Share

PART 1

"Masuklah, Queen. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." Joshua membuka pintu, sementara seorang gadis berambut panjang berjalan membuntutinya.

"Thanks." Queen mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.

Sejak turun dari mobil milik Joshua, Queen sudah berdecak kagum melihat rumah klasik bergaya Eropa. Bangunan mewah berlantai tiga dengan pilar-pilar kokoh itu milik keluarga Alexander, ayah Joshua. Seorang pengusaha sukses yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari perhotelan, penerbangan, hingga pertambangan.

"Duduklah. Mau minum apa?"

"Jo, aku tidak bisa lama-lama di sini." Queen memperingatkan.

"Aish ... jangan sungkan. Tenang saja, Mom dan Dad sedang tidak di rumah."

"Bukan itu, tapi Mama tidak suka melihatku pulang terlalu malam."

"Queen, harusnya kau protes pada ibumu. Umurmu sudah dua puluh dua tahun, bukan bayi lagi."

"Jo!"

Joshua terkekeh, mengempaskan pantat di atas sofa, tepat di samping Queen. "Aku bercanda."

Queen mencebikkan bibir. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?"

"Aku ingin mengambil kuliah musik di Swiss." Joshua menghela napas berat.

"Wow, serius? Selamat, kau pasti akan menjadi seniman hebat setelah lulus dari sana."

"Kau senang?"

"Siapa yang tidak senang melihat teman baiknya sukses."

Joshua menyugar rambut, gelisah. Kemudian, ia beranjak dari sofa dan berucap, "Tunggu sebentar, aku akan menyuruh maid untuk menyiapkan makan malam. Kalau bosan menunggu, kau bisa memainkan piano milikku."

"Oke."

Queen mengawasi tubuh tinggi Joshua, melangkah menaiki tangga yang entah menuju ke mana. Rumah ini terlalu besar, bahkan sepertinya Queen akan tersesat jika ia harus menyusuri rumah ini seorang diri. Sekali lagi, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Guci-guci antik tersebar hampir di semua sudut ruang tamu.

Sementara di langit-langit, beberapa lampu kristal berjajar rapi, menerangi ruangan sekaligus mencerminkan jika pemilik rumah merupakan seseorang yang sangat menyukai kemewahan dan keartistikan. Sangat elegan bak sebuah istana.

Queen beranjak dari tempat duduknya, bergerak menuju piano di sisi kanan ruangan. Perlahan, ia menyentuh benda kesayangan Joshua. Menurut Joshua, ia memiliki sebuah piano hadiah dari seorang seniman ternama kenalan ayahnya.

Ah, Joshua sangat beruntung karena banyak yang mendukungnya dalam hal musik. Lain halnya dengan Queen, ibunya tidak menyetujui ketertarikan Queen dalam bidang seni musik. Meski demikian, ia tidak hilang akal. Diam-diam, ia selalu memanfaatkan kegiatan musik di kampus.

Itulah alasan yang membuat Queen senang berteman dengan Joshua. Pria itu dengan senang hati mengajari Queen berbagai macam alat musik. Akan tetapi, Queen lebih tertarik pada piano. Entahlah, ada kedamaian tersendiri saat mendengar dentingan nada dari tuts-tuts yang dimainkan.

Queen duduk di hadapan piano, meletakkan jemari di atas tuts-tuts berwarna putih. Ia tersenyum, bersiap memainkan melodi.

***

Rafael turun dari Ferrari merah kesayangannya. Tubuh tinggi tegapnya berjalan meninggalkan garasi, di mana deretan mobil berjajar dengan rapi. Tiba di pintu samping, ia tertegun.

Rafael menajamkan indra pendengarnya. Denting piano yang mengalun merdu itu sangat menarik perhatian. Siapa pemilik jari-jari yang piawai memainkan nada-nada sendu? Rasa penasaran pun membuat ia melangkah ke arah sumber suara.

Ah ya, itu dia. Gadis berambut panjang yang belum pernah Rafael lihat sebelumnya. Wajah berkulit putihnya nampak merona. Cantik. Tanpa mengenalnya pun Rafael tahu, gadis itu sangatlah istimewa.

Gadis itu terlalu serius menghayati permainannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Rafael. Nada-nada sendu itu terus mengalun merdu, menarik siapa pun yang mendengarnya untuk menyelam dan menikmatinya. Termasuk Rafael, menyilangkan kedua lengan di depan dada dengan mata tertuju pada gadis pemain piano.

Satu menit kemudian, alunan piano terhenti, gadis itu tersenyum seraya mendongak. Tanpa sengaja, mata jernihnya berserobok pandang dengan Rafael. Hanya beberapa detik, karena di detik selanjutnya ia kembali menunduk menatap deretan tuts piano. Kedua pipinya bersemu merah. Gadis polos, dan itu sama sekali bukan selera Rafael.

"Permainan yang bagus, tetapi sayang kau tidak cukup menarik dengan style kaus longgar dan celana jeans. Akan lebih sempurna jika mengenakan dress berenda dengan belahan dada rendah, dan rok berbahan sutera sebatas paha. Aku rasa kakimu cukup mulus untuk dipertontonkan." Rafael tersenyum miring, lantas pergi meninggalkan gadis yang wajahnya semakin memerah oleh ucapannya.

"Tidak sopan!"

Sayup-sayup Rafael mendengar gadis itu menggerutu. Ya, gerutuan khas seorang gadis polos. Lain halnya jika kalimat yang sedikit melecehkan itu ditujukan untuk gadis nakal, barangkali gadis itu seketika akan membuka pakaiannya di hadapan Rafael.

Oke, lupakan. Rafael sama sekali tidak tertarik pada gadis pemain piano yang baru dilihatnya malam ini. Sebelumnya, ia sudah seringkali melihat Joshua membawa teman-teman senimannya ke rumah. Entah untuk bermain piano, gitar, dan berbagai jenis alat musik lain.

Sebagai seseorang yang menyukai dunia bisnis, Rafael tidak menyukai seni. Baginya, hal-hal semacam itu tidaklah bermanfaat. Maka, ia pun merasa muak pada seniman-seniman yang menghabiskan masa muda mereka. Rafael acapkali bertengkar dengan Joshua, karena adiknya tidak menggunakan masa muda untuk belajar mengurus bisnis milik ayah mereka.

***

"Aku mencintaimu."

Ucapan Joshua membuat Queen terdiam. Saat ini, mereka berada di balkon lantai tiga. Duduk berhadapan dengan tiga buah candle light yang membuat suasana semakin romantis. Piring berisi makanan penutup sudah tandas, dan para maid baru saja membereskannya.

Akan tetapi, Queen tidak menyangka jika makan malam mereka akan ditutup oleh ungkapan cinta dari Joshua. Selama ini, ia hanya menganggap Joshua sebagai teman.

"Maaf mengejutkanmu, aku tidak bisa menyimpan perasaanku terlalu lama. Apalagi dua bulan lagi aku harus pergi ke Swiss. Aku−"

"Maaf, Jo," potong Queen. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lewat mulut. "Aku−"

"Tidak perlu dijawab sekarang."

"Kau tahu, bukan? Ibuku tidak senang melihatku bermain-main dengan lelaki."

"Ya, aku tahu. Karenanya aku serius ingin menikahimu setelah kembali dari Swiss."

"Tapi−"

"Aku memberimu waktu untuk berpikir. Tidak perlu terburu-buru, oke?"

Queen mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah. Kalau begitu aku pulang sekarang."

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak, Jo. Aku bisa pulang sendiri."

"Queen ...."

"Mama tidak akan senang melihatku pulang diantar seorang lelaki. Selamat malam, Jo."

Joshua mengangguk pasrah. Ia tahu benar sifat Queen. Jika sudah berkata 'tidak', maka tak akan ada yang boleh membantahnya. Sekali saja membantah, gadis itu akan mendiamkannya selama tujuh hari tujuh malam. Ah, Queen yang polos tetapi selalu teguh pada pendirian.

"Jadi dia gadis incaranmu?"

Joshua menoleh, entah sejak kapan Rafael berdiri di ambang pintu. Menyilangkan kedua lengan di depan dada, sembari menyugar rambutnya. Tertawa penuh ejekan.

"Bukan urusanmu," sahut Joshua dingin.

"Gadis polos, dan masih perawan? Sepertinya menyenangkan jika aku bisa melakukan test drive padanya."

Bugh ...!!!

Satu hantaman keras meninju rahang Rafael. "Berani menyentuh se-inchi saja, aku akan menghabisimu, brengsek!"

Rafael mencengkeram kaus Joshua erat-erat. "Menyentuhnya? Aku bahkan bisa dengan mudah membuat gadis polos itu bertekuk lutut di hadapanku karena menginginkan sentuhanku."

"Queen bukan gadis seperti itu!"

"Aku bahkan hanya perlu menjentikkan jari untuk merubahnya menjadi gadis yang liar di atas ranjang!" Rafael mengempaskan tubuh Joshua hingga terjajar ke belakang dan menabrak meja. Satu buah gelas terguling, jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.

Joshua menatap pintu yang sudah tertutup rapat, lalu menyentuh punggungnya yang berdenyut nyeri. Ia menyesal, tidak seharusnya ia mengajak Queen ke rumah ini dan mengungkapkan perasaannya. Lalu sekarang apa? Rafael sudah terlanjur mengendus siapa gadis yang Joshua cintai.

"Aaaarrrggghhh!!!" Joshua menepis semua barang-barang di meja hingga balkon ramai oleh bunyi dentingan. Pecahan gelas berhamburan di mana-mana, sementara candle light terguling dan akhirnya padam. Joshua hanya bisa melihat gelap.

***


Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aeris Park
Bagus banget ceritanyaaa....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status