Share

5.Jangan Coba-Coba Menyentuh Istriku

Howard Windsor membuka kotak hitam yang diberikan oleh Adrian tepat di dekat Josephine. Pria paruh baya ini memang sengaja menunjukkan pesona Adrian di depan keponakannya yang cantik. 

Sebuah miniatur kuda berlapis emas tersimpan rapi dalam kotak pemberian pria berambut pirang itu. Howard menduga harganya cukup mahal,  bisa mencapai jutaan dollar. 

"Wow, ini bagus sekali, terima kasih Adrian," kata Howard. 

"Apakah Anda menyukainya?" tanya Adrian bermaksud menyombong. 

"Tentu saja Ayahku menyukainya, hadiah darimu sungguh istimewa. Kau benar-benar menunjukkan kepedulianmu pada keluarga kita," jawab Damian mencoba untuk menyindir Josephine lantaran suaminya tak membawa apapun. 

"Ya, kau sungguh menghargai Pamanku," tambah Armando yang mengerti maksud dari Damian. 

"Kau sungguh baik Adrian, yang menjadi bagian dari keluarga kami saja tak membawa apapun, bahkan sekaleng acar pun tidak," cibir Catherine pada adiknya. 

Josephine tahu betul kalau maksud dari saudaranya adalah untuk merendehkannya. Namun tak ada sesal dalam dirinya telah menikah dengan Nicko. Tak peduli sosok Nicko yang saat ini hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. 

Bagi Josephine, pria yang telah menikahinya adalah yang terbaik,  walaupun hina di mata keluarganya. Tak ada pria yang begitu sabar mendengar semua keluh kesahnya. Bertahan dan menepati janji untuk setia dan menerima dirinya saat sehat atau sakit, susah ataupun senang. 

                             ***

"Tuan Muda, apa Anda yakin untuk turun di sini saja?" tanya Russell pada Nicho, saat mereka mencapai ujung jalan rumah Howard Windsor. 

"Ya, aku yakin," jawab Nicko dengan mantap. 

Raut wajah Russell tampak sedikit bingung. Pemuda yang seharusnya berada dalam pengawasannya menolak untuk dikawal, sementara Bos Besarnya memerintahkan demikian. 

"Tapi, Tuan Muda, kami khawatir nanti Tuan Besar akan marah pada kami," jawab Russell. 

Nicko menapak-napakkan kakinya sambil berpikir. Di sisi lain ia merasa kasihan jika pria yang tadi menolongnya mendapat masalah. Namun ia juga khawatir keluarga Windsor akan mengetahui identitasnya dan mungkin memanfaatkannya. 

"Maafkan aku Russell, tapi kau tahu kan aku tak ingin mereka tahu tentang siapa diriku," kata Nicko memulai. 

"Aku mengerti akan tugas dan kewajiban kalian. Bagaimana jika kalian mengantarku sampai sana saja, tepat di samping rumah Paman Istriku," tunjuk Nicko memberikan solusi. 

Russell tampak menimbang-nimbang kemudian mengangguk, mengiyakan permintaan Nicko. Mungkin baginya, ia masih bisa mengawasi dengan mengantar ke samping tempat tujuan.

"Baik, Tuan Muda."

"Maafkan aku Russell, jika ini menyusahkanmu, tapi kau tahu ini tak mudah bagiku. Lagipula hasil DNA belum juga keluar, aku tak ingin nanti akan mengecewakan," jawab Nicko tampak kacau. 

Russell hanya mengangguk. Namun di dasar hatinya ia sangat yakin kalau pemuda yang dikawalnya adalah sosok Tuan Muda yang sebenarnya. 

Russell bukanlah orang baru di dunia hitam. Sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan jalanan, bisnis gelap. Semua karena pengasuhan dari seorang pria Chuck Raines yang ia panggil dengan sebutan ayah. 

Chuck Raines yang menjadi pimpinan organisasi pun bekerja pada keluarga Lloyd. Karena kekuatan Tuan Raines lah, pesaing-pesaing Lloyd yang memiliki biat jahat tumbang satu per satu. Sayang umurnya pendek, hingga beliau menghembuskan napas terakhir dalam pelukan putra angkatnya karena serangan jantung. Semua pengaruh dan organisasi pun jatuh ke tangan Russell.

"Baiklah Tuan Muda, hubungi saya kapanpun Anda membutuhkan bantuan," tawarnya. 

"Terima kasih."

                               ***

Adrian merasa di atas angin saat Keluarga Windsor melayangkan pujian untuknya. Kedua mata cokelatny tak henti melirik sosok Josephine yang sedari tadi diam. Ia sangat mengharapkan ada pujian dari Josephine untuknya, walau hanya sedikit. 

"Hey Josephine apa kau tak ingin melihat miniatur kuda yang dibawakan oleh Adrian?" tanya Armando sambil merangkul pundak Adrian dengan bangga. 

"Tak perlu," jawabnya ketus. 

"Memangnya kenapa, Josephine sayang. Kau sudah lama tak melihat benda yang berkilauan lantaran suamimu yang bodoh itu tak bisa memanjakanmu," tambah Catherine mencemoohnya. 

"Dia bukan bodoh, dia suamiku," balas Josephine. 

"Yang dikatakan saudaramu itu benar Josephine. Apa yang bisa kau harapkan dari laki-laki pecundang seperti dia. Menghidupi dirinya sendiri saja dia tak sanggup.

Bagaimana ia bisa menghidupimu sebagai istri. Ingat Jo, kau lahir dan dibesarkan oleh keluarga terhormat. Mana pantas kau bersanding dengan laki-laki tak berguna seperti dia," kata Nenek Elizabeth dengan nada tinggi. 

"Kau seharusnya melihat Adrian. Ia tak ada ikatan dengan keluarga Windsor, tapi bisa menunjukkan niat baiknya dengan menyempatkan diri hadir dan membawakan hadiah untuk Pamanmu," Edmund,  Ayah Josephine yang sedari tadi diam pun ikut berbicara. 

"Suamimu memang tak tahu malu. Jangankan hadiah, acara penting saja ditinggal olehnya. Lihat kemana dia Sekarang?" tambah Daisy, Ibu dari Josephine. 

"Ayah, Ibu, Nenek, Nicko pergi sebentar karena ada keperluan di rumah sakit. Ada keluarga angkatnya yang membutuhkannya," bela Josephine. 

"Ah itu alasannya saja. Dia pasti merasa minder karena tak bisa membawa hadiah. Iya kan," balas Catherine diikuti tawa anggota keluarga Windsor yang lain. 

Josephine tetap berusaha membela Nicko di depan mereka. Namun semakin keras wanita berambut pirang ini membela sang suami, semakin ia mendapat kecaman yang mampu memporak-porandakan hatinya. 

Melihat raut muka masam dari wanita pujaan, Adrian pun tampil bagai seorang pahlawan. Melangkah mendekat ke arah Josephine dan mencoba menarik simpati darinya. 

"Halo cantik, apa yang membuatmu bersedih?" tanya Adrian mencoba untuk merangkul pinggang ramping Josephine.

Dengan cepat, wanita itu menepiskan tangan Adrian yang lancang. Kemudian menatap pria perlente itu dengan tatapan penuh amarah. 

"Apa kau tak bisa bersikap sopan?" bentak Josephine kasar. 

Siikap Josephine ini membuat keluarga Windsor murka. Menurut mereka sikap Adrian adalah hal yang wajar. Tentu saja hal ini membuat Josephine sangat kecewa. 

"Apa ada yang menyakitimu, Sayang?" tanya Nicko yang datang tiba-tiba dan berdiri di belakang istrinya. 

"Sayang, kau sudah kembali, bagaimana dengan Emily?" tanya Josephine. 

"Dia, yah begitulah," jawab Nicko yang hampir saja menceritakan apa yang dialaminya hari ini pada sang Istri. Memang sudah menjadi kebiasaan bagi mereka berdua untuk saling bercerita. 

Nicko mulai mendekat pada Paman Howard dan memberikan signature golf stick dari The Bogey. Ia sangat tahu kalau Pamannya menggemari olahraga golf, walau tak mahir dan juga tak banyak mengetahui seluk beluk permainannya. Hanya untuk menjaga gengsi di depan kolega. 

"Paman Howard, maaf aku baru bisa memberikan hadiah," kata Nicko menyodorkan hadiahnya pada Paman Josephine. 

Howard memang tak mahir bermain golf, namun ia paham betul akan merk yang ada di hadapannya. Perlahan ia mengambil salah satu dari stick golfnya dan mendapati tanda tangan Mitchell Laurance di sana. Pria berumur itu tak mampu untuk menyembunyikan kegembiraannya, dan memamerkan apa yang baru saja ia dapat. 

"Paman, maaf jangan senang dulu. Memang barang itu terlihat mahal tapi belum tentu asli, paling dipakai sekali sudah patah. Lagipula mana mungkin orang seperti Nicko mampu membeli yang asli."

"Menurutku ini asli, karena aku cukup mengenal tanda tangan dari Mitchell Laurance," kata Paman Howard. 

Kini keluarga Windsor pun kembali berisik, membahas apa yang dihadiahkan oleh Nicko. Sampai akhirnya Adrian menanyakan pada menantu tak berguna itu. 

"Dari mana kau mendapatkan tanda tangan Mitchell? Apa dia mau memegang barang yang kau ambil dari rongsokan?" tanyanya sinis. 

"Aku diberi olehnya, karena berhasil menjawab pertanyaan," kata Nicko sambil menuliskan pesan pada Russell untuk mengatur pihak Sporty Win untuk mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakannya kali ini. 

"Ha ha diberi? Mana bisa orang sepertimu bertemu dengan sosoknya."

"Aku beretemu dengannya di toko olahraga Sporty Win," jawab Nicko. 

"Ha ha, baik aku akan menanyakannya pada Tuan Thomas si pemilik toko. Aku mengenalnya dengan baik," tantang Adrian. 

"Silakan, tapi sebelumnya kau harus setuju menerima resiko jika omonganku benar," balas Nicko. 

"Huh, apa yang kau janjikan pecundang?" balas Adrian. 

"Siapapun yang kalah harus melepas kemejanya, kemudian berlutut dan membersihkan sepatu pemenang dengan kemejanya," tantang Nicko. Sebenarnya ia tak peduli dengan anggapan mereka. Taruhan ini semata-mata ia lakukan karena kemarahannya pada Adrian yang berani menyentuh istrinya. 

"Kau tidak sedang becanda kan wahai pecundang?" balas Damian meledek. 

"Kenapa? Apa kau takut temanmu akan kalah?" balas Nicko. 

Note : Hai,  terima kasih sudah mengunjungi ceritaku. Buat yang suka cerita fantasi bisa kunjungi novel terbaruku berjudul Sang Pengawal. Terima kasih

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Ismanto Raharno
ok baru mengikuti mudah mudahan jalan ceritanya bagus.........
goodnovel comment avatar
Iha Inggraha
soooo goods.........
goodnovel comment avatar
Riwianto Setyawan
mantap...skali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status