-1-
Dering ponsel di saku kiri, membuat Theo terperanjat dan bergegas menghentikan aktivitas. Pria yang bernama lengkap Theonardus Liem itu segera mengambil benda yang tak hentinya berdering, dan mengernyitkan dahi saat melihat nama yang telah memanggil."Ya, Mbak?" sapa Theo.
"Buruan masuk, Nadine mabuk nih!" seru Indira, perempuan muda yang merupakan sahabat dari Nadine Alexandra, bos-nya Theo.
Theo menutup telepon dan mematikan rokok, menginjaknya dengan cepat dan jalan memasuki sebuah lounge di kawasan Thamrin.
Suasana dalam ruangan yang tidak terlalu terang, membuat Theo sedikit kesulitan untuk menemukan posisi tempat duduk bos dan ketiga rekannya tersebut.
Pria bertubuh tinggi itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan akhirnya bisa menemukan keempat perempuan itu yang tengah duduk di kursi bagian sudut kiri.
Theo jalan mendekat dan disambut Indira dengan omelan yang tidak terlalu jelas. Theo mengabaikan perempuan bertubuh kurus itu dan memegangi lengan Nadine yang sudah mabuk.
"Bu, ayo, kita pulang," ajak Theo. Dalam hati dia mengumpat karena sekali lagi harus menggendong sang bos yang tengah mabuk berat.
Santi, sahabat Nadine membantu Theo untuk mengangkat tubuh Nadine yang cukup padat. Sementara Elsa, sahabat setia Nadine sejak masih SMP, membantu membawakan tas milik Nadine.
Indira berjalan dengan sedikit sempoyongan, hingga akhirnya dipapah oleh Elsa. Mereka jalan beriringan menuju dua buah mobil yang diparkir berdampingan.
Santi membukakan pintu penumpang, Theo segera meletakkan Nadine yang nyaris tidak sadarkan diri itu ke jok mobil. Tak lupa memasangkan sabuk pengaman agar perempuan muda tersebut tidak terjatuh.
"Hati-hati, Theo," ucap Santi.
Theo mengangguk dan bergegas masuk ke bagian pengemudi. Menyalakan mesin dan memasang sabuk pengaman. Memundurkan mobil dan ke luar dari tempat parkir.
Mobil mewah hitam mengilat itu melaju menembus jalanan yang cukup ramai. Melewati gerbang tol, Theo memacu kendaraan dengan lebih cepat.
Sesekali terdengar suara Nadine yang meracau tidak jelas. Theo hanya melihat sekilas untuk memastikan bos-nya tidak apa-apa.
Sesampainya di gedung apartemen mewah di kawasan Pluit, Theo memarkir mobil di tempat biasa. Melepaskan sabuk pengamannya dan Nadine, membuka pintu dan menutupnya dengan cepat.
Pria beralis tebal itu berpindah ke pintu penumpang, membuka pintu itu dan mengangkat tubuh Nadine. Sekali lagi dia harus menggendong sang bos, dan menutup pintu mobil dengan menggunakan kaki kanan.
Setelah mengunci mobil, Theo bergegas menuju lift khusus pemilik kondominium. Memasuki lift dan menurunkan kaki Nadine ke lantai lift. Merangkul pundak gadis itu dan memencet tombol lift. Menunggu benda ini bergerak menaiki lantai demi lantai dengan sedikit tidak sabar.
Saat pintu lift terbuka, Theo menggendong lagi tubuh Nadine yang masih lemas. Memasuki unit apartemen mewah tersebut dan bergegas ke kamar.
Theo bersusah payah membuka pintu kamar, dan masuk dengan cepat. Membaringkan Nadine di atas tempat tidur yang sangat empuk dan wangi. Melepaskan sepatu gadis yang berusia dua puluh lima tahun itu dan meletakkannya di lantai.
"Bagas, tega banget kamu," lirih Nadine.
Theo memandangi wajah sang bos yang tampak sedih. Tertegun saat gadis itu terisak pelan dan menumpahkan bulir bening dari sudut mata.
Mengikuti intuisi, pria berkulit kuning langsat tersebut mengusap aliran air di pipi Nadine. Tertegun saat menyadari bahwa pipi gadis ini ternyata sangat halus.
Selama dua tahun mengabdi sebagai supir pribadi, hubungan mereka memang cukup dekat. Nadine sering menjadikan Theo sebagai tempat curahan hatinya.
Nyaris tidak ada cerita tentang dirinya yang tidak diketahui oleh Theo. Termasuk perihal kandasnya hubungan cinta antara Nadine dan Bagaskara Praditya, seorang pria tampan dan pengusaha muda yang berusia dua puluh tujuh tahun.
Hubungan yang terjalin selama satu tahun terakhir ini sepertinya menjadi pelabuhan hati terakhir bagi Nadine. Perempuan berkulit putih itu benar-benar jatuh cinta pada Bagaskara.
Nadine benar-benar terpukul, saat dua minggu lalu Bagaskara tiba-tiba saja memutuskan hubungan mereka, dengan alasan ingin kembali pada mantan pacarnya dulu yang bernama Yuri Madika, seorang perempuan keturunan Jepang yang berprofesi sebagai model terkenal.
Theo menjadi saksi akan keterpurukan Nadine. Harus menahan hati bila harus menemani gadis itu ke klub mahal, hanya untuk bermabuk-mabukan bersama sahabat-sahabatnya.
Malam ini merupakan kali keempat Nadine mabuk, sekaligus yang terparah. Perempuan berhidung bangir itu kembali meracau sambil menyebut nama Bagaskara.
Saat Theo hendak berdiri, tiba-tiba Nadine menarik tangannya. Theo menoleh dan mendapati Nadine sedang berusaha untuk duduk.
"Kamu tahu nggak, Bagas, kalau aku itu benar-benar cinta sama kamu!" seru Nadine sambil memandangi wajah Theo yang mengerutkan dahi dengan bingung.
"Saya bukan Bagas, Bu. Saya, Theo," sahut pria berambut tebal itu dengan pelan.
"Diam! Dengarkan aku ngomong!" Nadine mengacungkan jari telunjuk ke depan wajah Theo yang terdiam. "Apa kurangnya aku dibandingkan dengan dia? Aku jelas lebih cantik dan kaya!"
Theo menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Berusaha sedapat mungkin untuk bersikap tenang dan santai, walaupun sebenarnya saat ini dia ingin mengguncangkan pundak Nadine agar gadis itu bisa sadar kembali.
"Apa aku kurang seksi, hah?" Nadine menatap Theo yang menggeleng pelan.
"Atau, kamu ninggalin aku, karena tidak memberikan apa yang kamu minta, betul?"
Theo menghela napas dan menggeleng lagi. Tetap berusaha untuk bersikap tenang.
"Apa aku harus memberikannya padamu saat ini? Agar kamu paham akan besarnya cintaku?" Nadine memajukan tubuh dan melingkarkan tangan di leher Theo yang kebingungan.
"Bu, maaf, saya Theo." Pria berwajah tampan itu mencoba melepaskan tangan Nadine. Akan tetapi, perempuan itu malah menaiki tubuh dan duduk di atas pangkuan Theo.
"Diam!" seru Nadine sambil memiringkan kepala ke kiri dan kanan. Mengamati pria di hadapan dengan pandangan mengabur.
Theo terperangah saat Nadine menarik tangan kanannya dan beralih mengelus pipi pria itu dengan pelan. Theo seolah-olah terpaku dan tidak bisa menghindar. Hanya mampu memandangi wajah perempuan muda yang cantik itu dengan dada berdegup kencang.
"Kumis kamu mulai panjang, Sayang," lirih Nadine sembari terus mengusap bagian atas bibir Theo, yang berusaha sedapat mungkin untuk menguasai diri.
"Tapi aku suka, karena sensasinya berbeda," lanjut Nadine.
Seulas senyuman tipis menghiasi wajahnya yang cantik. Perempuan itu semakin mendekat dan membuat Theo menahan napas.
Degup jantungnya semakin tidak terkendali. Susah payah pria bertubuh tinggi itu menahan tangan agar tetap berada di tempatnya. Akan tetapi, saat bibir Nadine menempel, Theo refleks membuka bibir. Menikmati setiap sentuhan lembut gadis itu dan membiarkannya terlena.
Tangan Theo yang terkepal akhirnya membuka. Menari di paha hingga pinggang Nadine. Gumaman gadis itu kian kencang dan menjadikan Theo semakin kesulitan untuk mengendalikan diri.
-2-Nadine menekan kepala Theo, dan memperluas sentuhan dengan isapan kuat. Napas gadis itu mulai terengah-engah, demikian pula dengan Theo.Tangan pria itu merambat naik. Menyusuri punggung hingga leher belakang Nadine. Berpindah ke leher depan dan mengusap rambut dan pipi gadis itu dengan lembut.Sejenak pria itu terdiam, menatap wajah perempuan yang tengah dibuai dalam dekapan dengan hasrat yang bergelora. Namun, alarm di otaknya berbunyi dan membuat Theo menghentikan ciuman. Menarik diri dan menempelkan ibu jari di sudut bibir Nadine yang masih memejamkan mata."Tidurlah, Bu, sudah malam," bisik Theo dengan suara bergetar.Nadine membuka mata dan sejenak merasa linglung. Gadis berkulit putih bersih ini memiringkan kepala ke kanan sambil mengusap rahang Theo yang mengeras. "Bukankah ini yang kamu inginkan, Bagas? Ayolah, aku akan memberikannya padamu," lirih Nadine dengan mata berembun.Theo menatap wajah sang bos denga
-3-"Aku tidak mau!" tegas Nadine, tak peduli saat Theo mengernyitkan dahi. "Coba deh kamu pikir, gimana caranya bisa balas dendam kalau hidup sederhana?" tanya Nadine dengan mata menyorot tajam.Theo mengusap rambut dengan tangan, merasa bahwa ucapan Nadine ada benarnya. Pria bertubuh tinggi itu memasukkan tangan ke saku celana dan menyandarkan diri ke dinding. "Oke, saya setuju. Tapi kita tidak akan tinggal di sini," ujarnya."Hmm, terus mau tinggal di mana?""Rumah saya.""Tidak mau! Rumahmu ... sempit."Theo terkekeh, mengangguk menyetujui pendapat Nadine. Rumah miliknya memang kecil, hanya sebuah rumah di perumahan sangat-sangat sederhana sekali."Begini saja, supaya adil, kita gantian tiap minggunya tinggal di mana. Karena aku jelas-jelas tidak mau dianggap mengejar kekayaanmu," usul Theo. Sengaja mengubah panggilan dari saya ke aku, agar bisa merasa lebih dekat.Nadine tampak terdiam
-4-Beberapa menit kemudian, Pak Daniel sudah duduk berhadapan dengan Theo. Menikmati makanan tanpa suara. Yang terdengar hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Nadine dan Theo sesekali saling melirik. Tangan pria bertubuh tinggi itu terulur dan menggenggam jemari Nadine yang sangat dingin di atas pahanya. Perempuan berbibir tipis itu berusaha menenangkan gemuruh dari dalam hati. Entah kenapa, ada rasa gugup dan aneh bila Theo menyentuhnya."Kalian nginap di sini 'kan?" tanya Bu Rianti sambil mengedipkan sebelah matanya."Iya, Mi. Kebetulan besok Na ada janji mau ketemu Hera," jawab Nadine."Hera yang berkacamata itu, ya? Udah lama dia nggak ke sini." Bu Rianti mengusap punggung tangan kiri sang suami yang masih diam membisu."Hu um, sibuk dia, Mi. Kan usaha wedding organizernya lagi naik daun sekarang," jelas Nadine."Kamu beneran serius mau menikah dengan Theo?" Suara berat Pak Dan
-5-Nadine merasakan pipinya kembali menghangat. Tidak mampu menolak saat bibir penuh pria tersebut menyusuri setiap inci wajahnya. Bergeser sedikit demi sedikit hingga menyentuh rahang lembutnya dan membuat Nadine mendesah tanpa sadar.Theo menurunkan bibir dan membasahi leher jenjang itu dengan kecupan basah. Sedikit berlama-lama untuk menikmati keharuman tubuh perempuan itu. Bertambah semangat saat Nadine meremas rambutnya dengan suara lenguhan kecil di bibir yang sensual.Pria bertubuh gagah itu menarik diri dan mengusap pipi halus Nadine. Menatap sepasang mata sipit beriris cokelat muda itu sesaat, sebelum akhirnya mencumbui bibir Nadine yang merespon dengan hangat.Pagutan melenakan itu membuat mereka lupa dengan keadaan bahwa mereka belum menikah. Keinginan untuk dipuaskan semakin menghebat. Tangan Nadine mencengkeram erat pundak Theo agar tubuh mereka menempel.Tiba-tiba Theo menghentikan ciuman dan menarik diri. Mena
-6-Setibanya di kediaman orang tua Nadine, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir di depan garasi. Theo mengarahkan mobil ke sebelah kanan dan berhenti. Segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk bos-nya, yang sebentar lagi akan menjadi pengantinnya.Nadine jalan memasuki rumah dari pintu samping yang berhubungan dengan garasi. Pekikan kecil terdengar dari bibirnya, saat tubuh tiba-tiba dirangkul dari belakang dan diiringi dengan jitakan kecil di kepala."Bagus, ya! Mau nikah nggak ngomong-ngomong!" protes suara berat yang sangat dikenal."Aduh, sakit tau, Ko!" hardik Nadine sembari membalikkan badan dan balas memeluk sang koko."Rasain! Bisa-bisanya aku dilangkahi begitu aja. Untung tadi Mami langsung nelepon, jadi bisa cepat-cepat ke sini," sahut pria bertubuh sedang itu seraya tersenyum lebar. Mendaratkan kecupan di dahi sang adik dan kembali memeluknya."Ehm, Ko, engap!" protes Nadine yang m
-7-Pria berparas manis itu memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Membantu Nadine yang masih terkaget-kaget itu untuk turun."Aku mau pulang ke apartemen," pinta Nadine."Nanti malam kuantar, sekarang di sini dulu. Aku mau istirahat, capek," balas Theo sambil membuka pintu bagian belakang dan mengangkat dua tas travel mereka.Pria bertubuh tinggi itu melangkah menaiki teras rumah bercat biru gelap tersebut, merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci. Memasukkan salah satunya dan membuka pintu."Ayo," ajaknya pada Nadine yang masih mematung.Theo melangkah masuk dan menyalakan kipas angin besar di langit-langit ruangan. Nadine menyusul dengan ragu-ragu dan duduk di kursi sederhana. Memindai sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk.Pria berambut cepak itu berbelok ke kiri dan memasuki kamar utama. Menyalakan pendingin udara setelah sebelumnya meletakkan kedua tas travel di lantai.&n
-8-"Apa kamu mau nginap di sini?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman."Ehm ... oke. Tapi, besok berarti kita harus bangun pagi-pagi banget. Karena aku ada rapat penting," jawab Nadine dengan suara pelan.Tatapan Theo seolah-olah membiusnya untuk tetap diam dan tidak memberontak saat bibir pria itu menyusuri pipi hingga telinganya. Tanpa sadar tangan Nadine terangkat dan merangkul leher Theo.Pria itu merapatkan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan bagian lain wajah ayu perempuannya. Deru napas hangat keduanya berpadu dengan isapan lembut. Nadine meremas rambut Theo dan membiarkan pria itu menguasai bibirnya.Tiba-tiba Theo mengangkat tubuh Nadine dan menggendongnya. Berjalan menuju kamar tanpa menghentikan ciuman panas mereka. Mendudukkan perempuan itu di atas meja rias dan menyusuri setiap lekuk tubuh dengan tangan terlatih.Dengan gerakan cepat semua yang menutupi tubuh pun terlepas. Theo merunduk
-9-Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri."Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu."Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas."Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri