Share

EMPATI AYU

Meskipun di luar rencana bagaimana akhirnya Raka menceritakan masa lalu keluarganya pada Ayu, namun Raka merasa lega karena ternyata wanita itu menaruh rasa empati pada ibunya. Dari cerita Ayu juga lah Raka tahu banyak tentang masa lalu wanita itu yang ternyata juga penuh kepahitan karena pengkhianatan sang suami. 

 

Perlahan ada getaran aneh dalam hati Raka saat malam itu mengingat Ayu. Apa yang dia rasakan pada wanita yang usianya terpaut 10 tahun lebih tua darinya itu sepertinya perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Entah apa ini hanya karena  kasihan atau suka, Raka belum begitu yakin. 

 

Namun, setelah keduanya sama-sama saling jujur di dalam ruangan Ayu tadi siang, Raka merasakan bebannya sedikit berkurang. Entah kenapa dia merasa sangat nyaman dengan wanita itu. Ayu yang sangat perhatian saat mendengarkannya menumpahkan segala kekesalannya pada sang ayah. Dan setelah beberapa saat dia berpikir, ternyata baru kali ini dia bisa begitu terbuka dengan seorang wanita tentang masa lalunya.

 

Saat pikiran Raka belum juga terlepas dari sosok wanita bernama Ayu itu, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya.

 

[Sudah tidur, Raka?] 

 

Ayu ternyata yang mengiriminya pesan. Raka melirik jam di ponselnya. Sudah hampir tengah malam, dan wanita itupun ternyata belum tidur. 

 

[Belum. Kamu sedang apa sekarang? Kenapa belum tidur?]

 

[Aku sedang memikirkanmu. Memikirkan apa yang kita bicarakan tadi siang di kantor.]

 

[Kamu tidak usah ikut memikirkan itu, Yu. Simpan tenaga untuk pekerjaanmu besok.]

 

[Aku akan memecat ayahmu. Apa kamu akan senang kalau aku melakukan itu?]

 

[Kamu serius?]

 

[Aku tidak pernah main-main. Apalagi jika itu menyangkut dirimu.]

 

Raka rasanya melayang membaca kalimat terakhir wanita yang sejak tadi mengganggu pikirannya itu.

 

[Jika Kamu memiliki alasan yang tepat untuk memecatnya aku lebih senang. Maksudku, jangan hanya karena aku.]

 

[Tentu saja aku bisa. Aku bisa melakukan apa saja di perusahaanku sendiri, Raka. Tidurlah sekarang, aku akan mengurus ayahmu besok.]

 

[Baiklah. Thanks, Yu.]

 

[Aku senang bisa melakukan sesuatu untukmu, Raka. Aku merindukanmu.]

 

Raka bukannya tak tahu jika Ayu selama ini mendekatinya karena wanita itu tertarik padanya. Tapi membaca ungkapan perasaan langsung seperti yang ditulisnya sekarang di pesannya itu membuat jantung Raka seolah berhenti berdetak. Apakah dia juga telah jatuh cinta pada wanita itu?

 

Beberapa menit berikutnya Raka mencoba memejamkan mata. Hatinya begitu tenang setelah perbincangannya via w******p dengan Ayu. Kini dia seperti memiliki seorang teman. Bertahun tahun hidupnya yang hanya digunakannya untuk bekerja dan bekerja sepertinya telah sedikit berubah haluan. Raka menarik nafas panjang sebelum akhirnya terlelap.

.

.

.

"Belum tidur, Pah?" tanya Mayang saat melihat suaminya ternyata masih bersandar di headboard tempat tidur saat dia memasuki kamar.

 

"Belum mengantuk," jawab Romi sekenanya. 

 

"Lagi mikirin apa?" tanya wanita berambut panjang sedikit ikal itu penasaran, lalu mendudukkan diri di sebelah suaminya. Romi nampak mengatur nafasnya sebelum mulai bicara. 

 

"Hari ini aku bertemu Raka di kantor."

 

"Kantor siapa? Kantor Papa? Mau ngapain dia? Minta uang?" cerocos wanita itu. Romi memandang istrinya sedikit jengah. Kenapa istrinya ini cerewet sekali? gerutunya dalam hati. 

 

"Raka tidak pernah mau meminta apapun dariku, Mah. Kamu tau itu kan?"

 

"Kalau gitu ngapain dia menemui Papa di kantor kalau nggak mau minta-minta?"

 

"Dia diundang bu Direktur untuk menghadiri rapat divisi pemasaran."

 

"Apa?" Mata Mayang membelalak. "Dia diundang bu Ayu? Papa serius? Memangnya anak lelakimu itu kenal sama bu Ayu?"

 

"Itulah yang aku tidak tahu," ucap Romi putus asa. 

 

"Aneh," kata Mayang mengerutkan dahi. 

 

"Aku juga merasa aneh."

 

"Trus, kira-kira dia  ngapain Pah disana?"

 

"Ya nggak tahu, Mah. Tapi perasaanku kok jadi nggak enak ya, Mah."

 

"Nggak enak gimana?"

 

"Ya nggak enak aja. Aku merasa ada yang tidak beres.. Tapi apa?"

 

"Ah, itu cuma perasaanmu saja, Pah. Memangnya apa yang bisa dilakukan anak ingusan itu? Harta juga dia nggak punya. Palingan dia cuma disuruh bu Ayu bersihin ruangan rapat kali. Ya kan? Siapa tau?" Mayang mencoba menenangkan gundah sang suami.

 

"Enggak, Mah. Aku lihat tadi dia itu akrab banget sama Bu Ayu." 

 

ā€œAkrab banget gimana maksud Papa? Mereka pacaran gitu? Nggak mungkin kan direktur perusahaan besar suka sama anakmu yang gelandangan itu." Mayang mendengus.

 

"Ngomongnya yang baik lah, Mah. Bagaimanapun kan dia tetap anakku. Tapi, nggak mungkin sih kalau mereka pacaran. Usia mereka jauh bedanya lho, Mah."

 

"Makanya itu, nggak mungkin kan? Lha trus maksud Papa mereka dekat gimana?"

 

"Ya aku nggak tahu Mah. Ah kamu ini mendesak terus. Udah ah aku pusing. Dari tadi mikirin itu kepalaku jadi sakit." Romi memilin pelipisnya yang terasa sakit.

 

"Ya udah tidur aja. Ngapain juga pakai mikirin anak nggak tahu diri kayak gitu," gerutu sang istri. 

 

Saat beberapa menit kemudian suara dengkuran suaminya terdengar, Mayang justru jadi gantian tidak tenang. Dia tidak bisa memejamkan matanya karena memikirkan apa yang baru saja dibicarakan suaminya. Tiba-tiba saja dia jadi kepikiran anak sulung suaminya itu. Ada rahasia apa sebenarnya yang disimpan anak itu? 

.

.

.

Tak seperti biasanya, pagi ini Romi merasa sangat malas untuk pergi ke kantor. Mayang yang melihat suaminya lesu di meja makan jadi cemberut. 

 

"Kenapa sih Pah, lemes gitu?" 

 

"Nggak tahu, Mah. Papa rasanya capek." 

 

"Kenapa sih? Mau bolos kerja? Jangan Pah, secapek apapun Papa harus masuk kerja. Nanti kalau kebanyakan bolos Papa bisa dipecat lho," selorohnya.

 

"Mamah nih. Kalau Papa capek pengen istirahat biarin aja minta ijin nggak kerja dulu kan nggak papa," celetuk Mayla yang duduk di seberang sang mama.

 

"Ah, Kamu anak kecil tahu apa? Habiskan makananmu jangan suka ngurusin masalah orang tua, May," hardik Mayang ke anak gadisnya.

 

"Ya maaf Mah, Mayla kan hanya usul. Kan kasian Papa kalau capek disuruh kerja terus. Nanti Papa bisa sakit."

 

"Papamu memang harus kerja keras, Sayang. Kalau papamu sakit nggak bisa kerja nanti kita makan apa dong, buat bayar sekolah kamu pakai apa, buat shopping mama pakai uang siapa? Repot kan?"

 

"Astaghfirullah Mah, kenapa ngomongnya begitu amat sih?" Mayla mendesis mendengar kalimat mamanya.

 

"Haishh! Jadi anak jangan kebanyakan protes ah."

 

"Sudah! Sudah! Kalian berdua ini ngeributin apa sih? Ibu dan anak tiap hari kerjaannya bantah-bantahan terus. Akur apa nggak bisa?" Romi mulai tersulut emosi. Di tengah suasana hatinya yang nggak bagus, istrinya justru membuat masalah dibanding menenangkannya. 

 

Dengan langkah tak bersemangat, Romi akhirnya berangkat juga ke kantor sekalian mengantarkan Mayla ke sekolah. Suasana hatinya yang kacau membuatnya tak banyak bicara di dalam mobil. Sementara anak perempuannya sibuk dengan ponselnya di tangan. 

 

Semenit yang lalu gadis remaja itu mengirimkan pesan pada sesorang karena melihat status orang tersebut yang nampak sedang online. 

 

[Hai, Kak Raka. Sedang apa? Apa kakak ingat aku?]

 

[Siapa ya?]

 

Gadis remaja itu sedikit kecewa karena ternyata Raka tidak mengingatnya. Namun kemudian dia tersenyum mengingat bahwa Raka memang tidak menyimpan kontaknya di ponselnya. 

 

[Aku Mayla, Kak. Yang waktu itu nggak sengaja kakak tabrak dan antar pulang.]

 

[Oooh yang itu. Gimana keadaanmu sekarang? Sudah sembuh?]

 

[Alhamdulillah sudah, Kak]

 

 

Dan selesai. Raka ternyata hanya membaca pesannya dan tidak membalasnya lagi. Gadis remaja itu makin kecewa dibuatnya.

.

.

.

Sampai di kantor, Romi langsung menuju ke ruangannya. Seperti biasa dia segera menghidupkan laptop dan memperhatikan beberapa file yang kemarin belum sempat diselesaikannya. 

 

Hari ini rasanya tubuhnya juga agak kurang sehat. Namun demi istrinya yang bawel itu, Romi nekat juga berangkat ke kantor. Dia tahu bahwa bagi Mayang harta itu segalanya. Beberapa tahun belakangan Romi baru sadar bahwa istrinya yang cantik itu memang sangat materialistis. Bahkan seringnya, gaji kantornya ludes dalam sekejap tanpa sempat untuk disisakan untuk ditabung.

 

Kebiasaan belanja istrinya yang gila-gilaan serta kehidupannya berbaur dengan banyak sosialita membuat wanita itu seperti ketergantungan. Tak pernah bisa lepas dari kegiatan-kegiatan tidak bermanfaat yang menghambur-hamburkan uang. 

 

Saat sedang sibuk memikirkan sang istri, tiba-tiba pintu ruangan Romi diketuk oleh seseorang

 

"Masuk!" ucapnya. Dan kepala HRD ternyata yang muncul dari balik pintu dengan wajah sedikit tegang.

 

"Pak Romi, anda disuruh ke ruangan bu Ayu.sekarang."

 

"Ada apa, Pak?" tanyanya keheranan. 

 

"Saya belum diberitahu masalahnya, Pak. Tapi Anda diminta segera kesana."

 

"Oke baiklah kalau begitu. Sebentar lagi saya kesana," ucap Romi sambil merapikan sedikit rambut dan pakaiannya.

 

Jantung Romi berdebar-debar seperti yang dia rasakan sebelumnya saat masih di rumahnya. Ada perasaan tidak nyaman yang menghantuinya. Apakah ini ada hubungannya dengan Raka? Kenapa direkturnya sepagi ini sudah memanggilnya?

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status