Share

Bercinta Sepanjang Hari

-4-

Beberapa menit kemudian, Pak Daniel sudah duduk berhadapan dengan Theo. Menikmati makanan tanpa suara. Yang terdengar hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. 

Nadine dan Theo sesekali saling melirik. Tangan pria bertubuh tinggi itu terulur dan menggenggam jemari Nadine yang sangat dingin di atas pahanya. Perempuan berbibir tipis itu berusaha menenangkan gemuruh dari dalam hati. Entah kenapa, ada rasa gugup dan aneh bila Theo menyentuhnya. 

"Kalian nginap di sini 'kan?" tanya Bu Rianti sambil mengedipkan sebelah matanya. 

"Iya, Mi. Kebetulan besok Na ada janji mau ketemu Hera," jawab Nadine. 

"Hera yang berkacamata itu, ya? Udah lama dia nggak ke sini." Bu Rianti mengusap punggung tangan kiri sang suami yang masih diam membisu. 

"Hu um, sibuk dia, Mi. Kan usaha wedding organizernya lagi naik daun sekarang," jelas Nadine. 

"Kamu beneran serius mau menikah dengan Theo?" Suara berat Pak Daniel membuat ketiga orang tersebut terdiam. 

Nadine menelan ludah sebelum akhirnya mengangguk mengiakan pertanyaan sang papi yang menatapnya dengan tajam. 

"Kalian berdua, ikut ke ruang kerja!" titah Pak Daniel sambil berdiri dan jalan menjauh. 

Nadine beradu pandang dengan Theo yang membalas dengan anggukan dan seulas senyuman tipis yang membuat hatinya berdebar. 

"Ayo, buruan sana! Entar papimu ngamuk lagi," tukas Bu Rianti. "Nggak usah takut, paling diomelin doang," lanjutnya sembari terkekeh. Tak peduli sang putri mengerucutkan bibir. 

Theo berdiri dan membantu Nadine berdiri. Mengajak perempuan berparas cantik itu jalan bersama menuju ruang kerja milik Pak Daniel, yang berada di lantai dua rumah ini. 

"Nanti biar aku yang ngomong, kamu manut aja," ujar Theo saat mereka menaiki tangga. 

"Yakin?" tanya Nadine ragu-ragu. 

"Tenang aja, ini pembicaraan antara pria." Theo meremas jemari Nadine dengan pelan, seakan-akan hendak mengalirkan kekuatan pada perempuan berhidung bangir ini. 

Pria berambut cepak itu berusaha meneguhkan hati, berharap bisa menemukan kata-kata terbaik untuk bisa meyakinkan bos besarnya. 

Setibanya di ruang kerja yang mewah itu, kedua sejoli tersebut melangkah mendekat dan duduk di sofa panjang, berhadapan dengan Pak Daniel yang duduk di sofa tunggal. 

Sesaat hening, yang terdengar hanya suara burung peliharaan Pak Daniel di taman kecil yang berada di sebelah ruangan ini. 

"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" tanya Pak Daniel tanpa basa-basi. 

"Sekitar tiga bulanan, Pak," jawab Theo. 

"Tiga bulan? Bukannya waktu itu Nadine masih pacaran dengan Bagas?' Pak Daniel mengerutkan dahi. 

"Udah nggak, Pi, aku udah putus sama Bagas dua minggu sebelum jadian sama Theo," sela Nadine, terpaksa berbohong agar papinya tidak curiga. Padahal kenyataannya dia baru ditinggalkan dua minggu oleh Bagaskara, pria berwajah tampan yang membuatnya jatuh cinta setengah mati. 

Pak Daniel manggut-manggut, kemudian kembali mengalihkan pandangan pada pria muda berbadan tegap di seberang. Mencoba menyelami karakter Theo yang tidak terlalu dikenalnya. 

"Apa tujuanmu menikahi anakku? Demi harta?" tanya pria dewasa itu dengan tatapan menyelidik. 

Theo menggeleng dengan cepat,"tidak, Pak. Saya ... sudah lama menyukai Nadine. Tapi hanya bisa mengagumi dari jauh karena ada pria lain di sisinya," terang Theo. 

"Saat Nadine dan Bagaskara berpisah, akhirnya saya putuskan untuk mengungkapkan perasaan, daripada keduluan yang lain," lanjut pria beralis tebal tersebut dengan mantap. 

Sementara Nadine hanya bisa memandanginya dengan mata membulat. Merasa sedikit kagum dengan kebohongan yang diucapkan Theo dengan lancar. 

"Bagaimana kamu akan menghidupi anakku? Karena tidak mungkin kamu akan terus menjadi supir." 

"Saya berencana membuka bengkel, Pak, dari uang tabungan saya selama bertahun-tahun bekerja. Saya tahu pasti hasilnya tidak sebanding dengan kekayaan keluarga Bapak, tapi saya akan berusaha keras untuk membahagiakan Nadine dengan kemampuan sendiri." 

"Hmm, pemikiran yang bagus." Pria dewasa itu tampak mulai melunak. "Karena setelah pernikahan kalian, Nadine bukan lagi direktur perusahaan," lanjutnya yang membuat sang putri terperangah. 

"Papi!" seru Nadine. 

"Itu konsekuensi kalau kamu ngotot untuk tetap nikah sama Theo, Na!" tegas sang papi. 

"Tapi, Na nggak mau nganggur dan jadi istri di rumah seharian," rajuk sang anak dengan sedikit manja. 

"Papi nggak akan mencabut fasilitas apartemen dan lain-lain, kamu cuma diberhentikan dari jabatan direktur. Selanjutnya, kamu bisa buka usaha sendiri 'kan." 

"Ehm, maaf menyela, jadi Bapak setuju bila kami menikah?" tanya Theo menjeda percakapan Papi dan anaknya itu.

Pak Daniel menatap pria muda berahang kokoh tersebut seraya mengangguk. "Apa mau dibatalkan?" candanya yang dibalas Theo dengan senyuman lebar. 

"Ehh, bentar, jadi Papi setuju?" tanya Nadine memastikan pendengarannya. 

"Iya, setuju, dengan persyaratan tadi. Kalian berusaha sendiri, papi cuma memantau," sahut Pak Daniel. Beliau akhirnya mengalah karena melihat tatapan hangat dari Theo untuk putrinya. Tatapan yang sama pernah dilakukannya pada sang istri. 

Nadine berdiri dan memeluk tubuh lelaki kesayangan itu dengan erat. "Makasih, Pi," ucapnya tulus. 

"Sama-sama, Sayang. Ingat, setelah menikah, jadilah istri yang baik," sahut pria dewasa itu dengan menahan rasa sesak dalam dada. Putri kecilnya telah dewasa. Sebentar lagi dia akan kehilangan hak atas diri anak kesayangannya itu. 

"Theo, minta orang tuamu untuk datang secepatnya. Agar bisa berembuk dengan serius," pinta Pak Daniel sesaat setelah Nadine melepaskan pelukan dan duduk di sandaran sofa di sebelahnya.

"Siap!" jawab Theo dengan mantap. 

Sesaat dia beradu pandang dengan Nadine. Semburat merah muda di pipi perempuan itu membuat hatinya menghangat. 

Tiga puluh menit kemudian, kedua anak muda tersebut telah berada di kamar pribadi milik Nadine. Perempuan berleher jenjang itu langsung merebahkan diri di atas tempat tidur. Menarik boneka beruang putih gading dan memeluknya dengan erat. 

Sementara Theo berdiri di dekat jendela dan memandangi kolam renang di belakang rumah dengan tatapan menerawang. 

"Theo, kamarmu di sebelah," ujar Nadine. 

Theo membalikkan tubuh dan memandangi paras menawan perempuan itu sesaat, kemudian melangkah mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. "Aku pengen tidur di sini," sahutnya sambil merebahkan diri. 

Nadine sontak memukuli lengan Theo sambil menggerutu. "Jangan cari kesempatan, ya. Ingat, kita lagi akting!" 

Theo mencekal pergelangan tangan perempuan itu sembari mendekat. "Akting itu harus maksimal dan totalitas," sahutnya dengan suara berat. 

"Kamu mau apa?" cicit Nadine sambil menolak tubuhnya, tapi lengan kekar Theo sudah lebih dulu merengkuh dan memeluknya dengan erat. 

"Menurutmu, aku mau apa?" balas Theo dengan senyuman tipis menghiasi wajahnya yang tampak berkilau. 

"Jangan macam-macam, Theo," lirih Nadine. Dia tidak sanggup untuk mengalihkan pandangan dari pria itu dan seolah-olah terhipnotis oleh sepasang mata beriris hitam tersebut.

"Aku cuma pengen satu macam kok," timpal Theo sembari menempelkan bibir di pipi Nadine. "Menciumimu dan bercinta sepanjang hari," lanjutnya dengan berbisik. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status