Share

PEMECATAN ROMI

"Pak Romi tau kenapa saya panggil?" tanya Ayu dengan serius di kursi kebesarannya di ruang direktur. Romi yang duduk di hadapannya hanya menggeleng bingung.

 

"Sama sekali tidak, bu Direktur."

 

"Saya baru saja mempelajari laporan kinerja Bapak selama beberapa bulan terakhir. Dan sepertinya Anda sudah banyak sekali melakukan pelanggaran, Pak."

 

"Pelanggaran apa, Bu? Sepertinya saya melakukan pekerjaan saya dengan baik selama ini," sanggah lelaki itu.

 

"Saya menghargai kesetiaan Anda pada perusahaan ini, tapi sayang banyak hal tidak baik yang luput dari perhatian Anda, Pak Romi. Di laporan kerja Anda banyak sekali saya temukan kejanggalan." Ayu menghempaskan berkas laporan kerja Romi di atas mejanya.

 

"Saya ... saya tidak mengerti, Bu," ucap Romi terbata. Lemas seketika tubuhnya ketika melihat pancaran kemarahan di wajah pimpinannya itu.

 

"Mohon maaf, tapi saya tak bisa lagi mempertahankan Anda untuk terus bekerja disini. Mulai hari ini saya bebaskan Anda dari pekerjaan, Pak Romi. Silahkan ke bagian HRD setelah ini unuk menyelesaikan urusan administrasi dan tinggalkan kantor ini secepatnya!"

 

"Tapi, bu Direktur, apa alasan saya dipecat? Saya benar-benar tidak tahu."

 

"Semuanya sudah dijelaskan di surat pemberhentian Anda di bagian HRD. Nanti bisa Anda baca sendiri. Sekarang Anda boleh pergi." Ayu segera bangkit dari kursinya. Menunjuk ke arah pintu keluar kepada Romi. 

 

"Tapi, Bu Ayu ... Saya ...." Romi ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan untuk pemecatannya ini, tapi melihat raut muka sang direktur yang tidak sedang bersahabat membuatnya urung melakukannya. Dengan tubuh lemas, dia pun segera meninggalkan ruangan Ayu. 

.

.

.

Romi benar-benar tidak menyangka bahwa hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di perusahaan yang selalu dia bangga-banggakan selama bertahun-tahun. Tidak ada yang salah dengan keterangan dalam surat pemberhentian dirinya. Kesalahan-kesalahan yang tertulis disana memang pernah dia lakukan semua. Dan semua alasannya begitu masuk akal, hingga membuat dia tidak bisa berkutik lagi saat kepala HRD memberikan hak-hak yang masih layak diterimanya untuk akhirnya menyuruhnya segera meninggalkan kantor.

 

"Kenapa jam segini pulang, Pah? Papa sakit?" Mayang menyambutnya di ruang tamu dengan keheranan melihat suaminya yang pulang padahal hari masih terlalu pagi. 

 

Dengan lemas, Romi mendudukkan dirinya ke sofa ruang tamu, kemudian dilemparkannya amplop surat pemberhentian dirinya itu ke atas meja. Mayang yang makin penasaran segera membuka amplop tersebut dan mulai membacanya. 

 

"Apa??!! Bagaimana mungkin? Papa melakukan apa sampai dipecat? Kesalahan apa yang sudah Papa lakukan?" 

 

Mata wanita itu nampak membelalak, wajahnya seketika berubah merah bersemu pucat. Campuran perasaan antara marah, kesal, dan tidak percaya yang dia rasakan saat itu. Tidak mungkin suaminya tiba-tiba dipecat seperti itu. Pasti ada yang salah? Atau jangan-jangan ...

 

"Ini pasti ada yang salah, Pah. Anak lelakimu itu pasti yang membuatmu dipecat. Mama tidak percaya ini," kata wanita itu bersungut. 

 

"Tidak mungkin, Mah. Di surat itu memang tertulis banyak sekali kesalahanku. Jadi ini nggak ada hubungannya sama Raka."

 

"Tidak mungkin bagaimana? Papa bilang kemarin Papa melihatnya di kantor bersama bu Ayu kan? Lalu hari ini Papa dipecat. Apa itu masih kurang jelas?!" 

 

Mayang benar-benar marah. Dia sangat yakin, pemecatan suaminya ini memang ada hubungannya dengan Raka, anak sulung suaminya itu. Dan dia tidak terima. 

 

"Sudahlah! Mungkin memang sudah waktunya aku cari kerjaan lain. Sudah terlalu lama aku berada di perusahaan itu," ucap Romi kemudian demi membuat istrinya berhenti tersulut emosi.

 

"Papa mau kerja apa? Memangnya gampang apa cari kerja jaman sakarang? Apalagi dengan posisi manajer seperti kemarin? Usia Papa juga sudah tua, Pah. Siapa yang mau mempekerjakan orang di usiamu yang sekarang?" Mayang nampak tersenyum sinis. 

 

"Jangan pesimis dulu, Mah. Aku juga kan banyak punya kenalan. Aku yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan lainnya yang sama baiknya dengan kerjaanku kemarin."

 

"Ah terserah papa lah. Aku nggak mau tahu ya, pokoknya Papa nggak boleh nganggur. Kebutuhan kita masih banyak, Pah. Anak kita masih kecil-kecil. Kalau mengandalkan hidup dari aset yang kita punya, kita bisa bertahan berapa lama? Lama -lama kita bisa jadi gelandangan nanti," ujarnya penuh emosi.

 

"Kamu bicara yang baik, Mah. Jangan marah-marah seperti itu. Aku juga pusing, capek. Jangan malah membuatku semakin terpuruk."

 

"Aahhh!! terserah Papa deh!" 

 

Setelah berkata seperti itu, Mayang pun segera meninggalkan suaminya yang menyandarkan punggungnya di kursi tamu dengan lemas. Seandainya dia masih bersama Rani sekarang, pasti Rani akan memberinya dukungan, bukannya malah mengomelinya seperti ini. Nasib, nasib! rutuk Romi dalam hati. 

.

.

.

"Papa nggak sarapan, Mah?" tanya anak gadis remajanya saat sarapan pagi itu.

 

"Masih molor papa Kamu di kamar," jawab Mayang malas. 

 

"Memangnya papa kenapa? Sakit?" Mayla penasaran. Dan karena mamanya hanya mengedikkan bahu padanya, gadis remaja itu pun segera bangkit dari kursi makannya dan berjalan ke kamar orang tuanya. 

 

"Pah," panggilnya sambil mengetuk pintu kamar. Namun karena beberapa kali tak ada sahutan dari dalam, Mayla segera membuka pintu kamar itu sendiri. Dan dilihatnya papanya masih terbaring di ranjang dengan pulasnya. 

 

Mayla menempelkan punggung tangannya ke dahi sang papa hingga membuat lelaki paruh baya itu membuka matanya.

 

"Ada apa, May?" tanyanya dengan suara serak.

 

"Papa sakit? Kenapa tidak bangun dan sarapan?" tanya gadis itu cemas. 

 

"Papa kurang enak badan, Sayang. Nanti agak siangan papa sarapan. Biarkan papa tidur dulu, ya?"

 

"Papa nggak ke kantor?"

 

"Tidak, Sayang. Papa sudah tidak kerja di kantor lagi. Papa sudah berhenti." 

 

"Ooh, papa sudah capek ya?" tanya anak itu polos. Romi yang melihat raut kekhawatiran pada anak gadisnya mengelus pipi anaknya dengan lembut.

 

Syukurlah, setidaknya dia punya anak perempuan yang penyayang seperti Mayla. Mudah mudahan kelak anak ini yang akan bisa merawatnya di hari tua. Karena jujur saja, Romi jadi kurang yakin dengan cinta istrinya padanya akhir-akhir ini. Karena dalam pikiran wanita itu hanya ada uang dan uang. Meskipun terkadang Romi sedikit merasa heran kenapa wajah anak ini tidak ada kemiripan sama sekali dengannya, namun Romi bisa merasakan kasih sayangnya yang begitu tulus pada dirinya.

 

"Maaf ya, Papa tidak bisa mengantarmu sekolah hari ini. Naik taksi online dulu ya, Sayang?" kata Romi.

 

"Iya nggak masalah, Pah. Papa istirahat saja. Jangan khawatirkan Mayla. Oke?" kata gadis itu ceria, membuat Romi sedikit terhibur.

 

"Ya sudah, May berangkat sekolah dulu ya, Pah?" pamitnya sambil mencium tangan dan pipi sang papa. Lalu beranjak meninggalkan lelaki itu di kamarnya. 

.

.

.

"Apa yang Anda lakukan disini, Bu? Sudah saya bilang Anda tidak boleh masuk!" Seorang satpam mencekal tangan Mayang yang berusaha menerobos masuk ke ruang direktur. 

 

Beberapa saat yang lalu wanita itu tiba di bekas kantor suaminya untuk mempertanyakan masalah pemecatan yang dilakukan terhadap lelaki itu. 

 

Saat resepsionis menolak mengijinkannya bertemu dengan sang direktur, Mayang justru berlari ke arah lift menuju ke ruang direktur di lantai atas. Resepsionis yang panik segera memanggil petugas keamanan dan menyuruhnya mengejarnya. Jadilah sekarang Mayang dikejar dua petugas keamanan sampai di depan ruangan direktur. 

 

"Aku ingin bertemu dengan bu Ayu. Itu saja. Kalian ribet amat!" hardiknya pada dua petugas keamanan yang memeganginya. 

 

Mendengar ribut-ribut di luar ruangan, Ayu pun segera bergegas keluar. 

 

"Ada apa ini, Pak?" tanyanya.

 

"Ibu ini memaksa masuk, bu Direktur. Kami sudah berusaha mencegahnya, tapi dia nekat."

 

Ayu memindai Mayang dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepertinya dia pernah melihat wanita ini, tapi dimana?

 

"Kamu siapa?" tanyanya kemudian.

 

"Bu Ayu, ijinkan saya berbicara dengan Anda sebentar saja, Bu. Saya Mayang, dulu saya pernah bekerja disini sebagai sekretarisnya Pak Romi," jelas Mayang bersemangat, berharap wanita di depannya itu akan mau mendengarkannya barang sebentar saja. 

 

Mendengar penjelasan itu, Ayu tersenyum sinis.

 

"Ooh, jadi Kamu orangnya? Wanita tidak tahu diri yang tega menggoda lelaki beristri dan membuat berantakan rumah tangganya itu?" 

 

Mata Mayang membelalak. Dia tidak pernah menyangka akan mendapat tamparan kalimat seperti itu dari seorang direktur sekelas Ayu. 

 

"Anda salah, Bu. Itu tidak benar. Anda pasti telah diracuni oleh anak bernama Raka itu. Dengarkan saya dulu, Bu. Itu fitnah! Saya dan suami saya tidak bersalah. Jangan pecat suami saya, tolong Bu!" Mayang memohon sambil sesenggukan.

 

"Bawa dia keluar Pak! Dan jangan biarkan orang seperti ini masuk ke kantor kita lagi," ketus Ayu tanpa mengindahkan penjelasan Mayang yang panjang lebar tadi. 

 

Dua petugas segera menyeret Mayang ke lantai bawah. Beberapa staf yang melihat kejadian Mayang meronta-ronta di tangan dua satpam itu hanya menggeleng-geleng keheranan dan menatapnya seperti melihat orang gila yang sedang digelandang menuju RSJ oleh para perawat. Bahkan beberapa orang yang kebetulan mengenal Mayang pun mulai berbisik-bisik membicarakannya. 

.

.

.

Di ruangannya, Ayu tersenyum puas. Ternyata ini lebih drama dari yang dia pikirkan. Istri ayah Raka nampak sangat tertekan dengan pemecatan suaminya. Dan dia pun tidak sabar untuk menceritakan hal itu pada pujaan hatinya.

 

[Raka, bisa keluar makan siang sekarang?]

 

Tulisnya di dalam pesan w******p. Kemudian dia tersenyum saat sebuah balasan diterimanya tak lama setelah itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status