Share

Eternal Love #5 Cry

Selama ini Allicia selalu menyimpan tangisnya sendiri, dia memang berubah muram tapi dia tidak pernah menangis didepan siapa pun.

Tapi mendengar bentakkan daddynya bukanlah hal yang ingin didengarnya. Dia rindu daddynya yang selalu menggendongnya saat daddynya pulang kerja, menciumi pipinya, bercerita banyak hal padanya hingga dia tertawa. Dia rindu daddy yang menjahilinya, dia rindu semua tentang daddynya, dia hanya ingin daddynya minta maaf karena dulu membentaknya atas kesalahan yang tidak diperbuatnya. Tapi keinginan sederhananya tidak pernah terwujud, sudah berapa ulang tahunnya ia lalui tanpa perayaan karena hatinya yang lara.

Kenapa? Apa daddynya tidak lagi menyayanginya?

Dan kini untuk kedua kalinya daddy membentaknya. Badannya bergetar usai daddy mengatakan hal yang tak ingin didengarnya. Daddy pergi dengan menggendong Aurora yang penuh darah, dia melihat kedua tangannya yang penuh darah, ada pisau ditangan kanannya.

Sungguh dia tak tahu apa yang terjadi, saat dia asik dengan melodi dari Ipod yang diputarnya, dia merasa ada yang menggenggam sesuatu ditangan kanannya. Saat dia membuka mata karena kaget, matanya semakin membulat dengan apa yang dipegangnya, apalagi apa yang dilihatnya dilihatnya Aurora perutnya mengeluarkan darah. Darah yang sama dengan yang ada di tangannya.

Didengarnya teriakan Angel, sungguh dia masih bingung kenapa Aurora bisa terluka. Dan sejak kapan mereka ada disini?

Belum reda dengan rasa terkejutnya, daddynya datang dengan tergesa, dan langsung membentaknya, sebenarnya salahnya dimana??.

Tak lama mommy dan ketiga saudaranya datang, dan memberikan tatapan yang tidak pernah didapatkannya dari mereka, Tatapan menuduh... tatapan penuh curiga...

Allicia pov

"Kenapa kau menyakiti Aurora, Cia?" gumam Austin dengan tatapan yang sama dengan mommy dan kedua saudaraku itu, apa mereka kecewa padaku. Tapi kenapa? Bahkan mereka semua tidak bertanya padaku, mereka sama saja dengan daddy...

Bahkan rasanya lebih menyakitkan dibanding daddy membentaknya dulu, perkataan Austin yang hanya gumaman seperti tikaman pisau mengenai tepat ke jantungnya. Membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Kemana Austin yang selalu membelanya?

Kemana Austin yang selalu percaya padaku?

Kemana Austin yang selalu menghiburku disaat ada yang menyakitiku?

Apa itu semua bohong? Kata katanya hanya kosong belaka!!

Tubuhku meluruh, kulihat sepasang kaki mendekatiku.

"Kini bersiaplah untuk keluar dari rumah ini, bahkan daddy tidak mau menganggapmu anaknya,” Ejek Angela.

Sepi...aku memang selalu kesepian...

Kugenggam bandul berbentuk hati dengan erat. Kapan kau akan menjemputku Marc...??

Apa kau juga akan membenciku? Tanyaku dalam hati...

"Hai sweetheart...,” suara lembut yang kukenal membuatku menengadah, pandanganku masih buram karena terhalang air mataku.

Dihapusnya lembut air mataku, tapi tangisku semakin kencang, dia merengkuhku dalam dekapan hangatnya.

"Pa... papa bawa Cia pergi dari sini, Cia janji jadi anak baik... sungguh,” pintaku disela tangisanku

"Papa sendirian, aku juga. Kalau kita tinggal bersama, kita tidak kesepian lagi kan?“ kataku bermonolog. Kutatap pria yang pernah menikahi mommyku, dia juga pernah melakukan kesalahan kepada mommy dan dua saudaraku, tapi setidaknya Papa sudah menyadari kesalahannya.

"Daddy benci padaku, semuanya membenciku sekarang. Daddy bahkan tidak mau menganggapku anaknya lagi,” kataku mengeluar-kan pikiranku, hal yang selama ini hanya kulakukan jika aku sendiri atau dengan ikan peliharaan mommy.

Papa tidak menjawabku, dia hanya membelai lembut rambutku, kadang mengecupinya singkat, tapi buatku itu sudah cukup. Aku hanya butuh ada orang yang mau mendengarkanku tanpa menuduh bahwa aku berbohong, itu sudah lebih dari cukup.

"Daddy tidak mau aku tinggal disini lagi kan pa?” tanyaku, Papa Aby hanya diam menatapku, sepertinya dia tidak mau mencampuri urusanku dengan keluargaku.

“Aku ikut sama Papa saja boleh? Cia janji akan jadi anak baik Pa,” mohonnya, buat apa dia tetap disini. Jika kehadirannya hanya membuat sedih daddynya dan semua keluarganya. Tidak ada yang menyayanginya lagi disini.

"Baiklah Cia ikut papa ke Jakarta, tapi Cia mandi dulu, Papa bicara dengan daddymu dulu ya?” ucap Papa Aby akhirnya. Cia tersenyum tipis, dia bersyukur ternyata ada orang yang mau menampung dirinya.

Setidaknya dia tidak sendirian.

**

"Cia udah siap?” tanya Aby, usai meminta ijin pada Jashon untuk membawa Cia ke Indonesia. Memang agak sulit meyakinkan Jashon, tapi saat dia menceritakan kondisi Cia akhirnya Jashon setuju. Paling tidak dia bisa fokus pada kesembuhan Rora.

"Sudah,” jawabnya singkat, dia sudah mandi dan berganti baju, tapi gadis cilik itu tidak membawa apa pun.

"Cia enggak bawa baju?” tanya Aby hati-hati, dia tidak mau membuat Cia sedih.

"Cia enggak mau bawa apa-apa, Papa bisa enggak beliin aku pakaian? aku janji nggak bikin Papa marah, aku jadi anak baik. Enggak usah yang bagus-bagus, asal Cia ada baju ganti aja,” ujarnya merasa tidak enak karena merepotkan Papa Aby. Tapi mau bagaimana dia tidak mau membawa apapun dari rumah ini, bukankah daddynya menyesal mempunyai anak sepertiku dan berharap aku tidak pernah ada?

"Iya sayang, Cia nggak usah khawatir. lagi pula di Jakarta panas, pakaian milikmu kayaknya kurang pas dipakai disana,” goda Aby, mencoba membuat gadis cilik yang beranjak dewasa itu tidak merasa segan padanya.

"Benarkah Pa?" tanyanya antusias

"Sesampainya disana kita belanja pakaian, kamu mau?" tanya Aby tanpa perlu menjawab pertanyaan Cia

"Mau,” pekiknya senang.

**

Gadis kecil itu hanya tergugu dalam isak tangisnya yang dari tadi tidak bisa berhenti, seorang lelaki seumuran dengan daddynya memeluknya tangannya membelai rambut ikal brunettenya yang panjangnya sepunggungnya. Cia kembali menangis Setelah tiba di Airport.

Melihat kerumunan orang membuatnya sedikit takut, bayangan bagaimana ada pisau yang berlumuran darah yang diletakkan di tangannya, serta perut Kak Rora yang mengeluarkan darah, teringat akan bentakan daddynya, raut menuduh dari semua orang yang dulunya menyayanginya dan mempercayainya membuatnya sedih. Airmatanya kembali jatuh membasahi pipinya.

"Ssttt sayang, udah ya nangisnya papa Aby jadi ikut sedih nih,” Akhirnya pria paruh baya itu mencoba merayu gadis kecil itu supaya berhenti menangis, karena mereka sudah jadi tontonan para pengunjung di bandara ini.

"Pa... kenapa sih semua nggak ada yang percaya kalau bukan aku yang nusuk perut Rora, sungguh pa... aku sayang Rora, bagaimana aku bisa menyakitinya,” isaknya lagi.

"Papa percaya padamu sayang, jadi bisakah kita mulai lembar baru, papa jadi papa Cia, Cia jadi putri papa, setuju?"tanya Aby sambil menghapus air mata yang membasahi pipi Cia.

"Setuju!" pekiknya senang.

Dia senang akhirnya ada yang masih percaya padanya, hanya itu yang dibutuhkannya. Seseorang yang mau mendengarnya, memeluknya, menghapus airmatanya, dan percaya padanya...hanya itu...setetes airmata kembali jatuh tapi buru buru dihapusnya.

Mulai sekarang tidak ada airmata, dia putri Abymanyu, dia gadis yang kuat. Senyum miris hadir disudut bibirnya. Bagaimana orang lain bisa mengerti dirinya sedang keluarganya menghujatnya tanpa tau kebenarannya .

Suatu tekad dalam dirinya untuk menutup lembaran lamanya menjadi sosok baru, seorang Allicia Abygail Herlambang. Dia akan menghapus nama Klein dari hidupnya, kini dan nanti.

"Pa... apa aku boleh pakai nama belakang papa, maukah papa mengadopsiku?" tanyaku penuh harap, untuk sepersekian detik bisa kulihat papa terkesima dengan pertanyaanku, apa permintaanku terlalu berlebihan.

"Kalau pa_”

"Papa tidak keberatan, apa kau sungguh sungguh? keluarga Herlambang tidak seterkenal keluarga Klein" godanya memotong ucapanku.

"Iya" jawabku dengan penuh keyakinan, buat apa kekayaan jika kehadiran kita tak dihargai.



>>Bersambung>>

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status