Share

KEKECEWAAN SANG IBU

"Banyak sekali makanannya, apa yang sedang kita rayakan?" tanya Raka mengerutkan dahinya.

 

Ayu tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan pemuda tampan di depannya. 

 

"Kita sedang merayakan kemenanganmu, Raka," jawabnya. 

 

Beberapa saat yang lalu Raka menjemput Ayu dikantornya setelah menerima pesan dari wanita itu bahwa sang direktur Adyatama itu ingin makan siang bersamanya.  

 

Kemudian Ayu menyuruhnya melajukan mobil ke salah satu restoran terkenal favoritnya. Ayu sudah membuat reservasi beberapa menit sebelumnya dan memesan hidangan special untuk makan siangnya kali ini bersama Raka. 

 

"Kemenanganku? Apa itu?" Raka memicingkan mata ke arah wanita yang duduk di seberang tempat duduknya itu. 

 

"Akhirnya aku sudah memberhentikan ayahmu kemarin. Dan kamu tahu nggak? Hari ini istrinya datang ke kantor seperti orang gila, marah-marah nggak jelas," Ayu menggeleng-gelengkan kepala sambil berhias tawa puas di bibirnya.

 

"Oya?" Raka menatap wanita di depannya tak berkedip. Seperti ini rupanya saat wanita sudah beraksi. Raka bahkan baru melihat Ayu tertawa selebar ini selama mengenalnya. "Kamu kok kelihatan seneng banget sih? Kan harusnya aku yang seneng?" ucap Raka sedikit keheranan.

 

"Nggak tau, aku seneng aja bisa membuat mereka seperti itu. Aku sangat benci pengkhianatan," ujar wanita itu sambil tak lepas dari senyuman. "Yuuk ah makan, aku lapar," ucapnya manja. Di hadapan Raka dengan situasi yang tidak formal seperti sekarang ini, Ayu memang biasanya bersikap lebih santai dan cenderung manja, seperti wanita yang sedang jatuh cinta pada umumnya. Sangat berbeda saat dia menemui Raka di kantor atau di hadapan para karyawan mereka.

 

Dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, dia mulai menikmati hidangan di depannya, hingga kemudian dia terhenti saat sentuhan halus tangan Raka menempel di lengannya. 

 

Ayu mendongak, menatap Raka penuh tanya. 

 

"Ada apa?" tanyanya.

 

"Thanks, Yu. Kamu sudah melakukan hal yang sangat berharga untukku." ucap Raka tulus. 

 

"Aku sudah bilang kan, aku senang melakukannya untukmu. Apa saja, Raka." 

Dan keduanya pun melanjutkan acara makan siangnya dengan senyum puas dan bahagia.

.

.

.

"Kurang ajar!! Aku yakin semua ini gara-gara ulah anak lelakimu itu, Pah. Aku akan menemuinya. Aku akan buat perhitungan dengan anak itu." Mayang tiba dirumahnya sambil ngomel-ngomel tak jelas.

 

"Ada apa sih, Mah? Datang datang ribut. Kamu habis dari mana?" tanya Romi keheranan melihat istrinya seperti orang kesurupan.

 

"Dari kantormu, Pah."

 

"Kantorku? Ngapain kesana, Mah?"

 

"Ngapain lagi? Aku minta penjelasan dong sama bu Ayu. Seenaknya aja memecatmu tiba-tiba."

 

"Malu-maluin aku aja sih kamu, Mah? Apa kata orang-orang di kantor melihat Mama kesana tadi?"

 

"Papa malu? Lebih malu mana sama nggak punya kerjaan? Lontang lantung jadi pengangguran nggak jelas? Papa lebih suka begitu?"

 

"Trus manfaatnya Mama kesana apa? Apa bu Ayu lantas mau menerimaku jadi karyawannya lagi? Enggak juga kan?"

 

"Ya setidaknya kan kita punya harga diri, Pah. Nggak trus terima begitu aja direndahkan. Dan aku juga jadi tau kalau ternyata semua ini gara-gara anakmu yang tak tahu diri itu. Aku akan bikin perhitungan sama dia. Lihat aja."

 

"Sudahlah, Mah. Nggak usah bikin ribut! Papa akan cari kerja lagi besok! Mama tenang aja di rumah!"

 

"Nggak bisa! Besok aku mau ke rumah mantan istrimu itu. Aku harus tah u dimana anak itu sekarang. Aku mau ketemu sama dia."

 

"Trus Mama mau apa nanti setelah ketemu Raka?"

 

"Ya ngasih pelajaran anak kurang ajar itu lah," ucap Mayang bersungut. 

 

"Mah, Mama sadar nggak sih? Kalau benar apa yang Mama bilang kalau bahwa ini semua gara-gara Raka, berarti anak itu sekarang tidak bisa kita anggap remeh. Bisa jadi ancaman buat kita, Mah. Bahaya, tahu nggak?"

 

"Ah, persetan! Papa takut? Sama anak sendiri takut?" Mayang mencelos. Romi makin frustasi dengan istrinya yang bersikap sangat konyol itu. Hingga akhirnya dia biarkan wanita itu ngoceh sendirii sepuasnya, sementara dia kembali ke kamarnya untuk tidur lagi. 

.

.

Rio, adik Raka, baru saja turun dari motor sportnya siang itu dan memarkirkannya di halaman rumah saat dilihatnya seorang wanita berteriak-teriak di depan pintu rumah. 

 

"Tante ngapain disini?" tanyanya sambil tergopoh-gopoh menghampiri wanita itu.

 

"Mana Mama Kamu?" tanya wanita itu sinis. Belum sempat Rio menjawab, pintu ruang tamu sudah terbuka dan muncullah Rani dari dalam. 

 

"Ada apa, Yo?"

 

"Ini, ada yang nyari Mama," ucap Rio.

 

"Dimana anak kamu, si Raka itu, Mbak?"

 

"Raka? Ada apa kamu mencari Raka?" Rani mengerutkan dahi. Wajahnya sedikit pucat kali ini, sepertinya wanita itu memang sedang tidak sehat.

 

"Ajari anakmu itu untuk menghormati ayahnya. Anak tidak tahu diri itu sudah membuat ayahnya dipecat dari pekerjaannya. Katakan dimana dia, biar kukasih pelajaran anak urang ajar itu," sungut Mayang geram.

 

"Apa? Apa yang telah dilakukan Raka? Kamu jangan sembarangan bicara, Mayang?"

 

"Sembarangan apa? Tanyakan sendiri pada anakmu itu, apa yang sudah dia lakukan sama papanya. Sekarang dimana dia, katakan!" 

 

"Tante mungkin salah. Kak Raka tidak mungkin berbuat begitu," sahut Rio tiba-tiba.

 

"Halah kamu tahu apa?! Kamu tahu kan dimana kakak kamu itu sekarang?

 

"Kak Raka sudah lama tidak tinggal bersama kami. Tante salah kalau mencari Kak Raka kemari. Lebih baik Tante pergi dari sini. Jangan ganggu Mama lagi!" Kata Rio sedikit membentak. 

 

Mayang yang merasa tak akan menemukan Raka di rumah itu pun segera berlalu setelah mengoceh panjang lebar yang membuat Rani mengelus dadanya yang terasa sesak. 

 

"Apa benar yang dikatakan wanita itu, Yo?" tanyanya pada sang anak saat mereka sudah sampai di dalam rumah.

 

"Apanya yang benar, Mah?"

 

"Kakak Kamu. Apa dia melakukan itu sama papa kalian?"

 

"Mama jangan percaya sama wanita itu. Kak Raka nggak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh."

 

"Kamu bohong kan? Kamu tahu sesuatu kan, Yo? Kamu nggak jujur sama Mama kan?" Mata Rani berkaca-kaca. Dia sudah hidup bertahun-tahun dengan anaknya. Dan dia selalu tahu kapan anak-anaknya itu bicara bohong atau jujur.

 

"Mah, mama jangan memikirkan hal yang tidak penting seperti ini. Lebih baik mama jaga kesehatan Mama aja."

 

"Yo ..." Rani menatap anak bungsunya dengan sorot mata tajam. Seperto itu biasanya dia membuat anak-anaknya akan berbicara jujur padanya. Rio mendesah pelan. Ada bimbang di hatinya.

 

"Kak Raka nggak salah, Ma."

 

"Tapi benar kan Raka melakukan itu?" tanya Rani dengan suara lembut.

 

Rio terdiam. Hatinya semakin bimbang antara harus terus berbohong pada sang ibu atau harus menjaga janjinya pada sang Kaka kalau dia akan merahasiakan apa yang dia rencanakan untuk ayah dan juga istri barunya itu. 

 

"Tapi Mama janji ya jangan marah sama kak Raka," ucap Rio memohon.

 

"Tolong katakan yang sebenarnya sama Mama, Yo."

 

"Kak Raka memang ingin membuat Papa menyesali perbuatannya dulu sama Mama. Kak Raka benci sama Papa. Tapi dia lakukan semua itu karena dia sayang sama Mama." Dengan terpaksa akhirnya Rio bicara juga hal yang sebenarnya. 

 

"Jadi Kamu tahu semua itu? Dan Kamu nggak cerita sama Mama? Kamu tahu bahwa kakakmu menyimpan dendam dan kamu diam saja, Nak? Kenapa kalian seperti itu? Mama nggak mau kalian jadi anak-anak pendendam. Apalagi sama Papa kalian sendiri." Kali ini Rani manarik nafas panjang. Hatinya begitu sedih.

 

"Tapi Kak Raka benar, Ma. Papa sudah menyakiti Mama. Papa meninggalkan kita untuk kesenangannya sendiri tanpa mempedulikan kita semua."

 

"Tapi bukan berarti kalian boleh mendendam, Nak. Allah tidak menyukai orang-orang yang menyimpan dendam."

 

Lama ibu dan anak itu terdiam. Ada bening yang tiba-tiba meluncur dari sudut mata wanita yang sudah mulai beranjak menua itu. Raut mukanya nampak begitu pilu. Selama ini dia sangat bangga dengan anak-anaknya. Terutama anak sulungnya, Raka, yang bisa mandiri bahkan setelah lepas dari bimbingannya sejak pergi dari rumah. Namun kenyataan bahwa anak itu memiliki dendam yang disimpannya selama bertahun-tahun pada sang ayah, tak ayal membuatnya terpukul juga. 

 

Alih-alih bangga, Rani kini justru merasa gagal mendidik anaknya. Bagaimanapun lelaki bernama Romi yang telah begitu jahat meninggalkannya dan anak-anaknya itu sebenarnya juga sangat dia benci. Namun dalam hatinya, dia sama sekali tidak ingin anak-anaknya menyimpan kebencian yang sama. Romi adalah ayah kandung mereka yang harus seharusnya tetap mereka hormati.

 

"Telpon kakakmu, Yo. Suruh Raka kesini," titahnya tiba-tiba.

 

"Mama mau marahin Kak Raka? Jangan Ma, Rio mohon. Kak Raka melakukan ini semua untuk Mama."

 

"Lakukan saja apa yang Mama katakan, Yo. Suruh Raka kesini. Bilang padanya Mama mau bicara."

 

"Ya, Ma." Dengan berat hati akhirnya Rio melakukan juga perintah sang Mama untuk menghubungi kakaknya.

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pudji Shidarwati
Rani begitu baik.....meskipun disakiti tidak ada dendam.di.hati....lanjut baca...
goodnovel comment avatar
ghaurii
seribu banding satu ada wanita seperti Rani....dsakiti tapi gak dendam...... ceritanya menarik......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status