Anda bahwa tidak ada sesi latihan dengan Isabella hari ini, bukan karena saya melarang Anda--seperti yang mungkin Anda pikirkan--""Dan itulah yang kupikirkan," dia menyela, seka
Ketika Erna membuka kedua matanya, dia menemukan bahwa dia tidak lagi berdiri di kamar tidurnya seperti yang terakhir dia ingat, tetapi sedang berbaring di tempat tidurnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Pusing menyerangnya saat dia memaksa dirinya untuk bangun dari tempatnya. Dia melihat sekeliling, tidak melihat Bianca bersamanya di sini. Ingatannya yang hilang memang telah kembali, berhasil mengisi kekosongan yang dia rasakan selama ini. Dari saat ia dan Alec terpaksa meninggalkan kediaman setelah menemukan keberadaan monster dengan wujud yang sulit untuk dideskripsikan, ia berhasil membunuh semua penjaga yang ditempatkan di kediamannya, serta para pelayannya. Darah menggenang di hampir setiap sudut ruangan, dengan ekspresi masing-masing mayat yang dipenuhi rasa takut hingga sulit untuk dilupakan. Dia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang mereka rasakan sebelum menghadapi kematian mereka sendiri. Mungkin mereka berteriak kesakitan. Atau mungkin monster itu membunuh mereka
Nicholas tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar dari bibir Schneider barusan karena dia baru saja selesai makan siang yang disiapkan Askarovich beberapa menit yang lalu. Matanya melebar, berkedip tak percaya, menatap sosok yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi di wajahnya yang menciptakan rasa takut yang kuat dalam dirinya. Semua sel di tubuhnya seakan berhenti bergerak dengan otaknya sulit mencerna situasi saat ini. "Aku sudah selesai denganmu. Apa yang baru saja kukatakan cukup jelas untukmu, Nicholas Southampton?" Pria itu mengulangi kata-kata yang berhasil memberikan efek serangan yang kuat padanya. Dia menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak menangis di depannya. Apakah itu berarti mereka dibuang oleh William, seperti benda, setelah apa yang dia berikan kepada William Schneider — termasuk semua kekayaannya serta rumah besar miliknya milik pria itu? "Apa yang kamu lakukan di belakangku adalah mengacaukan rencana kita. Aku juga tidak ingin melakukannya karena ba
“Paketnya, Nona Darren.”Veronica Darren menaikkan sebelah alisnya, keheranan. Ia ingat sekali kalau ia tidak memesan barang apa pun bulan ini. Kakak perempuannya juga tidak mengirimkan apa pun, karena jika iya, kakaknya itu pasti akan mengabarinya terlebih dulu.“Paket? Untuk saya?”Pria kurir itu membenarkan letak topinya. Ia sulit mengenali kurir itu karena pria itu mengenakan masker dan topi yang menutupi wajah pria itu. Hanya suaranya saja yang menandakan kalau kurir yang saat ini menunggu tanda tangannya itu adalah seorang pria. Perasaannya mulai tidak enak. Cara pria itu menatapnya juga tampak aneh. Apa ia harus menerima paket itu atau tidak?“Iya. Silakan tanda tangan di sini,&r
Mata Veronica mengerjap, tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat saat ini, terus memandangi sosok pria setinggi 185 sentimeter yang menatapnya sambil menyunggingkan senyum hangat yang sanggup menyilaukan mata siapa pun yang melihatnya. Seperti dia yang sekarang berusaha mati-matian menenangkan jantungnya yang berisik hanya karena melihat senyuman pria asing itu. Senyuman itu anehnya, jauh lebih menyilaukan dari senyuman yang selalu diperlihatkan Bianca pada semua wanita yang ditemuinya.“Ya?” ujarnya, setelah ia berhasil mengendalikan diri, mengontrol debaran jantungnya yang tidak lagi sekencang tadi. “Dari mana Anda tahu nama saya?”Pria itu tanpa sungkan menarik kursi itu sebelum meminta izin pada mereka semua, duduk di kursi dengan kedua matanya yang masih menatap Veronica, meletakkan kembali buku men
Veronica tidak mampu lagi menyembunyikan keterkejutannya begitu memasuki apa yang disebut Stephen sebagai rumah dari temannya yang bernama Karl Smith. Butuh waktu lima belas menit mengitari halaman depan kediaman Karl Smith. Sesekali ia melihat beberapa pria berseragam hitam yang sama sekali tidak menyembunyikan ketidaksukaan mereka saat melihat kehadiran Stephen. Pria itu sendiri tampaknya tidak menggubris respon mereka yang tidak sopan itu, malah bersiul pelan, seolah tidak menyadarinya.Ah, ralat. Pria itu jelas-jelas menyadarinya. Buktinya, tanpa ragu Stephen menabrakkan mobil yang dikendarainya tadi ke tiga orang pria yang berdiri menghadang mobil mereka. Dengan santainya Stephen membuka kaca jendelanya, menyembulkan kepalanya dari kaca jendela sambil tertawa pelan.
Veronica terus bengong. Membiarkan Stephen yang baru saja kembali setelah urusannya selesai itu mengantarkannya pulang ke rumah. Mentalnya terguncang setelah pernyataan cintanya yang menurutnya terlalu mendadak sehingga ia tidak menyimak kata-kata Karl selanjutnya. Otaknya seketika kosong. Seperti sebuah buku ukuran F4 yang masih berwarna putih, kehilangan semua coretan yang sempat menghiasi buku itu. Tidak bisa memproses apa yang baru saja ia dengar dari pria rambut hitam berwajah oriental itu. Bahkan ia lupa mengucapkan terima kasih pada Stephen yang sudah mengantarkannya pulang.“Nikki? Halo?”Tepukan keras di bahunya berhasil menyadarkannya. Ia berbalik, memandangi Stephen yang berdiri di belakangnya, tertawa pelan melihatnya.