Share

2

"Pagi, Mbok Ika...," Elora menyapa Mbok Ika yang sedang duduk di teras depan rumahnya. 

Kebiasaan Mbok Ika di pagi hari adalah duduk berjemur, sambil sarapan dengan cemilan ringan dan segelas teh tawar hangat. Mbok Ika tersenyum semringah menyambut Elora.

"El… Kamu udah sarapan belum? Ini ada combro, sama nagasari. Enak lho..." Mbok Ika memang selalu baik hati, menawarkan makanan pada Elora.

"Nagasari aku mau dong, Mbok... Kesukaan aku nih..." 

Elora mengambil sebungkus nagasari dengan gembira, sepertinya sudah lama dia tidak makan cemilan itu.

"Udah mau berangkat ke kantor? Baru jam enam kok...," tanya Mbok Ika agak heran. 

Wanita itu tahu kalau jam kantor Elora dimulai jam delapan. Dan cuma butuh waktu setengah jam dari rumah ke kantor Elora, biasanya Elora baru berangkat sekitar jam tujuh.

"Iya, Mbok... Mau berangkat lebih pagi, soalnya ada kerjaan," Elora beralasan.

"El, bantuin Mbok dulu dong... Obat bulanan Mbok udah habis, tolong beliin di apotek ya, ini resepnya..." 

Mbok Ika menyodorkan selembar kertas resep, beserta uang yang dilipat-lipat.

"Iya, Mbok... Tapi nanti sore aja ya, pulang kantor aku beliin deh... Soalnya nggak sejalan. Obatnya ini harus beli di apotek dekat rumah sakit itu kan?" Elora sudah hafal, karena sudah rutin membantu Mbok Ika membeli obat bulanannya. 

"Iya, nggak apa-apa. Bawa aja dulu resep sama uangnya. Nanti, kalo kamu udah pulang, baru beliin."

"Tapi, obatnya masih ada nggak, Mbok?"

"Nanti sore aja minumnya, yang siang ini nggak usah dulu..."

"Lha… Ya nggak boleh gitu, Mbok... Mbok semalam kok nggak bilang? Aku kan udah nanya, obatnya masih nggak? Kata Mbok, masih...," Elora mulai cerewet lagi. Memang agak susah mengurusi Mbok Ika yang suka lupa.

"Namanya juga lupa, El...," Mbok Ika menjawab dengan wajah tak berdosa.

Elora memutar otak. Kalau dia pergi ke apotek dulu, waktunya sebenarnya cukup saja untuk bolak-balik. Tapi, dia sengaja berangkat lebih pagi, karena ada hal penting yang mau dikerjakannya di kantor.

"Biar aku aja yang beliin, Mbok..." 

Mendadak, cowok penghuni kontrakan baru itu, Rico, muncul dari samping rumah Mbok Ika.

Sudah berapa lama dia mendengarkan obrolan mereka? Elora membatin. 

Cowok itu mendorong motor Vespa-nya. Dia masih memakai jaket denim biru yang sama dengan kemarin sore, dengan kaus putih berkerah di balik jaket, dan celana denim hitam. Rambutnya kali ini diikat, sehingga tak terurai lagi. Sebuah ransel warna hitam tergantung di punggungnya.

"Eh, nak Rico... Jadi ngerepotin lagi nih... Kamu mau berangkat toh?" Mbok Ika seperti agak sungkan.

"Nggak apa-apa, Mbok. Aku pake motor, nanti aku balik lagi ke sini, habis dari apotek. Masih pagi, aku nggak buru-buru kok..."

Elora jadi heran, kenapa kalau dengan Mbok Ika, cowok itu begitu ramah?

"Kalo gitu, El bareng Rico aja... El kan yang tau apoteknya di mana...," Mbok Ika mengusulkan.

Deg! Boncengan sama cowok sombong itu? Elora sudah memprotes duluan dalam hati.

"Iya, ayo..." 

Cowok itu ternyata langsung setuju. Dia menatap Elora dengan mata tajamnya. Lalu, dia naik ke motor Vespa-nya, memakai helm, dan siap berangkat.

Giliran Elora yang bingung. Kenapa cowok itu langsung setuju begitu saja? Padahal dari kemarin, dia seolah tak mengacuhkan Elora.

Elora memandang Mbok Ika yang tersenyum-senyum, sepertinya senang melihat usulnya diterima. Tapi Mbok Ika memang butuh obatnya, dan Elora juga butuh kendaraan untuk ke apotek.

"Ya udah, Mbok... Aku pergi dulu ya...," Elora berpamitan. 

Dia menghampiri motor Rico. "Nggak ada helm lagi?" tanya Elora. 

"Kamu nggak punya helm?" Rico malah balik bertanya.

Elora menghela nafas. "Ya udah, nggak apa-apa deh... Nggak lewatin jalan besar juga kok..."

Elora naik ke tempat duduk di belakang Rico. Untung cowok itu pakai tas ransel, jadi dia bisa berpegangan di tas itu, tanpa harus takut bersenggolan.

Rico menstarter motor, dan meluncur meninggalkan halaman rumah Mbok Ika. Motornya melaju pelan. Gang itu penuh dengan tetangga yang juga mulai sibuk beraktivitas pagi ini. Ada segerombolan cewek-cewek berpakaian seragam SMA di depan mereka. Pas motor Rico lewat, cewek-cewek itu seperti heboh dan berseru-seru.

"Cie, cie... Kak El...," goda cewek-cewek itu.

Elora sudah tinggal lama di daerah pemukiman ini, jadi sebagian besar penghuni sudah kenal, kecuali kalau ada orang baru. Elora tersenyum ramah pada mereka.

Ternyata, mereka juga memanggil cowok itu. "Kak Rico..."

Jadi ini yang dibilang Mia kemarin malam, bahwa cowok penghuni baru itu sudah terkenal, walaupun baru tiga hari di situ? Tapi Rico diam saja, tidak bereaksi.

"Kamu dipanggil cewek-cewek, tuh...," Elora mengingatkan. 

Dia paling tidak suka orang yang sombong dan tidak ramah. Apalagi di pemukiman itu, semuanya sudah terbiasa saling sapa. 

"Aku nggak suka cewek," Elora mendengar Rico menjawab singkat. 

Tapi jawaban itu langsung membuat Elora terperanjat. Kupingnya tidak salah dengar kan? Maksudnya apa, tidak suka cewek? Maksudnya Rico...?

Elora menelan ludah. Kenapa cowok itu harus membuka rahasianya di depan Elora? Atau mungkin, Rico bilang begitu, supaya Elora tidak berharap yang lebih dari dia, hanya karena dibonceng hari ini? Jadi, dia sengaja memberitahu rahasia pribadinya ke Elora. 

"Emang siapa juga yang tertarik sama cowok kayak dia?" Elora membatin.

Elora malah merasa jadi lebih rileks. Dia punya teman cowok seperti itu juga di kantor, biasanya mereka cenderung sensitif, lebih lembut perasaannya, dan lebih cocok kalau ngobrol dengan cewek.

Elora mengarahkan jalan menuju ke apotek langganan Mbok Ika. Cuma sepuluh menit jaraknya dari rumah. Setelah selesai membeli obat, Elora keluar dari apotek. Rico menunggu di atas motornya di luar apotek, tidak ikut masuk.

"Ini obatnya..." 

Elora memberikan kantong plastik putih berisi obat ke Rico, karena dia tidak ikut balik ke rumah Mbok Ika lagi. 

"Tolong ingatin Mbok Ika, obatnya yang pagi jangan lupa diminum ya...," Elora menitipkan pesan, biarpun tak yakin apakah Rico akan menyampaikan. Tapi, kelihatannya cowok itu peduli dengan Mbok Ika.

Rico mengangguk, dia menyimpan bungkusan itu ke dalam saku jaketnya.

"Kamu naik apa ke kantor?" Ternyata cowok itu bisa bertanya juga.

"Transjakarta…," jawab Elora singkat. 

"Aku anterin ke halte terdekat." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. 

Rico langsung menstarter motornya, dan menunggu Elora naik.

"Ini cowok aneh juga ya...," pikir Elora. "Di satu sisi, dia kayaknya cuek dan sombong, tapi ternyata dia peduli juga, mau nganterin aku... Belum lagi, tadi dia ngomong dengan jujur kalo nggak suka cewek..."

*

Elora tergesa-gesa masuk ke studio 1. Jam delapan nanti, ada syuting acara infotainment di situ. Dia yang menyusun naskahnya. Jika Raras memintanya stand by lagi, dia sudah siap. Salinan naskah ada di tangannya. Semua properti juga lengkap, tim pendukung sudah bekerja dengan baik. Dia cuma mau memastikan.

Elora melirik arlojinya, setengah jam lagi. Dia mengambil posisi di belakang crew kamera. Beberapa orang hilir mudik keluar masuk studio, menyapa dia saat melihatnya, lalu melanjutkan tugas mereka masing-masing.

Mendadak, jantung Elora berdetak kencang. Seorang pria berjaket kulit warna coklat berjalan masuk ke studio 1, diikuti oleh dua pria lain, yang satu adalah manajer artis, yang satu lagi pembawa acara infotainment. Tapi pria berjaket kulit itulah yang membuat Elora berdebar-debar. Dia juga yang jadi alasan Elora rela datang lebih awal ke kantor, untuk mempersiapkan studio, walaupun bukan sepenuhnya tanggung jawab Elora.

Namanya Elang Rajendra. Dia seorang aktor, pemain sinetron, dan bintang iklan yang sedang naik daun. Badannya tinggi dan gagah, rambutnya hitam tebal, sorot matanya tajam seperti mata elang, sesuai dengan namanya. Kulitnya tak terlalu putih, tapi kuning langsat dan bersih. Wajahnya yang oval tampak sangat manis jika tersenyum ramah, kontras dengan tatapan matanya yang tajam. Apalagi ditambah dengan dua lesung pipinya. Ah, Elora bisa puas cuma memandanginya seharian!

Elora tak ingat persis kapan dia mulai mengenal Elang Rajendra. Aktor itu sudah berkali-kali datang ke studio Max TV, entah untuk syuting infotainment, talk show, kuis, atau acara lain yang mengundang dirinya. Elang memang sangat digandrungi remaja cewek dan ibu-ibu zaman sekarang. Tapi yang Elora ingat, adalah ketika aktor itu secara khusus menyapanya, tiga tahun yang lalu, setelah selesai syuting sebuah acara talk show di studio ini. 

"Hallo, kamu Elora yang nulis script hari ini ya? Makasih ya, atas kerja kerasnya... Sampai ketemu lagi lain kali..." 

Elora masih ingat semua ucapan Elang, seolah baru terjadi kemarin. Termasuk senyum manis yang diberikan padanya. 

Di dunia kerjanya yang selalu keras, kejar-kejaran dengan waktu dan deadline, satu ucapan terima kasih itu terasa seperti oasis yang menyejukkan hatinya. Dia tak pernah menduga, seorang aktor terkenal sekelas Elang Rajendra mau mengajaknya bicara, dan menyampaikan terima kasih atas hasil kerjanya. Sejak itulah, Elora paham, kenapa aktor itu bisa punya begitu banyak penggemar. Bukan cuma karena ganteng, tapi daya tariknya yang hangat dan ramah. Dan Elora secara sadar masuk ke dalam barisan penggemarnya. 

Tiap kali aktor itu syuting di Max TV, Elora diam-diam datang ke studio lebih awal, cuma untuk memastikan semuanya sudah beres. Lalu, dari jauh, dia akan mengamati dan mengagumi sang aktor. Kedengaran menyedihkan, memang. Mau bagaimana lagi? Elora sadar, dia tak bisa berharap banyak. Tapi, dia juga tak bisa menahan keinginannya untuk melihat Elang dari dekat.

Elang dan si pembawa acara bersiap-siap, duduk di sofa yang sudah disiapkan. Elora berdiri agak di belakang kamera, berusaha tidak kelihatan. Dia selalu gugup berada di dekat idolanya. Dan saat syuting dimulai, dia bisa menonton Elang dari kamera. Wajahnya, senyumnya, tawanya, suaranya... Seandainya saja... 

Dua jam kemudian, syuting selesai. Elora buru-buru menyelinap keluar dari studio 1, mumpung Elang masih ngobrol-ngobrol, dan tidak menyadari kehadirannya. Ia berjalan ke ruangan luas dengan bilik-bilik bersekat, itu adalah ruangan kerja utama di Max TV. Para karyawan biasanya menyebutnya The Nest, atau 'sarang'. 

Elora tiba di biliknya, duduk, dan menyalakan laptopnya. Tapi, pikirannya masih melayang ke wajah Elang Rajendra. 

"Nggak bisa...!!" 

Suara teriakan keras yang mengagetkan itu asalnya dari ruangan produser eksekutif, Pak Iyan. Semua kepala di The Nest menoleh ke arah suara teriakan itu, ada juga yang sampai berdiri untuk melihat apa yang terjadi. Pak Iyan, Raras, dan Bobby, supervisor tim produksi, keluar dari ruang produser.

"Kalo kayak gini terus, kita semua bisa tamat! Rating turun terus, sponsor berkurang... Terus, kita dapat uang dari mana? Hah?" Pak Iyan masih terus mengomel sambil berteriak, seperti tak peduli kalau didengar banyak orang.

"Kalian yang harus mikir, kalo masih mau kerja di sini!" bentaknya. "Kalian digaji buat mikir! Buat bikin rating naik! Kalo nggak, siap-siap aja angkat kaki dari sini...!" Lalu, lelaki paruh baya berambut perak itu berjalan keluar dari The Nest dengan wajah merah padam. 

Semua hening. Beberapa orang saling berpandangan. Raras dan Bobby kelihatan seperti habis dibom atom, wajah mereka shock dan memerah. Elora tahu, kemarahan seperti itu biasanya punya efek berantai. Pak Iyan pasti dimarahi pemimpin redaksinya, lalu dia marah ke para supervisor. Tinggal tunggu waktu saja, sebelum Raras melampiaskan amarahnya ke tim kreatif mereka.

*

"Kalo kayak gini terus, gawat El...! Karyawan bawahan kayak kita pasti yang duluan di-cut. Istilahnya, perampingan. Buat ngurangin biaya...," Mia sedang ngobrol dengan Elora sore itu, sehabis pulang kerja.

Mereka nongkrong lagi di kafe dekat kantor, yang jadi tempat favorit mereka. Buat numpang WiFi tentunya. Elora sedang mengedit naskahnya untuk acara infotainment. 

Sejak mendengar kemarahan Pak Iyan tadi siang, semua karyawan Max TV sepertinya tak bisa tenang. Sebelumnya, mereka memang sudah tahu kondisi Max TV sedang guncang. Tapi kali ini, ancaman dipecat makin di depan mata.

"Aku udah pernah cerita ke Danu. Dia nyaranin aku ngelamar jadi make-up artist aja. Aku sih emang udah kenal beberapa artis, mereka kemungkinan besar mau, kalo aku jadi juru riasnya... Cuma, jadwalnya itu lho... Mesti ngikutin maunya mereka, mau make-up kapan aja. Nggak bisa kerja eight to five kayak sekarang lagi...," curhat Mia.

"Tapi bayarannya juga lebih banyak kan, Mi..."

"Iya, sih... Tapi, aku juga mesti keluar modal sendiri buat make-up-nya."

Mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mia menyedot es cappuccino-nya.

"Kamu juga mesti siap-siap, El... Mulai cari tempat lain. Ngelamar stasiun TV lain. Yah, buat jaga-jaga aja. Kalo skenario terburuknya kita di-cut...," Mia mengingatkan dengan suara pelan.

Elora tetap memandangi layar laptop, tapi tak bisa fokus sedikit pun. Ia menyeruput teh hijau hangat dari mug di depannya.

"Aku juga bingung, Mi... Mau ke mana lagi? Aku udah pernah lamar ke sana-sini, nggak ada respon. Apalagi, syaratnya sekarang kebanyakan pake umur, di bawah 30, atau di bawah 25. Buat fresh graduate. Terus, yang udah senior kayak aku, mau dikemanain?" Elora menyuarakan kecemasannya.

"Ijazah SMK sekarang mah nggak laku... Sertifikat juga cuma kursus nulis naskah. Mau kuliah lagi, nggak ada biaya. Pusing..."

Mia memandangi Elora. "Jangan nyerah dong, El... Kamu tuh orangnya pinter, ulet... Pasti bisa dapat kerja lain."

"Yah, kalo nggak bisa kerja di stasiun TV, paling mentok-mentoknya aku serabutan lagi kayak dulu... Jadi waitress, tukang cuci piring, atau kasir, pokoknya, yang penting kerja deh...," Elora tersenyum kecut waktu mengatakannya.

"Kakakmu nggak bisa bantu? Suaminya kan punya kafe. Yah, kamu jadi apa kek di sana... Harusnya dia lebih percaya dong, sama adik sendiri," saran Mia.

Elora menggeleng lesu. "Nggak ah, Mi... Aku nggak enak, nyusahin Kak Laura. Malu aku, kalo harapin rasa kasihan mereka. Aku mau usaha sendiri..."

"Ah, gayamu, El... Kalo udah bener-bener mentok, masa masih mikir malu sama gengsi? Gengsimu tuh terlalu gede..."

Elora cuma mengangkat bahu. Mereka meneruskan kesibukan masing-masing. Elora dengan laptopnya, Mia dengan ponselnya.

Malamnya, Elora termenung di meja samping tempat tidurnya. Laptopnya masih menyala di depannya. Ia mengutak-atik beberapa dokumen yang sudah lama disimpannya di laptop. 

Elora menarik nafas dalam-dalam. Dokumen-dokumen itu adalah naskah film, yang coba-coba ditulisnya beberapa tahun lalu, sejak dia mengikuti kursus menulis naskah. Dia memang hobi menulis naskah di waktu senggang. Ada film pendek, dan kebanyakan film drama. Selama ini, dia tak pernah punya keberanian untuk mengirim naskah-naskah itu, tapi sekarang, kondisinya sudah terjepit. 

"Nothing to lose aja lah...," ia berkata dalam hati. "Kalo bener aku sampai di-cut dari Max TV, aku udah nggak tau mau gimana lagi. Aku mesti coba segala cara, buat dapat kerjaan baru. Dan yang aku paling bisa, ya cuma nulis naskah... Udah nggak ada istilah malu atau takut lagi. Kalo naskah-naskah ini ditolak, so what? Toh aku udah biasa ditolak. Pokoknya, aku harus coba."

Elora membulatkan tekadnya. Dia akan mencetak naskah-naskah itu besok, dan mengirimkan semuanya ke Production House (PH) yang terdekat dari kantor. Jika ditolak, dia akan kirim lagi ke PH lain.  Setelah mengambil keputusan itu, Elora merasa hatinya sedikit lebih ringan. Malam ini, dia bisa tidur jauh lebih nyenyak daripada sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status