"Ana, bisakah kau ceritakan padaku apakah Istana Darken sekarang terlihat indah?"
Ana mengulas senyum manis begitu Hera bertanya padanya.
Seperti yang biasa Hera lakukan ketika masih tinggal di Goldenmoonpack, gadis itu membuka jendela dan merasakan sapuan angin yang menyapu kulit wajah hingga menerbangkan beberapa helai rambut panjangnya yang indah.
Ana sendiri tengah duduk disofa tak jauh dari Hera, lalu segera menceritakan perubahan besar yang telah gadis itu buat di Istana Darken.
Semenjak Hera melakukan perubahan di Istana Darken, kesan horor mulai terkikis secara perlahan di dalam Istana yang terkenal angker itu.
Tanah yang semula gersang kini telah ditumbuhi begitu banyak macam bunga. Kolam ikan kini terawat dan airnya begitu jernih dengan banyak kehidupan didalamnya.
Semua pelayan selalu berwara-wiri di dalam istana, penjaga berdiri dan menyambut hangat setiap orang yang lewat.
Semua tirai yang ada telah Hera perintahkan untuk diganti warna menjadi putih, terdapat lukisan di setiap dinding ruangan.
Hera bahkan meminta semua pelayan meletakkan bunga di setiap sudut Istana semakin banyak.
Suasana mencekam yang tampak angker, secara perlahan mulai hidup karena berbagai kehidupan di dalam Istana Darken yang sengaja Hera ciptakan.
Hera tersenyum lebar ketika Ana menceritakan perubahan yang dibuatnya dengan nada suara antusias.
Meski dia tidak bisa melihat dan menikmati hasilnya, Hera cukup bisa merasakan kehangatan mulai terasa didalam Istana Darken.
"Ratu Hera, apakah anda tidak ingin menikmati udara di taman bunga yang anda buat. Udara disana sangat sejuk sekarang."
Hera mengangguk dan meminta Anastasya untuk diantarkan kesana.
Dengan bantuan Marrine, Hera akhirnya tiba di taman bunga dan segera duduk di bangku panjang dekat kolam.
Gadis itu menghirup udara segar. Satu tangannya terulur, menyentuh beberapa tanaman bunga di dekatnya.
Namun suara cicitan burung bersamaan dengan hembusan angin yang tiba-tiba berhembus kencang, membuat perasaan Hera mendadak menjadi gelisah.
Gadis itu tidak lagi mendengar suara Ana atau Marrine yang sebelumnya masih terdengar ditelinganya.
Yang ada, hanya kursi bangku yang ditempatinya terasa bergerak ketika seseorang duduk tepat di sebelahnya.
"Yang Mulia Zeus?" tanya Hera sedikit tidak yakin.
Namun begitu sosok disebelahnya berdehem, Hera menyadari jika memang Zeus yang tengah duduk dibangku yang sama dengannya.
Tiba-tiba, suasana menjadi sangat hening.
Hera menarik tangannya dari bunga lalu meletakkannya di kedua paha.
Gadis itu masih bisa merasakan aura mencekam dari Zeus meski sudah seminggu berlalu sejak kejadian yang terjadi malam itu.
Zeus menatap lurus wajah Hera yang sedang merenung ditempat duduknya.
"Kau takut padaku?"
Hera menggeleng hati-hati.
"Ketimbang rasa takut, sepertinya aku lebih merasa jijik." Bisiknya dengan suara nada lirih, namun masih bisa dengar dengan sangat jelas oleh telinga Zeus.Zeus cukup tersentil dengan kalimat yang barusaja Hera lontarkan.
"Jijik?"
Hera meremas rok gaunnya sendiri. Memantapkan hati, dan menimbang kalimat yang akan dia lontarkan pada Zeus.
Gadis itu akhirnya berani mengangkat kepalanya yang semula masih tertunduk dalam setelah merasa yakin.
"Yang Mulia, tidak bisakah anda berhenti melakukan semua itu, menikmati tubuh manusia tidak berdosa dan meminum darah mereka. Aku merasa mual tiap kali membayangkan anda melakukan hal keji seperti itu setiap malam."
Zeus menggeram. Menatap tajam Hera sebelum tiba-tiba pria iblis itu dibuat terkejut kala satu tangan gadis itu terangkat dan terulur hingga menyentuh sebelah wajah Zeus.
Hera menelusuri tiap jengkal lekuk wajah Zeus yang sering mendapatkan pujian dari semua orang itu menggunakan jemari tangan lentiknya.
Banyak pelayan yang diam-diam mengaggumi ketampanan Zeus.
Meski Hera mungkin sudah melakukan kesalahan besar karena sudah lancang mendaratkan tangannya diwajah pria iblis itu, Hera tetap melakukannya karena dia ingin.
Instingnya mengatakan untuk Hera melakukan itu semua.
"Apa kau memerintahku dan mencoba mengaturku Hera, kau sudah lupa siapa tuanmu?"
Hera terkejut ketika Zeus tiba-tiba menepis lengannya dengan kasar. Mendaratkan satu tangan kanannya mencengkram leher Hera tanpa di duga.
Hera terbelalak. Meremas lengan Zeus dengan kedua tangannya ketika Zeus mencengkeram lehernya semakin kuat, membuat napas Hera tercekat dan dadanya bergemuruh hebat karena kekurangan pasokan oksigen.
Zeus mencekik lehernya tanpa ampun.
"Meski kau pasanganku, bukan berarti kau bisa mengaturku sesuka hatimu. Ingat Hera, jangan lancang dan melewati batasanmu. Aku tetaplah tuanmu dan kau hanyalah seorang babu yang kebetulan menjadi belahan jiwa-ku."
Hera terbatuk ketika Zeus sudah melepaskan cengkraman pada lehernya secara tiba-tiba.
Bibir gadis itu bergetar pucat, wajahnya memerah dengan keringat yang mengalir membasahi kening.
"Cukup dengan aku menuruti keinginanmu untuk mengubah istana ini, tapi bukan berarti kau bisa mengubah jati diriku sesuka hatimu."
Zeus lalu menghilang begitu saja. Meninggalkan Hera yang sudah menangis terisak menahan sesak.
Tak lama kemudian, tubuh Hera rubuh hingga jatuh pingsan di dekat kolam.
***
"Apa kita tidak bisa pergi kesana?"
Alpha Elios memeluk Luna Alexa semakin erat. Sejak kepergian Hera dari Goldenmoonpack, Alexa tidak pernah berhenti terus merengek dan meminta untuk diantarkan bertemu dengan Hera.
Tidak bisa dipungkiri jika Alpha Elios sebenarnya juga sangat merindukan adik kecilnya itu.
Mengingat bagaimana tabiat Zeus yang dikenal kejam dang bengis, membuat Alpha Elios diserang rasa cemas yang luar biasa.
Sebagai seorang kakak, Elios memiliki naluri untuk bisa terus melindungi adiknya itu. Namun dia tidak punya kuasa. Alpha Elios tidak mungkin melawan sang penguasa kegelapan sekelas Zeus.
"Tidak ada yang tahu dimana letak pasti Istana Darken Luna Alexa. Sekalipun kita tahu dimana tempatnya, tidak akan mudah untuk kita bisa menginjakan kaki di Istana kegelapan itu."
Alexa semakin menenggelamkan wajahnya, menangis dengan diam karena kehilangan adik iparnya.
Sejak gadis itu pergi, hari-hari Alexa terasa sangat sepi. Alexa merasa asing karena tidak memiliki teman selain Hera di Goldenmoonpack ini.
Meski Jessy selalu menemaninya dan mencoba akrab bahkan dekat dengannya, berusaha terus menjadi sosok teman yang selalu ada untuk Alexa. Tetap saja Hera adalah teman terbaik untuk bertukar cerita.
Bertemu dengan Hera tetap menjadi hal yang sangat Alexa inginkan saat ini.
Alpha Elios yang bisa mengerti dan memahami perasaan mate-nya itu. Elios hanya bisa mengusap rambut dan punggung Luna Alexa untuk menenangkan hati pasangannya yang tengah merasa gundah.
"Jika beruntung, Hera pasti datang kemari dan mengunjungi kita, Alexa."
Alexa menggeleng sedih.
"Aku tidak yakin Alpha. Hera mungkin saat ini sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan kita, firasatku mengatakan demikian."
Alpha Elios segera mengangkat tubuh Alexa dan membawanya masuk kedalam kamar mereka.
Alexa lalu mengalungkan kedua lengannya pada leher Elios, menatap tepat kedalam manik mata sang pria yang seakan mampu menghipnotis kaum hawa.
Seakan memiliki mantra, Alexa tiba-tiba merasakan tubuhnya secara perlahan menjadi lebih tenang ketika keduanya telah berbaring nyaman diatas ranjang pribadi kamar mereka.
Alexa mendekap erat tubuh Alpha Elios dan berusaha memejamkan kedua matanya erat.
"Besok aku ingin melihat para warrior berlatih lagi Alpha. Jadi jangan cemburu," katanya dengan gumaman suara pelan.Elios mendengus, lalu mengecup puncak kepala Luna-nya berkali-kali.
"Sampai kapan?"
"Apa?" Alexa mendongak.
"Sampai kapan kau terus membuatku cemburu dengan menonton tubuh setengah telanjang para warrior Goldenmoonpack yang sedang berlatih. Apakah tidak cukup dengan tubuhku saja yang kau gerayangi setiap malam Luna Alexa?"
Alexa tersenyum malu-malu dan menggigit dada bidang sang Alpha karena gemas.
Namun kepalanya masih sembunyi dileher pasangannya dan terlihat enggan untuk sekedar mengangkat kepala guna melihat sepasang manik sang Alpha yang penuh dengan kilat jenaka.
"Setidaknya, aku tidak memintamu mengajariku cara menggunakan pedang. Padahal aku sangat ingin melakukannya karena mengidam."
Elios menarik tubuh Alexa kian merapat kearahnya.
Puncak kepalanya, Elios kecup cukup lama dan enggan menjauhkan bibirnya dari sana.
"Aku sanksi, itu pasti murni karena keinginanmu. Bukan ngidam seperti yang kau katakan itu. "
Alexa tekekeh pelan karena merasa ketahuan.
"Aku hanya merasa jenuh dan ingin mencari pelampiasan Alpha. Dan hanya warrior Goldenmoonpack dan barak pelatihan Istana yang bisa mengalihkan fokusku dari Hera. Tak kusangka, ternyata aku malah mendapati para warrior yang bertelanjang dada ketika berlatih ...," Alexa menoleh dan tersenyum jahil, "lumayan juga. Hitung-hitung aku cuci mata."
Alpha Elios berdecih lirih.
"Aku juga melakukan hal yang sama ketika berlatih. Jadi besok nikmati saja tubuhku sesuka hatimu. Sekarang tidurlah."
Alexa menurut, membalas dekapanAlpha Elios dan segera memejamkan kedua matanya. Alexa berharap bisa bertemu dengan adik iparnya di dalam mimpinya kali ini.
Hera terbaring di kamarnya dengan pikiran kosong. Gadis itu hanya terus melamun meski Ana dan Marrine sudah membujuknya untuk makan malam. Sejak siang hingga malam hari, Hera masih enggan menyentuh makanan yang disajikan oleh para pelayan istana. Bahkan ketika mereka ingin mengobati luka memar yang masih terlihat membekas di leher Hera, gadis itu melarang dan malah terus menjauhkan diri. Ana yang tidak pernah melihat Hera dalam keadaan seperti ini, merasa sangat cemas dan begitu khawatir. Biasanya jika sedang merajuk atau marah, Alpha Elios yang akan datang dan menenangkan adiknya. Namun ditempat ini, tidak ada Alpha Elios yang bisa membujuk Hera seperti biasa. "Ratu Hera, apakah anda tidak lapar? Kami sudah menyiapkan menu spesial .... " "Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?" Marrine ter
"Ratu Hera, apakah anda tidak ingin keluar untuk menghirup udara segar?"Diambang pintu masuk, Anastasya tampak berdiri disana dan mencoba mengajak Hera keluar karena gadis itu terlihat sangat tidak bersemangat, seperti seseorang yang tidak lagi memiliki gairah hidup.Anastasya sangat cemas dan begitu khawatir karena mendapati wajah lesu Hera dan mata bengkaknya pertanda sehabis menangis.
Hera mengerjapkan kedua matanya, berusaha menyesuaikan cahaya dan mengambil posisi duduk diatas ranjang.Wanita itu tampak mengamati sekelilingnya, pada ruangan klasik super luas yang saat ini tengah Hera tempati. Hera bahkan merasakan tubuhnya juga terasa sangat ringan, seakan semua beban berat yang selama ini dipikulnya telah menghilang dari atas pundak."Apakah ini surga?" Hera bertanya-tanya dalam hati atau lebih tepatnya pada dirinya sendiri.Lalu menundukkan kepalanya, melihat kearah kedua tangan dan tubuhnya sendiri."Jadi, aku benar-benar sudah mati?"Cklek."Ratu Hera?"Hera terkesiap.Secara spontan, gadis itu langsung menoleh kearah asal suara lalu mengerjapkan kedua matanya bingung sekaligus bertanya-tanya, siapakah gerangan ketika dirinya melihat seorang perempuan dengan rambut panjang hitam yang tersampir di bahu sebelah kiri, yang tengah berdiri diambang pintu kamar H
Dengan tubuh bersimbah darah Zeus menatap bengis Darius.Wajah keduanya tak jauh berbeda, terdapat banyak luka menganga dan goresan penuh akan darah. Kedua iris mata mereka sama-sama berwarna merah menyala. "Bagaimana kau bisa menemukanku, heh?" Darius menyeringai sinis, menatap remeh Zeus yang tampak murka dengan urat-urat yang menonjol di lengan dan lehernya. "Apa sebenarnya maumu, keparat!" sentak Zeus marah. Darius malah tertawa keras, suara tawanya bahkan bahkan mampu menggetarkan bumi. Semua makhluk yang berdiri tak jauh dari mereka sampai bergidik ngeri karena mendengar suara Darius yang bergema di dalam hutan. Zeus dan Darius sama-sama seorang iblis sejati. Seorang penguasa kegelapan dengan tingkatan yang berbeda. Jika Zeus merupakan seorang penguasa kegelapan di bagian daratan, maka Darius adalah sang penguas
Gelap, dingin dan juga horor. Itulah kesan pertama yang Hera rasakan saat kedua kakinya melangkah masuk kedalam ruangan itu. Hera bahkan sampai merasakan bulu kuduknya berdiri ketika kedua kakinya melangkah semakin masuk, sampai pintu dibelakangnya tertutup dengan sendirinya hingga menimbulkan suara decitan pelan namun terdengar menakutkan. Hera berjengkit sedikit sambil mengusap pelan dadanya. Lalu kembali menatap ke arah depan untuk mengamati seluruh ruangan yang gelap itu. Ruang peristirahatan Zeus tersebut sangat luas, namun tidak ada apapun didalamnya kecuali sebuah ranjang putih bersih yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Tubuh besar Zeus telah dibaringkan disana, dengan pencahayaan minim yang hanya berasal dari dua lilin di sisi kanan kiri yang terpasang tak jauh dari tiang ranjang. Hera menahan napas ketika bisa melihat tubuh Zeus
Hera masih tertidur diatas tubuh Zeus yang masih berbaring di tempat yang sama bahkan dengan posisi yang tidak jauh berbeda. Namun ada setitik keringat yang muncul di kening pria iblis itu membuat Hera yang baru saja membuka kedua matanya, buru-buru turun dari sana karena takut Zeus terbangun dan memergoki dirinya sewaktu-waktu. Wanita itu, segera merapikan pakaiannya yang kusut lalu menatap kearah Zeus yang masih setia memejamkan mata. "Yang Mulia, cepatlah sembuh." Hera menyempatkan diri mengusap setitik keringat di kening Zeus lalu, segera berlalu pergi dari sana, melangkah keluar setelah mengganti lilin yang terbakar hampir habis. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup membuat Zeus secara perlahan mengulas senyum miring di bibir pria iblis itu. *** "Queen Hera, saya baru saja dari kamar Anda, tapi An
Hera membuka kedua matanya secara perlahan, hingga iris mata birunya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zeus. Wanita itu memekik, bahkan membelalak ketika melihat iris merah di mata kanan Zeus lalu iris abu di sebelah kiri pria iblis itu. Hera secara spontan mengangkat satu tangannya, menghapus kecanggungan yang sebelumnya terasa dengan menyentuh kelopak mata Zeus yang langsung terpejam. Wanita itu menatapnya dengan mata biru berbinar, penuh kekaguman. "Bagaimana bisa warna kedua matamu, berbeda?" Zeus hanya bergumam pelan, menahan sebelah tangan Hera lalu membawanya ke bibir, mengecup punggung tangan itu dengan lembut. Darah Hera berdesir seperti tersengat aliran listrik. "Kau takut?" Hera menggeleng gugup sambil menggigit pelan bibir bawahnya. "Apakah aku juga bisa memiliki
Alexa terdiam, mematung. Wanita itu secara reflek menyentuh perutnya sendiri, dengan kedua mata yang terbelalak ketika melihat sosok tinggi besar dihadapannya itu. Namun yang membuat Alexa semakin takut adalah tubuh Hera yang berada dalam gendongan Zeus. "Yang Mulia." Alpha Elios yang mendengar kabar dari salah satu warriornya bahwa Zeus muncul secara tiba-tiba di halaman packhouse istana, bergegas menemuinya dan berdiri tepat di depan tubuh Alexa, berusaha melindungi pasangannya yang tengah hamil besar dengan posesif. Ekspresi raut wajah khawatir muncul di raut wajah tegang manusia serigala itu ketika melihat Hera yang terpejam dalam gendongan King Demon Zeus. "Yang Mulia, sebenarnya apa yang terjadi dengan adik saya?" "Dia hanya tidur." Zeus berkata dingin. Alpha Elios mengangguk lalu segera m