Setelah menurunkan Chloe di salah satu gedung tua berbatu bata merah yang hanya beberapa blok dari rumahnya. Vander dan ayahnya kembali dalam keheningan tak berujung.
Bahkan sampai mereka di garasi rumah, Vander tetap menunjukkan aksi tutup mulutnya. Dan menghindar cepat dari sang ayah yang kini memasang tanda tanya besar di wajahnya saat anaknya berlalu masuk ke dalam rumah.
"Vander, Daddy ingin bicara padamu. Kita bicara di halaman belakang," ucap Ayahnya saat Vander sudah separuh jalan di tangga menuju kamarnya.
Vander memejamkan matanya kesal. Tak bisakah ia diberikan waktu barang sebentar untuk menenangkan dirinya? Ia takut dirinya hilang kendali di depan ayahnya saat gejolak emosinya sedang tak menentu.
Namun itu yang mereka butuhkan kini. Vander tak bisa harus terus menerus sembunyi bak pecundang yang selalu lari setiap ada masalah. Lagipula ini adalah kesempatan baginya untuk berbicara kepada sang ayah dari hati ke hati.
Saat Vander menemui punggung ayahnya di halaman belakang dekat pinggiran kolam, sang ayah sudah menggulung lengan kemejanya sampai ke siku. Membuat Vander sedikit agak khawatir dengan apa yang terjadi.
Vander dengan berani berdiri di samping sang ayah yang sedang memandang jauh ke depan. Bukan karena ada benda atau hal menarik di hadapannya, melainkan ada yang mengusik pikiaran ayahnya saat ini. Vander yakin itu.
"Apa yang membuatmu terlihat marah sekarang? Apa Dad berbuat salah? Bukankah sebelumnya kita sudah mulai mencair saat di Javits tadi?"
Vander mengetatkan rahangnya. "Tidak ada, Dad." Walaupun sebenarnya benar ia marah karena ayahnya mengajak Chloe bersama mereka.
Sang ayah tetap dalam posisinya. "Tapi sayangnya kau tak bisa berbohong, Vanderex Zeckar."
Reaksi Vander hanya diam. Tak mau menanggapi kalau itu soal gadis bernama Chloe Johnson. Baginya pembahasan mengenai sang biang onar tak begitu perlu dikaji. Sangat tidak penting juga untuk menjadi topik utama.
"Chloe sudah menceritakan semuanya saat di cafe tadi. Mengenai kalian berdua dan—"
"Dad! Tolong jangan percaya dengan wanita pengkhianat itu."
Vander kini menghadap sang ayah, begitu juga ayahnya. Ia tak menyangka Chloe akan berbuat sejauh ini- mempengaruhi ayahnya dan membuat keributan antara ia dan ayahnya, karena sang ayah yang lebih percaya dengan ucapan gadis itu daripada dirinya. Bahkan masalah mereka yang lalu saja belum terselesaikan.
"Vander, bagaimana Dad bisa percaya bila kau saja tak pernah terbuka dengan ayahmu sendiri."
Vander tertohok mendengar ucapan ayahnya. Matanya berkedip cepat lalu memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Kau sangat dekat denganku tapi terasa jauh bila bersama. Benteng apa yang kau pakai, nak? Jiwamu begitu angkuh untuk sekedar berbagi resah yang kau rasa," lirih Ayahnya dengan suara gemetar.
Tangan Vander tergenggam kuat sekarang. Matanya pun ikut memejam. Mencoba mengalihkan rasa sesaknya yang kembali membakar dadanya.
"Apa yang membuat kita jauh, Vander? Apa daddy melakukan kesalahan? Kau tahu kita seperti dua orang bodoh di rumah selama ini. Tidakkah kau merasa sepi dihatimu seperti yang ayah rasakan?"
Rasa hangat Vander rasakan di wajahnya saat air mata itu turun mengalir dari matanya yang terpejam. Entah kenapa kehangatan itu seperti menjalar ke hatinya yang membeku lalu mencair. Seolah segala kehampaan itu mendapatkan celahnya- Pertahanan Vander luruh.
"Nak, percayalah kalaupun Dad dulu pernah kecewa padamu, itu semua tak sebesar rasa takutku saat kami hampir kehilanganmu. Itu semua sudah termaafkan. Bukan berarti kau harus terus menerus menghukum dirimu sendiri seperti ini. Kau selama ini hidup bagaikan orang terpenjara. Kau menyiksa dirimu selama ini. Bukan hanya kau yang mersakannya . Dad dan Mom juga."
Ya, Vander selama ini memang menghukum dirinya, jiwanya bahkan kebebasannya. Di masa lalu selain dia banyak dikecewakan, ia juga banyak mengecewakan orang lain. Bahkan ia tak bisa mengembalikan sebuah rasa percaya apalagi sebuah nyawa.
"Dad, kau tahu masa laluku sangat kelam. Bahkan rasanya tak termaafkan bila aku hidup sampai detik ini juga."
Ayah Vander memegang kedua bahu anaknya. "Omong kosong apa itu? Vander, itu semua bukan salahmu! Bukan kau yang membunuh, Paul Turner!"
Vander menunjuk dirinya. "Tapi aku yang memberi barang haram itu, Dad! Salahkan pemakai sialan ini! Aku benar-benar bajingan! Andai aku mendengar katamu agar tak menyentuh barang haram itu. Mungkin tak seperti ini jadinya. Atau aku harus mati saja agar rasa sakit ini menghilang selamanya?" teriak Vander dengan napas tak beraturan dan mata merah menyalang.
Dan berikutnya terdengar suara tamparan. Ya, sang ayah menampar wajah putranya agar lelaki muda itu tersadar dengan apa yang diucapnya. Bahkan sangkin kuatnya, membuat kacamata yang dipakai Vander juga ikut terjatuh ke bawah.
"Bukan seperti itu pria sejati menghadapi permasalahan hidupnya!"
Vander terdiam dengan rasa panas di pipinya. Ia sadar akan ucapannya yang salah. Namun merasa rendah diri akan itu. "I'm not, Dad. I'm sorry. I can't be perfect."
Tubuh Vander merosot dihadapan ayahnya. "I'm so sorry, Dad. Aku tak menjadi seorang anak yang bisa kau banggakan selama ini. But, i always do my best for you. I try hard to make you proud."
Ayah Vander tak kuasa melihat anaknya yang selama ini begitu kokoh kini runtuh dihadapannya. Tembok tinggi itu kini telah runtuh. Namun bukan berarti itu menunjukkan kelemahannya, tetapi ia telah menampakkan diri sejatinya.
"Dad selalu bangga padamu, Vander. Selalu begitu. Kalaupun ada orang yang salah disini. Itu adalah Daddy."
Vander mendongak melihat ayahnya yang merunduk dengan wajah penuh penyesalan. Bahkan disela pipi keriput itu, ia melihat linangan air mata. Ayahnya menangis.
"Dad, No!" Vander berdiri melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ayahnya tadi- memegang kedua bahu ayahnya yang tak sekuat dulu, "Kau tak pernah salah, Dad."
Ayah Vander memandang lemah anaknya dan berkata,
"Begitu juga kau, Vander. Kau tak bersalah. Bisakah kita memperbaiki segalanya dan memulainya dari awal?"***
Saat ini Vander berada di kamarnya. Setelah percakapan dengan ayahnya yang berakhir haru, Vander masih tak menyangka masalah dirinya dan sang ayah terselesaikan. Tepat malam ini.Ternyata perlu waktu seharian penuh dengan sang ayah dan sikap terbuka juga keajaiban untuk mengakhiri perang dingin diantara keduanya.
Tekad Vander kemarin malam berbuah manis, walaupun sempat mendapat tamparan dari ayahnya. Hanya sehari semalam ia memikirkannya dan semuanya sesuai yang diharapkannya. Dan Vander menyesal telah bersikap bodoh selama empat tahun belakangan yang tanpa aksi.
Namun tak ada gunanya menyesal. Yang pasti semuanya sudah benar dan pada tempatnya. Apapun itu, Vander harus memulai kisah baru di hidupnya. Dan menjadi diri sendiri yang lebih penting.
"Thank God."
Vander berkaca di depan cermin- memerhatikan bayangan wajahnya yang memerah juga bekas luka di tubuhnya yang tanpa sehelai benang. Ia bersyukur atas segala yang terjadi di hidupnya. Entah itu sebuah kesialan, kebodohan, penyesalan, kekalahan bahkan pengkhianatan- ia tetap bertahan sampai detik ini. Dan semuanya menjadi pelajaran yang berharga baginya di masa depan.
"Vander, makan malam telah siap."
Suara sang ibu terdengar di luar sambil mengetuk pintu kamar mandinya. Vander bergegas menyelesaikan cukurannya agar segera bersiap-siap makan malam bersama.
Vander terlihat percaya diri untuk keluar sekarang. Ibunya pasti akan senang bila tahu ia dan sang ayah sudah berbaikan. Karena tadi ibunya tak ada di rumah saat pembicaraan di halaman belakang berlangsung.
"Wait a minute. Aku sudah selesai."
***
Saat Vander menuruni anakan tangga. Ia bisa mendengar kebisingan dari ruang dapur. Pasti Billy si polisi gila itu datang ke rumahnya. Billy sudah seperti anak ibunya saja kalau dilihat-lihat. Kemana ada ibunya, selalu ada Billy."Terima Kasih, Andres. Kau baik sekali."
"No, problemo, Nyonya Zeckar."
Dahi Vander mengerut saat mendengar suara teman kampusnya itu. Ia segera melangkahkan kakinya cepat ke bilik dapur.
"Andres?"
Dugaannya benar. Andres si pria spanyol itu ada di rumahnya.
"Holla, Vander. I miss you, big boy,"
Andres menyambut sembari memeluk tubuh besar Vander yang hanya memakai kaos fit body serta celana pendek. Dan tentu saja tanpa kacamata, karena ini di rumah bukan tempat umum. Lagipula kacamatanya telah hancur.
Vander bukannya membalas pelukan pria berambut keriting itu, ia meninju keras perut Andres hingga meringis.
"Sialan kau, Andres. Kau membawa laptopku bodoh!"
Keduanya bergelut hingga Billy si polisi baik hati melerai keduanya.
"Kalian ingin di borgol atau melanjutkannya di sel?" ancam Billy sambil berkacak pinggang diantara keduanya.
Vander dan Andres jelas memilih berhenti dan diam. Mereka tahu sepak terjang Billy yang walaupun badannya kecil, polisi gila itu sangat jago berkelahi apalagi berbuat nekat. Termasuk menjebloskan Vander dan Andres ke sel.
Seperti dahulu saat mereka tak sengaja menabrak mobil dinas Billy yang terparkir di pinggir jalan. Detik itu juga mereka ditangkap dan dihukum selama tiga jam dalam jeruji.
"Thank's, Maddog," ejek Andres sambil berlalu dari hadapan Vander dan Billy menuju sofa.
Sedangkan Ibu Vander hanya tertawa melihat pertengkaran kecil di dapurnya. Ia senang rumahnya begitu ramai sekarang.
Vander memandang sinis Billy sebelum akhirnya menyapa sang ibu di meja makan.
"Mom, dimana dad?" tanya Vander saat sudah mengambil tempat. Begitu juga Billy dan Andres yang membawa sebuah laptop putih- milik Vander.
Ibu Vander heran dengan anaknya yang menanyakan sang ayah. "Mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil tadi."
Vander mengangguk. Pasti mawar-mawar itu yang membuat ayahnya berbalik keluar.
"Ini laptopmu, Beast!" Andres menyerahkan benda tipis yang berada di tangannya itu ke Vander.
"Dasar pencuri!" hardik Vander. Sedangkan Andres merasa tak bersalah sama sekali karena telah membawa laptop temannya itu untuk keperluannya selama berkeliling dunia.
Dasar orang kaya licik!
"Yang penting aku membawakan buah tangan sebagai balasan untukmu, Jerk!" sahut Andres.
Vander tak menanggapi si rambut kriting itu lagi. Ia membuang mukanya ke arah piring yang ada di hadapannya kini. Makan malam kali ini adalah steak. Ya, kesukaan Vander dan ayahnya tentunya.
"Kita kedatangan lagi satu tamu."
Suara Ayah Vander terdengar saat memasuki ruang makan. Dan hal itu membuat semua mata beralih ke arah sang kepala keluarga Zeckar. Beserta seseorang yang berada di belakangnya.
"Oh, No. Not again," gumam Vander.
Ia baru saja melihat adegan ini beberapa saat yang lalu. Dan ia tahu bagian terburuk setelahnya. Vander tak ingin melihat lanjutannya.
"No way!" pekik Andres tiba-tiba sambil berdiri, "Bukannya ini wanita yang berada di laptop Vander?"
To Be Continued...
"No way!" pekik Andres tiba-tiba sambil berdiri, "Bukannya ini wanita yang berada di laptop Vander?" tanyanya dengan logat latinnya yang kental.Vander yang tadinya mengalihkan wajah ke samping lainnya, seketika berbalik menghadap sang tamu yang sedang berdiri sambil tersenyum kepada semua orang.Tidak! Sang mantan tidak seharusnya berada disini. Ini bukan tempat pembuangan! Sosok itu harus segera disingkirkan, kalau tidak akan mengundang penyakit.Lantas Vander berdiri dan seketika suara kursi berderit terdengar di lantai kayu. Membuat samua mata tertuju pada pria berbaju kuning itu yang hendak melangkah ke arah sang tamu asing."Ikut aku!" desis Vander mengamit tangan wanita yang dibencinya tersebut. Membawanya menjauh dari yang lainnya menuju pintu keluar.
Akhirnya Vander bisa bernapas lega setelah sampai di dalam unit apartemen Andres. Sebelumnya ia harus ikut dalam aksi kejar-kejaran dengan para wanita asal kampusnya yang dengan gilanya mengikuti kemana langkahnya berjalan.Seharian di kampus membuat dirinya sangat tidak betah dengan kelakuan absurd para wanita-wanita di sekelilingnya. Salahkan ayahnya yang merusak kacamatanya sehingga hari ini ia tak dapat menutupi mata elangnya juga wajah tampannya. Membuat penampilannya tampak berbeda dari sebelumnya.Lebih gagah dan juga dominan dibandingkan pria lainnya. Aura Vander lebih keluar. Dan seketika dirinya bagaikan magnet yang menarik sesiapa saja untuk mendekat padanya. Termasuk menjadi penguntit yang dilakukan oleh para wanita yang kurang kerjaan itu.Tidak Chloe maupun wanita manapun- jelas membuatnya gila. Hidupnya telah berubah
Kembali. Vander kembali dengan kacamata yang membingkai wajahnya. Namun hal itu tak ada gunanya lagi. Semua sudah tahu paras tampan dibalik tipuan kecil itu.Dan merasa tak ada gunanya lagi bersembunyi, seorang Zeckar muda akhirnya keluar dari cangkang memilih untuk menunjukkam jati diri sesungguhnya.Be a beast. Walau Vander sudah membuka rahasia kecilnya, sifat yang ditunjukkannya tak pernah berubah menjadi lebih baik seperti apa yang ditunjukkan tampilannya. Tetap kasar, tak peduli dan jarang tersenyum. Seakan wajah datar itu sudah melekat pada dirinya.Pria berbadan proporsional itu tetap membuat jarak pada sesiapa saja. Bahkan bila ada yang terang-terangan mengikutinya, ia dengan tegas mengecam aksi itu dan mengusirnya tanpa balas ampun.Dibalik itu semua, Vander kini tengah mencari informasi tentang mantannya itu
Malam semakin larut dan acara makan malam bersama di rumah keluarga Vander telah selesai. Semua tamu juga sudah berpulangan, kecuali tiga orang yang dalam keadaan setengah sadar- duduk di sofa ruang santai dan bersama mereka menyanyikan lagu 'Ave Maria'.Suara ketiganya sungguh tak karuan. Sangat buruk dan juga sumbang. Membuat ketiga orang lainnya yang adalah tuan rumah menggelengkan kepala- tak mengerti dengan ketiga orang gila lainnya yang sedang kehilangan kewarasannya lakukan."Biarkan mereka tidur disini malam ini. Karena sepertinya tidak memungkinkan untuk merek kembali pulan. Billy dan Andres tidur di kamarmu, Vander. Lalu Chloe... bawa gadis itu ke kamar tamu."Ayah Vander kembali menghela napasnya lalu pergi menuju kamarnya, diikuti oleh sang istri yang tampak kelelahan dan ingin istirahat segera. Meninggalkan Vander yang diberi tanggung jawab untuk meng
Vander menemukan dirinya kini tengah duduk di hamparan pasir putih nan halus seraya memandang lautan biru diiringi ombak-ombak kecil yang berlomba menuju tepi pantai. Dihalangi oleh manusia-manusia yang memadati sarana rekreasi itu tentunya.Rambutnya yang biasanya kaku kini dibiarkan bergerak bebas— dipermainkan angin, tersibak karena deru yang kencang. Bernasib sama seperti jaket training panjang hitam yang dikenakannya— berkibar-kibar karena dalam keadaan terbuka, menampakkan kaos polo yang mencetak tubuh atletisnya.Hanya satu hal yang tidak ada. Kacamata. Benda tua itu sudah lenyap.Dirinya tahu kalau kehadirannya di tempat yang ramai itu adalah ide yang buruk. Lihat saja bagaimana semua wanita yang sedari tadi berlalu lalang di depannya, terkesan seperti hiu yang siap menerkam mangsanya. Sangat mengerikan.
"Honey, please ..."Chloe mengejar pria di depannya itu dengan panik. Tidak ia pedulikan tatapan orang-orang yang melihatnya seperti penguntit. Yang ia pedulikan kini hanya sosok dingin yang sedari tadi ia ikuti. Meminta maaf karena kebodohan yang telah ia perbuat."Vander, please, talk to me. I know that i'm wrong... but- Aw!" Gadis bersurai panjang itu terhempas ke rak buku di belakangnya. Vander sang pelaku kini menjepitnya dalam kungkungan badan besar nan tegap itu."Kau— " Vander menarik napas juga memicing matanya, "kapan tidak membuat semuanya menjadi runyam?" Kemudian menatap Chloe menusuk.Chloe hanya bisa menelan ludahnya. Sedikit takut dengan tatapan mata pujaan hatinya yang terlihat kelam."Ma-af ...," cicit Chloe dengan menundukkan kepalanya, lantaran tak ingin
Dan disinilah Vander dan Chloe berada- di sebuah ruangan bernuansa monokrom yang adalah ruang santai di tempatnya bekerja, tepatnya di lantai dua dengan pencahayaan yang menyilaukan dari matahari sore yang menembus dinding kaca.Mata elang itu sedang menatap nyalang pada gadis yang kini sedang mengunyah permen karetnya, dengan urat-urat kepala yang sudah menegang disekitaran pelipis."Apa? Apa ada yang salah denganku?"Vander menatap garang pada perempuan yang sepertinya tidak punya rasa bersalah sama sekali itu. Pertanyaan santai yang keluar dari bibir manis Chloe berhasil membuat darahnya mendidih.Bagaimana tidak? Si biang onar membuat keonaran lainnya yang membuatnya malu di hadapan Yasmine tadi. Dengan seenaknya gadis itu mengklaim dirinya, dan tidak tahu malunya juga mengancam agar siapapun tidak menyentuhnya apalagi mend
Riverside Park, 06 pm - Yasmin.Sekali lagi Vander membaca isi pesan pada ponsel barunya dan mencocokkan waktu dengan jam tangannya lalu menghela napas panjang dan berkata dalam hati untuk bersabar lebih lama demi mobil yang diidamkannya. Meski sudah sejam menunggu, yang dinanti belum juga tiba.Poor Vander.Sudah pukul tujuh malam, namun langit New York masih terang. Sedikit menampakkan pendar jingganya, dikala itu matahari sudah mulai menurun. Membuat suasana senja sangat indah bila dipandang.Apalagi kini ia tengah berada di taman umum tepi laut. Berdiri di depan pembatas dengan semilir angin pantai yang seolah menggodanya untuk tetap diam disana. Menikmati ciptaan alam yang jarang sekali dilihatnya.Sambil menutup mata, Vander berpegangan pada pembatas besi. Menikmati s