Share

Adinda
Adinda
Author: Adiarizki

Adinda Maharani,

Malam itu adalah malam yang paling ditunggu kalangan muda-mudi di Desa Tanjung Agung. Segala persiapan menyambut pesta tahun baru sudah diatur—sebaik mungkin. Agar segalanya berjalan dengan lancar. Adinda, masih duduk di kamarnya sambil membaca sebuah buku yang baru saja dibelikan oleh sang ibu. Tadi siang di Balai Minggu (Pekan Minggu). Ia tampak larut dengan kisah yang diceritakan dalam buku cerita fiksi tersebut, —mengangkat tema percintaan yang tidak mendapat restu dari pihak sang wanita.

Tidak lama sang ayah memanggilnya dari luar.

“Din ... Dinda. Sini sebentar, Nak.” Suara sang ayah, langsung membuatnya bangkit dari tempat tidur. Gadis itu kini berjalan keluar kamarnya.

“Ada apa, Yah. Dinda ‘kan lagi—” kalimatnya terhenti ketika melihat satu karung mentimun di samping sang ayah yang tersenyum riang.

Dengan wajah berseri-seri, Dinda berlari menghampiri karung yang berisi penuh dengan buah timun. Ia meletakkan buku yang sejak tadi dipegangnya ke lantai. Setelah itu, ia langsung mengambil satu biji buah atau, sayuran berwarna hijau yang terlihat sangat segar itu. masih melekat sedikit getah pada bagian pangkal tangkainya. Tanpa mencucinya terlebih dahulu, Adinda langsung melahapnya.

Raut wajah gadis itu menunjukkan, sebuah rasa kenikmatan yang tak terbandingkan. Sang ayah, yang memperhatikan tingkah cinta matinya tersebut hanya mampu tersenyum penuh rasa kepuasan yang nyata. Sang ibu keluar dari kamar belakang dan menghampiri sang putri dan suaminya. Adinda sudah hampir menghabiskan satu buah utuh timun segar.

“Adek, pasti timunnya belum dicuci ‘kan sudah langsung di lahap saja,” ujar sang ibu seraya duduk tepat di samping, Adinda yang masih belum ingin menghentikan kegiatan mengunyahnya.

“Biarkan saja dia makan apa yang diinginkannya,” jawab sang ayah yang langsung membelanya.

“Bela saja terus ... itulah yang membuat anak ini,  jadi manja.” Akan tetapi sang ibu malah ikutan mengambil beberapa buah mentimun segar. Beliau  terlihat memisahkannya.

“Mau kamu apa ‘kan timun itu?” tanya ayah, Adinda dengan dahi berkerut.

“Bagi-bagi ke tetangga.” Sang ibu menjawab singkat. Lalu pergi ke dapur meninggalkan kedua orang terkasihnya masih di hadapan karung yang terisi penuh buah mentimun.

Never mind, I'll find someone like you

I wish nothing but the best for you, too—“

Beberapa saat kemudian,telepon genggam milik Adinda berbunyi. Dengan cepat gadis dengan wajah cantik itu berjalan cepat menuju kamarnya. Dia tersenyum ketika melihat nama yang tertera pada layar teleponnya.

“Teman Terbaik.”

Begitulah ia menulis nama seseorang itu dalam daftar kontaknya. Dari cara ia tersenyum, jelas sekali seseorang itu bukan teman biasa bagi, Adinda. Yah, sebagai wanita dengan reputasi paling cantik di desa itu dia pastilah memiliki banyak teman lelaki. Namun, kali ini bukan teman biasa. Pria itu yang selalu menjaga dan menemaninya ke mana pun. Dan pria itu juga yang telah dipercaya oleh orang tua, Adinda sebagai teman dekat anak semata wayang mereka.

“Halo, iya, And. Ada apa?” tanya Adinda dengan tersenyum kecil.

“Kamu lagi apa, Din? Nanti malam mau aku jemput enggak?” tanya, Andara dengan nada yang lembut.

“Ya ampun! Aku lupa! Aku belum kasih tahu Ayah sama Bundaku. Gimana, dong, And?” Adinda terlihat panik kali ini.

“Kalau kayak gitu. Biar aku ke sana sekarang. Jadi nanti malam kita bisa langsung pergi.” Andara terdengar sangat bertanggung jawab dan berani.

Tanpa disadari oleh pemuda berwajah tampan dengan keahlian bela diri yang mumpuni itu, bahwa sebenarnya Adinda tengah tersipu malu. Akibat mendengar ungkapan pertanggung jawaban dari pria yang sejatinya lebih muda darinya. Namun, kedewasaan tak pernah dapat ditentukan oleh usia. Tapi pola pikir dan sudut pandanglah yang menjadikan seseorang itu dewasa.

“Memangnya kamu enggak takut sama, Ayah?” pancingan yang sengaja dikatakan oleh, Adinda.

“Kenapa aku harus takut? Ayah kamu itu baik banget sama aku,” jawab Andara dengan percaya diri.

“Iya juga, sih. Kamu memang yang paling dekat sama Beliau, dibandingkan keempat sahabatmu.” Adinda juga menyadari bahwa apa yang dikatakan, Andara benar adanya.

“Ya sudah. Aku mau mandi dulu. Kamu mau aku bawakan apa?” tanya Andara lagi.

“Hmmm. Alpokat matang. Kemarin kata, Indri banyak yang matang di belakang rumah kamu,” ujar Adinda tanpa merasa ragu.

“Oke! Tunggu aku sebentar lagi akan datang membawa pesanan, Kakak cantikku,” goda, Andara sebelum mengakhiri panggilannya.

“Hishhh.”

Adinda sebenarnya tengah dekat dengan banyak pemuda di kampung tersebut, akan tetapi hanya Andara dan keempat sahabatnya yang mampu akrab dengan gadis cantik itu. Adinda bahkan lebih terkesan sangat manja kepada Andara, dibandingkan dengan yang lainnya. Yah. Itu semua didukung dengan orang tua mereka yang saling kenal.

Adinda Maharani. Seorang gadis pindahan, beberapa bulan yang lalu dari ibu kota provinsi lain. Ia dan kedua orang tuanya pindah ke desa ini karena hal tertentu. Yang mengharuskan mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka. Sejak hari pertama kedatangannya di kampung tersebut, ia sudah berhasil mencuri banyak perhatian. Terlebih dari para pemuda yang memang terpesona akan kecantikan wajahnya.

Setelah panggilannya berakhir. Adinda bermaksud akan merebahkan tubuhnya kembali ke atas kasur. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang pemuda sedang berbicara dengan ayahnya di teras rumah mereka. Dia mulai terlihat penasaran. Dan akhirnya mengintip dari balik gorden jendela kamarnya.

“Hah. Kak Giyo!” gumamnya dengan menutupi mulut imutnya.

Kamar Adinda memang langsung berhadapan dengan teras rumah. Seketika, Adinda dibuat kembali tersipu oleh pria berperawakan atletis dan memiliki wajah terkesan dingin. Giyo Ramadhan. Pemuda kampung sini yang dipilih menjadi kapten voli. Di setiap pertandingan mewakili nama kampung.

Rumah mereka cukup dekat, jika dibandingkan dengan Andara. Hanya berjarak 250 meter dari kediaman Adinda. Maka akan tiba pada rumah sang pemuda bersama ibunya. Giyo dikenal warga sekitar sebagai pemuda yang memimpin sebuah kelompok perkumpulan anak muda. Di mana kelompok itu sering melakukan tindak kekacauan dan keributan di kampung mereka.

Hanya saja, tak ada yang berani menghentikan kegiatan mereka. Karena jika nekat melawan. Maka dapat dipastikan akan mengalami sesuatu yang buruk. Giyo baru saja kembali dari luar kota. Selama 6 bulan terakhir pemuda itu pergi entah ke mana. Namun, dua bulan yang lalu dia kembali. Dan mulai berkenalan dan dekat dengan Adinda.

“Kira-kira nanti kalau, Andara ke sini. Apa dia akan cemburu?” tanya Adinda pada dirinya sendiri.

Giyo membuatnya mabuk kepayang beberapa waktu belakangan ini. Awalnya, memang Adinda tak pernah menghiraukan Giyo. Namun, semenjak pria itu menolong ayahnya yang terjatuh di jalan saat membawa hasil panen kopi. Dari sanalah, gadis lugu ini mulai terpesona akan sosok pemuda yang ia benci di awal pertemuan.

Bahkan, Adinda terlihat semakin dekat dengan pemuda itu tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Mereka juga suka bertindak layaknya pasangan kekasih. Ketika ada orang lain yang membuat mereka merasa cemburu. sayangnya status keduanya masih belum diperjelas. Berulang kali Giyo hanya meminta Adinda untuk sabar menanti.

Kini pemuda itu tengah duduk pada bangku kayu. Yang langsung mengharap ke arah jendela kamar Adinda. Gadis itu yang tadinya ingin berbaring. Sepertinya kehilangan selera untuk bersantai. Kini ia lebih memilih berdiri di samping jendela. Sambil memperhatikan pria pujaan hatinya. Kedua pipi menggemaskan miliknya bersemu merah merona. Dengan dihiasi senyuman malu-malu.

Adiarizki

Ketika engkau melakukan kebaikan pada orang tuaku, di sanalah hatiku langsung memilihmu tuk jadi tambatannya. _Adinda||Adinda_

| 2
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Adiarizki
Iyaaa Kakak, hahahaha
goodnovel comment avatar
Nila Annisa
Wkekeke pengemar timun si Dinda
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status