Share

5

"Kita mau ke mana?"

Rico menghentikan motornya di kompleks pertokoan yang ramai, di depan sebuah bangunan dua lantai, yang kelihatan seperti kafe dengan cat warna-warni yang semarak. Elora membaca papan nama di depan bertuliskan : EZ Cafe, Cakery and Ice Cream.

"Mampir bentar... Ini punya temanku," jawab Rico.

Ia melangkah ke pintu kafe, membukanya, dan menoleh memandang Elora. Elora mau tak mau mengikutinya masuk.

Kafe itu bernuansa romantis, dengan kombinasi warna pastel yang lembut. Meja dan kursi warna-warni tertata rapi. Elora melirik arlojinya, sudah hampir jam enam sore. Pengunjung kafe lumayan ramai, hampir semua meja terisi. Mereka pasti sedang nongkrong menikmati malam minggu. Wajah-wajah ceria tampak di mana-mana, kontras sekali dengan suasana hati Elora saat ini.

Rico menghampiri counter, seorang cowok bertubuh tinggi besar menyambut dengan gembira. Cowok itu kayaknya bukan orang lokal, karena kulitnya putih bersemu kemerahan, dan rambutnya pirang seperti bule. Mereka berdua bersalaman, mengobrol, dan berbagi tawa akrab. Elora cuma terpaku di dekat pintu masuk. 

Apa itu 'teman cowoknya' Rico? Elora membatin. Jadi, selera Rico yang luar negeri seperti itu. Ah, kenapa juga dia mesti peduli?

Elora melihat Rico sedang ngobrol dengan cowok bule itu, lalu menoleh memandangnya. Mereka sedang ngomong apa tentang dia?

Rico berbalik dan menghampiri Elora. "Ayo ikut...," katanya singkat.

Ia berjalan ke bagian dalam kafe, membuka sebuah pintu geser. Ternyata, di bagian belakang masih ada ruangan semi-outdoor yang luas dan terang, dihiasi lampu tumbler warna-warni. Rico terus berjalan, sampai ke sebuah meja kosong yang berada di sudut, agak tersembunyi karena dibatasi oleh dinding bata dan pot tanaman. Sepertinya, meja itu memang khusus untuk yang butuh privasi.

"Duduk aja dulu. Nanti aku balik lagi." 

Rico menunjuk ke arah kursi. Setelah Elora duduk, Rico berbalik dan meninggalkan Elora sendirian.

Mau apa sih Rico? Kenapa mengajaknya ke sini? Elora menunduk, memandang dress-nya yang masih agak basah. Noda merah terlihat jelas di bagian dada, ia berusaha menutupi dengan cardigannya. Trista itu benar-benar... 

Mengingat kembali kejadian di rumah Om Hilman tadi membuat mata Elora mulai berkaca-kaca lagi. Elora menggelengkan kepalanya. Tidak, dia tak akan menangis lagi! Dia sudah banyak menangis, waktu dulu tinggal di rumah Omnya, dan dia seharusnya sudah kebal. Kata-kata Tante Fey dan Trista tak bisa menyakitinya lagi. Tapi, yang membuat pikirannya kacau adalah ucapan terakhir Trista. Elang akan bertunangan dengan Trista!

Kepalanya mulai terasa berputar lagi. Apa sih yang dilihat Elang dari Trista? Karena Trista cantik? Semok? Seorang artis? Kaya? Memangnya Elang tak tahu, seperti apa cara Trista memperlakukan orang lain? Kalau saja Elang memilih cewek lain yang lebih layak, lebih baik dan manis, mungkin Elora masih rela. Ternyata cowok ganteng seleranya bisa jelek juga. Elora mengomel dalam hati, menumpahkan kekesalannya.

Mendadak, Rico muncul lagi. Ia menyodorkan sebuah kantong plastik putih pada Elora.

"Ganti dress kamu pake ini," ucapnya tiba-tiba. "Biar nggak masuk angin."

Elora terperangah. Ia melihat ke dalam kantong plastik itu, isinya sehelai T-shirt warna biru muda, dan celana denim tiga perempat warna hitam.

"Ini…," Elora kehilangan kata-kata. Ia memandang kebingungan pada Rico yang duduk di hadapannya. 

"Ganti dulu di toilet sana...," sambung Rico, ia menunjuk ke arah kiri.

Elora tak tahu harus merespon apa. Tapi tatapan mata Rico terlihat tulus, dan dia harus menghargai usaha cowok ini. Lagipula, dress-nya yang basah bernoda terasa tidak nyaman dipakai. Dia berjalan ke toilet untuk pengunjung.

Pakaian yang diberikan Rico jelas baru, biarpun tidak ada label harga lagi. Ukurannya pun pas dengan tubuh Elora. Jadi, Rico tadi pergi beli baju untuk dia dulu? 

Sepuluh menit kemudian, Elora sudah balik ke tempat duduknya. Rico terlihat duduk santai, meneguk segelas kopi hangat di depannya. Ia mendorong sebuah buku menu makanan di atas meja ke depan Elora.

"Mau pesan apa? Kamu belum makan tadi."

Elora tambah bingung lagi.

"Rico…"

"Aku yang traktir."

"Kenapa kamu jadi baik banget sama aku?"

"Emangnya kamu pikir aku orang jahat?"

"Bukan gitu... Maksud aku...," Elora terbata-bata. "Aku nggak bisa bayar kamu...maksudnya balas kamu... Aku nggak bisa balas semua ini..."

Mata mereka beradu pandang.

"Nggak semua orang minta balas budi. Lagian, aku udah dapat bayaran dari kamu kan?" Rico memandangnya dengan alis terangkat.

Elora terdiam. Maksudnya sarapan selama dua minggu itu? Dan tadi dia bilang, tidak semua orang minta balas budi, apa dia menyindir ucapan Tante Fey?

Daripada berdebat, Elora lebih baik membaca menu. Menu makanannya lebih bernuansa Western, kebanyakan berupa cemilan dan kue, serta es krim!

"Aku mau es krim cookies and cream...," kata Elora dengan suara pelan, seolah takut ditertawakan.

Rico memandang dengan dahi berkerut. "Kamu belum makan apa-apa lho, nanti sakit perut."

Kenapa cowok ini jadi cerewet ya?

"Masalahnya...," Elora ragu-ragu. "Aku nggak tau mau pesan apa... Namanya aneh-aneh...," suara Elora memelan.

Rico seperti berusaha menyembunyikan senyumnya. Elora merasa wajahnya tambah merah.

"Lagian, kenapa sih nggak pake nama yang gampang aja? Ini ada croissant, short pastry, aku cuma tau itu sejenis roti, tapi yang kayak apa? Terus fettuccine, ravioli, aku tau itu kayak pasta, tapi rasanya gimana? Aku belum pernah makan semuanya...," Elora berceloteh. Ia merasa malu, tapi memang itulah kenyataannya.

Rico berdehem, mungkin untuk menutupi senyumnya. "Kamu maunya makan apa? Bisa request kok..."

Elora terdiam. Masa dia harus bilang, kalau yang dia mau adalah makanan bersaus kacang, seperti gado-gado atau ketoprak? 

"Kamu nggak makan? Aku samain kamu aja deh...," Elora memutuskan.

"Oke, aku pesenin aja..." 

Lalu Rico mengambil kembali buku menu, dan berjalan ke counter depan.

Elora menghela nafas. Berada di dekat Rico memang bikin bingung. Kadang cowok itu seperti dingin dan cuek, tapi dia juga bisa jadi baik, seperti hari ini. Dia sudah berkali-kali menolong Elora. 

Rico kembali ke tempat duduknya. Ia meneguk kopinya lagi. 

Elora merasa ponsel di dalam tasnya terus bergetar. Didiamkannya saja. Itu mungkin Kak Laura, tapi dia merasa butuh waktu untuk tenang.

"Sekarang, kamu boleh cerita." Mendadak, Rico menatapnya dengan wajah serius.

"Cerita apa?" Elora langsung bersikap defensif.

"Soal tadi."

"Kenapa aku mesti cerita sama kamu?"

"Emang nggak mesti. Aku cuma merasa, kamu butuh tempat curhat."

"Terus, kamu bisa jadi tempat curhat aku?"

"Kamu nggak mau angkat telpon dari kakakmu. Jadi, kamu mau curhat ke siapa?"

Kok Rico bisa tahu kalau Kak Laura yang menelepon?

"Lagian, curhat bisa bantu ringanin beban hati kamu," sambung Rico. "Aku bukan siapa-siapanya kamu, jadi nggak ada beban buat cerita sama aku. Toh aku nggak kenal keluarga atau teman kamu juga. Aku nggak mungkin cerita ke siapa-siapa."

Kenapa cowok ini selalu pandai meyakinkan orang dengan kata-katanya yang masuk akal?

"Ingat ya, kita cuma pura-pura pacaran... Kamu nggak perlu baik sama aku," Elora merasa harus mengingatkan Rico.

"Ingat juga, kamu masih utang sarapan buat 13 hari," Rico menanggapi dengan enteng.

Mereka saling berpandangan selama beberapa saat. Ada yang datang menghampiri. Elora langsung mengalihkan pandangannya. Ternyata cowok bule yang di counter tadi. Ia membawa nampan di tangannya.

"Hello, sorry ganggu," sapanya dengan bahasa Indonesia yang masih terdengar kaku. 

"Ini untuk my lady..." 

Ia menaruh sepiring nasi goreng dengan lauk ikan teri dan telur dadar di depan Elora, segelas es krim cookies and cream, dan segelas air putih.

"Dan ini untuk my best friend." 

Sepiring nasi goreng yang sama ditaruh di depan Rico.

"El, ini Zack. Zack, ini Elora," Rico saling memperkenalkan mereka berdua.

"Hai, Zack..." Elora mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Hello, Elora... Senang bertemu denganmu...," sapa cowok bule itu sambil tersenyum ramah. 

Ia menyambut tangan Elora dan menundukkan kepalanya, hendak mengecup tangan Elora. Tapi mendadak, Rico menarik lengan Zack menjauh. Elora terperanjat karena gerakan yang sangat cepat itu, tapi Zack malah tertawa dengan suara keras. 

"Stay away, Zack...," kata Rico dengan nada memperingatkan, tapi bibirnya tersenyum. Matanya menatap tajam pada Zack.

Zack masih tertawa. "He's jealous...," responnya sambil memandang Elora, tangannya menunjuk ke Rico. Lalu ia berjalan pergi, masih sambil tertawa-tawa.

Elora memandangi Zack yang menjauh. Rico cemburu karena Zack mau mengecup tangannya? Peduli amat! Dia juga tidak tertarik mengusik hubungan antara kedua cowok itu, kalau memang benar antara Rico dan Zack ada 'sesuatu'.

Elora memandangi nasi goreng di depan matanya. Ini yang dipesan Rico?

"Emangnya tadi ada nasi goreng teri di menu?" Elora masih kebingungan. "Aku kok nggak liat..."

"Nggak ada, tapi nanti aku minta Zack tambahin di menu, ini bisa dijual," sahut Rico, dia sudah asyik mengunyah.

"Kamu yang minta?"

"Hmhm..."

"Ini kan mirip nasi goreng yang aku buat tadi pagi."

"Iya, kan aku udah bilang, nasi goreng buatan kamu enak."

Elora tertegun. Rico sampai minta dibuatkan nasi goreng yang sama dengan buatannya, padahal di menu kafe ini tidak ada?

"Kalo kamu mau, besok pagi aku bisa buatin lagi kok... Kalo beli di kafe ini kan pasti mahal…," Elora setengah berbisik.

Rico mendadak terbatuk-batuk, sepertinya tersedak. Elora terkejut, ia buru-buru menyodorkan gelas berisi air putih di depannya. Rico menerima dan meneguk air, barulah ia tenang kembali. Wajahnya agak memerah.

"Kamu kenapa sih?" tanya Elora bingung. "Pelan-pelan dong makannya..."

Rico menatapnya. "Besok pagi, masakin aku yang lain, jangan nasi goreng teri lagi."

Elora termangu. Sekarang cowok ini tambah cerewet saja. 

Elora memilih mencicipi es krimnya lebih dulu. Sendokan pertama, mmm... Nikmat sekali! Elora memang paling suka es krim.

Elora tidak sadar Rico sedang memperhatikannya. Sampai sendokan ketiga, barulah ia berhenti, karena menyadari tatapan mata Rico.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Kamu suka es krim?"

Elora mengangguk. "Siapa sih yang nggak suka? Kamu juga suka?"

Rico tak menjawab, ia melanjutkan makan. Elora mengerutkan dahi. Kenapa sih tidak dijawab?

"Oh, aku tau! Kamu suka nasi goreng...!" seru Elora dengan semangat, seolah berhasil menang tebak-tebakan.

Rico sampai berhenti mengunyah dan menatapnya lagi.

"Kayaknya, habis makan es krim, kamu jadi lebih ceria," komentar Rico.

Elora terdiam. Benar juga sih kata cowok itu. Hatinya merasa lebih ringan sekarang.

"Kamu beneran mau dengerin aku curhat?" Elora bertanya dengan suara pelan.

"Tadi aku kan udah bilang, kalo bisa ringankan beban kamu, cerita aja..."

Elora menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya, perlahan-lahan ia mulai bercerita, mulai dari kata-kata Tante Fey yang menghina keluarganya, sampai ke ulah Trista, yang sepertinya sengaja menghalangi jalannya, sehingga ia menumpahkan minuman soda ke dress mereka berdua. Sepertinya Rico mendengarkan dengan baik, biarpun ia tetap sambil makan.

Selesai cerita, Elora menarik nafas panjang lagi. Tidak terasa es krimnya sudah habis. Ia mulai menyendok nasi gorengnya. Rico ternyata malah sudah selesai makan, sekarang ia meneguk kopinya. 

"Kamu naksir aktor itu, Elang?" mendadak Rico bertanya.

Giliran Elora yang tersedak dan terbatuk. Rico menyodorkan gelas air putih tadi. Elora meneguk air, dan berusaha mengatur nafasnya. Ia memandang Rico dengan wajah kesal.

"Kenapa? Bener kan kataku?" Rico malah memasang wajah tak berdosa.

"Kok kamu bisa ngomong kayak gitu sih?" protes Elora. Sebenarnya dalam hati, ia jadi cemas. Apa selama ini kelihatan begitu jelas, kalau dia naksir Elang?

"Yah... Karena tadi kamu cerita, habis Trista bilang dia mau tunangan sama Elang, kamu langsung naruh piring dan mau pergi. Iya kan?"

Elora tertegun. Cowok ini pendengarannya juga detail sekali! 

"Emang keliatan ya?" gumam Elora dengan suara pelan.

"Nggak juga sih... Karena pada dasarnya, kamu orangnya emang gampang gugup, jadi nggak bisa dibedain, kamu gugup karena suka sama dia, atau karena emang grogian...," Rico menyahut dengan enteng.

"Kenapa kamu suka sama dia?" sambung Rico lagi.

Elora memikirkan jawabannya. "Karena...dia pernah ngucapin terima kasih ke aku, habis dia syuting di studio Max TV... Aku nggak ngira kalo aktor terkenal kayak dia bisa ramah gitu..."

Mereka berdua terdiam.

"Selain itu? Ada alasan lain?"

"Karena...dia ganteng, senyumnya manis, orangnya tinggi, enak diliat..." Elora terus memikirkan jawabannya.

"Yang selain alasan fisik nggak ada?"

"Mmm... Ya tadi itu, dia ramah, murah senyum..."

"Selain itu? Kamu tau gimana sikap dia sama orang lain, baik atau nggak? Dia orangnya setia atau nggak? Apa hobinya? Kalian punya minat yang sama atau nggak?" Rico terus bertanya.

"Yah, harusnya sih baik..., kayaknya dia sopan... Kayaknya dia juga setia, buktinya bisa pacaran dua tahun sama Trista...," sahut Elora, tapi kemudian terdiam, karena dia memang tak tahu apa hobi Elang.

"Kamu bilang kayaknya... Kamu nggak tau pasti, karena nggak kenal dia kan?"

Elora mulai kesal. "Terus, maksud kamu apa sih?"

Rico menghela nafas. "Maksudku, kamu harus bisa bedain, antara kamu kagum sama orang, karena kamu nge-fans dia..., atau kamu bener-bener sayang sama dia. Buat apa kamu sakit hati sama Trista, karena dia mau tunangan sama Elang, padahal kamu sendiri nggak kenal baik sama Elang? Itu namanya kamu cuma iri hati..."

Ucapan Rico membuat Elora seperti kena skak mat. Dia memang tidak benar-benar kenal Elang. Boro-boro mau kenal, berada di dekat Elang saja, dia sudah gugup dan rasanya mau cepat-cepat pergi.

"Terus, maksud kamu, aku harus kenal dia dulu?" Elora bertanya dengan suara pelan. 

"Sebelum kenal dia, lebih baik kamu kenal diri kamu sendiri aja dulu..." Jawaban Rico benar-benar aneh.

"Hah? Ngomong apa sih? Masa aku nggak kenal sama diri sendiri?" protes Elora.

Rico memutar-mutar gelas kopinya. Lalu, ia menatap Elora dengan mata tajamnya.

"Kamu tau, cowok kayak apa yang kamu mau, buat jadi pasangan?"

Elora terdiam. Dia harus bisa jawab. Kalau tidak, Rico akan makin senang, karena merasa benar.

"Mmm… Yang ganteng, eh, maksudnya yang manis, enak diliat..." Baru jawaban pertama saja, dia sudah terbata-bata!

"Terus, yang tinggi, putih, bersih, senyumnya manis, kayak Ji Chang Wook..." Elora terhenti, karena melihat Rico menaikkan alis dan menatap dia dengan mata membelalak.

"Kamu sadar, kalo itu semua cuma kriteria fisik kan?" Rico bersuara. "Apa kamu juga mau dinilai cowok cuma dari fisik kamu?"

Elora merasa seperti habis ditampar. Wajahnya memerah. Apa maksud Rico? Dia sadar, dia tidak cantik-cantik amat, manis mungkin, bodinya juga biasa saja, tidak seperti model... Elora mendadak jadi merasa rendah diri.

Mereka sama-sama terdiam lagi.

"Dulu, waktu tinggal di rumah Om Hilman, Tante Fey suka bilang kalo aku jelek...," entah kenapa Elora tiba-tiba ingin mencurahkan isi hatinya.

"Dia selalu muji Trista... Terus bandingin aku sama Trista... Kak Laura bilang, nggak usah didengerin. Tapi tetap aja, aku masih sakit hati kalo ingat itu..." Elora menarik nafas.

"Kenapa harus dengerin dia? Dia bukan Mama kamu. Kalo Mama kamu sendiri bilang apa tentang kamu?" timpal Rico.

Elora tersenyum membayangkan tentang Mama. "Mama itu paling baik sedunia... Mama sering peluk aku, nyisirin rambutku sebelum tidur, bilang kalo aku putri kecilnya yang cantik..." Suaranya mendadak tertahan di tenggorokan. Elora mengejap-ngejapkan mata, menahan air matanya. "Aku kangen Mama..."

Elora merasa mata Rico menatapnya dengan lembut. 

"Kalo gitu, tiap kali kamu merasa nggak percaya diri, ingat aja ucapan Mama kamu... Karena cuma Mama kamu yang paling tau tentang kamu..."

Elora memandangi Rico. Kenapa sekarang cowok ini berkata begitu manis padanya?

"Bukannya cowok juga selalu nilai cewek dari fisik aja?" Elora bertanya dengan suara pelan.

"Nggak juga. Mungkin waktu awal ketemu, iya... Tapi, kalo udah kenal lebih jauh, banyak hal yang lebih penting dari sekedar fisik."

"Kamu kedengaran kayak orang yang tau banget...," ujar Elora. 

Mendadak, dia teringat kata-kata Mia, bahwa Rico bisa mengajari dia bagaimana cara menarik perhatian cowok. 

"Mmm... Kamu mau nggak...ngajarin aku cara dapetin cowok...?" Elora bertanya dengan ragu-ragu. "Aku udah bosan jadi jomblo... Aku pingin punya pacar beneran... Bukan bohongan, bukan sandiwara lagi..." 

Elora menundukkan kepala, sambil memainkan sendok di piringnya. Dia sudah membuang semua rasa malunya, toh Rico juga sudah tahu kondisinya yang menyedihkan.

Hening sejenak.

"Aku nggak bisa ngajarin kamu, kalo niat kamu cuma mau rebut Elang dari Trista," jawab Rico dengan suara tegas.

Elora mengangkat kepalanya memandang Rico. "Nggak, bukan itu..." Elora menggeleng dengan cepat. "Bukan itu maksud aku."

"Beneran? Bukannya kamu suka Elang? Kalo kamu tetap harapin dia, dan nggak buka hati kamu buat cowok lain, nggak ada gunanya..." Rico mengangkat bahunya.

Elora menggigit bibir bawahnya. Apa dia sudah siap melupakan Elang?

"Aku serius... Aku nggak mau harapin Elang lagi, toh dia juga udah mau tunangan...," akhirnya Elora memutuskan. "Aku pingin bahagia juga..."

Mereka berdua saling berpandangan.

"Bayaranku tambah mahal lho..." Rico menaikkan alisnya.

"Aku buatin kamu sarapan sebulan...!" sambung Elora buru-buru.

Rico masih diam menatapnya. Elora menghela nafas.

"Dua bulan?" Suara Elora memelan.

"Deal. Dua bulan dari hari ini."

Rico tampak tersenyum puas. Elora yakin dia pasti sudah benar-benar putus asa, sampai harus minta tolong cowok aneh yang baru dikenalnya beberapa hari ini. Tapi entah kenapa, dia merasa percaya dengan Rico.

"Besok kamu ada waktu?" tanya Rico.

"Hah?"

"Kita mulai pelajaran pertama."

"Besok Minggu?"

Rico mengangguk.

"Jam berapa?"

"Jam sembilan."

"Oke."

"Dan PR kamu malam ini, sebelum mulai pelajaran pertama, cari tau arti nama kamu..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status