Vander tak bisa untuk tidak menekuk wajahnya dengan tampang masam. Merupakan hal yang tidak biasa dengan kesehariannya yang selalu tampak datar. Bahkan ia jarang sekali marah dan terkesan tak ingin tahu menahu dengan masalah. Selalu menanggapi setiap persoalan dengan mudah karena pengendalian dirinya yang luar biasa.
Namun, kini apa yang terjadi sungguh merusak tatanan hidupnya. Wanita yang ia temui belum sampai dua belas jam itu sungguh menguras emosi dan tenaga.
Bagaimana tidak? pertikaian mereka tadi disaksikan khalayak umum dan sekarang harus berhadapan dengan salah seorang polisi lalu lintas setempat yang dengan sok bijak memberi siraman rohani pada mereka selama lebih kurang setengah jam hanya karena membuat keributan di tengah jalan.
Damn it!
"Tuan Zeckar, apa kau sedang mendengarku?"
Seorang petugas polisi muda dengan wajahnya yang sok arogan menantang ke arah Vander. Pria berseragam itu pasti akan memojokkannya daripada menuding si setan kecil yang sedang memasang wajah nelangsanya disana. Sungguh akting yang bagus!
Vander memutar matanya memilih melengos pergi dari bahu jalan ke arah truknya di tepian. Bosan dengan semua omong kosong polisi yang sudah ia ketahui sifatnya itu.
"Kembalilah ke jalan yang lurus. Bukankah itu motto hidupmu dari dulu, Clooney? I try!" Kemudian berbalik menghadap petugas kepolisian yang ber-nametag Billy Clooney itu. Rupanya mereka saling kenal.
Billy mengacungkan ibu jarinya lalu menghampiri Vander dan menepuk bahu pria itu kemudian berbisik, "Target yang bagus, Van. Chloe bilang kau adalah kekasihnya. Benarkah? Apa Mrs. Zeckar tahu kalau kah sudah punya—" Billy bersiul menatap Chloe yang sedang mengipasi dirinya dengan tangan, "sangat panas!" lanjut Billy sambil menggelengkan kepalanya takjub. Beruntung ia telah mengobrol banyak dengan si cantik itu saat sesi introgasi tadi. Membuatnya tanpa sengaja mengetahui identitas wanita itu.
Vander melihat ke arah pandang Billy. Ia baru sadar wanita itu ternyata hanya memakai baju dengan bahu terbuka dan jeans pendek. Kemana gaun hitam sialan itu? Kenapa yang sekarang juga terlihat sangat... membuat sesak.
Vander lalu mengalihkan pandangannya sambil berkata, "Dia bukan kekasihku. Urus saja dia untukmu. Aku pergi!"
Saat Vander memegang handle pintu mobil, wanita bernama Chloe itu kembali mengejarnya.
"Wait! Bagaimana dengan mobilku?"
"Maaf, Nona. Itu bukan urusanku."
Chloe menatap dengan wajah nelangsa. "Please, help me. Sekali ini saja. Aku baru di sini."
Vander menaikkan satu alisnya. "Panggil saja tukang derek." Kemudian masuk ke dalam truknya meninggalkan Chloe yang kembali mendesah frustrasi. Sedangkan Billy hanya angkat tangan. Tak berani melawan Vander yang sedang dalam mode kesal.
Vander tahu kalau Billy takkan mempersulitnya. Semuanya hanya formalitas. Lagipula dia tak bersalah dalam insiden tadi. Harusnya ia yang meminta ganti rugi, bukan?
Namun sayangnya supercar yang menabraknya itu terlihat lebih buruk daripada truk miliknya yang hanya tergores sedikit. Membuatnya mengurungkan niat meminta ganti rugi lebih.
🌸🌸🌸
Dan disinilah Vander dan Chloe berada; di Xonix Motorsport kebanggan milik ayahnya dengan wajah tak kala ditekuk.
Yup, si polisi teladan itu rupanya dengan bijak menyarankan Chloe memakai jasa bengkel tempat dirinya bekerja, sekaligus untuk membalas kebaikan hati Vander yang telah menolong wanita itu.
Yang lebih bencana lagi, Chloe dengan senang hati menyetujui usulan tersebut, serta berjanji akan membayar dua kali lipat. Membuatnya terjebak lebih lama dengan si setan cantik.
"Seharusnya kau memanggil asuransimu, nona. Bahkan mobil ini belum berusia satu hari ditanganmu."
Polo— si pria berjanggut yang sibuk mengelusi rambut di dagunya itu menatap heran pada Chloe dan ferrari merah yang dibawa dengan derek tadi. Sedangkan pekerja yang lain tampak sedang mencuri pandang ke arah si wanita satu-satunya yang ada di bengkel.
Pemandangan langka.
Chloe mengendikkan bahunya dan berkata, "Billy bilang di sini juga bisa memodifikasi mobil. Jadi aku ingin sesuatu yang berbeda dengan sentuhan kalian di mobil baruku. Sekaligus memperbaiki apa yang telah rusak akibat kecelakaan tadi."
Vander yang berdiri diantaranya menatap wanita berambut hitam itu jengah. Ia menyesali keputusannya. Salahnya sendiri yang dengan bodoh meminta uang tagihan. Dan rencana ini semua juga karena si polisi sok bijak itu. Dasar mulut besar!
"Billy? Who's Billy?" Polo mengerutkam dahinya. "Terdengar akrab." Ia tampak berpikir— mencoba mengingat muka seseorang di kepalanya.
Robert— pemuda berambut pirang di sofa dengan potongan pizza di tangannya menyahut, "Polisi konyol yang menangkapmu tiga hari yang lalu karena mabuk, dude. Remember?"
Polo menjentikkan jarinya. "Ah, si gila itu. Dia sahabat si beast," liriknya pada Vander yang sudah menggeram.
"Aku tidak bergaul dengannya!" Elak Vander. Sedangkan yang lain tertawa sambil mengejeknya lagi.
Polo senang bisa membalas Vander. "Akui sajalah. Si badut itu adalah temanmu," ledeknya, "dan nona cantik ini. Siapa gerangan? Kekasihmu? Jangan bilang kau tak mengakuinya juga."
Chloe tersenyum manis. "Ya," jawabnya pasti. "Aku kekasihnya sejak—"
Vander tak membiarkan wanita itu mengatakan omong kosong di depan teman-temannya lagi. Ia tahu wanita itu sudah gila sekarang. Dengan sigap ia membekap mulut Chloe dan menariknya paksa untu keluar.
"Pergilah sebelum aku mengusirmu. Dan enyahlah dari hidupku! Jangan mengusikku!" desis Vander sambil mendorong Chloe.
Chloe memutar matanya, lalu berbalik. "Terserah kau berkata apa. Ini hidupku! Jangan menyuruh orang seenak jidat! Biar aku putuskan apa yang akan kulakukan," tunjuknya pada dada Vander.
"Kau—" Vander menggeram lalu menepis tangan Chloe dari tubuhnya. "Apa maumu?"
"Kau!"
Vander menggeleng. "Aku tidak segampang yang kau duga. Silahkan bawa mobil dan semua omong kosongmu dari sini! Dan lupakan soal yang tadi pagi. Anggap kita tak pernah bertemu!"
Chloe berubah memasang muka sedih pada Vander, sambil memeluk lengan kekar itu erat. "Kejam sekali," ucapnya manja. "Setidaknya aku baik sudah mau 'bergaul' denganmu," lanjutnya menatap onyx Vander yang tanpa bingkai kacamata dengan intens.
Sungguh tampan. Ia sudah melihatnya tadi pagi di motel. Saat ia bangun, dengan iseng ia membuka kacamata itu dari wajah terlelap Vander yang ternyata sangat rupawan. Sebelum akhirnya pergi mendesak untuk menjemput mobil barunya yang diberitahukan sudah datang.
Namun saat ia kembali untuk berterima kasih, Vander sudah menghilang. Salahnya yang tak meninggalkan pesan dengan jelas. Adanya pesan ambigu yang ia tuliskan pada cermin. Membuatnya sibuk mencari tak tentu arah. Namun akhirnya bertemu dengan cara tak terduga.
Sungguh Tuhan sedang berbaik hati.
"Sinting! Menyentuhmu pun aku tidak!" teriak Vander sambil menghentak tangannya yang dipeluk.
"Oh, ya?"
Tak jera ia mendekati Vander lagi dan menarik kerah leher pria itu lalu berbisik, "Setidaknya hidupmu akan berubah menjadi berwarna setelah ini."
Wanita itu lalu melumat bibir Vander. Dan selanjutnya terdengar suara jepretan khas kamera.
"Oopss.."
Chloe memoto dirinya yang lagi mencium bibir Vander dengan ponsel.
"I got it."
Shit!
Mata Vander membelalak lebar. Bukan hanya karena ciuman itu, tapi juga kehadiran seseorang di depannya.
"Mom..."
🌸🌸🌸
Vander mendengar pintu kamarnya diketuk tiga kali sebelum akhirnya sang ibu masuk. Kini wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu duduk di kasur belakangnya. Menunggunya untuk berbicara. Ia tahu itu.
"I'm waiting for you~"
Ibu Vander duduk anggun dengan kedua tangan bertumpu pada lutut kanannya. Jari-jarinya bergerak tak sabar sambil mengulum senyum— memperhatikan punggung anak satu-satunya yang terlihat kaku jika dilihat dari belakang.
Vander menghela napasnya berat. Ia kira ibunya takkan membahas apa yang terjadi tadi di bengkel. Mengingat ibunya tak menanyakan apapun padanya saat perjalanan pulang. Ternyata ibunya hanya memberinya waktu untuk berkata jujur. Namun tak tahan karena dirinya tak juga terbuka.
"Mom, tidurlah. Sudah malam. Dad akan panik jika istri cantiknya menghilang."
"Jangan mengalihkan topik, Vanderex Zeckar. Sudah mom bilang, Mom akan menunggumu. Sekarang atau Mom akan tidur di sini!"
Vander membalikkan tubuhnya, "Mom, jangan bercanda!" Tatapnya horor. Sialnya dibalas dengan anggukan pasti oleh sang ibu.
Neraka!
"Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya orang asing yang tersesat dan sedikit gila."
"Liar!"
Vander terkejut dengan ucapan ibunya. "Mom, sungguh aku tak berbohong," ucapnya mencoba meyakinkan.
Namun, Zallyndia tak bisa dibohongi. Ia tahu betul karakter anaknya seperti apa. Selama ini Vander tak mudah disentuh wanita. Jangankan disentuh, berdekatan saja dia alergi. Membuatnya kadang khawatir akan orientasi anaknya itu.
"Dia pasti berbeda," goda ibu Vander.
Vander menyugar rambut tebalnya yang kini tak berminyak. "Ya, dia berbeda. Dia tak waras. Dan dia tak tahu malu. Berhenti membicarakannya, Mom. Please," mohon Vander mencoba menghentikan pembicaraan.
"Dasar payah!" Sungut ibunya. "Padahal gadis itu sangat cantik."
Lagi. Vander mendengar pujian itu lagi untuk si biang onar. Ia akui memang cantik, tapi sifat gilanya itu selalu membuat dirinya sport jantung. Bahkan selalu berhasil membuat darahnya mendidih.
"Cantik kalau payah tak ada bagusnya, Mom," timpal Vander sambil mencoret-coret jurnal di atas meja kerjanya.
Ibu Vander berdiri dan berjalan ke tempatnya seraya berkata, "Salahkan juga wajah tampanmu itu, nak. Nona muda itu kelihatan sangat gencar sekali. Mommy mendukungnya."
Vander mendelik, "Oh, come on, Mom. Aku bisa gila jika harus berdekatan dengannya terus menerus."
Zallyn, ibu Vander hanya mengendikkan bahu. "Lebih tepatnya kau yang akan tergila-gila dengannya nanti. Lihat saja," godanya lagi pada anaknya.
Vander hanya bisa memutar matanya. "Kembalilah ke kamar, Mom. Aku ingin tidur untuk bangun besok pagi lebih awal."
Zallyn mengangguk dan menepuk bahu anaknya. "Jangan lupa pasang alarm."
"Sudah, Mom."
"Dan jangan lupa kata dokter William."
Wajah Vander seketika berubah menjadi kelam. Sangat susah baginya untuk mengikuti arahan psikiater itu. Bahkan ia lebih memilih tetap terjaga daripada harus berperang melawan mimpi buruknya.
Lucid dream adalah usulan yang diberikan dokter William untuk membantunya mengendalikan alam bawa sadarnya. Adalah sebuah metode dimana kita dapat memvisualisasikan daya imajiner ke dalam bentuk mimpi. Atau biasa disebut dengan mimpi sadar, karena dilakukan atas kehendak sendiri.
Hal itu memang terdengar tak masuk akal bagi orang awam. Namun, untuk Vander itu adalah secercah harapan untuk dirinya agar terhindar dari mimpi buruk. Walaupun tak selamanya berhasil, setidaknya cara itu yang terbaik tanpa harus mengkonsumsi obat penenang.
Vander tak mau terjerat lagi dalam kasus obat-obatan, karena salah satu traumanya juga ada pada benda kimia tersebut.
"Sudah, Mom. Terkadang berhasil, tetapi sering kali berubah menjadi mencekam. Tak semuanya bisa kukendalikan dengan baik."
Terkadang Vander tak bisa mengendalikan mimpinya, yang bisa saja berakhir dengan mimpi buruk lainnya.
Zallyn memandang anaknya iba. "Tetap percaya pada harapanmu, Nak. Jangan kalah dengan masa lalumu. Ingat! Ketika malam terlalu kelam untuk sekedar bermimpi, tetaplah percaya akan pagi."
Vander mengangguk sambil tersenyum pada ibunya. "Thank's, Mom. Terima kasih karena selalu ada untukku."
Sang ibu memeluk anaknya dengan lembut. Mencoba menyalurkan kekuatan serta kasih sayangnya yang besar. Zallyn tahu selama ini anaknya sudah berusaha kuat untuk bangkit dari keterpurukannya. Dan ia berharap akan ada mukjizat yang turun pada anaknya.
"Ibu menyayangimu. Tetaplah bermimpi dalam hidup, asal jangan hidup dalam mimpi."
Ya, ini semua tentang mimpi Vander. Jelas tertuang pada jurnal miliknya yang selalu ia buka setiap malam. Tentang tiga harapannya yang selalu ia tuangkan dalam bentuk bunga tidur dan berharap akan menjadi nyata.
Yang pertama adalah mendapatkan kepercayaan dari sang ayah lagi, kedua adalah keinginan besarnya dalam meraih kejuaraan di ajang modifikasi, dan ketiga ia ingin bebas dari belenggu masa lalunya karena hal itu yang membuatnya tersiksa.
Hanya tiga itu.
Namun, tanpa sadar tadi ia telah menuliskan sebuah nama dibawah ketiga harapannya tadi, yaitu nama seorang gadis yang merusak harinya ...
Chloe Johnson.
To Be Continued
Tidak seperti biasanya— pagi ini Vander bangun tepat waktu. Ia sendiri cukup terkejut mendapati dirinya yang tidak kesiangan. Bahkan ia terbangun sebelum bunyi alarm. Suatu pencapaian yang membuatnya ingin tertawa. Padahal biasanya ia terlambat bangun karena baru bisa terlelap saat fajar. Kini ia bisa tersenyum cerah, karena akhirnya bisa melakukan ritual sarapan pagi bersama ayah dan ibunya dengan benar. Ayah dan Ibu Vander saja merasa seperti mendapatkan kejutan saat melihat sang anak duduk manis sambil memakan sarapannya dengan tekun. Padahal selama ini Vander terkenal susah ditemui pada pagi hari. Entah itu karena masih tidur atau terburu-buru bak orang dikejar setan. Ini seperti apa yang diharapkan Vander untuk mengawali harinya; bangun pagi, sarapan bersama, mengikuti kelas paginya tepat waktu dan bekerja hingga sore hari lalu pulang untuk
"Dad?" Suara bruk terdengar ketika tubuh gadis itu terjatuh dan mendarat diundakan tangga dengan posisi terduduk, Vander tak sadar melepas pegangannya. "Aww..." "VANDER!" Mulut Vander menganga mendapati gadis yang berada dalam bopongannya tadi terjatuh. Dan saat ia beralih ke suara ayahnya, pria paruh baya itu sedang membelalakkan mata padanya. "Kenapa diam? Segera angkat gadis itu! Kau mencelakainya." Vander tersadar. Segera Vander mengikuti instruksi ayahnya untuk menolong Chloe. Dengan gerakan kakunya yang terkesan terburu-buru, ia mengangkat gadis itu. "Aww.. you hurt me." Chloe meringis lagi.
"Louis Miller?" Vander memandang ke arah pria bersurai perak dengan bathrobenya dan Chloe bergantian. Ia tak tahu kalau masa lalunya kini bisa berubah menjadi mimpi buruk. Dan seperti dejavu. Lagi. Ia menemukan pria yang ia kira sahabatnya itu menjadi benalu di hidupnya. Pria bernama Louis itu terkejut, "Vander? Is that you? Kau bersama... Chloe?" Memerhatikan penampilan baru Vander yang dengan kacamata. Tak lagi berlari seperti masa lalu. Vander maju selangkah dan memberi pukulan telak pada rahang Louis. "Terima kasih untuk kembali karena aku belum memberi salam perpisahanku dengan benar dulu. Goodbye, Jerk!" Setelah merubuhkan Louis yang tak bisa berkutik, Vander beralih ke ar
Suara langkah kaki dari lantai atas terdengar sedikit gaduh, disusul dengam suara kursi bergeser, membuat Zallyn mengalihkan pandangannya ketika ia baru saja mengangkat waffle dari cetakannya.Wanita paruh baya itu cukup terkejut dengan kehadiran putranya di pagi hari.Lantas ia bertanya sambil mengerutkan keningnya. "Vander, kau bangun pagi lagi? Apa ada kelas pagi hari ini?"Vander duduk di meja makan saat ibunya membalikkan badan dari arah pantry menghadapnya. Sepertinya paruh baya itu belum terbiasa dengan kebiasaan baru anaknya- bangun pagi."Ada janji dengan dad, Mom. Lagipula tidak ada kelas hari ini."Sang ibu berjalan ke arah meja makan seraya mem
Setelah menurunkan Chloe di salah satu gedung tua berbatu bata merah yang hanya beberapa blok dari rumahnya. Vander dan ayahnya kembali dalam keheningan tak berujung.Bahkan sampai mereka di garasi rumah, Vander tetap menunjukkan aksi tutup mulutnya. Dan menghindar cepat dari sang ayah yang kini memasang tanda tanya besar di wajahnya saat anaknya berlalu masuk ke dalam rumah."Vander, Daddy ingin bicara padamu. Kita bicara di halaman belakang," ucap Ayahnya saat Vander sudah separuh jalan di tangga menuju kamarnya.Vander memejamkan matanya kesal. Tak bisakah ia diberikan waktu barang sebentar untuk menenangkan dirinya? Ia takut dirinya hilang kendali di depan ayahnya saat gejolak emosinya sedang tak menentu.Namun itu yang mereka butuhkan kini. Vander tak bisa harus terus menerus
"No way!" pekik Andres tiba-tiba sambil berdiri, "Bukannya ini wanita yang berada di laptop Vander?" tanyanya dengan logat latinnya yang kental.Vander yang tadinya mengalihkan wajah ke samping lainnya, seketika berbalik menghadap sang tamu yang sedang berdiri sambil tersenyum kepada semua orang.Tidak! Sang mantan tidak seharusnya berada disini. Ini bukan tempat pembuangan! Sosok itu harus segera disingkirkan, kalau tidak akan mengundang penyakit.Lantas Vander berdiri dan seketika suara kursi berderit terdengar di lantai kayu. Membuat samua mata tertuju pada pria berbaju kuning itu yang hendak melangkah ke arah sang tamu asing."Ikut aku!" desis Vander mengamit tangan wanita yang dibencinya tersebut. Membawanya menjauh dari yang lainnya menuju pintu keluar.
Akhirnya Vander bisa bernapas lega setelah sampai di dalam unit apartemen Andres. Sebelumnya ia harus ikut dalam aksi kejar-kejaran dengan para wanita asal kampusnya yang dengan gilanya mengikuti kemana langkahnya berjalan.Seharian di kampus membuat dirinya sangat tidak betah dengan kelakuan absurd para wanita-wanita di sekelilingnya. Salahkan ayahnya yang merusak kacamatanya sehingga hari ini ia tak dapat menutupi mata elangnya juga wajah tampannya. Membuat penampilannya tampak berbeda dari sebelumnya.Lebih gagah dan juga dominan dibandingkan pria lainnya. Aura Vander lebih keluar. Dan seketika dirinya bagaikan magnet yang menarik sesiapa saja untuk mendekat padanya. Termasuk menjadi penguntit yang dilakukan oleh para wanita yang kurang kerjaan itu.Tidak Chloe maupun wanita manapun- jelas membuatnya gila. Hidupnya telah berubah
Kembali. Vander kembali dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Namun hal itu tak ada gunanya lagi. Semua sudah tahu paras tampan dibalik tipuan kecil itu.Dan merasa tak ada gunanya lagi bersembunyi, seorang Zeckar muda akhirnya keluar dari cangkang memilih untuk menunjukkam jati diri sesungguhnya.Be a beast. Walau Vander sudah membuka rahasia kecilnya, sifat yang ditunjukkannya tak pernah berubah menjadi lebih baik seperti apa yang ditunjukkan tampilannya. Tetap kasar, tak peduli dan jarang tersenyum. Seakan wajah datar itu sudah melekat pada dirinya.Pria berbadan proporsional itu tetap membuat jarak pada sesiapa saja. Bahkan bila ada yang terang-terangan mengikutinya, ia dengan tegas mengecam aksi itu dan mengusirnya tanpa balas ampun.Dibalik itu semua, Vander kini tengah mencari informasi tentang mantannya itu