Veronica terus bengong. Membiarkan Stephen yang baru saja kembali setelah urusannya selesai itu mengantarkannya pulang ke rumah. Mentalnya terguncang setelah pernyataan cintanya yang menurutnya terlalu mendadak sehingga ia tidak menyimak kata-kata Karl selanjutnya. Otaknya seketika kosong. Seperti sebuah buku ukuran F4 yang masih berwarna putih, kehilangan semua coretan yang sempat menghiasi buku itu. Tidak bisa memproses apa yang baru saja ia dengar dari pria rambut hitam berwajah oriental itu. Bahkan ia lupa mengucapkan terima kasih pada Stephen yang sudah mengantarkannya pulang.
“Nikki? Halo?”
Tepukan keras di bahunya berhasil menyadarkannya. Ia berbalik, memandangi Stephen yang berdiri di belakangnya, tertawa pelan melihatnya.
“Akhirnya sadar juga. Sebentar lagi dahimu membentur pintu apartemenmu sendiri, tuh.”
“Ah… oh!” Veronica menatap pintu apartemennya yang berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya, lalu menjauh dari pintu apartemennya. “Ya, kamu benar. Makasih.”
Veronica baru menyadari bahwa pria itu mengantarkannya sampai di depan pintu apartemennya. Tangannya segera merogoh kunci apartemen yang ia simpan di dalam tasnya. Karena terlalu gugup, ia sampai menjatuhkan kunci apartemennya. Pria itu segera bergerak mendekat, memungut kunci itu sebelum ia berhasil melakukannya.
“Biar aku yang buka pintunya. Pasti kamu kecapekan,” kata Stephen, mengambil alih membukakan pintu apartemen itu untuknya sambil mengembalikan kunci itu padanya setelah ia masuk ke dalam. “Sampai besok, Nikki. Semoga tidurmu nyenyak.”
“Tapi ini masih jam enam sore!”
“Aku tahu,” ujar Stephen seraya menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku jaket kulitnya, mengangkat bahu. “Tapi lebih awal lebih baik, bukan? Dari tadi aku nanya sama kamu pas di mobil, tapi kamu bengong terus, jadi kubiarkan. Gimana kesanmu soal temanku tadi?”
“Orang yang menyenangkan,” jawab Veronica, cepat. Tidak mungkin ia memberitahu Stephen kalau ia nyaris tergiur untuk menyentuh bokong padat temannya itu. Pasti pria itu akan menganggapnya sebagai wanita mesum. Jadi, hanya itu jawaban yang bisa ia berikan pada Stephen.
“Hanya itu? Melihat reaksimu tadi, sepertinya lebih. Ya, lebih baik simpan detailnya untuk kamu sendiri. Pasti kamu kaget karena pernyataan cinta Karl, bukan?”
Ia mendelik tajam, terkejut mendengar tebakan Stephen yang tepat sasaran. “Dari mana kamu tahu?!”
“Karena itu yang terus dikatakan Karl setiap kali membicarakan pertemuan kalian. Sampai telingaku sakit mendengarnya. Tapi temanku itu memang benar. Kamu yang sekarang jauh lebih menarik dari semua wanita yang pernah kukencani.”
Matanya menyipit begitu mendengar jawaban Stephen yang mengingatkannya akan Bianca. Ada perasaan kecewa yang menghinggapi dadanya. “Jadi, aku ini salah satu dari ‘wanita-wanita’ yang pernah kau dekati?”
Pria itu tampak tidak menampik perkataannya yang mengandung sindiran di bagian terakhirnya, karena pria itu mengelus belakang lehernya, tampak kikuk.
“Well, yeah. Lebih baik jangan terlalu dekat denganku, Nikki. Aku memang bukan orang yang bisa kamu kategorikan sebagai orang baik, tapi temanku itu… yah, kamu bisa percaya padaku untuk yang satu ini. Karl itu orang yang bisa kamu andalkan.”
Veronica memutar bola matanya. Bagus. Pria yang ada di hadapannya ini berhasil menghancurkan impresi pertama yang kelihatannya dibuat pria itu tanpa sadar saat pertemuan pertama mereka di kafe.
“Sesuai perkataanmu, Stephen. Aku agak capek, dan butuh istirahat. Jadi sampai di sini saja. Selamat tidur,” katanya, kehilangan minat untuk melanjutkan percakapan mereka dan membanting pintu apartemennya tepat di depan wajah Stephen yang terkejut melihat perubahan emosinya. Sekilas ia melihat wajah Stephen yang berubah muram sesaat.
Pria yang aneh, gumamnya dalam hati. Tapi dia jauh lebih aneh lagi karena menyukai pria yang jelas-jelas tidak berminat untuk memajukan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
Veronica masih berdiri di pintu apartemennya, mendengus kesal. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia begitu kesal mendengar bahwa ia bukan wanita pertama yang didekati oleh Stephen Laurent. Maksudnya, ayolah, mana mungkin pria setampan Stephen Laurent tidak berpacaran selama hidupnya?
Dibandingkan Stephen, rasanya Karl Smith berkali-kali lipat jauh lebih baik.
Tidak, tidak. Kenapa ia mulai membandingkan kedua pria yang baru ia temui hari ini?
Veronica menepuk pelan kedua pipinya, menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan lamunannya. Mengeluarkan sepatu sneaker yang ia simpan di dalam kotak yang ada di dalam tas untuk dan menyimpannya ke dalam rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk apartemennya, bersama dengan sepatu hak tinggi merah pemberian Karl yang ia kenakan. Lalu berjalan lunglai menuju kamar tidurnya.
***
Napas Veronica langsung memburu begitu berhasil terbangun dari mimpinya. Ia menelan ludah, mengusap keringat dingin yang membasahi keningnya sambil mengambil jam digital yang ada di atas nakasnya. Pukul tiga dini hari. Tangannya mengembalikan jam itu ke atas meja, sementara ia mengatur napasnya agar kembali normal.
Sepulangnya dari kediaman Karl, tubuhnya dihinggapi rasa letih, sehingga ia memutuskan menggunakan sisa waktunya untuk tidur walaupun ia tahu bahwa ia masih memiliki tugas mengerjakan mata kuliah Viktimologi yang harus dikumpulkan minggu depan.
Lagi-lagi mimpi itu muncul. Mimpi yang sudah tidak menghantuinya selama dua tahun, setelah ia menghabiskan hampir sepanjang hidupnya mengunjungi psikiater setiap bulan untuk menangani trauma paska insiden penyerangan yang membuatnya harus kehilangan kakinya di usia delapan tahun. Veronica menyentuh pahanya mengelus bagian kakinya yang hilang itu dengan muram. Ia mencoba untuk memejamkan kedua matanya. Namun, ingatannya masih tertuju pada kejadian dua belas tahun yang lalu.
Pada pertengkaran orangtuanya yang selalu terjadi setiap hari saat itu…
Pada keputusannya yang memilih pergi dari rumah karena tidak tahan dan berlari hingga tersesat jauh di dalam hutan yang dingin, di kegelapan malam saat bulan setengah penuh…
Pada ketakutannya saat sosok serigala bermata hazel penuh amarah berlari menyerangnya. Menggigit kedua kakinya hingga ia menjerit kesakitan dan kehilangan kesadarannya…
Seberapa kerasnya ia mencoba memancing ingatannya untuk mengingat lebih banyak mengenai kejadian itu, ingatannya selalu berhenti sampai di sana. Lalu berulang. Awalnya, akan berputar sangat lambat, lalu kemudian semakin cepat, dan semakin cepat, sampai kepalanya berdenyut karena tidak sanggup menerima kenangan yang berputar terlalu cepat itu. Seperti sekarang. Ia mencengkeram selimutnya, berusaha mengenyahkan kenangan itu dari pikirannya.
Beberapa waktu kemudian, kilas balik ingatan itu menghilang. Ia menarik napas lega, kembali berbaring di tempat tidurnya. Matanya memandang ke langit-langit. Mengingat ekspresi wajah Stephen yang muram sesaat begitu melihatnya marah. Apa pria itu tahu sesuatu mengenai kejadian itu, mengingat sosok yang pernah menyerangnya itu adalah serigala?
Benar juga. Mungkin saja pria itu tahu, dan sengaja merahasiakan fakta itu darinya. Latar belakang Stephen yang merupakan manusia serigala pasti memberi pria itu alasan untuk melindungi sesama manusia serigala.
Tiba-tiba, ia merasa benci pada Stephen.
Veronica sekali lagi mencengkeram sprei itu sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memutih. Kalau sudah begini, mustahil baginya untuk kembali melanjutkan tidurnya. Bagaimana jika mimpi buruk itu kembali muncul?
Sambil menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya, Veronica melempar selimut yang dikenakannya tadi ke sisi tempat tidur, melompat keluar dari tempat tidurnya. Lebih baik ia gunakan waktunya untuk melanjutkan tugasnya yang sempat ia tunda tadi sore agar pikirannya teralih dari mimpi itu. Ia memandang kaki prostetiknya sejenak, lalu memilih meraih sepasang kruk yang tergeletak manis di samping kaki prostetiknya. Berjalan menuju meja belajarnya, menyalakan laptopnya. Lampu indikator baterai laptop itu berubah merah.
Sial. Ia lupa mengisi daya baterai laptopnya kemarin, sebelum ia berangkat tidur.
Kesal, ia merutuki ketololannya sendiri, menyambungkan kabel pengisi daya ke laptopnya. Pikirannya mencoba mengingat kembali mimpi itu, yang segera ia tepis. Begitu logo Windows 10 muncul di layar laptopnya, ia mencari berkas tugasnya, mulai mengerjakan tugas tersebut. Rasa kantuknya sudah benar-benar hilang saat ia harus membaca modul pembelajaran elektronik setebal lima ratus halaman, menandai bagian yang diminta oleh dosennya kemarin lusa untuk dipelajari.
***
Baru kali ini ia, Stephen Laurent, gugup.Membawa sebuket bunga mawar merah yang biasanya selalu disukai oleh semua wanita yang menjadi pacarnya, Stephen terus menunggu penuh cemas sambil menekan tombol bel apartemen Veronica.Kemarin, Nikki marah padanya, dan ia tidak mengerti alasan kenapa wanita itu marah. Ia tidak merasa mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu tersinggung. Justru ia memilih dengan cermat setiap ucapannya agar tidak menyakiti perasaan Nikki, mengingat kondisi wanita itu yang spesial. Walaupun ia masih belum mengerti alasan di balik kemarahan Nikki, lebih baik ia meminta maaf. Biasanya, buket bunga mawar yang masih segar dan organik ini akan selalu berhasil menyelesaikan semuanya.
Setelah menurunkannya di depan gedung kampusnya, Stephen langsung meninggalkannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Padahal pria itu berjanji akan menjelaskan semuanya saat di mobil. Sesaat, ia melihat wajah Stephen yang begitu cemas, sehingga ia berusaha memaklumi sikap Stephen.Ia menghela napas panjang, merapikan barang-barangnya yang ada di atas meja. smartphonenya yang ia ubah ke mode getar agar tidak mengganggu konsentrasinya saat ia di kelas tadi bergetar beberapa kali, menandakan ada panggilan masuk. Ia menghentikan sejenak aktivitas merapikan barang-barangnya, meraih smartphonenya yang berada di sebelah kanannya, menekan tombol hijau begitu melihat nama yang tertera di layar smartphonenya.“Halo, Kak,” ujarnya, sambil menj
Mata Bianca sekilas melirik ke arah luar, melihat Veronica yang mengobrol dengan pria yang kemarin, Stephen Laurent. Bukan tipe pria yang bisa ia percaya untuk menjaga Veronica sebenarnya. Tapi kakak laki-lakinya—Theodore Pedrosa, memintanya untuk mempercayai pria itu. Kalau kakaknya percaya pada pria itu, berarti ia harus percaya. Ia tidak mengerti kenapa Theo bisa dengan mudahnya memberi izin pada pria itu tanpa mempedulikan protokol izin masuk teritori seperti yang biasanya selalu ditekankan pada semua serigala dan vampir yang berniat masuk ke dalam wilayah Pedrosa. Pria itu meminta izin lima menit sebelum memasuki wilayah keluarganya. Lima menit. Padahal seharusnya, jika pihak asing ingin memasuki wilayah Pedrosa, izin itu baru bisa diperoleh paling cepat sehari sebelumnya.Tidak, tidak. Lebih baik ia tidak memikirkannya la
Veronica menatap layar smartphonenya, penuh cemas. Ini sudah seminggu sejak Bianca mengatakan akan menyelidiki vampir-vampir yang mendatangi apartemennya itu, dan sampai sekarang ia belum mendapat kabar dari sahabatnya itu. Berulang kali ia mengirim chat pada Bianca, berharap sahabatnya itu akan membalas pesannya. Sayangnya, tidak ada jawaban. Bahkan dibaca pun juga tidak. Begitu juga dengan Stephen. Sejak hari itu ia tidak mendapat kabar apa pun dari pria itu, membuatnya menyesal karena tidak meminta ID LINE pria itu di hari pertama pertemuan mereka. Sekarang, bagaimana cara menghubungi pria itu?Urgh …Kenapa ia tolol sekali, sih?Ia mengaca
Setibanya di kediaman keluarga Pedrosa—tempat Bianca tinggal, ia segera keluar dari mobilnya sebelum Karl membukakan pintunya. Ia berlari, mencegat salah satu pelayan wanita bermata sendu yang berdiri di samping pintu masuk rumah itu, meminta pelayan itu mengantarkannya ke kamar Bianca. Pelayan itu tampak ragu saat melihatnya, namun begitu Karl yang sudah berhasil menyusulnya berdiri di belakangnya, pelayan itu akhirnya mau mengantarkannya ke kamar Bianca.Tempatnya berada saat ini tampak megah, walaupun tidak seluas mansion Karl. Sedari tadi ia tiba di kediaman Pedrosa, ia melihat banyak orang berjalan keluar-masuk. Kondisi mereka sangat mengerikan. Matanya sempat menangkap dua orang yang memegang tandu, membawa jasad seorang pria yang sudah tidak bergerak lagi masuk ke dalam rumah. Luka yang dialami pria itu sangat para
Sebulan berlalu sejak ia tinggal di rumah Karl setelah mengunjungi upacara pemakaman ibu Bianca. Ia tidak bisa mengundang Erna karena alasan identitas Bianca yang seorang vampir, sehingga mau tidak mau ia terpaksa baru memberitahu Erna beberapa hari setelahnya. Tentunya tidak mungkin berakhir baik-baik. Erna kecewa padanya dan juga Bianca, memutus kontak dengan mereka berdua, membuatnya merasa bersalah. Sama sekali tidak mau menyapanya saat di kampus. Bianca sendiri juga belum menunjukkan batang hidungnya. Mengingat betapa syoknya Bianca waktu itu, ia rasa Bianca masih membutuhkan waktu untuk menerima kematian ibunya. Agak mengejutkan memang, mengingat Bianca sama sekali tidak pernah mengungkit keluarganya. Hanya sekali temannya itu membicarakan keluarganya, itu pun penuh emosi dan kejengkelannya pada kedua orangtuanya yang terus mengasingkan Theo, saat mereka baru saja lulus SMA. Setelah itu, Bianca tidak pernah lag
Theodore baru saja membubarkan rapat harian keluarga Pedrosa untuk membicarakan rencana mereka selanjutnya saat terdengar suara ketukan pintu berulang kali dari luar. Ia memijat di antara alisnya, lalu menyuruh orang yang mengetuk pintu tadi untuk masuk ke dalam. Tidak perlu mengira-ngira siapa yang mengetuknya, karena ia sudah tahu.“Baru selesai?” tanya Bianca, adik perempuannya, berjalan masuk ke dalam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling sebelum akhirnya menghampirinya. “Belum ada perkembangan dengan hasil penyelidikan anggota kita yang berkhianat?”“Belum. Tapi kelompok yang menyerang temanmu itu sudah ditangkap. Tinggal menunggu keputusan dari pusat untuk menjatuhkan hukuman mati. Walaupun agak sangsi, mengingat kamu tahu send
Karl menyisingkan kerah lengannya, mengecek jam di smartwatch-nya yang terpasang di pergelangan tangan kirinya. Sudah tepat pukul delapan malam dan ia masih belum juga melihat kehadiran Nikki. Udara di luar pada malam hari terasa jauh lebih dingin dibandingkan saat hari masih siang. Mungkin karena sudah memasuki musim gugur dan ia tidak berada di dalam mobilnya. Perasaannya mulai tidak enak. Dikeluarkannya smartphone yang ia selipkan di saku dalam jas abu-abu yang ia gunakan saat ini, membuka layar smartphonenya untuk melihat isi pesan teks. Masih tidak ada jawaban sejak lima belas menit ia mengirim pesan pada Nikki, mengabari wanita itu bahwa ia sudah tiba. Apa sebaiknya ia masuk ke gedung apartemennya untuk menjemput wanita itu sambil melihat situasinya saat ini? Bisa s