Share

4

Hari Sabtu pagi, Elora bangun jam enam. Biasanya kalau weekend, dia bisa bangun lebih siang. Tapi gara-gara perjanjian semalam, mau tak mau dia harus bangun lebih pagi, apa lagi kalau bukan memasak sarapan untuk Rico.

Karena belum sempat belanja, Elora memilih masak nasi goreng saja, dengan bahan yang ada di dapurnya, telur dadar dan ikan teri. Ia mengisi rantang secukupnya, lalu berjalan keluar rumah. Sebaiknya dia cepat-cepat, karena makin siang, kontrakan bisa makin ramai, dan dia tak mau kepergok mengantar sarapan buat Rico. Bisa tambah heboh gosip dari si Gina nanti! 

Elora tiba di depan kamar kontrakan Rico. Jam setengah tujuh. Untunglah dia tidak bertemu Mbok Ika. Dan untung juga, penghuni kontrakan lain sepertinya belum bangun.


Ia menaruh rantang itu di atas sebuah kursi plastik, yang terdapat di depan kamar Rico. Elora baru saja mau berbalik, ketika pintu kamar mendadak terbuka.

Rico berdiri di balik pintu memandang Elora. Ia masih memakai kaus dan celana yang sama dengan semalam. Rambutnya acak-acakan, sebagian menutupi matanya.

Elora sesaat terpaku.

"Nngg… ini sarapannya...," akhirnya Elora bersuara. "Aku belum sempat belanja, jadi seadanya dulu ya..."

Kenapa juga dia harus bersikap manis begitu?

Rico masih menatapnya.

"Ayo masuk...," ujar Rico, sambil mengambil rantang dari atas kursi. Ia membuka lebar pintu kamarnya. 

"Hah?" Elora bengong.

"Ada yang mau aku tau tentang kamu, sebelum kita ke rumah Om kamu nanti sore. Kamu nggak mau kalo kita ketahuan bohong kan?"

Kenapa cowok ini selalu bisa ngomong tepat ke sasaran?

Elora melangkah masuk dengan setengah hati, ia duduk di atas tikar rotan. Rico mengambil sendok di ruang belakang, lalu duduk bersila di lantai ubin, di dekat pintu yang terbuka, seperti tadi malam. Ia membuka rantangnya, matanya sesaat seperti bersinar. Kemudian, ia mulai melahap nasi goreng itu, kelihatan nikmat sekali.

Elora sendiri sudah sarapan tadi. Tapi, kenapa cowok ini bisa kelihatan menarik, waktu sedang makan lahap seperti sekarang ya? Mungkin karena Rico kelihatan polos, tidak berjarak, tidak jaim... 

Elora menggoyangkan kepalanya. Apa sih yang dipikirkannya?

"Nama lengkap kamu?" mendadak Rico bersuara. Ia mengangkat wajahnya menatap Elora. Mulutnya masih sambil mengunyah. 

"Eh... Elora Gantari."

Sesaat, Rico terdiam.

"Umur, pekerjaan?"

Elora memutar bola matanya. Perlu ya tanya-tanya soal umur?

"30 tahun. Aku kerja di Max TV, penulis naskah di tim kreatif."

Rico terdiam lagi. Apa dia sedang mencoba menghafal data-data pribadi itu?

"Keluarga kamu ada di Jakarta?"

Elora menarik nafas panjang. "Papaku meninggal waktu aku umur delapan tahun, Mama meninggal waktu aku umur lima belas. Aku cuma punya satu kakak cewek, Kak Laura. Nanti, kita bakalan ketemu dia juga di sana... Setelah kedua orang tua kami meninggal, kami tinggal di rumah wali kami, Om Hilman, kurang lebih tiga tahun. Sampai aku umur 18, baru kami balik ke rumah kami yang sekarang..."

Elora berhenti sejenak, mengamati wajah Rico. Sepertinya informasinya terlalu banyak untuk dihafal.

"Yang ulang tahun nanti, Om Hilman?"

"Iya... Istrinya namanya Tante Fey, sama anak ceweknya Trista..."

"Kak Laura di mana sekarang?"

"Dia udah nikah tiga tahun yang lalu. Suaminya, kakak iparku, namanya Colin. Nanti, kita juga bakal ketemu Colin..."

"Udah berapa lama kerja di Max TV?"

Terus terang, Elora harus mengakui, daya ingat Rico sangat baik. Dan dia bertanya seperti seorang jurnalis.

"Mmm... Delapan tahun."

"Hari kerjanya, Senin sampai Jumat?"

Elora mengangguk. "Iya, jam delapan sampai jam lima sore. Itu kalo nggak lembur."

"Selain itu, kamu ada kegiatan lain lagi?"

Elora berpikir sejenak.

"Kuliah misalnya?" Rico mencoba mengarahkan.

"Nggak... Aku nggak kuliah... Aku dulu sekolah di SMK Broadcasting dan Film, makanya aku kerja di stasiun TV. Pinginnya sih kuliah lagi... Tapi belum ada uang. Boro-boro punya uang buat kuliah, buat sehari-hari aja pas-pasan..."

Entah kenapa, Elora mulai merasa rileks, dia malah jadi curhat panjang lebar.

Rico sudah selesai makan. Dia meletakkan rantang di atas lantai, bersandar di tembok, dan meluruskan kedua kakinya.

"Sekarang giliranku... Aku 31 tahun. Bilang aja aku pengajar musik privat. Lulusan IKJ. Asal Ambarawa. Anak tunggal. Aku rasa itu cukup, kalo ada yang kurang, kamu boleh tanya," tandas Rico dengan santainya. Ia masih memandang Elora.

"Kamu mau bikin cerita kita ketemu di sini, di kontrakan ini, atau di tempat lain? Kita harus sepakat dulu...," sambungnya.

Cowok ini memang serius waktu dia bilang dia sudah berpengalaman! Elora bahkan tak terpikir untuk mempersiapkan apa-apa.

"Kayaknya, yang beneran aja... Kita ketemu di sini, kamu tetanggaku, penghuni kontrakan Mbok Ika...," jawab Elora.

"Udah berapa lama kita pacaran?"

Elora memejamkan matanya untuk berpikir. Tidak boleh terlalu lama atau terlalu sebentar.

"Dua bulan."

"Oke."

Mereka berdua terdiam.

"Ada dress code? Maksudku, rencana mau pakai baju apa?" tanya Rico lagi. 

Detail sekali cowok aneh ini! 

"Mmm..." Elora sedang mengingat-ingat warna dress yang dia miliki. "Nggak ada yang khusus sih, aku pake dress biru aja..." 

Rico mengangguk.

"Oke, kayaknya udah cukup, kamu boleh balik ke rumah...," cetus Rico. Ia berdiri dari duduknya.

Elora juga berdiri, ia menghela nafas. "Ada yang belum aku kasi tau... Tante Fey itu orangnya cerewet, sering ngerendahin aku sama Kak Laura, waktu kami dulu tinggal di rumah mereka. Jujur aja, aku nggak dekat sama dia dan sepupuku, Trista... Jadi, harap maklum aja, kalo nanti sikapnya kurang enak atau gimana..."

"Nggak masalah, aku nggak ikut campur urusan itu. Lagian, dalam keluarga, pasti selalu ada yang nggak cocok."

Elora tak menduga Rico akan menanggapinya dengan begitu santai.

"Ya udah, aku mau balik dulu... Sini rantangnya..."

Elora baru mau mengulurkan tangannya, untuk mengambil rantang kosong di atas lantai.

"Nggak usah, biar aku cuci dulu," tolak Rico.

Tangan Elora terhenti. Ia memandangi Rico dengan wajah bingung.

"Aku cuma minta kamu buatin sarapan, bukan jadi tukang cuci juga," suara Rico terdengar lembut.

Mata mereka saling berpandangan.

Elora mengangkat bahunya. "Ya udah... Terus, gimana aku mau ngisi buat besok?"

"Nanti aku antar ke rumah, sekalian jemput kamu. Jam tiga?"

"Boleh, jam tiga. Aku balik dulu ya..." 

Elora berjalan keluar dari kamar kontrakan itu. 

"Nasi gorengnya enak," sekilas ia mendengar Rico berkata.

Elora memilih untuk tidak menjawab. Ia terus berjalan kembali ke rumah, tanpa menoleh. Kenapa cowok itu mendadak bisa membuat dia merasa gugup? 

Jam setengah tiga sore, Elora sudah mulai bersiap-siap. Ia mandi, berganti pakaian dengan dress selutut warna biru muda, dengan model lengan cape pendek. Elora bukan cewek yang suka dandan, tidak seperti Mia. Tapi, dia tak mau dipandang rendah oleh Tante Fey dan Trista. Ia memakai pensil alis, eye shadow dan maskara tipis, bedak, blush on, juga lipstik merah muda. Rambutnya di-curly. Terakhir, ia memakai sandal wedges warna cream.

Elora memandangi penampilannya sendiri di cermin. Kalau ada Mia yang meriasnya, dia mungkin lebih percaya diri. Tapi, sahabatnya itu pergi dengan Danu dari tadi pagi.

Ah, peduli amat! Dia cuma perlu ke rumah Om Hilman, menyapa dan memberi ucapan selamat pada Omnya itu, berbasa-basi sedikit, lalu pamit pulang. Makin cepat makin baik, sebelum kebohongannya dan Rico terbongkar.

Elora mengambil tas bahunya. Kado kecil untuk Om Hilman juga sudah ditaruh di dalam tas. Sekarang, tinggal ambil cardigan coklatnya, dan siap berangkat.

Rico datang tepat jam tiga. Ia terlihat rapi, rambutnya yang sebahu diikat. Ia memakai kemeja batik lengan pendek warna biru tua, celana denim hitam, dan sepatu boot coklat. Seperti biasa, ia juga memakai jaket, kali ini jaket kulit warna coklat tua.

"Kamu nggak keberatan kan, kalo naik Vespa?" tanya Rico, begitu mereka bertemu.

"Nggak kok... Sini rantangnya..."

Elora mengambil rantang dari tangan Rico, membawanya masuk ke rumah, lalu keluar lagi.

"Ayo naik...," kata Rico sambil memberikan helm.

Tumben, sekarang cowok ini bawa satu helm lagi. Tapi Elora merasa lebih baik diam saja. Ia naik ke boncengan belakang. Motor pun melaju meninggalkan rumah.

Rumah Om Hilman berada di daerah perumahan mewah di Jakarta Utara. Rumah bertingkat dua itu tampak ramai dari luar, beberapa mobil terparkir di luar di sekitar rumah, ada juga tiga buah mobil di halaman depan. Pagar dan pintu depan rumah terbuka lebar.

Rico berhenti di depan pagar. Elora turun dari motor. Ia melongok ke dalam halaman.

"Eh, Mbak El...," itu suara Pak Mul, driver sekaligus penjaga rumah Om Hilman yang setia. Dia masih ingat juga pada Elora. 

"Hai, Pak Mul..."

"Ayo, motornya masukin aja..." Pak Mul mengarahkan motor Rico untuk diparkir di dalam halaman, dekat pos tempat ia berjaga. 

Elora melepas cardigan-nya. Rico juga melepas jaket kulitnya, dan ditaruh di motor.

"Makasih ya, Pak... Pak Mul apa kabar?" sapa Elora.

"Baik, Mbak El... Mbak El jarang ke sini lagi ya, udah lama banget nggak ketemu."

"Lagi sibuk aja, Pak... Oya, kenalin ini Rico, Pak Mul...," Elora mencoba bersikap wajar saat mengenalkan Rico.

"Halo, Pak... Saya Rico." Rico bersalaman dengan Pak Mul.

"Oh iya, Mas..." Pak Mul mengangguk sopan dan tersenyum. "Mari, silakan masuk, Mas Rico, Mbak El..."

Sampai di depan pintu rumah, Elora menarik nafas dalam-dalam, menahan keinginannya untuk balik kanan dan pulang lagi. Toh mereka sudah sampai di sini.

"Berpura-pura aja, cuma satu dua jam kok," katanya dalam hati. Tapi perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya, perasaan yang sama sejak dulu dia tinggal di rumah ini.

"El...!"

Kak Laura yang menyambutnya. Elora merasa hatinya lebih tenang, dia masih punya kakaknya. Kak Laura terlihat cantik dengan dress longgar warna merah muda. Rambutnya dipotong pendek model bob. Dia lebih pendek sedikit dari Elora, tapi Elora selalu merasa Kak Laura lebih modis dan pintar dandan. Perutnya semakin membuncit, tubuhnya juga lebih gemuk berisi sekarang.

"Kak Laura...," sapa Elora sambil merangkul Kak Laura. "Udah berapa bulan nih? El sampai lupa..." Ia mengelus-elus perut sang kakak.

Kak Laura tertawa. "Dua bulan lagi, kamu jadi Tante El ya..."

Mereka tertawa bersama. Suami Kak Laura, Colin, menyusul di belakangnya. Colin bertubuh tinggi kurus, berkacamata, rambutnya coklat gelap, dan kulitnya putih kemerahan, seperti bule pada umumnya.

"Hai, Colin... How are you?" Elora bersalaman dengan kakak iparnya.

"El, lama tidak ketemu ya...," sambut Colin dengan ramah. Colin sudah tinggal lama di Indonesia, bahasa Indonesianya cukup baik, biarpun masih agak kaku.

"Iya nih..."

Mendadak, Elora teringat pada Rico.

"Oya, Kak Laura, Colin, kenalkan, ini Rico... Rico, ini Kak Laura, dan Colin..." Elora mencoba bernafas dengan tenang. Ia belum pernah bohong pada Kak Laura selama ini.

"Halo, Kak Laura, Colin... Saya Rico...," suara berat Rico menyapa dengan sopan.

Rico bersalaman dengan mereka berdua. Di luar dugaan, Elora melihat Rico tersenyum. Rasanya baru kali ini, Elora melihat senyumnya. Dua lesung pipi menghiasi wajahnya yang bercambang tipis.

"Halo, Rico...! Apa kabar?" suara Kak Laura terdengar sangat bersemangat. Ia tersenyum lebar.

Mendadak, Elora jadi merasa bersalah. Kak Laura selalu berharap Elora cepat punya pacar, pastilah dia merasa sangat gembira, mengira kalau harapannya akhirnya terwujud.

"Ayo masuk... Om udah nungguin..."


Kak Laura mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah. Wajah sang kakak terlihat berseri-seri, membuat jantung Elora berdetak makin tak karuan. Ini semua gara-gara ide gila Mia! 

Sambutan yang sama ramahnya diberikan oleh Om Hilman pada Elora dan Rico. Tampaknya Om Hilman memang benar-benar kangen pada keponakannya. Om Hilman sudah berumur hampir enam puluh tahun, berkacamata, rambutnya mulai memutih. Penyakit diabetes dan darah tinggi membuat tubuhnya jadi kurus, dan tidak segagah masa mudanya lagi.

"Aduh, kok repot-repot bawa kado segala...," kata Om Hilman, waktu Elora menyerahkan bingkisan kecil ke tangannya. Ia terkekeh.

"Nggak repot, Om... Cuma hadiah kecil kok..."

"Ayo, El... Makan-makannya di taman belakang. Temannya yang gagah ini diajak juga dong...," Om Hilman setengah menggoda.

Elora tersenyum gugup. Kelihatan tidak ya, kalau dia dan Rico sebenarnya tidak seakrab yang mereka kira? 

Tapi Rico tetap tersenyum, wajahnya tampak cerah, sepertinya dia jauh lebih menikmati sandiwara ini daripada Elora. Dan ia dengan setia mengikuti di samping Elora, menjalankan peran dengan baik. 

Di taman belakang yang luas, sejumlah meja dan kursi sudah tertata rapi. Di ujung taman, terdapat kolam renang yang tidak begitu besar, berbentuk setengah lingkaran. Taman belakang dan kolam renang ini belum ada, waktu Elora tinggal di sini lima belas tahun yang lalu. Setahu Elora, Trista yang meminta rumah itu diperluas. Ia membeli satu kaveling tanah di belakang rumahnya dengan penghasilannya sebagai artis.

Trista dan Tante Fey terlihat sedang berdiri di dekat kolam, bersama beberapa orang lain, yang dikenali Elora sebagai keluarga dari pihak Tante Fey. Kalau bukan Kak Laura yang menggamit lengannya ke sana, Elora pasti enggan mau menyapa mereka. 

"Tante, ini El udah datang...," Kak Laura yang bersuara duluan. "El, aku duduk dulu ya, jadi gampang capek belakangan ini...," sambungnya, lalu Colin menuntunnya untuk mencari kursi. 

Tante Fey dan Trista menoleh. Tante Fey sedikit lebih pendek dari Trista, tubuhnya padat berisi. Ia memakai dress panjang warna gold, rambutnya disasak tinggi. 

Sedangkan Trista memakai dress selutut warna merah menyala, dengan model lengan cold shoulder. Rambutnya kali ini digerai lurus, licin seperti habis disetrika, membuat wajahnya tampak semakin bulat.

"Tante... Apa kabar?" Elora mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Eh, kirain nggak datang...," sambut Tante Fey. "Habis nggak ada kabar sama sekali. Yah, biasalah, udah lupa sama jasa orang..."

Elora memilih diam, dia sudah hafal sikap sinis tantenya itu. Tante Fey mulai mencermati Elora dari atas sampai bawah.

"Hai, Tris..." Elora menyapa Trista juga. Trista cuma tersenyum tipis, dan menjabat tangan Elora dengan malas.

"Ini Rico..." Elora bertambah gugup. 

Rico maju ke depan. Sambil tersenyum ramah, ia menjabat tangan Tante Fey. "Sore, Tante... Saya Rico..." 

Lama-lama, Elora jadi terbiasa dengan suara berat Rico. Tante Fey memegangi kacamatanya, seolah butuh bantuan untuk melihat Rico dengan lebih jelas lagi. Mulutnya sedikit terbuka.

"Oh…," respon Tante Fey agak lambat. "Rico... Kamu...?"

"Pacarnya El, Tante...," Rico menyambung dengan nada tegas. Bibirnya tersenyum lebar. 

Sepertinya akting cowok ini sudah terlampau lihai, dia sebenarnya tidak perlu tersenyum seperti itu, membuat Elora rasanya ingin menginjak kakinya.

Trista langsung kelihatan antusias. Dia mengulurkan tangannya lebih dulu.

"Halo, aku Trista Calista...," sapanya sambil tersenyum.

Tumben Trista jadi seramah itu. Dan kenapa juga dia harus menyebutkan nama lengkapnya? 

Rico membalas jabat tangannya. "Halo, aku Rico..."

Cowok itu masih tersenyum, tapi tak merespon lebih jauh. Apa dia tidak tahu kalau Trista seorang selebritis?

"Pacarnya El? Kok dia nggak pernah cerita? Kenal di kantor?" tanya Trista tanpa basa-basi.

"Kita tetanggaan, aku ngontrak di samping rumah El...," jawab Rico, sesuai kesepakatan mereka.

"Oh…, di kontrakan samping itu..." Mata Trista mulai bersinar, seolah merasa menang.

Elora sudah tahu sifat Trista dan Tante Fey, selalu menilai segala sesuatu dari materi. Sebaiknya dia segera menarik Rico, dan pergi dari hadapan mereka, sebelum yang ditakutkannya muncul.

"Kenalin juga, ini pacar aku... My love, darling... Sini...!" Trista memanggil seseorang di kejauhan.

Elora merasa jantungnya berdetak kencang, sekujur tubuhnya tegang. Biarpun sudah tahu sebelumnya, tapi tetap saja dia tidak siap menghadapi ini.

Seorang pria menghampiri dari samping Trista. Pria yang selalu mengusik pikiran Elora. Elang Rajendra! 

Trista dan Elang memang sudah berpacaran sejak dua tahun terakhir. Elora tahu dari acara infotainment di TV.

"Halo… Aku Elang..." Elang menyalami Rico terlebih dulu.

"Halo, aku Rico..."

Saat berdiri berhadapan, Rico sedikit lebih tinggi dari Elang.

"Kok kayaknya wajahnya nggak asing ya? Pernah ketemu di mana ya?" Elang seperti mengingat-ingat.

"Oya?" respon Rico, ia menaikkan alisnya. "Yang pasti, aku nggak muncul di TV kayak kalian berdua..." 

Ternyata Rico bisa melucu juga, dan rupanya dia tahu, kalau Trista dan Elang adalah selebritis.

Elang tertawa renyah, membuat Elora bertambah gugup. Ia menoleh memandang Elora.

"Hai, El... Apa kabar?" sapa Elang, sambil menyalami tangan Elora. "Kemarin waktu di studio, aku mau panggil, tapi kamu udah keluar duluan..."

Ucapan singkat seperti itu saja sudah cukup membuat wajah Elora merona. Ternyata Elang melihat dia di studio Max TV!

"Oh..." Elora mendadak seperti linglung di depan idolanya. "Sorry, kemarin aku...pas lagi dipanggil sama supervisor..."

Berapa kali lagi dia harus berbohong seharian ini? Tangannya yang tadi bersalaman dengan Elang terasa bergetar, ia buru-buru menyembunyikannya di belakang punggung.

Elang tersenyum. "Kamu tuh selalu rajin ya..."

Tapi perkataannya langsung disambung oleh Trista, "Ah, buat apa juga rajin-rajin? Aku denger-denger, Max TV itu udah mau bangkrut lho, El..." Trista menatap Elora, bibirnya sekilas tersenyum. "Hati-hati aja..."

Elora menelan ludah. Dia juga tidak siap merespon ini.

"Jangan ngomong gitu dong, Yang...," Elang yang berkomentar. "Nggak mungkin lah, perusahaan gede gitu... Lagian, kamu kan juga masih main sitkom di situ."

"Ah, kalo cuma hilang satu itu sih, nggak masalah. Masih banyak job lain kok...," celetuk Trista dengan enteng.

Rasanya, sudah saatnya Elora cepat-cepat pergi dari sini.

"Itu cuma masalah kualitas kok... Max TV perlu perbaiki kualitas acara mereka," mendadak Elora mendengar Rico menyela. "Mereka harusnya lebih perhatiin kondisi karyawan, biar talenta karyawan bisa dimaksimalkan, dan kualitas acara jadi lebih bagus. Bukan cuma mikirin rating..."

Elora menoleh memandang Rico dengan wajah bingung. Dari mana dia belajar ngomong seperti itu? Elang dan Trista juga kelihatan tertegun.

"Oh, kamu juga kerja di TV, Rico?" tanya Elang ingin tahu.

"Nggak... Tapi aku sama El saling support karier kami masing-masing, biar semangat kerja... Iya kan, El?" Rico tersenyum dan merangkul bahu Elora dengan lembut, seolah ingin menegaskan ucapannya.

Elora berusaha tersenyum, biarpun terasa kaku. "Iya, dong...," sahutnya sambil memandang Rico.

Cowok ini benar-benar cocok jadi pemain sandiwara. Dan apa maksudnya rangkul-rangkul bahu segala?

Trista kelihatan seperti kurang senang, entah karena ucapan Rico, yang seolah menyindir dia yang tidak mendukung sepupunya sendiri, atau karena kemesraan yang dipamerkan Rico pada Elora.

"Mmm…aku mau ke Kak Laura dulu ya..." Elora mencari alasan untuk segera pergi dari situ. "Rico, kamu mau minum nggak?" ia memberi isyarat.

"Oh, boleh...," sahut Rico, suaranya tetap terdengar penuh semangat.

"Permisi dulu ya...," pamit Rico pada Trista dan Elang. Lalu, ia menggandeng tangan kanan Elora, dan melangkah dengan santai, seolah itu hal yang sudah biasa dilakukannya!

Jantung Elora langsung berdebar-debar. Cowok aneh ini benar-benar...! Tapi dia urung menarik tangannya, Trista atau Tante Fey bisa saja melihatnya. Elora agak meremas tangan Rico, dan mendekatkan tubuhnya.

"Perlu ya kayak gini? Kayaknya, kita nggak ada sepakat soal ini...," bisik Elora.

"Santai aja, El... Ini bagian tugasku...," Rico menjawab dengan suara pelan juga. Ia menatap lembut, tepat ke mata Elora.

Elora kehilangan kata-kata. Entah kenapa, tatapan mata Rico terasa menenangkan. Lagipula, tadi Rico sudah membela dia di depan Trista. Kalau mau bersandiwara, sekalian saja mainkan dengan sebaik mungkin.

Elora mengajak Rico ke tempat Kak Laura dan Colin duduk.

"El, kamu gimana sih? Ajak Rico ambil makan sama minum dulu dong...," protes Kak Laura. "Nih, aku udah makan duluan..."

"Aku saja yang temani. Ayo, Rico...," Colin yang menawarkan diri. 

Rico dengan antusias mengikuti Colin, mereka berdua tampak mengobrol. Elora mengambil tempat duduk di samping Kak Laura. Dia jadi curiga, Colin mungkin sengaja menemani Rico, supaya Kak Laura bisa punya kesempatan untuk ngobrol dengannya.

"Kamu nggak pernah cerita soal Rico...," Kak Laura mulai bicara, sesuai dugaannya.

"Baru dekat dua bulan ini, Kak...," Elora buru-buru menyahut, dengan jawaban yang sudah dihafalnya. Tapi ia tak berani menatap mata Kak Laura. Apa dia perlu mengaku dosa ke Kak Laura, setelah semua ini selesai?

"Oh... Ketemu di mana?"

"Dia tinggal di kontrakan Mbok Ika."

"Asli mana?"

"Ambarawa."

"Jauh juga... Dia kerja apa kuliah?"

"Kerja, Kak..."

"Keliatannya orangnya baik, sopan... Keren juga lho..." Kak Laura menyenggol Elora dengan bahunya, sambil tertawa kecil.

Andai Elora bisa menikmati semua itu dengan tertawa santai, seperti Kak Laura. Tapi yang dia rasakan cuma rasa bersalah.

"Kakak gimana kabarnya?" Elora mengalihkan pembicaraan. "Masih sering mual?"

Kak Laura menggeleng. "Udah jarang. Makanya, kamu sering main dong, ke rumah kami..."

"Kakak sih, tinggalnya di Serpong, kan jauh..."

"Ah, alasan..." Kak Laura menjewer telinga Elora, kebiasaannya kalau gemas pada adiknya itu. "Gini aja deh... Gimana kalo besok, Colin jemput kamu sama Rico pake mobil? Kalian ikut ke rumah kami ya..."

Elora terpaku. Dia tak sanggup kalau mesti bersandiwara lagi besok.

"Rico besok ada kerjaan, Kak... Aku aja yang ke rumah ya...," Elora berusaha mengelak.

"Kerjaan apa hari Minggu?"

"Dia ngajar musik, privat gitu..."

Kak Laura sejenak terdiam.

"Justru, kami kan pingin kenal dia lebih dekat..."

Elora sudah bisa menebak maksud Kak Laura.

"Baru juga dekat dua bulan, Kak... Nggak usah buru-buru. Nanti dia takut lagi, dikira ada apa..."

"Lho? Umur kalian itu kan emang udah umur harus serius. Berapa sih umurnya?"

"Tiga satu."

"Tuh kan, dia juga udah di atas tiga puluh. Dia pasti tau, kalo nggak boleh main-main lagi. Kalo dia deketin kamu cuma buat senang-senang, mendingan nggak usah deh...," Kak Laura mendadak jadi sewot.

"Ih, Kakak itu lho... Maksud El, biar aja kita jalan dulu, yah, setidaknya sampai enam bulan deh... Kalo emang nggak cocok, ya udah... Kalo cocok, baru deh El ajak ke rumah Kakak, biar kenal lebih dekat."

Entah dari mana Elora mendapat ide untuk menghindar seperti itu. Sepertinya, dia sudah makin mahir berbohong.

"Terus, ngapain kamu ajak dia ke sini sekarang?"

Pertanyaan Kak Laura membuat Elora terdiam. Masa dia harus jawab, supaya tidak dicereweti Tante Fey?

"Ya buat kenalan aja...," suara Elora memelan. "Sekalian biar ada yang nganterin aku."

Elora memarahi dirinya sendiri dalam hati, karena dia sendiri tak pernah memanfaatkan cowok untuk antar jemput seperti itu. Dia kedengaran seperti cewek-cewek ABG yang labil.

"Ih…nggak banget deh..." Kak Laura menjewer telinganya lagi. "Itu tuh bukan sifat kamu banget..."

Kak Laura memang sangat paham sifat Elora.

"Bilang aja, buat pamer ke Tante Fey kan?" Kak Laura mendekatkan wajahnya dan berbisik pelan. "Si Rico udah tau belum alasannya?"

Sudah tahu, malah Rico yang lebih pandai mengajari aku, erang Elora dalam hati. Tapi tentu saja, dia tak bisa ngomong ke Kak Laura. Tidak sekarang, di saat mereka berdua sudah telanjur bermain peran dengan baik.

Elora menggeleng lesu. Tepat pada saat itu, Rico dan Colin kembali ke tempat duduk mereka. Wajah mereka berdua tampak berseri-seri. Ngobrol apa saja ya mereka?

Rico duduk di samping Elora. Tangannya membawa piring berisi nasi dan lauknya.

"Kamu mau makan, El?" Rico menawarkan. "Enak lho..." Mulutnya mulai mengunyah dengan nikmat.

"Kamu bener-bener menikmati ya...," goda Elora setengah menyindir.

Rico tersenyum sambil memandang Elora. "Santai, El... Kamu juga harus nikmati..."

Kenapa juga cowok ini jadi murah senyum hari ini? Elora baru saja mau menjawab, ketika tiba-tiba Kak Laura menepuk bahunya.

"Ambil makan dulu, El... Kamu belum makan kan?" Kak Laura menyuruh.

Elora menurut. Tapi dalam hati, ia khawatir. Semoga saja Kak Laura tidak ngobrol dengan Rico, dan mengajaknya ke rumah. Kalau alasan mereka sampai beda, bisa runyam.

Elora melangkah ke meja panjang tempat makanan dipajang. Ada nasi dan lauk pauk lengkap, ada juga snack seperti kue dan buah. Rasanya dia tak berselera makan yang berat, lebih baik makan snack saja. Ia mengisi piring kecil dengan puding vanilla, cupcake coklat, dan sepotong brownies.

Elora baru saja melangkah ke meja minuman, ketika tiba-tiba Tante Fey dan Trista menghampirinya.

"Tadi Tante tanya Mul, katanya kamu datang naik motor...," Tante Fey mulai bicara, nada suaranya kedengaran tidak enak di telinga Elora. Ia tersenyum sinis. "Kamu nggak punya selera cowok yang lebih baik? Kalo sama-sama kere, buat apa?"

Elora berusaha menarik nafas dalam-dalam. Ia membalas tatapan mata Tantenya itu.

"Tante jangan nilai orang cuma dari kendaraan...," katanya dengan nada tenang, biarpun sebenarnya, hatinya sudah mulai bergemuruh.

"Oh, emang dia punya pabrik Vespa?" 

Tante Fey tertawa. Trista juga ikut tertawa, sambil mengambil gelas soda. Elora melirik ke arah tempat duduk Kak Laura, berharap bisa menghindar, perasaannya sudah tidak nyaman.

"Kamu mestinya belajar dari Mama kamu. Dia dulu ngotot mau nikah sama Papa kamu, padahal laki-laki itu nggak punya apa-apa. Cuma modal cinta... Ternyata bener kan? Papa kamu meninggal waktu kalian masih kecil-kecil. Terus, Mama kamu kerja sendiri setengah mati demi hidupi kalian. Akhirnya..., ya dia sakit juga... Setelah Mama kamu meninggal, malah jadi nyusahin keluarga kami, mesti nampung kalian yang nggak tau terima kasih ini..."

Ini sudah keterlaluan. Tidak peduli apapun jasanya pada Elora dan Kak Laura, Tante Fey tetap tak berhak menghina keluarga mereka.

"Saya permisi, Tante..." Elora masih mencoba menahan diri untuk tidak berkata kasar, dia cuma ingat kebaikan Om Hilman.

"Eh…" Trista menahan lengan Elora. "Udah mau pulang? Jangan lupa, next aku yang bakal ngundang kamu... Ke pesta pertunangan aku sama Elang."

Elora merasa tangannya gemetar hebat, paru-parunya seperti dihimpit, sesak sekali. Ia menaruh kembali piring di tangannya ke atas meja, lalu berbalik hendak pergi. 

Mendadak, Trista sudah berdiri di hadapannya, seolah sengaja menghalangi. Elora terperanjat, kakinya sudah telanjur melangkah, dan...bruk! Ia menubruk tubuh Trista. Minuman soda dingin yang ada di tangan Trista tumpah, membasahi bagian dada dress Elora dan dress Trista, menimbulkan bercak noda warna merah.

"Liat-liat dong kalo jalan...!" Trista berteriak, lalu mendorong Elora menjauh. "Aduh, dress-ku...!" tangisnya dengan suara keras. 

Elora sudah tak tahan lagi. Semua orang memandangi mereka berdua, dan teriakan Trista membuat semua tuduhan mengarah pada Elora. 

Elora berjalan dengan cepat, menuju ke arah pintu, yang menghubungkan rumah dengan taman belakang. Ia sudah tak peduli lagi dengan sopan santun. Rasa dingin dan basah di bagian dadanya juga diabaikannya.

"El….! El...!"

Elora mendengar suara Kak Laura memanggil, tapi ia berjalan lebih cepat, setengah berlari. Pergi dari sini secepatnya! Dari awal, harusnya dia memang tidak usah datang! 

Sebuah tangan kuat mencengkeram lengannya, saat dia sudah sampai di ruang tengah di dalam rumah. Elora meronta.

"Lepasin...!"

"El…." 

Rico menarik tangannya dan merangkul pinggangnya. Elora terkejut, mendapati dirinya setengah dipeluk Rico.

"Ini aku. Ayo, aku antar kamu pulang..."

Entah kenapa, suara Rico yang lembut membuat Elora menjadi lebih tenang. Tatapan mata Rico seolah memintanya untuk percaya pada cowok itu. Elora menunduk, menahan air matanya.

Rico melepaskan pelukannya, lalu ia menggandeng tangan kanan Elora. Mereka terus berjalan ke pintu depan. Tidak ada orang lain yang menghalangi.

Sampai di motor, Rico mengambil cardigan Elora, dan membantu Elora mengenakannya. Pikiran Elora seperti masih melayang entah ke mana. Lalu Rico menstarter motornya, Elora naik di belakang, dan mereka pun meluncur meninggalkan rumah Om Hilman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status